LIWA (Lampost): Siswa setingkat SMA di Lampung Barat, Rabu (30-3), antusias mengikuti bedah novel Perempuan Penunggang Harimau (PPH) yang dibuka Kepala Bidang (Kabid) Sarana dan Prasarana Dinas Pendidikan Ronggur di SMAN 1 Liwa.
BEDAH BUKU. Redaktur Budaya Lampung Post Zulkarnain Zubairi (tengah) menyampaikan apresiasi dalam bedah novel Perempuan Penunggang Harimau di SMAN 1 Liwa, Rabu (30-3). Siswa sngat antusias mengikuti acara yang dihadiri langsung oleh pengarangnya M. Harya Ramdhoni (kiri) dan dimoderatori Duta Suhandari dari Radio Mahameru ini. (LAMPUNG POST/ELIYAH)
Kepala SMAN 1 Liwa yang juga penyelenggara, Bakat Sampurno, berharap melalui bedah buku tersebut siswa asal Lampung Barat dapat menciptakan karya seni, salah satunya seni sastra.
Hal sama dikatakan Ronggur. Bedah novel PPH dapat memacu prestasi siswa, khususnya di bidang seni selain prestasi sains dan olahraga.
Ia mengatakan tahun ini SMAN 1 Liwa berubah status menjadi rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI). Untuk itu, dalam setiap event, SMAN 1 Liwa dapat tampil dengan baik di seluruh bidang termasuk bidang seni.
Sementara itu, pengarang novel PPH, M. Rahya Ramdhoni, mengatakan buku PPH yang dikarangannya dimaksudkan untuk menyelamatkan sejarah masa lalu Lampung, yang konon masyarakat Lampung berasal dari Kerajaan Skala Brak.
Penulisan buku ini, kata dia, juga dilatarbelakangi keinginannya untuk memberikan wawasan dan pemberitahuan tentang sejarah bagi masyarakat bahwa Kerajaan Skala Brak merupakan salah satu kerajaan Islam yang tertua di bumi nusantara ini.
Pembicara lain, Redaktur Budaya Lamppung Post Zulkarnain Zubairi atau yang akrab disapa Udo Zul mengatakan jika hendak ingin menjadi pengarang atau penulis sastra banyak-banyaklah membaca, bergaul, dan menulis.
Dengan banyak-banyak membaca, kita akan mendapat banyak informasi serta memiliki inspirasi untuk membuat satu tulisan. Untuk memperkaya data dalam tulisan, perlu untuk bergaul.
"Mudah-mudahan melalui bedah buku ini sastrawan asal Lampung Barat terus bertambah guna memperkaya dan menambah karya sastra yang sudah ada," kata dia.
Dari sisi pertanggungjawaban akademis -- meski tidak terlalu penting karena karya fiksi -- novel PPH ini, kata dia, sudah tidak diragukan lagi karena pengarangnya adalah kandidat doktor Ilmu Politik dari Universiti Kebangsaan Malaysia.
Pada bagian lain, Udo mengatakan pesan dalam karya sastra cenderung lebih tersirat. Ini disebabkan alur di dalamnya hanya merupakan cerita tentang sesuatu atau peristiwa menurut inspirasi pengarangnya. "Dalam sastra, bukan apa yang disampaikan, melainkan bagaimana menyampaikan." (ELI/D-1)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 31 Maret 2011
March 31, 2011
Bahasa Lampung Masuki Fase Kritis
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Bahasa Lampung memasuki fase kritis. Diperkirakan 62 hingga 87 tahun mendatang bahasa Lampung akan mengalami kepunahan.
Kekhawatiran ini mengemuka dalam seminar bertema Peran pemuda dalam meningkatkan kecintaan bahasa daerah dalam rangka penguatan ketahanan budaya nasional yang berlangsung di auditorium Perpustakaan Unila, Rabu (30-3).
Diskusi ini menghadirkan Farida Aryani, akademisi dari Jurusan Bahasa dan Sastra FKIP Unila; Tadjudin Nur dari Kesbangpol Pemerintahan Kementerian Dalam Negeri Bidang Budaya Daerah; serta Lekat Dulah Adu Putra, menteri Aksi dan Propaganda BEM Unila.
"Bahasa Lampung berada dalam fase kritis adalah pernyataan ilmiah yang didasarkan bukti empiris. Ini merupakan hasil penelitian guru besar linguistik Universitas Indonesia, Prof. Asim Gunarwan Ratu Putra Alam pada 1998," kata Farida Aryani.
Menurut dia, berkat penelitian tersebut, kesadaran pelestarian bahasa Lampung mulai memanas dan terangkat kepermukaan hingga munculah seminar-seminar bahasa oleh Lampung Sai hingga kelahiran jurusan D-3 Bahasa Lampung yang merupakan respons dari penelitian ini.
Farida mengatakan Prof. Asim melakukan penelitian kepada penutur langsung bahasa Lampung. Dari penelitiannya diketahui penutur aktif bahasa lampung saat ini berada pada kisaran usia 40 hingga 60 tahun. Sementara orang Lampung yang berada pada usia di bawah itu makin jarang berbahasa Lampung.
"Dia menyimpulkan dalam kurun waktu 75 hingga 100 tahun dari tahun 1998, bahasa Lampung akan mengalami kepunahan. Karena meraka yang berusia 30 hingga 40 tahun saat penelitian, diperkirakan sudah meninggal dunia. Sementara generasi di bawahnya tak lagi aktif berbahasa Lampung," kata dia.
Jika kesimpulan itu dibuat pada 1998, atau tiga belas tahun silam, dapat diperkirakan 62 hingga 87 tahun mendatang bahasa Lampung akan mengalami kepunahan. Terutama jika tidak diiringi upaya untuk melestarikannya baik secara formal maupun informal.
"Secara formal adalah dengan cara menyisipkan pendidikan bahasa dan aksara Lampung di sekolah-sekolah dari tingkat dasar maupun tingkat atas. Dan, penyusunan perda hingga penetapan regulasi yang mendorong penggunaan bahasa Lampung," kata dia. (MG14/S-2)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 31 Maret 2011
Kekhawatiran ini mengemuka dalam seminar bertema Peran pemuda dalam meningkatkan kecintaan bahasa daerah dalam rangka penguatan ketahanan budaya nasional yang berlangsung di auditorium Perpustakaan Unila, Rabu (30-3).
Diskusi ini menghadirkan Farida Aryani, akademisi dari Jurusan Bahasa dan Sastra FKIP Unila; Tadjudin Nur dari Kesbangpol Pemerintahan Kementerian Dalam Negeri Bidang Budaya Daerah; serta Lekat Dulah Adu Putra, menteri Aksi dan Propaganda BEM Unila.
"Bahasa Lampung berada dalam fase kritis adalah pernyataan ilmiah yang didasarkan bukti empiris. Ini merupakan hasil penelitian guru besar linguistik Universitas Indonesia, Prof. Asim Gunarwan Ratu Putra Alam pada 1998," kata Farida Aryani.
Menurut dia, berkat penelitian tersebut, kesadaran pelestarian bahasa Lampung mulai memanas dan terangkat kepermukaan hingga munculah seminar-seminar bahasa oleh Lampung Sai hingga kelahiran jurusan D-3 Bahasa Lampung yang merupakan respons dari penelitian ini.
Farida mengatakan Prof. Asim melakukan penelitian kepada penutur langsung bahasa Lampung. Dari penelitiannya diketahui penutur aktif bahasa lampung saat ini berada pada kisaran usia 40 hingga 60 tahun. Sementara orang Lampung yang berada pada usia di bawah itu makin jarang berbahasa Lampung.
"Dia menyimpulkan dalam kurun waktu 75 hingga 100 tahun dari tahun 1998, bahasa Lampung akan mengalami kepunahan. Karena meraka yang berusia 30 hingga 40 tahun saat penelitian, diperkirakan sudah meninggal dunia. Sementara generasi di bawahnya tak lagi aktif berbahasa Lampung," kata dia.
Jika kesimpulan itu dibuat pada 1998, atau tiga belas tahun silam, dapat diperkirakan 62 hingga 87 tahun mendatang bahasa Lampung akan mengalami kepunahan. Terutama jika tidak diiringi upaya untuk melestarikannya baik secara formal maupun informal.
"Secara formal adalah dengan cara menyisipkan pendidikan bahasa dan aksara Lampung di sekolah-sekolah dari tingkat dasar maupun tingkat atas. Dan, penyusunan perda hingga penetapan regulasi yang mendorong penggunaan bahasa Lampung," kata dia. (MG14/S-2)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 31 Maret 2011
March 29, 2011
Temu Pengarang: Andrea Hirata Dedikasikan 'Ayah' untuk Bangun Sekolah
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Penulis novel Laskar Pelangi Andrea Hirata meluncurkan karya terbarunya bertajuk Ayah. Dia mendedikasikan karyanya tersebut untuk dunia pendidikan. Royalti dari karya terbarunya itu akan disumbangkan untuk pembangunan sekolah.
Andrea Hirata mengatakan hal itu saat menghadiri diskusi buku dengan para penggemarnya di toko buku Gramedia Bandar Lampung yang berlangsung sekitar satu setengah jam, Minggu (27-3).
"Saya tidak dalam fase membuktikan apa-apa lagi. Saya tidak peduli karya Ayah ini akan menjadi best seller atau tidak. Berapa pun hasil penjualannya, saya akan dedikasikan untuk pendidikan, untuk pembangunan sekolah," kata Andrea.
Andrea Hirata Seman Said Harun adalah penulis Indonesia yang berasal dari Pulau Belitong, Provinsi Bangka Belitung. Novel pertamanya adalah Laskar Pelangi yang merupakan buku pertama dari tetralogi novelnya.
Perhatian Andrea pada dunia pendidikan memang kerap ia tunjukkan dalam karya-karyanya, seperti dalam Laskar Pelangi. Andrea bercerita tentang kehidupan tujuh orang sahabat di SD Muhammadiyah Gantong, di Bangka Belitung, yang nyaris roboh.
Ketika ditanya tentang dunia pendidikan saat ini, Andrea menyatakan kekagumannya. Menurut dia, dunia pendidikan di Indonesia saat ini sudah jauh lebih maju dari zamannya dulu. Perhatian pemerintah terhadap mutu pendidikan juga jauh lebih baik.
Untuk dunia pendidikan, Andrea mengaku akan mendedikasikan dirinya 100%. Jika ada sekolah yang mengundangnya sebagai pembicara, Andrea menegaskan tidak akan memungut biaya sepeser pun. Bahkan, jika ada yang membayar akan dia tolak.
"Ada yang berpendapat mengundang Andrea menjadi pembicara itu mahal, hal itu memang benar. Untuk korporasi dan lembaga nonpendidikan butuh dana minimal Rp50 juta untuk mengundang saya. Namun, di sini saya tegaskan itu tidak untuk pendidikan. Untuk sekolah, saya gratis," kata Andrea.
Ia menyatakan dirinya siap jika diundang di sekolah-sekolah. Baginya berbagi pengalaman dan ilmu merupakan hal baik, tetapi memang yang menjadi persoalan adalah waktu. Apalagi saat ini dia kerap berkunjung ke mancanegara untuk berdialog dan berdiskusi tentang karya-karyanya yang telah diterbitkan di beberapa negara. (MG14/S-2)
Sumber: Lampung Post, Selasa, 29 Maret 2011
Andrea Hirata mengatakan hal itu saat menghadiri diskusi buku dengan para penggemarnya di toko buku Gramedia Bandar Lampung yang berlangsung sekitar satu setengah jam, Minggu (27-3).
"Saya tidak dalam fase membuktikan apa-apa lagi. Saya tidak peduli karya Ayah ini akan menjadi best seller atau tidak. Berapa pun hasil penjualannya, saya akan dedikasikan untuk pendidikan, untuk pembangunan sekolah," kata Andrea.
Andrea Hirata Seman Said Harun adalah penulis Indonesia yang berasal dari Pulau Belitong, Provinsi Bangka Belitung. Novel pertamanya adalah Laskar Pelangi yang merupakan buku pertama dari tetralogi novelnya.
Perhatian Andrea pada dunia pendidikan memang kerap ia tunjukkan dalam karya-karyanya, seperti dalam Laskar Pelangi. Andrea bercerita tentang kehidupan tujuh orang sahabat di SD Muhammadiyah Gantong, di Bangka Belitung, yang nyaris roboh.
Ketika ditanya tentang dunia pendidikan saat ini, Andrea menyatakan kekagumannya. Menurut dia, dunia pendidikan di Indonesia saat ini sudah jauh lebih maju dari zamannya dulu. Perhatian pemerintah terhadap mutu pendidikan juga jauh lebih baik.
Untuk dunia pendidikan, Andrea mengaku akan mendedikasikan dirinya 100%. Jika ada sekolah yang mengundangnya sebagai pembicara, Andrea menegaskan tidak akan memungut biaya sepeser pun. Bahkan, jika ada yang membayar akan dia tolak.
"Ada yang berpendapat mengundang Andrea menjadi pembicara itu mahal, hal itu memang benar. Untuk korporasi dan lembaga nonpendidikan butuh dana minimal Rp50 juta untuk mengundang saya. Namun, di sini saya tegaskan itu tidak untuk pendidikan. Untuk sekolah, saya gratis," kata Andrea.
Ia menyatakan dirinya siap jika diundang di sekolah-sekolah. Baginya berbagi pengalaman dan ilmu merupakan hal baik, tetapi memang yang menjadi persoalan adalah waktu. Apalagi saat ini dia kerap berkunjung ke mancanegara untuk berdialog dan berdiskusi tentang karya-karyanya yang telah diterbitkan di beberapa negara. (MG14/S-2)
Sumber: Lampung Post, Selasa, 29 Maret 2011
March 28, 2011
Temu Penulis: Andrea Hirata Tak Mau Terjebak Definisi dan Pakem
BANDAR LAMPUNG--Lantai dua Toko Buku Gramedia tampak sesak sore itu, Minggu (27-3). Puluhan pengunjung memadat di depan panggung kecil. Sebagaian lagi, berdiri diantara rak-rak buku di dekatnya. Tangan mereka rata-rata menggenggam sebuah buku karangan Andrea Hirata, mulai dari Laskar Pelangi hingga dwilogi novel Padang Bulan.
