Diskusi yang dimoderatori Helmi Azhari ini diselenggarakan dalam rangkaian pameran lukisan Lampung Art Adventure 2011 yang berlangsung hingga 20 Februari. Lima perupa yang memamerkan lukisan adalah Syahnagra Ismail, Salvator Yen Joenaidy, Lilis Suryati Syahputeri, Atuk, dan Semut Prasidha.
Menurut Syahnagra, kesenian harus dibangun dengan energi. Cara membangun energi bisa mencontoh Raden Saleh. "Ketika menghadapi tekanan Belanda, dia (Raden Saleh) pacari wanita Belanda," kata Syahnagra.
Dia mengatakan seniman tidak perlu menunggu ilham untuk berkarya. Pria kelahiran Telukbetung, 18 Agustus 1953, itu mengajak pelukis Lampung membangun semangat artistik. Semua dari alam.
Meskipun demikian, Syahnagra mengakui zaman telah berubah, pelukis yang mulai jarang menggambarkan keindahan alam. Dalam suasana kontemporer sekarang, dia meminta seniman mesti cerdas melihatnya. "Dari alam saya lihat dialog-dialog. Saya lihat garis-garis," ujarnya.
Kesenian itu, kata dia, tidak bisa tumbuh tanpa keringat. Wawasan seniman bisa diasah dengan perpustakaan. "Karena perpustakaan bisa meluruskan pemikiran-pemikiran," ujarnya.
Menurut warga Kompleks Poris A2-15 Pondok Gede, Jakarta, itu kelemahan seni rupa terletak pada event. Dibandingkan karya sastra, seniman lukisan jarang mengadakan acara. Di Lampung, seni rupa nyaris tidak ada gerakan. "Saya prihatin ketika datang ke Pasar Seni, Enggal. Berumput. Jorok," kata Syahnagra menyayangkan.
PERUPA kawakan ini meminta pelukis di Lampung membentuk organisasi seni rupa. Lalu, pengurusnya dipilih dengan orang-orang yang punya prestasi. "Jangan baru menyelam ngakunya seniman. Ini bisa merusak tatanan," kata Syahnagra yang menegaskan pentingnya pameran tunggal bagi seniman.
Masalah lain, menurut dia, tak kalah pentingnya adalah menghilangkan semangat proyek di kalangan seniman. Sebab, hal tersebut menyebabkan seniman kehilangan identitas. "Biarkanlah itu ada di Dewan Kesenian. Tapi, jangan sampai semangat proyek ada di batin kita," kata dia.
Pembicara lain, Christian Heru Cahyo Saputro, memandang masa depan seni rupa Lampung tidak terlepas dari sumber daya manusianya. "Kita sebagai seniman yang dilihat adalah harganya. Tapi, hidup adalah pilihan," ujarnya.
Lampung, kata Heru, sangat potensial bagi pengembangan seni rupa. Hal tersebut bisa dibuktikan dari ragam tapis, bentang alam seperti Teluk Kiluan dan tarian lumba-lumba. "Ini siapa yang menjual? Kita bisa menawarkan Lampung ke dunia," kata dia.
Masalah lainnya soal seni rupa ialah sponsor. Pihak sponsor lebih memilih musik atau olahraga ketimbang seni rupa. "Pameran lukisan bukan semata transaksi ekonomi. Tapi, juga transaksi multikultural. Bagaimana menjadikan masyarakat supaya cerdas," kata Heru.
Surip, salah satu peserta diskusi menimpali. Guru Taman Siswa itu berterus terang tidak mengerti seni rupa. Namun, dia sedih bila seni rupa tidak dilestarikan. Sebab, anak-anak yang notabene penerus bangsa tidak mengenal kesenian. Surip menyarankan seni lukis diajarkan di sekolah-sekolah.
Menurut Surip, mestinya ada anggaran untuk Taman Budaya supaya dapat menggerakkan seniman. "Cuma saya enggak ngerti masalah anggaran karena saya bukan orang negara," kata Surip polos disambut tepuk tangan dan gelak tawa peserta diskusi. Baginya, sangat aneh bila seorang seniman tidak mengadakan pentas.
Menanggapi hal itu, Syahnagra mengatakan di Amerika para seniman dilindungi dengan undang-undang. Di sana, guru-guru lukis adalah seniman. "Paling tidak di Lampung mari kita buat seniman menjadi guru-guru TK, SD, SMP, dan SMA. Sudah tidak zaman lagi seniman merendah untuk menjual karyanya," kata dia. (HENDRY SIHALOHO/P-1)
Sumber: Lampung Post, Jumat, 18 Februari 2011
thanks ya infonya !!!
ReplyDeletewww.bisnistiket.co.id