BAGI para penulis karya sastra berbahasa daerah, tanggal 31 Januari adalah hari penting. Itu tanggal kelahiran sastrawan nasional dan penggiat sastra Sunda, Ajip Rosidi. Setiap tanggal itu pula, sejak 23 tahun lalu, Ajip menggagas dan mengumumkan penghargaan penting: Hadiah Sastra Rancage.
Hawe Setiawan (GATRA/Wisnu Prabowo)
Penghargaan itu diberikan kepada para penulis karya sastra berbahasa daerah, seperti Sunda, Jawa, Bali, dan Lampung. Pada 31 Januari lalu, pemberian Hadian Rancage memasuki tahun ke-23. Hingga kini, Hadiah Rancage telah diberikan 23 kali kepada penulis sastra Sunda, 18 kali kepada penulis Jawa, 15 kali kepada penulis Bali, dan dua kali kepada penulis Lampung.
Tradisi itu menempatkan Hadiah Sastra Rancage sebagai ajang penghargaan prestisius bagi kalangan penulis dan penerbit karya sastra berbahasa daerah. Selain itu, bertahan di jalur penghargaan sastra daerah jelas bukan perkara mudah. Nasib penerbitan buku berbahasa daerah jauh lebih memprihatinkan dibandingkan dengan penerbitan buku sastra berbahasa Indonesia. "Jika targetnya komersial, penerbitan sastra daerah masih jauh menuju ke sana," kata Hawe Setiawan, pengurus Yayasan Kebudayaan Rancage.
Dengan kata lain, Hadiah Sastra Rancage memperlihatkan kembang-kempisnya penerbitan sastra daerah. "Penerbit buku dalam bahasa ibu sampai sekarang, kecuali dalam bahasa Sunda, umumnya atas usaha yayasan-yayasan atau perseorangan yang kebetulan punya uang," ujar Ajip Rosidi.
Penerbitan karya sastra Sunda jauh lebih pesat dibandingkan dengan sastra Lampung, Bali, dan Jawa. Hal ini bisa dilihat dari sejumlah karya yang masuk penyeleksian Rancage. Pada tahun ini, ada 25 buku sastra Sunda yang diseleksi, dari puisi, cerita pendek, hingga naskah drama. Untuk sastra Jawa, ada 15 buku yang diterbitkan. Untuk sastra Bali ada 13 buku, sedangkan untuk sastra Lampung, sepanjang tiga tahun terakhir ini, malah tidak ada buku berbahasa Lampung yang diterbitkan.
Perkembangan penerbitan karya sastra Sunda memang lebih maju ketimbang Jawa, Bali, dan Lampung. Hawe yang banyak mengamati penerbitan karya sastra Sunda menilai, secara grafik, buku-buku sastra Sunda setiap tahun naik. Gejala kenaikan itu dimulai pada tahun 2000. Kenaikan paling penting terjadi pada 2001 (28 buku), setelah tahun sebelumnya hanya tercatat lima buku.
Ketika itu, fenomena tersebut ditopang dengan adanya program pemerintah untuk menerbitkan buku-buku berbahasa Sunda. "Penerbit petualang banyak bermunculan pada saat itu untuk mendapat guyuran anggaran dari pemerintah daerah," kata Hawe.
Selain "penerbitan pelat merah", ada pula penerbit profesional seperti Kiblat Buku Utama yang dirintis Ajip Rosidi. Juga CV Geger Sunten, yang secara konsisten menerbitkan buku berbahasa Sunda. Pada saat ini, penerbit sastra Sunda terbagi ke dalam dua kubu: yang merilis karya lewat jalur formal seperti Kiblat dan Geger Sunten dan penerbit yang bergantung pada anggaran pemerintah daerah.
Sementara itu, untuk sastra Jawa, Bali, dan Lampung, hingga saat ini belum memiliki satu penerbitan pun yang secara profesional menggeluti bahasa ibu. Salah satu penyebabnya, menurut Hawe, adalah masih rendahnya tradisi menulis, membaca, dan menerbitkan karya sastra daerah.
Y. Wibowo, pimpinan BE Press, yang menerbitkan buku berbahasa Lampung, mengakui kesulitan dalam upaya penerbitan buku berbahasa Lampung. "Kami `putus napas`. Karya dalam bahasa ibu tidak laku di pasaran. Pemerintah daerah juga tidak ada perhatian dalam upaya membantu penerbitan karya sastra dalam bahasa Lampung," katanya, seperti dikutip Lampung Post, awal Februari lalu.
Begitu pula sastra Bali. Nyoman Darma Putra, dosen Universitas Udayana, Denpasar, yang juga juri Rancage untuk karya sastra Bali mengakui bahwa penerbitan sastra daerah di Bali masih belum berkembang. "Skala penerbitan sastra daerah di Bali sangat kecil. Pelakunya adalah perorangan yang menerbitkan karya sendiri. Kalau ada penerbit pun, orientasinya bukan bisnis," papar Darma Putra kepada Gatra.
Jika meminjam catatan Hawe Setiawan yang menyebutkan bahwa sastra berbahasa daerah rata-rata dicetak 500-1.000 eksemplar per judul, maka di Bali kisarannya hanya 100 eksemplar per judul. "Buku itu kebanyakan dititipkan ke toko buku, tapi yang sampai di tangan pembeli relatif kecil," kata Darma Putra.
Selain minimnya minat baca, persoalan "abadi" penerbitan sastra daerah adalah sulitnya pembaca mendapatkan buku-buku tersebut. Hal itu disebabkan misi penerbitan lebih pada kecintaan melestarikan bahasa ibu dan nonprofit. Sehingga aspek distribusi cenderung diabaikan. "Perlu dukungan pemerintah untuk pendistribusiannya hingga sampai ke tangan pembaca," ujar Hawe.
Menulis, menerbitkan, dan menjual buku sastra daerah memang belum tampak dari segi ekonomi. Jika untuk pengadaan buku muatan lokal bahasa daerah bisa jadi hitung-hitungan secara ekonomis ada, tapi tidak secara bisnis formal. Hawe mencontohkan penerbit Kiblat yang rajin memproduksi buku sastra berbahasa daerah. "Kiblat juga menerbitkan buku umum. Mereka melakukan subsidi silang agar buku sastra Sunda tetap terbit," katanya.
Meski dililit sejumlah persoalan, hadirnya Rancage dinilai sebagai oasis. Beberapa daerah, meski tidak memiliki penerbit yang konsisten, selalu berupaya mempertahankan keikutsertaannya dalam Rancage. "Meskipun satu tahun cuma satu judul," kata Hawe lagi. Hal itu dibenarkan Nyoman Darma Saputra. "Rancage cukup kuat memotivasi penulis untuk menulis dalam bahasa daerah," tuturnya.
Wisnu Wage Pamungkas (Bandung)
Sumber: Gatra Nomor 14, Kamis, 10 Februari 2011
No comments:
Post a Comment