TEMU PENGGEMAR. Andrea Hirata, pengarang tetralogi Laskar Pelangi, menemui para penggemarnya di Toko Buku Gramedia, Bandar Lampung, Minggu (27-3). (LAMPUNG POST/ZAINUDDIN)
Sore itu, pengarang buku bestseller Andrea Hirata menyapa para penggemarnya di Lampung. Meet and Greet Andrea Hirata yang diadakan oleh Toko Buku Gramedia tersebut berlangsung intens dan hangat. satu persatu, para penggemar bertanya kepada Andrea Hirata. Mulai dari cara menulis cerita yang mampu menginspirasi hingga berita-berita miring tentang kehidupan pribadinya yang terekspos di Infotainment.
Pria penulis novel Laskar Pelangi ini tak sungkan berbagi ilmu dan pengalaman dengan fansnya. Laskar Pelangi termasuk novel yang ada di jajaran best seller untuk tahun 2006 - 2007. Selain tetralogi Laskar Pelangi, Andrea juga menghasilkan karya lain, yaitu Padang Bulan & Cinta di Dalam Gelas yang terbit tahun 2011.
Menurutnya, diskusi buku memang harus dibuat semenarik mungkin. Pengarang, kalau bisa harus menggonsep sendiri sejak awal. Makanya saya taruh trailer film-film, panggung yang dekat dengan penggemar. Hal ini akan membawa audiensi dekat kepada karya-krya si pengarang. "Saya sudah dua tahun fakum berbicara dihadapan publik lantaran diskusi buku saat ini kian menjemukan. Tak ada diskusi yang ada hanyalah jumpa fans. Tapi yang saya rasakan sore ini sungguh berbeda. Pertanyaan kalian sungguh lua biasa. Disini kita tidak membedah Andrea Hirata, tapi kita berdiskusi tentang novelnya, karyanya dan sastra itu sendiri," kata dia.
Ketika sesorang pengunjung bertanya tentang kegemarannya menggunakan istilah sains yang tak berbau sastra ia menjawab penuh antusias. Menurutnya sebagai penulis ia tak mau terjebak dalam defenisi defenisi dan pakem tertentu. Menurutnya menulis adalah aktivitas kreatif tanpa batas dan tidak ada salahnya menggunakan istila apapun termasuk istilah saintis.
Tentang bagai mana ia menggali insprirasi, Andrea berujar, seorang penulis tidak boleh mati kutu dan kehabisan ide. Aagar kaya akan ide, Andrea menyandarkan 95 persen karyanya berbasis riset sementara aktivitas menulis hanya lima persen. Lalu ia mencontohkan dengan membahas foto nenek tua di Belitung yang sengaja ditampilkan panitia. Menurutnya dari contoh foto in puluha ide dapat penulis ciptakan.
"Lihatlah sorot matanya, apakah itu harapan atau keputus asaan. Apakah ia tersenyum ataukah sebaliknya. Bagaimanakah kisah hidupnya. Cerita cintanya. Perjuangannya menghidupi anak anaknya sekarang. Ah.. pokoknya banyak sekali yang bisa kita gali dan kita jadikan ide dari melihat foto ini," kata dia.
Saat wawancara, Andrea mengaku sangat antusias jika menghadiri acara-acara seperti itu. Menurutnya, dari pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan para penggemarnya, terlihat sekali begitu tingginya minat menulis dan membaca dari generasi muda sekarang ini. "Tapi ini menjadi ironi dengan seperti tidak pedulinya pemerintah terhadap itu. Apresiasi terhadap sastra besar, namun tidak diiringi dengan kemauan yang besar pula dari pemerintah," kata dia.
Dalam kesempata itu, Andrea juga menceritakan kegalauannya tentang dunia buku saat ini. Ia merasa miris ketika gejolak sastra kian menguat di tanah air, pemegang kekuasaan tak melahirkan rgulasi yang mendukung. Ia mencontohkan pembangunan gedung pusat dokumentasi sastra HB jassin yang tak juga menemukan titik terang.
"Belum lagi soal pembajakan. Saya cukup sedih dengan adanya pembajakan ini. Dan says udah mengalami berbagai vase perasaan tentang pembajakan ini. Dari yang biasa saja sampai benar benar personal. Betapa tidak saat ini beredar 14 juta kopi novel laskar pelangi versi bajakan," kata dia.
Andera berkisah, pernah dulu pada sebuah acara bedah buku dan jumpa pembaca, Andrea menemukan fakta miris. Pada acara itu ada ratusan orang yang mengantre untuk meminta tanda tangannya dengan membawa novel Laskar Pelangi versi palsu, versi bajakan. Itu bukan pertama dan terakhir Andrea menemukan fakta miris yang membuatnya mengurut dada. Pada suatu ketika ia mendapatkan pula kabar tentang ditemukannya satu kontainer berisi Tetralogi Laskar Pelangi palsu.
Pembajakan atas karyanya itu tak berhenti sebatas Tetralogi Laskar Pelangi yang meliputi novel Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor dan Maryamah Karpov saja. Baru-baru ini karya terbarunya, Dwilogi Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas juga bernasib sama. “Novel aslinya belum sampai ke daerah-daerah. Eh, novel bajakannya sudah sampai duluan,” ujar Andrea. Andrea mengaku dirinya kesal alang kepalang dengan pembajakan itu, ia mengingat jerih payahnya selama 4 tahun untuk riset menulis Dwilogi Padang Bulan.
Awalnya, ia mencoba menerima dengan lapang hati. Ia berpikir tak masalah karyanya dibajak dalam artian ia menganggap sebagai ajang membagi rezeki pada orang lain yang juga ingin menikmati keuntungan dari fenomena Laskar Pelangi. Tapi lama kelamaan pembajakan malah menjadi-jadi. Andrea curiga jangan-jangan lebih banyak karya bajakan yang dibeli dibanding karya aslinya. Ia pun akhirnya tahu pembajakan buku bukanlah membagi rezeki pada orang-orang yang ekonominya susah tapi malah memperkaya pebisnis buku bajakan itu sendiri.
Itulah mengapa karyanya yang terbaru, Two Trees saya pilih diterbitkan oleh penerbit asing. Namun Andrea tak sampai hati, bagaimana pun dari Indonesialah karya-karyanya bisa menjadi ‘besar’. Two Trees tetap diterbitkan di Indonesia, diterjemahkan menjadi novel berjudul “Ayah”. Novel Ayah ini rencananya akan diedarkan pada 6 Juli mendatang. Royaltinya nantinya akan digunakan untuk pembangunan sekolah. (ABDUL GAFUR)
TEMU PENGGEMAR. Andrea Hirata, pengarang tetralogi Laskar Pelangi, menemui para penggemarnya di Toko Buku Gramedia, Bandar Lampung, Minggu (27-3). (LAMPUNG POST/ZAINUDDIN)
Sore itu, pengarang buku bestseller Andrea Hirata menyapa para penggemarnya di Lampung. Meet and Greet Andrea Hirata yang diadakan oleh Toko Buku Gramedia tersebut berlangsung intens dan hangat. satu persatu, para penggemar bertanya kepada Andrea Hirata. Mulai dari cara menulis cerita yang mampu menginspirasi hingga berita-berita miring tentang kehidupan pribadinya yang terekspos di Infotainment.
Pria penulis novel Laskar Pelangi ini tak sungkan berbagi ilmu dan pengalaman dengan fansnya. Laskar Pelangi termasuk novel yang ada di jajaran best seller untuk tahun 2006 - 2007. Selain tetralogi Laskar Pelangi, Andrea juga menghasilkan karya lain, yaitu Padang Bulan & Cinta di Dalam Gelas yang terbit tahun 2011.
Menurutnya, diskusi buku memang harus dibuat semenarik mungkin. Pengarang, kalau bisa harus menggonsep sendiri sejak awal. Makanya saya taruh trailer film-film, panggung yang dekat dengan penggemar. Hal ini akan membawa audiensi dekat kepada karya-krya si pengarang. "Saya sudah dua tahun fakum berbicara dihadapan publik lantaran diskusi buku saat ini kian menjemukan. Tak ada diskusi yang ada hanyalah jumpa fans. Tapi yang saya rasakan sore ini sungguh berbeda. Pertanyaan kalian sungguh lua biasa. Disini kita tidak membedah Andrea Hirata, tapi kita berdiskusi tentang novelnya, karyanya dan sastra itu sendiri," kata dia.
Ketika sesorang pengunjung bertanya tentang kegemarannya menggunakan istilah sains yang tak berbau sastra ia menjawab penuh antusias. Menurutnya sebagai penulis ia tak mau terjebak dalam defenisi defenisi dan pakem tertentu. Menurutnya menulis adalah aktivitas kreatif tanpa batas dan tidak ada salahnya menggunakan istila apapun termasuk istilah saintis.
Tentang bagai mana ia menggali insprirasi, Andrea berujar, seorang penulis tidak boleh mati kutu dan kehabisan ide. Aagar kaya akan ide, Andrea menyandarkan 95 persen karyanya berbasis riset sementara aktivitas menulis hanya lima persen. Lalu ia mencontohkan dengan membahas foto nenek tua di Belitung yang sengaja ditampilkan panitia. Menurutnya dari contoh foto in puluha ide dapat penulis ciptakan.
"Lihatlah sorot matanya, apakah itu harapan atau keputus asaan. Apakah ia tersenyum ataukah sebaliknya. Bagaimanakah kisah hidupnya. Cerita cintanya. Perjuangannya menghidupi anak anaknya sekarang. Ah.. pokoknya banyak sekali yang bisa kita gali dan kita jadikan ide dari melihat foto ini," kata dia.
Saat wawancara, Andrea mengaku sangat antusias jika menghadiri acara-acara seperti itu. Menurutnya, dari pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan para penggemarnya, terlihat sekali begitu tingginya minat menulis dan membaca dari generasi muda sekarang ini. "Tapi ini menjadi ironi dengan seperti tidak pedulinya pemerintah terhadap itu. Apresiasi terhadap sastra besar, namun tidak diiringi dengan kemauan yang besar pula dari pemerintah," kata dia.
Dalam kesempata itu, Andrea juga menceritakan kegalauannya tentang dunia buku saat ini. Ia merasa miris ketika gejolak sastra kian menguat di tanah air, pemegang kekuasaan tak melahirkan rgulasi yang mendukung. Ia mencontohkan pembangunan gedung pusat dokumentasi sastra HB jassin yang tak juga menemukan titik terang.
"Belum lagi soal pembajakan. Saya cukup sedih dengan adanya pembajakan ini. Dan says udah mengalami berbagai vase perasaan tentang pembajakan ini. Dari yang biasa saja sampai benar benar personal. Betapa tidak saat ini beredar 14 juta kopi novel laskar pelangi versi bajakan," kata dia.
Andera berkisah, pernah dulu pada sebuah acara bedah buku dan jumpa pembaca, Andrea menemukan fakta miris. Pada acara itu ada ratusan orang yang mengantre untuk meminta tanda tangannya dengan membawa novel Laskar Pelangi versi palsu, versi bajakan. Itu bukan pertama dan terakhir Andrea menemukan fakta miris yang membuatnya mengurut dada. Pada suatu ketika ia mendapatkan pula kabar tentang ditemukannya satu kontainer berisi Tetralogi Laskar Pelangi palsu.
Pembajakan atas karyanya itu tak berhenti sebatas Tetralogi Laskar Pelangi yang meliputi novel Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor dan Maryamah Karpov saja. Baru-baru ini karya terbarunya, Dwilogi Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas juga bernasib sama. “Novel aslinya belum sampai ke daerah-daerah. Eh, novel bajakannya sudah sampai duluan,” ujar Andrea. Andrea mengaku dirinya kesal alang kepalang dengan pembajakan itu, ia mengingat jerih payahnya selama 4 tahun untuk riset menulis Dwilogi Padang Bulan.
Awalnya, ia mencoba menerima dengan lapang hati. Ia berpikir tak masalah karyanya dibajak dalam artian ia menganggap sebagai ajang membagi rezeki pada orang lain yang juga ingin menikmati keuntungan dari fenomena Laskar Pelangi. Tapi lama kelamaan pembajakan malah menjadi-jadi. Andrea curiga jangan-jangan lebih banyak karya bajakan yang dibeli dibanding karya aslinya. Ia pun akhirnya tahu pembajakan buku bukanlah membagi rezeki pada orang-orang yang ekonominya susah tapi malah memperkaya pebisnis buku bajakan itu sendiri.
Itulah mengapa karyanya yang terbaru, Two Trees saya pilih diterbitkan oleh penerbit asing. Namun Andrea tak sampai hati, bagaimana pun dari Indonesialah karya-karyanya bisa menjadi ‘besar’. Two Trees tetap diterbitkan di Indonesia, diterjemahkan menjadi novel berjudul “Ayah”. Novel Ayah ini rencananya akan diedarkan pada 6 Juli mendatang. Royaltinya nantinya akan digunakan untuk pembangunan sekolah. (ABDUL GAFUR)
Perupa Jerman Ramaikan Camping Art
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Tujuh perupa dari Jerman dan tujuh perupa dari Yogyakarta dipastikan ikut dalam Camping Art 2011 yang dilaksanakan Dewan Kesenian Lampung (DKL) di Pantai Pegadung, Kelumbayan, Tanggamus, pada 4—6 April mendatang.
Ketua Komite Seni Rupa DKL, Salvator Yen Joenaidi, mengatakan kegiatan ini untuk meningkatkan tali silaturahmi antarperupa, mengeksplorasi keindahan alam Lampung, sekaligus meningkatkan apresiasi dan energi dalam berseni.
"Kemah seni ini merupakan gebrakan awal kepengurusan Dewan Kesenian Lampung 2010-2011," kata dia.
Dalam event ini, DKL akan memperkenalkan kepada perupa Jerman dan Yogyakarta salah satu pemandangan Lampung yang elok di pantai Pegadung yang berada di kawasan Tanggamus.
"Ini salah satu langkah seniman dalam upaya menumbuhkembangkan dunia pariwisata Lampung. Jadi, setelah kembali, mereka tak hanya cerita tentang Jakarta, Bandung, Yogyakarta, tetapi mereka juga bisa bercerita tentang keindahan Lampung atau juga melalui karya rupa mereka," ujar Yen.
Menurut Yen, para perupa dari Jerman dan Yogyakarta tersebut tergabung dalam Crossing Sign Project yang melakukan road show ke Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Bali, dan Lampung.
Mereka antara lain Paul Pretzer, Ulrike Stolte, Yasmin Alt, Tilman, Fee Vogle, Franziska Fennet, Cosima Tribukeit.
Sementara seniman Yogyakarta adalah Deni Rahman, Rifki Sukma, Lashita Situmorang, Sigit Bapak, Indra Dodi, Lenny Ratnasari Weichert, dan Edo Pillu.
Ketua Umum DKL Syafariah Widianti mengatakan lewat Camping Art tersebut diharapkan para seniman seni rupa Lampung bisa menjalin silaturahmi dan mengenalkan keindahan Lampung ke dunia lewat karya seni.
"Ini sebuah kesempatan yang baik bagi kita untuk membuat jejaring dengan dunia Internasional. Mudah-mudahan kita bisa berbagi pengalaman, kali ini dengan seniman Jerman dan Yogyakarta, di waktu lain lain dengan seniman negara lain," ujar Atu Ayi, sapaan akrab ketua DKL.
Sebelum ikut dalam Kemah Seni di Tanggamus nanti, para perupa itu akan menggelar presentasi dan artist talk di Taman Budaya Lampung pada 4 April mendatang. (MG13/D-2)
Sumber: Lampung Post, Senin, 28 Maret 2011
Ketua Komite Seni Rupa DKL, Salvator Yen Joenaidi, mengatakan kegiatan ini untuk meningkatkan tali silaturahmi antarperupa, mengeksplorasi keindahan alam Lampung, sekaligus meningkatkan apresiasi dan energi dalam berseni.
"Kemah seni ini merupakan gebrakan awal kepengurusan Dewan Kesenian Lampung 2010-2011," kata dia.
Dalam event ini, DKL akan memperkenalkan kepada perupa Jerman dan Yogyakarta salah satu pemandangan Lampung yang elok di pantai Pegadung yang berada di kawasan Tanggamus.
"Ini salah satu langkah seniman dalam upaya menumbuhkembangkan dunia pariwisata Lampung. Jadi, setelah kembali, mereka tak hanya cerita tentang Jakarta, Bandung, Yogyakarta, tetapi mereka juga bisa bercerita tentang keindahan Lampung atau juga melalui karya rupa mereka," ujar Yen.
Menurut Yen, para perupa dari Jerman dan Yogyakarta tersebut tergabung dalam Crossing Sign Project yang melakukan road show ke Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Bali, dan Lampung.
Mereka antara lain Paul Pretzer, Ulrike Stolte, Yasmin Alt, Tilman, Fee Vogle, Franziska Fennet, Cosima Tribukeit.
Sementara seniman Yogyakarta adalah Deni Rahman, Rifki Sukma, Lashita Situmorang, Sigit Bapak, Indra Dodi, Lenny Ratnasari Weichert, dan Edo Pillu.
Ketua Umum DKL Syafariah Widianti mengatakan lewat Camping Art tersebut diharapkan para seniman seni rupa Lampung bisa menjalin silaturahmi dan mengenalkan keindahan Lampung ke dunia lewat karya seni.
"Ini sebuah kesempatan yang baik bagi kita untuk membuat jejaring dengan dunia Internasional. Mudah-mudahan kita bisa berbagi pengalaman, kali ini dengan seniman Jerman dan Yogyakarta, di waktu lain lain dengan seniman negara lain," ujar Atu Ayi, sapaan akrab ketua DKL.
Sebelum ikut dalam Kemah Seni di Tanggamus nanti, para perupa itu akan menggelar presentasi dan artist talk di Taman Budaya Lampung pada 4 April mendatang. (MG13/D-2)
Sumber: Lampung Post, Senin, 28 Maret 2011
March 26, 2011
Teater: Adaptasi Naskah Hidupkan Ide Lama
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pengadaptasian sebuah naskah mampu menghidupkan kembali ide-ide lama yang masih relevan menjadi ide-ide baru yang sesuai dengan kekinian. Untuk itu, pengadaptasian tidak boleh menghilangkan esensi dari naskah asli.
"Seperti naskah Antigon karya Sophacles. Dalam Antigon, isu-isu tentang perempuan dalam naskah itu masih sangat relevan dengan masa kini. Isu tentang kehidupan perempuan yang hidup dalam negara atau rezim yang patriarki tanpa menghilangkan kepentingan-kepentingan perempuan yang lain," kata Zen Hae, fasilitator pengadaptasian naskah dalam Panggung Perempuan Kala Sumatera 2011 yang diadakan Teater Satu Lampung bekerja sama dengan Yayasan Hivos, Taman Budaya Lampung, serta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lampung, Kamis (24-3).
Namun, dalam mengadaptasi sebuah naskah, menurut Wakil Ketua Bidang Kajian dan Kritik Dewan Kesenian Jakarta tersebut, seorang penafsir tidak boleh melupakan bahwa jalinan cerita harus logis atau masuk akal.
"Sebagai naskah sastra ataupun naskah fiksi, penafsir harus memperhatikan sesuatu yang tidak terjadi tetapi mungkin terjadi. Untuk itu cerita harus logis," katanya.
Terkait dengan tema Panggung Perempuan yang mengadaptasi naskah menjadi naskah teater yang berperspektif perempuan tersebut, menurut Zen, “sesuatu yang logis” itu dapat dengan lebih mudah diterapkan dalam bentuk naskah realis.
"Karena dalam Panggung Perempuan ini untuk kepentingan kampanye atau pemaparan ide-ide tentang keperempuanan, naskah realis adalah bentuk yang paling mudah untuk menggambarkan hal itu. Namun, tidak memungkinkan diterapkan dalam bentuk-bentuk yang lainnya. Tetapi jelas, bagi para peserta, bentuk realis ini adalah pijakan awal," kata dia. MG13/D-2
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 26 Maret 2011
"Seperti naskah Antigon karya Sophacles. Dalam Antigon, isu-isu tentang perempuan dalam naskah itu masih sangat relevan dengan masa kini. Isu tentang kehidupan perempuan yang hidup dalam negara atau rezim yang patriarki tanpa menghilangkan kepentingan-kepentingan perempuan yang lain," kata Zen Hae, fasilitator pengadaptasian naskah dalam Panggung Perempuan Kala Sumatera 2011 yang diadakan Teater Satu Lampung bekerja sama dengan Yayasan Hivos, Taman Budaya Lampung, serta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lampung, Kamis (24-3).
Namun, dalam mengadaptasi sebuah naskah, menurut Wakil Ketua Bidang Kajian dan Kritik Dewan Kesenian Jakarta tersebut, seorang penafsir tidak boleh melupakan bahwa jalinan cerita harus logis atau masuk akal.
"Sebagai naskah sastra ataupun naskah fiksi, penafsir harus memperhatikan sesuatu yang tidak terjadi tetapi mungkin terjadi. Untuk itu cerita harus logis," katanya.
Terkait dengan tema Panggung Perempuan yang mengadaptasi naskah menjadi naskah teater yang berperspektif perempuan tersebut, menurut Zen, “sesuatu yang logis” itu dapat dengan lebih mudah diterapkan dalam bentuk naskah realis.
"Karena dalam Panggung Perempuan ini untuk kepentingan kampanye atau pemaparan ide-ide tentang keperempuanan, naskah realis adalah bentuk yang paling mudah untuk menggambarkan hal itu. Namun, tidak memungkinkan diterapkan dalam bentuk-bentuk yang lainnya. Tetapi jelas, bagi para peserta, bentuk realis ini adalah pijakan awal," kata dia. MG13/D-2
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 26 Maret 2011
Lampung "Banjir" Durian Lokal
Bandarlampung, 26/3 (ANTARA)- Durian lokal selama seminggu terakhir mulai "membanjiri" sejumlah pasar dan lokasi strategis di Bandarlampung, namun harganya masih tergolong mahal jika dibandingkan dengan durian berasal dari luar daerah itu.
Sejumlah pedagang durian di Bandarlampung, Sabtu, menyebutkan, sebagian besar durian yang mereka jual adalah durian Lampung seperti berasal dari Kabupaten Lampung Selatan dan Pesawaran.
"Tahun lalu durian banyak didatangkan dari Sumatera Selatan dan Bengkulu, namun buah durian kali ini berasal dari daerah Lampung sendiri," kata salah satu pedagang durian di kawasan Kedaton, Handi.
Ia menjual durian dengan harga berkisar Rp10 ribu hingga Rp35 ribu per buah. Durian berukuran relatif kecil dijual Rp10 ribu, sedangkan ukuran besar Rp35 ribu per buah.
"Ini durian jatuhan, bukan diperam. Jadi mutunya lumayan bagus," katanya.
Ia mengaku, menghabiskan dana antara Rp500 ribu-Rp1 juta untuk membeli durian dari petani di perdesaan.
Durian itu kemudian dibawa ke Bandarlampung untuk dijual di sejumlah tempat strategis.
Penjualan durian juga marak di kawasan Jalan Way Halim Bandarlampung. Puluhan pedagang durian berjualan di pinggir jalan utama itu, termasuk malam hari.
Selain menjual durian lokal, mereka juga menjual durian impor.
Penjualan durian juga marak di daerah perbatasan antara Bandarlampung dengan Kabupaten Lampung Selatan dan Pesawaran seperti di kawasan Tarahan dan Lempasing.
Tahun lalu harga durian Sumsel dan Bengkulu yang dijual di Bandarlampung berkisar Rp5.000-Rp20.000 per buah.
Harga durian itu masih bisa turun jika pembeli pintar menawar atau durian itu sudah pecah akibat terlalu matang.
Sejumlah petani pemilik kebun durian di Lampung menyatakan bahwa produksi durian mereka sejak 2008 cenderung turun.
Seorang petani yang enggan disebutkan namanya, mengatakan bahwa pohon durian di kebunnya sejak tahun lalu tidak lagi menghasilkan buah karena bunganya rontok.
Petani yang memiliki kebun durian seluas 1,5 hektare itu memperkirakan, panen durian pada 2011 akan cukup banyak karena umumnya pohon durian sudah mulai berbuah.
Provinsi Lampung termasuk salah satu sentra penghasil durian di wilayah Sumatera, namun sebagian besar buah itu dipasok ke Pulau Jawa.
Pemerintah daerah setempat tetap berupaya mengembangkan agrowisata durian di daerah itu seperti di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Wan Abdul Rahman (WAR).
Informasi dari Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Wan Abdul Rahman, agrowisata durian dikembangkan di Desa Sumber Agung dengan menanam 1.030 pohon durian monthong di lahas seluas 17,7 hektare.
Sumber: Antara, Sabtu, 26 Maret 2011
Sejumlah pedagang durian di Bandarlampung, Sabtu, menyebutkan, sebagian besar durian yang mereka jual adalah durian Lampung seperti berasal dari Kabupaten Lampung Selatan dan Pesawaran.
"Tahun lalu durian banyak didatangkan dari Sumatera Selatan dan Bengkulu, namun buah durian kali ini berasal dari daerah Lampung sendiri," kata salah satu pedagang durian di kawasan Kedaton, Handi.
Ia menjual durian dengan harga berkisar Rp10 ribu hingga Rp35 ribu per buah. Durian berukuran relatif kecil dijual Rp10 ribu, sedangkan ukuran besar Rp35 ribu per buah.
"Ini durian jatuhan, bukan diperam. Jadi mutunya lumayan bagus," katanya.
Ia mengaku, menghabiskan dana antara Rp500 ribu-Rp1 juta untuk membeli durian dari petani di perdesaan.
Durian itu kemudian dibawa ke Bandarlampung untuk dijual di sejumlah tempat strategis.
Penjualan durian juga marak di kawasan Jalan Way Halim Bandarlampung. Puluhan pedagang durian berjualan di pinggir jalan utama itu, termasuk malam hari.
Selain menjual durian lokal, mereka juga menjual durian impor.
Penjualan durian juga marak di daerah perbatasan antara Bandarlampung dengan Kabupaten Lampung Selatan dan Pesawaran seperti di kawasan Tarahan dan Lempasing.
Tahun lalu harga durian Sumsel dan Bengkulu yang dijual di Bandarlampung berkisar Rp5.000-Rp20.000 per buah.
Harga durian itu masih bisa turun jika pembeli pintar menawar atau durian itu sudah pecah akibat terlalu matang.
Sejumlah petani pemilik kebun durian di Lampung menyatakan bahwa produksi durian mereka sejak 2008 cenderung turun.
Seorang petani yang enggan disebutkan namanya, mengatakan bahwa pohon durian di kebunnya sejak tahun lalu tidak lagi menghasilkan buah karena bunganya rontok.
Petani yang memiliki kebun durian seluas 1,5 hektare itu memperkirakan, panen durian pada 2011 akan cukup banyak karena umumnya pohon durian sudah mulai berbuah.
Provinsi Lampung termasuk salah satu sentra penghasil durian di wilayah Sumatera, namun sebagian besar buah itu dipasok ke Pulau Jawa.
Pemerintah daerah setempat tetap berupaya mengembangkan agrowisata durian di daerah itu seperti di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Wan Abdul Rahman (WAR).
Informasi dari Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Wan Abdul Rahman, agrowisata durian dikembangkan di Desa Sumber Agung dengan menanam 1.030 pohon durian monthong di lahas seluas 17,7 hektare.
Sumber: Antara, Sabtu, 26 Maret 2011
March 25, 2011
Budaya Lampung Tergerus Kemajuan Zaman
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Eksplorasi budaya lokal masyarakat Lampung belum tergarap optimal, bahkan kian tergerus kemajuan zaman. Oleh karena itu, kerja sama semua pihak perlu ditingkatkan.
Demikian hasil diskusi kebudayaan yang digelar Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung, di Gedung D FISIP Unila, Rabu (23-3).
Diskusi tersebut menghadirkan Toto Sucipto dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat, serta Pairulsyah, akademisi FISIP Universitas Lampung.
Sucipto memaparkan kearifan lokal atau kearifan tradisional dapat didefinisikan sebagai perangkat pengetahuan milik suatu masyarakat untuk menyelesaikan persoalan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Menurut dia, sebagai sebuah pengetahuan, kearifan lokal memberikan pemahaman kepada masyarakatnya untuk menjawab sesuatu, baik dari dalam lingkungan fisik maupun sosial budaya. Untuk itu penelitian mengenai lokalitas harus digalakkan, baik dalam ranah perguruan tinggi, pemerintah bahkan swasta.
Sedangkan Djadjat mengemukakan di beberapa daerah, seperti Yogyakarta, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Sumatera Utara, kearifan lokal terawat dengan baik karena perguruan tinggi di sana mempunyai komitmen kuat menjaganya.
"Sungguh sangat disayangkan jika sebelumnya Universitas Lampung yang dulu memiliki jurusan bahasa daerah Lampung, kini menutup program studi tersebut. Padahal, dengan adanya bidang studi khusus budaya ini kearifan lokal budaya Lampung dapat terjaga," kata dia.
Djadjat menambahkan Lampung memiliki potensi yang luar biasa, seperti Krakatau, nama yang begitu terkenal bagi masyarakat dunia. Festival Krakatau seharusnya mampu membakar, menjadi lokomotif, membawa kekayaan lokal Lampung ke pentas nasional bahkan internasional.
Menanggapi hal ini, Pairulsyah mengatakan saat ini Unila tengah mempersiapkan program studi S-1 bahasa Lampung. Penutupan D-3 bahasa Lampung, karena kebutuhan guru saat ini adalah berjenjang pendidikan S-1. Unila juga memiliki lembaga kajian budaya Lampung di bawah naungan Lembaga Penelitian Unila.
"Adanya seminar ini juga menunjukkan Jurusan Sosiologi FISIP Unila memiliki kepedulian terhadap pelestarian budaya. Ke depan kerja sama semua pihak, baik pemerintah, swasta, kalangan media massa hingga perguruan tinggi mutlak diperlukan agar lokalitas budaya Lampung dapat terangkat dalam level nasional, bahkan internasional," kata dia. (MG14/S-1)
Sumber: Lampung Post, Jumat, 25 Maret 2011
Demikian hasil diskusi kebudayaan yang digelar Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung, di Gedung D FISIP Unila, Rabu (23-3).
Diskusi tersebut menghadirkan Toto Sucipto dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat, serta Pairulsyah, akademisi FISIP Universitas Lampung.
Sucipto memaparkan kearifan lokal atau kearifan tradisional dapat didefinisikan sebagai perangkat pengetahuan milik suatu masyarakat untuk menyelesaikan persoalan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Menurut dia, sebagai sebuah pengetahuan, kearifan lokal memberikan pemahaman kepada masyarakatnya untuk menjawab sesuatu, baik dari dalam lingkungan fisik maupun sosial budaya. Untuk itu penelitian mengenai lokalitas harus digalakkan, baik dalam ranah perguruan tinggi, pemerintah bahkan swasta.
Sedangkan Djadjat mengemukakan di beberapa daerah, seperti Yogyakarta, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Sumatera Utara, kearifan lokal terawat dengan baik karena perguruan tinggi di sana mempunyai komitmen kuat menjaganya.
"Sungguh sangat disayangkan jika sebelumnya Universitas Lampung yang dulu memiliki jurusan bahasa daerah Lampung, kini menutup program studi tersebut. Padahal, dengan adanya bidang studi khusus budaya ini kearifan lokal budaya Lampung dapat terjaga," kata dia.
Djadjat menambahkan Lampung memiliki potensi yang luar biasa, seperti Krakatau, nama yang begitu terkenal bagi masyarakat dunia. Festival Krakatau seharusnya mampu membakar, menjadi lokomotif, membawa kekayaan lokal Lampung ke pentas nasional bahkan internasional.
Menanggapi hal ini, Pairulsyah mengatakan saat ini Unila tengah mempersiapkan program studi S-1 bahasa Lampung. Penutupan D-3 bahasa Lampung, karena kebutuhan guru saat ini adalah berjenjang pendidikan S-1. Unila juga memiliki lembaga kajian budaya Lampung di bawah naungan Lembaga Penelitian Unila.
"Adanya seminar ini juga menunjukkan Jurusan Sosiologi FISIP Unila memiliki kepedulian terhadap pelestarian budaya. Ke depan kerja sama semua pihak, baik pemerintah, swasta, kalangan media massa hingga perguruan tinggi mutlak diperlukan agar lokalitas budaya Lampung dapat terangkat dalam level nasional, bahkan internasional," kata dia. (MG14/S-1)
Sumber: Lampung Post, Jumat, 25 Maret 2011
March 22, 2011
Teater: Panggung Perempuan Awali Kala Sumatera
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Rangkaian pelatihan teater Kala Sumatera kembali digelar. Kala Sumatera ke-2 dibuka dengan Panggung Perempuan, pelatihan adaptasi naskah bagi sutradara-sutradara perempuan dan LSM Perempuan se-Sumatera di Wisma Chandra Senin—Minggu (21—26 Maret).
Manajer Operasional Kala Sumatera Imas Sobariah mengatakan Panggung Perempuan yang masuk ke dalam rangkaian Kala Sumatera 2011 tersebut sedikit berbeda dengan Panggung Perempuan Kala Sumatera 2009 yang memberikan pelatihan membuat naskah teater.
Menurut Imas, pada pelatihan kali ini, peserta akan lebih dibekali untuk bisa mengadaptasi naskah-naskah yang selama ini bersperspektif laki-laki menjadi naskah yang berperspektif perempuan.
"Kebanyakan naskah teater yang ada sekarang menitikberatkan laki-laki sebagai tokoh utama. Setelah pelatihan ini, para peserta diharapkan mampu mengadaptasi naskah itu menjadi naskah yang berperspektif atau bersudut pandang perempuan. Misalnya, naskah Nyi Ontosoroh yang diadaptasi dari novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer," kata Imas, Senin (21-3).
Untuk itu, kata dia, selain dibekali materi penyutradaraan dan penulisan lakon oleh Nurzein Hae (Dewan Kesenian Jakarta) dan Yudi Aryani (dosen Institut Seni Indonesia), sekitar 18 peserta yang berasal dari setiap provinsi di Sumatera itu juga dibekali dengan diskusi tentang perspektif gender yang diisi oleh Direktur LSM Damar S.N. Laila serta diskusi perspektif gender dari sudut pandang Islam oleh budayawan Iwan Nurdaya Djafar.
Kemudian pada April mendatang, kata Imas, para peserta yang telah memperolah pembekalan akan melokakaryakan ide cerita teaternya dalam pelatihan penyutradaraan.
"Naskah-naskah yang sudah diadaptasi kemudian dipentaskan dalam panggung se-Sumatera pada Juli mendatang," ujarnya. (MG13/K-1)
Sumber: Lampung Post, Selasa, 22 Maret 2011
Manajer Operasional Kala Sumatera Imas Sobariah mengatakan Panggung Perempuan yang masuk ke dalam rangkaian Kala Sumatera 2011 tersebut sedikit berbeda dengan Panggung Perempuan Kala Sumatera 2009 yang memberikan pelatihan membuat naskah teater.
Menurut Imas, pada pelatihan kali ini, peserta akan lebih dibekali untuk bisa mengadaptasi naskah-naskah yang selama ini bersperspektif laki-laki menjadi naskah yang berperspektif perempuan.
"Kebanyakan naskah teater yang ada sekarang menitikberatkan laki-laki sebagai tokoh utama. Setelah pelatihan ini, para peserta diharapkan mampu mengadaptasi naskah itu menjadi naskah yang berperspektif atau bersudut pandang perempuan. Misalnya, naskah Nyi Ontosoroh yang diadaptasi dari novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer," kata Imas, Senin (21-3).
Untuk itu, kata dia, selain dibekali materi penyutradaraan dan penulisan lakon oleh Nurzein Hae (Dewan Kesenian Jakarta) dan Yudi Aryani (dosen Institut Seni Indonesia), sekitar 18 peserta yang berasal dari setiap provinsi di Sumatera itu juga dibekali dengan diskusi tentang perspektif gender yang diisi oleh Direktur LSM Damar S.N. Laila serta diskusi perspektif gender dari sudut pandang Islam oleh budayawan Iwan Nurdaya Djafar.
Kemudian pada April mendatang, kata Imas, para peserta yang telah memperolah pembekalan akan melokakaryakan ide cerita teaternya dalam pelatihan penyutradaraan.
"Naskah-naskah yang sudah diadaptasi kemudian dipentaskan dalam panggung se-Sumatera pada Juli mendatang," ujarnya. (MG13/K-1)
Sumber: Lampung Post, Selasa, 22 Maret 2011
[Sosok] Ahmad Rapanie Igama: Menelusuri Jejak Samar Naskah Ulu
Oleh Irene Sarwindaningrum
MENGGALI kembali naskah Ulu ibarat menelusuri jejak yang samar. Serat kuno peninggalan masyarakat bagian ulu Sungai Musi itu tercecer dalam masyarakat dan di luar negeri. Sering kali naskah beraksara Kaganga ditemukan dalam keadaan sepenggal-sepenggal hingga sulit diketahui isinya. Ketiadaan dana dan hilangnya generasi yang mampu membacanya ikut mempersulit upaya pemerhati serat Ulu dan aksara Kaganga Sumatera Selatan, Ahmad Rapanie Igama, untuk mendalaminya.
Rapanie, sapaannya, adalah salah satu dari sedikit orang di Indonesia yang peduli pada aksara Kaganga atau aksara asli Sumatera bagian hulu Sungai Musi. Naskah Ulu ditulis dalam aksara Kaganga. Ia menjadi rujukan orang untuk mempelajari dan menelusuri aksara dan naskah yang nyaris punah itu.
Sejak 15 tahun lalu, lelaki yang telah menghasilkan beberapa karya sastra ini giat mempelajari aksara Kaganga dan naskah Ulu, meski tak ada imbalan untuk itu. Beberapa kali dia turut mengawal ekspedisi penelitian naskah Ulu yang diselenggarakan Balai Arkeologi Palembang ke sejumlah daerah di Sumatera Selatan.
Berbagai kesulitan ditemui dalam upaya penelusuran tersebut, mulai dari minimnya dana, kurangnya perhatian pemerintah, terputusnya generasi yang mampu membaca aksara Kaganga dan naskah Ulu, hingga keyakinan masyarakat yang membuat naskah Ulu tak dapat disentuh peneliti.
Berbagai kesulitan itu tak menghentikan niat Rapanie. Baginya, pencarian ini merupakan upaya ”menengok” masa lalu guna membangun fondasi masa depan.
”Serat Ulu menyimpan kearifan lokal dan budaya Sumsel. Di sini tersimpan jati diri kita sebagai bangsa yang mulai kabur. Bangsa kita seperti bergerak tanpa akar identitas yang jelas. Akibatnya, kita sering gamang dan mudah terpengaruh budaya asing,” katanya saat ditemui di kantornya, Taman Wisata dan Budaya Kerajaan Sriwijaya, Palembang.
Minatnya terhadap huruf dan naskah masyarakat asli Sumatera itu bermula tahun 1996. Ketika itu ia ditempatkan sebagai pamong budaya bidang filologi Museum Negeri Sumsel. Lulusan Sastra Indonesia ini masih asing terhadap aksara Kaganga dan serat Ulu.
Meski lahir di Sumsel, ia tak pernah diajari membaca aksara dan naskah asli masyarakatnya sendiri. Hal yang umum terjadi di Sumsel. Rasa ingin tahunya tergelitik melihat beberapa koleksi serat Ulu di Museum Negeri Sumsel. Namun, tak satu pun orang yang dia temui di Sumsel dapat membacanya.
”Ada satu orang yang mengaku bisa membaca aksara Kaganga. Tetapi, saat dia membaca serat Ulu, hasil pembacaannya berubah dari waktu ke waktu. Kata-katanya seolah tanpa makna. Dia bilang, serat itu buku mantra yang tak dimaksudkan bermakna. Saya sulit percaya karena setiap teks kuno pasti dibuat dengan makna tertentu dan biasanya merupakan ilmu yang dinilai layak ditularkan. Saya jadi bertekad mempelajari sendiri,” katanya.
Rapanie lalu menyeberang batas provinsi untuk menemui pakar aksara Kaganga dari Bengkulu, Sarwit Sarwono. Dalam pertemuan itu, Sarwit meminjamkan hasil penelitiannya mengenai aksara Kaganga dan serat Ulu. Empat tahun mempelajari hasil penelitian tersebut, Rapanie bisa membaca aksara Kaganga, termasuk filologinya.
Minatnya menelusuri serat Ulu semakin besar. Dalam beberapa ekspedisi penelitian, ia dan tim ekspedisi serat Ulu Balai Arkeologi Palembang berhasil mendokumentasikan serat Ulu yang tersebar di masyarakat. Hasil dokumentasi berupa foto dan catatan ini dia pelajari.
Sebagian besar serat Ulu hanya dapat didokumentasikan karena minimnya dana untuk membeli dari pemiliknya. Selain itu, sebagian pemilik menganggapnya sebagai warisan keluarga atau sejenis azimat.
”Kalau dana ada, seharusnya serat-serat itu dibeli dari masyarakat sehingga pelestarian dan penelitian bisa dilakukan secara lebih baik,” ucap Rapanie, yang menyesalkan minimnya perhatian pemerintah pada kelestarian serat Ulu. Aksara Kaganga juga jarang dikenalkan pada generasi muda.
Ia memperkirakan, setidaknya tiga generasi telah putus dari ingatan terhadap alfabet yang terdiri dari 28 aksara ini. Meski serat Ulu masih disimpan masyarakat, hampir semua pemiliknya tak bisa membaca serat-serat itu.
Naskah Ulu yang diperkirakan banyak ditulis antara 300-500 tahun lalu itu banyak yang rusak atau tercerai-berai karena dibagi sebagai warisan. ”Oleh masyarakat, naskah ulu ini ada yang tak boleh disentuh, ada yang hanya dibuka di waktu tertentu, dan ada yang harus menyembelih kerbau dulu,” tutur Rapanie.
Padahal, serat itu menyimpan ilmu praktis dan kearifan lokal. Beberapa serat berisi ilmu pengobatan, strategi berperang, dan ilmu agama. Naskah dari jenis kaghas (naskah di kulit kayu), gelumpai (di bilah bambu), buluh (di gelondongan bambu), dan naskah yang tertulis di tanduk seolah tak menjadi bagian sejarah Sumsel. Padahal, naskah ini relatif asli.
Berdasarkan sejarah, banyak pengaruh bangsa asing, seperti India, Arab, China, dan Belanda, di Sumsel. Namun, kekuasaan asing biasanya berpusat di hilir Sungai Musi. Di hulu Sungai Musi, budaya asli masyarakat bertahan, yang salah satunya didokumentasikan dalam serat Ulu.
”Kaganga disebut beberapa ahli sebagai aksara proto-Sumatera yang dikembangkan masyarakat hulu Sungai Musi. Aksara yang bentuknya kotak-kotak ini digunakan sebagian masyarakat di Bengkulu, Sumsel, hingga Jambi,” katanya.
Mengenalkan kembali
Upaya Rapanie memperkenalkan kembali naskah Ulu dituangkan dalam buku kompilasi cerita sejarah/purbakala Sumsel. Ia meyakini masih banyak ilmu praktis yang dituliskan dalam naskah Ulu. Pertengahan 2010, tim ekspedisi menemukan serat Ulu berisi diagram penanggalan, arah matahari, dan ilmu bercocok tanam.
Dari naskah di Museum Negeri Sumsel, ia mengetahui kuatnya multikulturalisme dalam masyarakat ratusan tahun lalu. Naskah beraksara Kaganga yang diperkirakan dari abad XVI itu berisi riwayat Nabi Muhammad SAW, dengan bahasa Jawa. Ini mencerminkan keberagaman budaya yang saling melengkapi, tanpa menghancurkan satu sama lain. Nilai ini dapat menguatkan toleransi bangsa yang semakin terkoyak.
”Saya menduga, ada naskah Ulu yang berisi ilmu bangunan karena dulu semua rumah adat menggunakan sistem bongkar pasang,” katanya.
Kesulitan pelestarian semakin bertambah dengan minimnya ahli yang bisa membaca aksara Kaganga. Terasa ironis karena pelestarian dan penelitian naskah Ulu justru dilakukan negara lain. Di Belanda diduga ada 182 naskah yang telah diteliti ahli Belanda.
”Saat bangsa sendiri melupakan, bangsa lain melestarikan dan menelitinya,” kata Rapanie.
Ahmad Rapanie Igama
• Lahir: Jambang Tiga, Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan, 23 Maret 1964 • Istri: Dian Susilastri (44) • Anak: - Tyasto Prima A (11)- Tyastri Sunyaninda (9) • Pendidikan:- SD Muhammadiyah No 2223 Samarinda- SMP Negeri 3 Magelang- SMA Negeri 3 Yogyakarta- Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada - Pascasarjana Sosiologi Pembangunan Sosial Universitas Indonesia • Pencapaian antara lain: - Ahli Serat Ulu dan Aksara Kaganga- Kepala Subbagian Tata Usaha Taman Wisata dan Budaya Kerajaan Sriwijaya
Sumber: Kompas, Selasa, 22 Maret 2011
MENGGALI kembali naskah Ulu ibarat menelusuri jejak yang samar. Serat kuno peninggalan masyarakat bagian ulu Sungai Musi itu tercecer dalam masyarakat dan di luar negeri. Sering kali naskah beraksara Kaganga ditemukan dalam keadaan sepenggal-sepenggal hingga sulit diketahui isinya. Ketiadaan dana dan hilangnya generasi yang mampu membacanya ikut mempersulit upaya pemerhati serat Ulu dan aksara Kaganga Sumatera Selatan, Ahmad Rapanie Igama, untuk mendalaminya.
Rapanie, sapaannya, adalah salah satu dari sedikit orang di Indonesia yang peduli pada aksara Kaganga atau aksara asli Sumatera bagian hulu Sungai Musi. Naskah Ulu ditulis dalam aksara Kaganga. Ia menjadi rujukan orang untuk mempelajari dan menelusuri aksara dan naskah yang nyaris punah itu.
Sejak 15 tahun lalu, lelaki yang telah menghasilkan beberapa karya sastra ini giat mempelajari aksara Kaganga dan naskah Ulu, meski tak ada imbalan untuk itu. Beberapa kali dia turut mengawal ekspedisi penelitian naskah Ulu yang diselenggarakan Balai Arkeologi Palembang ke sejumlah daerah di Sumatera Selatan.
Berbagai kesulitan ditemui dalam upaya penelusuran tersebut, mulai dari minimnya dana, kurangnya perhatian pemerintah, terputusnya generasi yang mampu membaca aksara Kaganga dan naskah Ulu, hingga keyakinan masyarakat yang membuat naskah Ulu tak dapat disentuh peneliti.
Berbagai kesulitan itu tak menghentikan niat Rapanie. Baginya, pencarian ini merupakan upaya ”menengok” masa lalu guna membangun fondasi masa depan.
”Serat Ulu menyimpan kearifan lokal dan budaya Sumsel. Di sini tersimpan jati diri kita sebagai bangsa yang mulai kabur. Bangsa kita seperti bergerak tanpa akar identitas yang jelas. Akibatnya, kita sering gamang dan mudah terpengaruh budaya asing,” katanya saat ditemui di kantornya, Taman Wisata dan Budaya Kerajaan Sriwijaya, Palembang.
Minatnya terhadap huruf dan naskah masyarakat asli Sumatera itu bermula tahun 1996. Ketika itu ia ditempatkan sebagai pamong budaya bidang filologi Museum Negeri Sumsel. Lulusan Sastra Indonesia ini masih asing terhadap aksara Kaganga dan serat Ulu.
Meski lahir di Sumsel, ia tak pernah diajari membaca aksara dan naskah asli masyarakatnya sendiri. Hal yang umum terjadi di Sumsel. Rasa ingin tahunya tergelitik melihat beberapa koleksi serat Ulu di Museum Negeri Sumsel. Namun, tak satu pun orang yang dia temui di Sumsel dapat membacanya.
”Ada satu orang yang mengaku bisa membaca aksara Kaganga. Tetapi, saat dia membaca serat Ulu, hasil pembacaannya berubah dari waktu ke waktu. Kata-katanya seolah tanpa makna. Dia bilang, serat itu buku mantra yang tak dimaksudkan bermakna. Saya sulit percaya karena setiap teks kuno pasti dibuat dengan makna tertentu dan biasanya merupakan ilmu yang dinilai layak ditularkan. Saya jadi bertekad mempelajari sendiri,” katanya.
Rapanie lalu menyeberang batas provinsi untuk menemui pakar aksara Kaganga dari Bengkulu, Sarwit Sarwono. Dalam pertemuan itu, Sarwit meminjamkan hasil penelitiannya mengenai aksara Kaganga dan serat Ulu. Empat tahun mempelajari hasil penelitian tersebut, Rapanie bisa membaca aksara Kaganga, termasuk filologinya.
Minatnya menelusuri serat Ulu semakin besar. Dalam beberapa ekspedisi penelitian, ia dan tim ekspedisi serat Ulu Balai Arkeologi Palembang berhasil mendokumentasikan serat Ulu yang tersebar di masyarakat. Hasil dokumentasi berupa foto dan catatan ini dia pelajari.
Sebagian besar serat Ulu hanya dapat didokumentasikan karena minimnya dana untuk membeli dari pemiliknya. Selain itu, sebagian pemilik menganggapnya sebagai warisan keluarga atau sejenis azimat.
”Kalau dana ada, seharusnya serat-serat itu dibeli dari masyarakat sehingga pelestarian dan penelitian bisa dilakukan secara lebih baik,” ucap Rapanie, yang menyesalkan minimnya perhatian pemerintah pada kelestarian serat Ulu. Aksara Kaganga juga jarang dikenalkan pada generasi muda.
Ia memperkirakan, setidaknya tiga generasi telah putus dari ingatan terhadap alfabet yang terdiri dari 28 aksara ini. Meski serat Ulu masih disimpan masyarakat, hampir semua pemiliknya tak bisa membaca serat-serat itu.
Naskah Ulu yang diperkirakan banyak ditulis antara 300-500 tahun lalu itu banyak yang rusak atau tercerai-berai karena dibagi sebagai warisan. ”Oleh masyarakat, naskah ulu ini ada yang tak boleh disentuh, ada yang hanya dibuka di waktu tertentu, dan ada yang harus menyembelih kerbau dulu,” tutur Rapanie.
Padahal, serat itu menyimpan ilmu praktis dan kearifan lokal. Beberapa serat berisi ilmu pengobatan, strategi berperang, dan ilmu agama. Naskah dari jenis kaghas (naskah di kulit kayu), gelumpai (di bilah bambu), buluh (di gelondongan bambu), dan naskah yang tertulis di tanduk seolah tak menjadi bagian sejarah Sumsel. Padahal, naskah ini relatif asli.
Berdasarkan sejarah, banyak pengaruh bangsa asing, seperti India, Arab, China, dan Belanda, di Sumsel. Namun, kekuasaan asing biasanya berpusat di hilir Sungai Musi. Di hulu Sungai Musi, budaya asli masyarakat bertahan, yang salah satunya didokumentasikan dalam serat Ulu.
”Kaganga disebut beberapa ahli sebagai aksara proto-Sumatera yang dikembangkan masyarakat hulu Sungai Musi. Aksara yang bentuknya kotak-kotak ini digunakan sebagian masyarakat di Bengkulu, Sumsel, hingga Jambi,” katanya.
Mengenalkan kembali
Upaya Rapanie memperkenalkan kembali naskah Ulu dituangkan dalam buku kompilasi cerita sejarah/purbakala Sumsel. Ia meyakini masih banyak ilmu praktis yang dituliskan dalam naskah Ulu. Pertengahan 2010, tim ekspedisi menemukan serat Ulu berisi diagram penanggalan, arah matahari, dan ilmu bercocok tanam.
Dari naskah di Museum Negeri Sumsel, ia mengetahui kuatnya multikulturalisme dalam masyarakat ratusan tahun lalu. Naskah beraksara Kaganga yang diperkirakan dari abad XVI itu berisi riwayat Nabi Muhammad SAW, dengan bahasa Jawa. Ini mencerminkan keberagaman budaya yang saling melengkapi, tanpa menghancurkan satu sama lain. Nilai ini dapat menguatkan toleransi bangsa yang semakin terkoyak.
”Saya menduga, ada naskah Ulu yang berisi ilmu bangunan karena dulu semua rumah adat menggunakan sistem bongkar pasang,” katanya.
Kesulitan pelestarian semakin bertambah dengan minimnya ahli yang bisa membaca aksara Kaganga. Terasa ironis karena pelestarian dan penelitian naskah Ulu justru dilakukan negara lain. Di Belanda diduga ada 182 naskah yang telah diteliti ahli Belanda.
”Saat bangsa sendiri melupakan, bangsa lain melestarikan dan menelitinya,” kata Rapanie.
Ahmad Rapanie Igama
• Lahir: Jambang Tiga, Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan, 23 Maret 1964 • Istri: Dian Susilastri (44) • Anak: - Tyasto Prima A (11)- Tyastri Sunyaninda (9) • Pendidikan:- SD Muhammadiyah No 2223 Samarinda- SMP Negeri 3 Magelang- SMA Negeri 3 Yogyakarta- Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada - Pascasarjana Sosiologi Pembangunan Sosial Universitas Indonesia • Pencapaian antara lain: - Ahli Serat Ulu dan Aksara Kaganga- Kepala Subbagian Tata Usaha Taman Wisata dan Budaya Kerajaan Sriwijaya
Sumber: Kompas, Selasa, 22 Maret 2011
Muatan Lokal: Kemampuan Guru Bahasa Lampung Ditingkatkan
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Dinas Pendidikan Provinsi Lampung akan meng-upgrade (meningkatkan) kembali kemampuan guru Bahasa Lampung dalam mengajar pelajaran bahasa daerah itu.
Kepala Bidang Penjaminan Mutu Tenaga Pendidik dan Kependidikan Disdik Provinsi Lampung Ria Andari menjelaskan hal itu, di ruang kerjanya, Senin (21-3).
"Kami telah mengeluarkan surat edaran agar masing-masing Dinas Pendidikan kabupaten dan kota segera menghimpun jumlah guru Bahasa Lampung yang ada sekarang, baik untuk tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP) maupun pendidikan menengah atas," ujarnya.
Saat ini, kata Ria, baru Kabupaten Lampung Barat, Lampung Tengah, Kota Metro, dan Lampung Timur yang telah meng-input data. Sedangkan untuk Kota Bandar Lampung, Way Kanan, Lampung Utara, Tulangbawang Barat, Tulangbawang, Mesuji, Lampung Selatan, Pesawaran, Pringsewu, dan Tanggamus belum memasukkan data.
"Saya mengimbau agar seluruh kabupaten dan kota mengindahkan surat edaran yang telah kami kirimkan. Dengan demikian, kita dapat memetakan kebutuhan dan kekurangan berdasarkan jumlah guru yang telah ada sekarang," kata Ria.
Ia menjelaskan pengadaan guru Bahasa Lampung saat ini memang menjadi kendala karena Undang-Undang Guru dan Dosen saat ini mengharuskan guru bergelar sarjana. Sedangkan hingga saat ini belum ada satu pun perguruan tinggi di Lampung yang membuka program ini.
Ia menambahkan jika melihat data yang sudah masuk, sebagian besar guru Bahasa Lampung berpendidikan SMA atau D-2 dan D-3. Untuk Kabupaten Lampung Barat, jumlah guru yang ada sekarang 301 orang; 269 guru SD dan 32 orang guru SMP. Dari Jumlah tersebut, 265 orang berpendidikan SMA, 1 orang berpendidikan D-2, dan 35 orang berpendidikan D-3.
Di Lampung Tengah, jumlah guru yang ada saat ini 760 orang; 667 (SD) dan 93 (SMP). Dari jumlah tersebut. 269 berijazah (SMA), 18 (D-1), 391 (D-2), 17 (D-3), dan 65 (S-1). Untuk Metro; Jumlah guru 52, terdiri dari 31 guru SD, 18 (SMP), dan 3 guru SMA. Dari jumlah tersebut 2 orang lulusan SMA, 2 (D-1), 22 (D-2), 8 (D-3), 16 (S-1) 2 (S-2).
Ria mengatakan meskipun ada, karena tidak dibekali oleh kemampuan akademis yang memadai, kualitas guru Bahasa Lampung saat ini belum cukup memadai. Untuk sementara kelemahan ini dapat ditutupi dengan melakukan pendidikan dan latihan terhadap guru yang ada. (MG14/S-1)
Sumber: Lampung Post, Selasa, 22 Maret 2011
Kepala Bidang Penjaminan Mutu Tenaga Pendidik dan Kependidikan Disdik Provinsi Lampung Ria Andari menjelaskan hal itu, di ruang kerjanya, Senin (21-3).
"Kami telah mengeluarkan surat edaran agar masing-masing Dinas Pendidikan kabupaten dan kota segera menghimpun jumlah guru Bahasa Lampung yang ada sekarang, baik untuk tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP) maupun pendidikan menengah atas," ujarnya.
Saat ini, kata Ria, baru Kabupaten Lampung Barat, Lampung Tengah, Kota Metro, dan Lampung Timur yang telah meng-input data. Sedangkan untuk Kota Bandar Lampung, Way Kanan, Lampung Utara, Tulangbawang Barat, Tulangbawang, Mesuji, Lampung Selatan, Pesawaran, Pringsewu, dan Tanggamus belum memasukkan data.
"Saya mengimbau agar seluruh kabupaten dan kota mengindahkan surat edaran yang telah kami kirimkan. Dengan demikian, kita dapat memetakan kebutuhan dan kekurangan berdasarkan jumlah guru yang telah ada sekarang," kata Ria.
Ia menjelaskan pengadaan guru Bahasa Lampung saat ini memang menjadi kendala karena Undang-Undang Guru dan Dosen saat ini mengharuskan guru bergelar sarjana. Sedangkan hingga saat ini belum ada satu pun perguruan tinggi di Lampung yang membuka program ini.
Ia menambahkan jika melihat data yang sudah masuk, sebagian besar guru Bahasa Lampung berpendidikan SMA atau D-2 dan D-3. Untuk Kabupaten Lampung Barat, jumlah guru yang ada sekarang 301 orang; 269 guru SD dan 32 orang guru SMP. Dari Jumlah tersebut, 265 orang berpendidikan SMA, 1 orang berpendidikan D-2, dan 35 orang berpendidikan D-3.
Di Lampung Tengah, jumlah guru yang ada saat ini 760 orang; 667 (SD) dan 93 (SMP). Dari jumlah tersebut. 269 berijazah (SMA), 18 (D-1), 391 (D-2), 17 (D-3), dan 65 (S-1). Untuk Metro; Jumlah guru 52, terdiri dari 31 guru SD, 18 (SMP), dan 3 guru SMA. Dari jumlah tersebut 2 orang lulusan SMA, 2 (D-1), 22 (D-2), 8 (D-3), 16 (S-1) 2 (S-2).
Ria mengatakan meskipun ada, karena tidak dibekali oleh kemampuan akademis yang memadai, kualitas guru Bahasa Lampung saat ini belum cukup memadai. Untuk sementara kelemahan ini dapat ditutupi dengan melakukan pendidikan dan latihan terhadap guru yang ada. (MG14/S-1)
Sumber: Lampung Post, Selasa, 22 Maret 2011
March 20, 2011
Pukau Kampung Semaka: Suara Lain dari Tanggamus
Oleh Iswadi Pratama
Vok Audita Perit Littera Scripta
(Suara yang didengar akan hilang, kalimat yang dituliskan akan tetap tinggal)
SAYA percaya puisi bisa lahir dari tangan siapa saja, kapan saja, di mana saja, dan dengan niat apa saja. Ia bisa ditulis oleh seorang Mc Arthur, komandan tempur pasukan AS pada PD II, di tengah kecamuk perang dan diniatkan sebagai ungkapan rasa kemanusiaannya yang tercabik dalam perang juga sebagai nasihat bagi anaknya.
Puisi juga bisa ditulis oleh seorang pemimpin bangsa seperti Ayatullah Khamaeni dan merupakan buah dari permenungannya tentang kebangsaan dan kebajikan. Puisi juga bisa ditulis oleh seorang penyair seperti Chairil Anwar dan memberi api bagi perjuangan bangsa Indonesia mengusir kolonialisme;
Dalam konteks perkembangan sastra di Indonesia saat ini—jika kita ibaratkan puisi seperti tetumbuhan—maka puisi telah tumbuh di lahan bahkan yang bukan lahan di mana pun. Di tengah silang sengkarut pertarungan ide, gagasan, wacana, isu sosial, budaya, dan politik. Di antara deru dan bising jalanan yang berdebu dan di samudra spiritualisme.
Itulah mengapa, hingga saat ini kita masih sering bergetar dan terpesona pada sebuah atau sebait, atau selarik kalimat—misalnya dari puisi karya Chairil Anwar. Puisi bisa mengaktifkan kembali sensibilitas kita, imajinasi, ingatan, gagasan, perasaan, atau bahkan mengaktifkan kembali saraf-saraf pada jantung atau otak kita yang lama tertidur.
Dengan paparan yang semenjana saja di atas, saya hendak memaklumkan kepada pembaca tentang apa yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tanggamus melalui penyelenggaraan Batu Bedil Award 2010 dan menerbitkan sebuah antologi bertajuk Pukau Kampung Semaka. Ini adalah sebuah upaya yang sangat cerdas yang pernah dilakukan oleh sebuah kabupaten di Provinsi Lampung dalam memperkenalkan dan mengembangkan potensi pariwisata di daerahnya.
Saya katakan sangat cerdas karena dengan adanya event ini menunjukkan sebuah orientasi yang lain dalam konsep pengembangan kepariwisataan dan kebudayaan. Selama ini, kita hanya mengenal bagaimana sebuah daerah mempromosikan dan mengembangkan potensi pariwisata di daerahnya dengan melulu berorientasi pada fisical arthefac (pendekatan pada pembangunan fisik semata). Sementara cultural arthefac, kurang mendapat perhatian—kecuali di daerah Jawa dan Bali.
Penulisan dan penerbitan buku puisi Pukau Kampung Semaka ini adalah produk intelektual sekaligus kultural yang sangat penting bukan saja untuk memperkenalkan keindahan alam dan pariwisata di Kabupaten Tanggamus. Lebih jauh dari itu, dengan kemahiran dan ketaksaan bahasa yang dimiliki para penyair yang karyanya termuat dalam antologi Pukau Kampung Semaka (selanjutnya saya singkat PKS) ini, kita tidak cuma diajak tamasya secara imajinatif ke lembah, gunung, laut, teluk, bukit, kebun lada, atau sawah. Tetapi juga disodori sejumlah ihwal yang pasti pernah, sedang, atau akan ada dalam ingatan seseorang tentang kampung halaman, tentang damai yang pernah singgah, cinta yang sempat merekah, rindu yang tak hendak kalah, hati yang kembali berdarah, atau sekadar angin mendesah, bukit-bukit yang pecah, rumah panggung yang rebah, desa kehilangan pesirah, atau ombak laut yang gelisah. Ah..
Dengan lembut Ahmad Musabbih melukiskan perasaan-perasaan semacam itu dalam sajaknya Menjaga Cinta di Teluk Kiluan: .....Di lubuk yang dijaga bukit-bukit/di teluk permohonan/tak ada yang dapat kucatat/juga kugambar/selain hati yang terus bergetar/berdebar oleh angin yang berpusar/dari hulu ke hilir/seperti sebelum kukulum bibir/yang rindu.
Jika keindahan alam membuat Ahmad Musabbih seperti kehabisan bahasa untuk mengungkapkannya, lebih dari sekadar ingatan tentang sesuatu yang indah, rasa kangen, atau keterpesonaan, sajak-sajak dalam antologi PKS ini acap membawa kita pada perasaan rawan. Seperti rasa sakit yang ingin segera disembuhkan, atau seperti rasa gundah dan kehilangan. Demikianlah Oky Sanjaya menulis dalam Pukau Kampung Semaka (sekaligus dijadikan judul antologi ini): Aku mulai melangkah/ingin membasuh muka/di sungai Semaka.//Dan air sungai berwarna cadas.
Ke-18 sajak dalam antologi ini seperti hendak memerikan pada kita betapa pesona dan pukau keindahan alam tidak semata-mata menjadi apa yang indah di mata (pancaindra), ia juga bergerak dari palung pikir dan rasa; yakni sebuah refleksi.
Puisi atau secara umum seni, memang hanya akan mungkin tumbuh dan berkembang dan diapresiasi dengan baik oleh masyarakatnya di sebuah tempat (peradaban) di mana nalar (akal sehat) mendapat mahkotanya sendiri. Lalu pada abad di mana industri dan pragmatisme telah menjadi darah masyarakat, hari ini kita masih bisa lega karena di Kabupaten Tanggamus ini, puisi masih bergema.
Melalui penerbitan antologi PKS ini, ketika hari-hari yang kita lewati kian terasa boyak karena nalar dan akal sehat makin sering “bolos” dari kehidupan, kita masih bisa menemukan suara dari sebuah pikiran juga ingatan yang bersendiri dan acap ditinggalkan dalam laju pembangunan. Suara lain dari sebuah puisi, sebuah suara yang mampu menggetarkan kembali dawai jiwa kita yang penat dan lelah, yang suntuk dan penuh marah, yang bingung atau putus asa.
Melalui antologi ini pula Pemerintah Kabupaten Tanggamus, khususnya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan lebih khusus lagi masyarakat Tanggamus, bukan saja telah memiliki sebuah produk budaya dan intelektual, melainkan juga sebuah oasis budaya.
Jika ditarik ke konteks yang lebih luas, antologi ini juga mengingatkan kita akan sesuatu yang mencemaskan; ihwal memudarnya fungsi-fungsi pemimpin adat yang sebelumnya memegang peranan amat penting dalam kehidupan sosial-religi masyarakat, masyarakat tradisional yang tercerabut dari akar-budayanya atau kehilangan sosok panutan-kulturalnya.
Ada juga sajak-sajak yang mencoba menghadapkan tradisi dan tema-tema globalisasi—meski tidak secara verbal. Tentang sebuah kampong atau lokus yang yang terus berkembang dari kota yang pasca-tradisional, modern, hingga post-modern. Apa yang lampau (tradisional) berbaur dengan apa yang paling mutakhir (kontemporer). Munculnya simbol-simbol budaya baru yang demikian beragam sementara simbol-simbol budaya lama juga berkukuh untuk hadir di antara segala kebaruan itu merupakan sebuah situasi di mana “makna” harus ditemukan kembali. Di mana segala sesuatu perlu diidentifikasi, di-redefenisi, atau ditafsirkan kembali agar manusia tidak tenggelam dalam segala bentuk perubahan yang berlangsung cepat.
Masyarakat modern yang hidup di pusat-pusat kota senantiasa disibukkan oleh "transaksi", hidup dalam kepungan benda-benda sehingga naluri untuk mengonsumsi senantiasa dipacu dan seolah menjadi satu-satunya cara untuk berbahagia. Masyarakat seperti ini adalah masyarakat yang telah kehilangan "jeda" untuk meng-heningkan diri; untuk ber-kontemplasi. "Masyarakat robot" yang telah kehilangan empati dan kemampuan untuk meraih makna-makna afektif dalam hidup. Masyarakat yang tidak mampu menentukan—secara bebas—makna hidupnya, tetapi dibentuk oleh sebuah desain besar bernama: kapitalisme.
Dalam konteks inilah, antologi Pukau Kampung Semaka yang merupakan kumpulan puisi terbitan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tanggamus ini menemukan alasan untuk terus menerus dibaca dan dikaji. n
Iswadi Pratama, penyair, Direktur Artistik Teater Satu Lampung.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Maret 2011
Vok Audita Perit Littera Scripta
(Suara yang didengar akan hilang, kalimat yang dituliskan akan tetap tinggal)
SAYA percaya puisi bisa lahir dari tangan siapa saja, kapan saja, di mana saja, dan dengan niat apa saja. Ia bisa ditulis oleh seorang Mc Arthur, komandan tempur pasukan AS pada PD II, di tengah kecamuk perang dan diniatkan sebagai ungkapan rasa kemanusiaannya yang tercabik dalam perang juga sebagai nasihat bagi anaknya.
Puisi juga bisa ditulis oleh seorang pemimpin bangsa seperti Ayatullah Khamaeni dan merupakan buah dari permenungannya tentang kebangsaan dan kebajikan. Puisi juga bisa ditulis oleh seorang penyair seperti Chairil Anwar dan memberi api bagi perjuangan bangsa Indonesia mengusir kolonialisme;
Dalam konteks perkembangan sastra di Indonesia saat ini—jika kita ibaratkan puisi seperti tetumbuhan—maka puisi telah tumbuh di lahan bahkan yang bukan lahan di mana pun. Di tengah silang sengkarut pertarungan ide, gagasan, wacana, isu sosial, budaya, dan politik. Di antara deru dan bising jalanan yang berdebu dan di samudra spiritualisme.
Itulah mengapa, hingga saat ini kita masih sering bergetar dan terpesona pada sebuah atau sebait, atau selarik kalimat—misalnya dari puisi karya Chairil Anwar. Puisi bisa mengaktifkan kembali sensibilitas kita, imajinasi, ingatan, gagasan, perasaan, atau bahkan mengaktifkan kembali saraf-saraf pada jantung atau otak kita yang lama tertidur.
Dengan paparan yang semenjana saja di atas, saya hendak memaklumkan kepada pembaca tentang apa yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tanggamus melalui penyelenggaraan Batu Bedil Award 2010 dan menerbitkan sebuah antologi bertajuk Pukau Kampung Semaka. Ini adalah sebuah upaya yang sangat cerdas yang pernah dilakukan oleh sebuah kabupaten di Provinsi Lampung dalam memperkenalkan dan mengembangkan potensi pariwisata di daerahnya.
Saya katakan sangat cerdas karena dengan adanya event ini menunjukkan sebuah orientasi yang lain dalam konsep pengembangan kepariwisataan dan kebudayaan. Selama ini, kita hanya mengenal bagaimana sebuah daerah mempromosikan dan mengembangkan potensi pariwisata di daerahnya dengan melulu berorientasi pada fisical arthefac (pendekatan pada pembangunan fisik semata). Sementara cultural arthefac, kurang mendapat perhatian—kecuali di daerah Jawa dan Bali.
Penulisan dan penerbitan buku puisi Pukau Kampung Semaka ini adalah produk intelektual sekaligus kultural yang sangat penting bukan saja untuk memperkenalkan keindahan alam dan pariwisata di Kabupaten Tanggamus. Lebih jauh dari itu, dengan kemahiran dan ketaksaan bahasa yang dimiliki para penyair yang karyanya termuat dalam antologi Pukau Kampung Semaka (selanjutnya saya singkat PKS) ini, kita tidak cuma diajak tamasya secara imajinatif ke lembah, gunung, laut, teluk, bukit, kebun lada, atau sawah. Tetapi juga disodori sejumlah ihwal yang pasti pernah, sedang, atau akan ada dalam ingatan seseorang tentang kampung halaman, tentang damai yang pernah singgah, cinta yang sempat merekah, rindu yang tak hendak kalah, hati yang kembali berdarah, atau sekadar angin mendesah, bukit-bukit yang pecah, rumah panggung yang rebah, desa kehilangan pesirah, atau ombak laut yang gelisah. Ah..
Dengan lembut Ahmad Musabbih melukiskan perasaan-perasaan semacam itu dalam sajaknya Menjaga Cinta di Teluk Kiluan: .....Di lubuk yang dijaga bukit-bukit/di teluk permohonan/tak ada yang dapat kucatat/juga kugambar/selain hati yang terus bergetar/berdebar oleh angin yang berpusar/dari hulu ke hilir/seperti sebelum kukulum bibir/yang rindu.
Jika keindahan alam membuat Ahmad Musabbih seperti kehabisan bahasa untuk mengungkapkannya, lebih dari sekadar ingatan tentang sesuatu yang indah, rasa kangen, atau keterpesonaan, sajak-sajak dalam antologi PKS ini acap membawa kita pada perasaan rawan. Seperti rasa sakit yang ingin segera disembuhkan, atau seperti rasa gundah dan kehilangan. Demikianlah Oky Sanjaya menulis dalam Pukau Kampung Semaka (sekaligus dijadikan judul antologi ini): Aku mulai melangkah/ingin membasuh muka/di sungai Semaka.//Dan air sungai berwarna cadas.
Ke-18 sajak dalam antologi ini seperti hendak memerikan pada kita betapa pesona dan pukau keindahan alam tidak semata-mata menjadi apa yang indah di mata (pancaindra), ia juga bergerak dari palung pikir dan rasa; yakni sebuah refleksi.
Puisi atau secara umum seni, memang hanya akan mungkin tumbuh dan berkembang dan diapresiasi dengan baik oleh masyarakatnya di sebuah tempat (peradaban) di mana nalar (akal sehat) mendapat mahkotanya sendiri. Lalu pada abad di mana industri dan pragmatisme telah menjadi darah masyarakat, hari ini kita masih bisa lega karena di Kabupaten Tanggamus ini, puisi masih bergema.
Melalui penerbitan antologi PKS ini, ketika hari-hari yang kita lewati kian terasa boyak karena nalar dan akal sehat makin sering “bolos” dari kehidupan, kita masih bisa menemukan suara dari sebuah pikiran juga ingatan yang bersendiri dan acap ditinggalkan dalam laju pembangunan. Suara lain dari sebuah puisi, sebuah suara yang mampu menggetarkan kembali dawai jiwa kita yang penat dan lelah, yang suntuk dan penuh marah, yang bingung atau putus asa.
Melalui antologi ini pula Pemerintah Kabupaten Tanggamus, khususnya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan lebih khusus lagi masyarakat Tanggamus, bukan saja telah memiliki sebuah produk budaya dan intelektual, melainkan juga sebuah oasis budaya.
Jika ditarik ke konteks yang lebih luas, antologi ini juga mengingatkan kita akan sesuatu yang mencemaskan; ihwal memudarnya fungsi-fungsi pemimpin adat yang sebelumnya memegang peranan amat penting dalam kehidupan sosial-religi masyarakat, masyarakat tradisional yang tercerabut dari akar-budayanya atau kehilangan sosok panutan-kulturalnya.
Ada juga sajak-sajak yang mencoba menghadapkan tradisi dan tema-tema globalisasi—meski tidak secara verbal. Tentang sebuah kampong atau lokus yang yang terus berkembang dari kota yang pasca-tradisional, modern, hingga post-modern. Apa yang lampau (tradisional) berbaur dengan apa yang paling mutakhir (kontemporer). Munculnya simbol-simbol budaya baru yang demikian beragam sementara simbol-simbol budaya lama juga berkukuh untuk hadir di antara segala kebaruan itu merupakan sebuah situasi di mana “makna” harus ditemukan kembali. Di mana segala sesuatu perlu diidentifikasi, di-redefenisi, atau ditafsirkan kembali agar manusia tidak tenggelam dalam segala bentuk perubahan yang berlangsung cepat.
Masyarakat modern yang hidup di pusat-pusat kota senantiasa disibukkan oleh "transaksi", hidup dalam kepungan benda-benda sehingga naluri untuk mengonsumsi senantiasa dipacu dan seolah menjadi satu-satunya cara untuk berbahagia. Masyarakat seperti ini adalah masyarakat yang telah kehilangan "jeda" untuk meng-heningkan diri; untuk ber-kontemplasi. "Masyarakat robot" yang telah kehilangan empati dan kemampuan untuk meraih makna-makna afektif dalam hidup. Masyarakat yang tidak mampu menentukan—secara bebas—makna hidupnya, tetapi dibentuk oleh sebuah desain besar bernama: kapitalisme.
Dalam konteks inilah, antologi Pukau Kampung Semaka yang merupakan kumpulan puisi terbitan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tanggamus ini menemukan alasan untuk terus menerus dibaca dan dikaji. n
Iswadi Pratama, penyair, Direktur Artistik Teater Satu Lampung.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Maret 2011
[Perjalanan] Sekelebat Festival Megou Pak
FESTIVAL Megou Pak kembali digelar di Menggala. Meskipun sudah yang ke-14, pergelaran budaya Tulangbawang itu tetap sebatas seremonial dan sesaat.
Melintas di jalintim Cakat Nyenyek, Menggala Timur, Rabu (16-3), suara gamelan tradisional membahana masuk telinga. Menengok ke kiri dari arah Menggala menuju Unit Dua, di jalan yang membelah rawa-rawa, terlihat kemeriahan pesta. Di lokasi yang ingin didedikasikan untuk wisata budaya itu sedang digelar acara Festival Megou Pak ke-14.
Akses masuk ke lokasi ini memang kurang menggambarkan aura pariwisata. Hanya gapura di jalan sempit dengan penunjuk arah di tengah perkampungan yang menjadi tanda. Ia kalah tenar dengan jembatan Way Tulangbawang atau tanjakan Cakat Nyenyek yang sering menelan korban kendaraan terbalik karena tidak sanggup menaiki tanjakan.
Luas lokasi itu tak terlalu lebih dari luas lapangan sepak bola. Beberapa bangunan etnik berupa rumah gadang, banjar Bali, rumah arsitektur Batak, dan miniatur candi mengelilingi lapangan.
Dari lokasi ini, pandangan mata memang bisa leluasa berkelana ke atas amparan ribuan hektare rawa-rawa Cakat Nyenyek. Lalu lintas jalintim dan Jembatan Tulangbawang menjadi aspek lain pemandangan.
Festival tahunan prakarsa Pemkab Tulangbawang itu digelar di lokasi itu, Rabu lalu. Sayang, ajang pariwisata ini hanya sekilas, sekelebatan seremonial dengan atraksi budaya. Selebihnya, sunyi lagi, senyap lagi. Padahal, berbagai pertunjukan yang sudah dipersiapkan itu cukup bagus. Namun, rakyat tidak sempat menikmati secara paripurna. Seolah mereka tampil hanya untuk menyambut tetamu yang hadir, bukan untuk tontonan rakyat sehingga masyarakat bisa ikut kebagian kebahagiaan.
Setelah para pejabat undur diri, tetabuhan dan atraksi budaya lainnya lerap, hening, dan hilang. Berikutnya, para seniman membusak make up, berganti pakaian, dan mengemas aneka gamelan ke kotaknya untuk diangkut truk. Karpet-karpet merah digulung, tenda diserimpung, dan Taman Wisata Cakat Raya sunyi kembali. Siang bersimpuh, lalu suara jangkrik menggantikan hiruk-pikuk.
Pada acara yang sekaligus memeriahkan HUT ke-14 Kabupaten Tulangbawang itu, Titin Sunarya hadir mewakili Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Dalam sambutannya, Titin menyatakan Tulangbawang punya potensi pariwisata yang cukup bagus jika dikelola serius.
Meskipun selintas, Festival Megou Pak Tulangbawang yang sudah diselenggarakan ke-14 kali bukan sekadar ajang pariwisata. Ini merupakan suatu wadah para seniman untuk menampilkan aktivitasnya.
Sebab, seniman tidak akan berkreasi kalau tidak ada tempat dan tidak ada wadah untuk menampilkan hasil karyanya dan tidak ada yang menontonnya. “Jadi kalau bupati bikin festival setiap tahunnya seperti ini sangat tepat dan bagus,” kata Titin.
Soal potensi pariwisata, Titin menilik banyaknya rawa pasang surut yang cukup luas, adanya lahan tebing, adanya sungai Tulangbawang yang cukup bagus. Ini semua, kata dia, merupakan modal untuk mengembang-tumbuhkan pariwisata.
Untuk memiliki tempat parawisata yang bagus dan banyak dikunjungi orang, perlu kerja keras dan harus bias mengemas dan meracik. Hal ini merupakan faktor penentunya. Peran pemerintah daerah juga sangat dibutuhkan. “Ajak rekan-rekan dari industri pariwisata tingkat lokal maupun nasional. Harus ada yang menjualnya ke Jakarta atau orang-orang di provinsi ini yang mestinya diajak bekerja sama”.
Pembukaan Festival Megou Pak Tulangbawang ditandai dengan melepaskan balon dan puluhan burung merpati di lokasi Wisata Cakat Raya.
Berbagai acara digelar, antara lain lomba lagu Lampung dan makan seruit Lampung bersama.
Defile kebudayaan yang diikuti oleh 15 kecamatan juga digelar dengan aneka budaya dan jenis prosesi tradisional, antara lain mengarak pengantin Lampung, tradisi cukuran bayi, dan berbagai karya tari tradisional dan kreasi, dan lain-lain.
Bupati Tulangbawang Abdurrachman Sarbini mengatakan di lokasi wisata Cakat Raya telah dibangun rumah adat. Di antaranya rumah adat Jawa, Bali, Batak, Minangkabau, dan Bali.
“Tahun ini akan kembali dibangun tujuh rumah adat lagi. Yaitu, rumah adat Aceh, Ambon, Papua, Bugis, Palembang, dan lainnya. Juga akan dibangun kolam renang dan kereta luncur.” (GUNTUR TARUNA/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Maret 2011
Melintas di jalintim Cakat Nyenyek, Menggala Timur, Rabu (16-3), suara gamelan tradisional membahana masuk telinga. Menengok ke kiri dari arah Menggala menuju Unit Dua, di jalan yang membelah rawa-rawa, terlihat kemeriahan pesta. Di lokasi yang ingin didedikasikan untuk wisata budaya itu sedang digelar acara Festival Megou Pak ke-14.
Akses masuk ke lokasi ini memang kurang menggambarkan aura pariwisata. Hanya gapura di jalan sempit dengan penunjuk arah di tengah perkampungan yang menjadi tanda. Ia kalah tenar dengan jembatan Way Tulangbawang atau tanjakan Cakat Nyenyek yang sering menelan korban kendaraan terbalik karena tidak sanggup menaiki tanjakan.
Luas lokasi itu tak terlalu lebih dari luas lapangan sepak bola. Beberapa bangunan etnik berupa rumah gadang, banjar Bali, rumah arsitektur Batak, dan miniatur candi mengelilingi lapangan.
Dari lokasi ini, pandangan mata memang bisa leluasa berkelana ke atas amparan ribuan hektare rawa-rawa Cakat Nyenyek. Lalu lintas jalintim dan Jembatan Tulangbawang menjadi aspek lain pemandangan.
Festival tahunan prakarsa Pemkab Tulangbawang itu digelar di lokasi itu, Rabu lalu. Sayang, ajang pariwisata ini hanya sekilas, sekelebatan seremonial dengan atraksi budaya. Selebihnya, sunyi lagi, senyap lagi. Padahal, berbagai pertunjukan yang sudah dipersiapkan itu cukup bagus. Namun, rakyat tidak sempat menikmati secara paripurna. Seolah mereka tampil hanya untuk menyambut tetamu yang hadir, bukan untuk tontonan rakyat sehingga masyarakat bisa ikut kebagian kebahagiaan.
Setelah para pejabat undur diri, tetabuhan dan atraksi budaya lainnya lerap, hening, dan hilang. Berikutnya, para seniman membusak make up, berganti pakaian, dan mengemas aneka gamelan ke kotaknya untuk diangkut truk. Karpet-karpet merah digulung, tenda diserimpung, dan Taman Wisata Cakat Raya sunyi kembali. Siang bersimpuh, lalu suara jangkrik menggantikan hiruk-pikuk.
Pada acara yang sekaligus memeriahkan HUT ke-14 Kabupaten Tulangbawang itu, Titin Sunarya hadir mewakili Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Dalam sambutannya, Titin menyatakan Tulangbawang punya potensi pariwisata yang cukup bagus jika dikelola serius.
Meskipun selintas, Festival Megou Pak Tulangbawang yang sudah diselenggarakan ke-14 kali bukan sekadar ajang pariwisata. Ini merupakan suatu wadah para seniman untuk menampilkan aktivitasnya.
Sebab, seniman tidak akan berkreasi kalau tidak ada tempat dan tidak ada wadah untuk menampilkan hasil karyanya dan tidak ada yang menontonnya. “Jadi kalau bupati bikin festival setiap tahunnya seperti ini sangat tepat dan bagus,” kata Titin.
Soal potensi pariwisata, Titin menilik banyaknya rawa pasang surut yang cukup luas, adanya lahan tebing, adanya sungai Tulangbawang yang cukup bagus. Ini semua, kata dia, merupakan modal untuk mengembang-tumbuhkan pariwisata.
Untuk memiliki tempat parawisata yang bagus dan banyak dikunjungi orang, perlu kerja keras dan harus bias mengemas dan meracik. Hal ini merupakan faktor penentunya. Peran pemerintah daerah juga sangat dibutuhkan. “Ajak rekan-rekan dari industri pariwisata tingkat lokal maupun nasional. Harus ada yang menjualnya ke Jakarta atau orang-orang di provinsi ini yang mestinya diajak bekerja sama”.
Pembukaan Festival Megou Pak Tulangbawang ditandai dengan melepaskan balon dan puluhan burung merpati di lokasi Wisata Cakat Raya.
Berbagai acara digelar, antara lain lomba lagu Lampung dan makan seruit Lampung bersama.
Defile kebudayaan yang diikuti oleh 15 kecamatan juga digelar dengan aneka budaya dan jenis prosesi tradisional, antara lain mengarak pengantin Lampung, tradisi cukuran bayi, dan berbagai karya tari tradisional dan kreasi, dan lain-lain.
Bupati Tulangbawang Abdurrachman Sarbini mengatakan di lokasi wisata Cakat Raya telah dibangun rumah adat. Di antaranya rumah adat Jawa, Bali, Batak, Minangkabau, dan Bali.
“Tahun ini akan kembali dibangun tujuh rumah adat lagi. Yaitu, rumah adat Aceh, Ambon, Papua, Bugis, Palembang, dan lainnya. Juga akan dibangun kolam renang dan kereta luncur.” (GUNTUR TARUNA/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Maret 2011
Buku: DKL Terbitkan ‘Sebait Pantun Bujang’
BANDAR LAMPUNG–Dewan Kesenian Lampung (DKL) menerbitkan buku Sebait Pantun Bujang yang merupakan kumpulan sajak Agit Yogi Subandi. Buku ini memuat 26 puisi karya penyair kelahiran Prabumulih pada 11 Juli 1985 yang kemudian dibesarkan dan menetap di Lampung.
Ketua Komite Sastra DKL, Ari Pahala Hutabarat, mengatakan agar lebih menumbuhkembangkan tradisi bersastra di Lampung, Komite Sastra berinisiatif menerbitkan sejumlah buku karya sastrawan muda Lampung yang mewarnai media sastra Indonesia beberapa tahun belakangan.
Menurut Ari, DKL juga segera menerbitkan buku Desis Ular (kumpulan sajak Arya Winanda), Mimpi Basah (kumpulan sajak Lupita Lukman), dan Cerita-Cerita dari Rumah No. 9 (kumpulan cerpen Alexander G.B.). (ZUL/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Maret 2011
[Fokus] RSBI, Rintihan Sekolah Bertarif Internasional?
Setelah lima tahun peluncuran rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), pemerintah memutuskan untuk mengevaluasi dan menghentikan izin baru sekolah bertarif tinggi itu.
JUMAT siang (18-3), satu ruang kelas RSBI di salah satu sekolah favorit di Bandar Lampung terasa santai. Meskipun sedang membahas sejarah bersama satu guru utama dan dua guru praktek, suasana belajar tidak seperti sekolah konvensional umumnya.
Hari itu, dalam kelas yang dominan warna krem dengan lantai karpet tebal, meja kayu, dan kursi stainless biru, suhu udara agak panas. Jendela-jendela kelas dibuka. Entah mengapa empat unit air conditioner (AC) yang terpasang di dua sisi kelas libur menyemburkan hawa dingin.
Saat itu, susunan kelas juga diubah menjadi beberapa kelompok diskusi. Meskipun demikian, suasana diskusi tidak secalak kelas diskusi. Siswa lebih banyak diam dan kurang interaktif. Hanya suara guru dan guru pendamping (guru PKL) yang sesekali memberi arahan dengan bahasa Inggris yang bercampung dengan bahasa Indonesia.
Interaksi yang kurang hidup ini mungkin disebabkan karena bahasa pengantarnya yang kurang begitu dikuasai. Mungkin ini salah satu yang problem membuat banyak pengamat pendidikan berkomentar sumbang soal RSBI. Mereka mengatakan mentransfer ilmu dengan bahasa yang belum 100% dikuasai akan membuat materi ilmu tidak sampai. Jika ini terus berlanjut, akan hilang satu tahapan ilmu dalam satu generasi sekolah.
Masalah lain juga masih sangat banyak pada pelaksanaan RSBI. Salah satunya adalah soal biaya. Standar tinggi yang diamanatkan undang-undang, ternyata tidak ditanggung pemerintah. Akibatnya, orang tua siswa kobol-kobol menggotong akibatnya.
Sejak awal diluncurkan, program kelas tinggi ini memang menuai kontroversi. Sebab, konsepnya tidak jelas, dan lebih mengedepankan kemampuan ekonomi dibandingkan kemampuan akademik siswa. Akibatnya, banyak siswa yang memiliki kemampuan akademik tinggi ditolak masuk program ini karena ketiadaan biaya. Kalaupun ada yang diterima, mereka terpaksa mundur teratur karena tidak sanggup memenuhi berbagai persyaratan lain yang sangat berat dan sulit dipenuhi siswa tidak mampu seperti membeli laptop, mengikuti les bahasa Inggris hingga membeli buku-buku berstandar internasional yang harganya selangit.
Seorang wali murid SMPN 2 Bandar Lampung mengatakan dia mengeluarkan minimal Rp2 juta/bulan untuk keperluan putrinya yang sekolah di sekolah favorit tersebut. "Selain SPP yang mencapai Rp300 ribu lebih, saya harus membayar les yang diadakan oleh guru yang sangat mahal yakni Rp150 ribu/bulan dengan empat kali pertemuan," kata Ria, seorang ibu di bilangan Sukarame.
Biaya cukup besar juga harus dibayarkan untuk les bahasa Inggris yang rata-rata Rp700 ribu hingga Rp1 juta untuk tiga bulan. Selain itu, untuk mengejar ketertinggalan di sekolah, dia terpaksa mengundang guru les privat ke rumah yang tarifnya Rp30 ribu hingga Rp50 ribu/jam. "Selain itu saya juga harus membayar langganan internet yang bervariasi nilainya setiap bulan antara Rp150 ribu—Rp300 ribu," kata dia.
Mahalnya biaya RSBI di sejumlah sekolah di Lampung, selama ini karena dana yang seharusnya ditanggung pemerintah daerah baik Provinsi maupun kabupaten/kota terpaksa dibebankan kepada orang tua.
Kepala SDN 2 Rawalaut Nusyirwan Zakki mengatakan beberapa keperluan siswa di kelas seperti pengadaan bangku, ruang multimedia dan AC terpaksa dibebankan kepada siswa.
"Namun, khusus untuk pembangunan fisik dan pengadaan laboratorium merupakan bantuan dari Kementerian Pendidikan," kata dia.
Biaya yang “mahal” harus ditanggung oleh sekolah karena sekolah yang berstatus RSBI diwajibkan memiliki sertifikat ISO dari lembaga internasional yang diakui. Untuk mendapatkannya sekolah mendapat bimbingan dari konsultan yang hingga saat ini baru tersedia di kota-kota besar seperti Jakarta dan Palembang. Konon, untuk mendapatkan satu lembar sertifikat ISO 9000:2001 sekolah harus mengucurkan dana Rp50 juta hingga Rp100 juta.
Menurut Nusyirwan, khusus untuk sertifikat ISO, dananya dibantu penuh Kementerian. "Jadi kami dibantu penuh oleh pemerintah dan tidak dibebankan kepada wali murid," kata dia.
Sementara itu, Kepala SMKN 4 Bandar Lampung Septiana mengatakan karena peminat SMK sebagian besar berasal dari kalangan menengah ke bawah, sekolahnya tidak menetapkan tarif mahal.
"Untuk biaya masuk sekolah Rp2 juta dan bisa diangsur, sedangkan untuk SPP biayanya Rp200 ribu/bulan," kata dia.
Baik Nusyirwan maupun Septiana sepakat bahwa sekolah memberi ruang kepada siswa tidak mampu untuk masuk ke sekolahnya. "Kami memberikan subsidi silang atau mencarikan beasiswa bagi siswa yang tidak mampu," kata Septiana.
Meskipun demikian, diakui atau tidak, saat ini yang bisa mengakses pendidikan di RSBI ini hanya siswa dengan strata ekonomi menengah ke atas. Sebab, dengan tuntutan “tinggi” seperti pengadaan berbagai alat-alat canggih dengan harga selangit, tentu tidak bisa dipenuhi oleh mereka yang berkantong tipis. (UNI/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Maret 2011
JUMAT siang (18-3), satu ruang kelas RSBI di salah satu sekolah favorit di Bandar Lampung terasa santai. Meskipun sedang membahas sejarah bersama satu guru utama dan dua guru praktek, suasana belajar tidak seperti sekolah konvensional umumnya.
Hari itu, dalam kelas yang dominan warna krem dengan lantai karpet tebal, meja kayu, dan kursi stainless biru, suhu udara agak panas. Jendela-jendela kelas dibuka. Entah mengapa empat unit air conditioner (AC) yang terpasang di dua sisi kelas libur menyemburkan hawa dingin.
Saat itu, susunan kelas juga diubah menjadi beberapa kelompok diskusi. Meskipun demikian, suasana diskusi tidak secalak kelas diskusi. Siswa lebih banyak diam dan kurang interaktif. Hanya suara guru dan guru pendamping (guru PKL) yang sesekali memberi arahan dengan bahasa Inggris yang bercampung dengan bahasa Indonesia.
Interaksi yang kurang hidup ini mungkin disebabkan karena bahasa pengantarnya yang kurang begitu dikuasai. Mungkin ini salah satu yang problem membuat banyak pengamat pendidikan berkomentar sumbang soal RSBI. Mereka mengatakan mentransfer ilmu dengan bahasa yang belum 100% dikuasai akan membuat materi ilmu tidak sampai. Jika ini terus berlanjut, akan hilang satu tahapan ilmu dalam satu generasi sekolah.
Masalah lain juga masih sangat banyak pada pelaksanaan RSBI. Salah satunya adalah soal biaya. Standar tinggi yang diamanatkan undang-undang, ternyata tidak ditanggung pemerintah. Akibatnya, orang tua siswa kobol-kobol menggotong akibatnya.
Sejak awal diluncurkan, program kelas tinggi ini memang menuai kontroversi. Sebab, konsepnya tidak jelas, dan lebih mengedepankan kemampuan ekonomi dibandingkan kemampuan akademik siswa. Akibatnya, banyak siswa yang memiliki kemampuan akademik tinggi ditolak masuk program ini karena ketiadaan biaya. Kalaupun ada yang diterima, mereka terpaksa mundur teratur karena tidak sanggup memenuhi berbagai persyaratan lain yang sangat berat dan sulit dipenuhi siswa tidak mampu seperti membeli laptop, mengikuti les bahasa Inggris hingga membeli buku-buku berstandar internasional yang harganya selangit.
Seorang wali murid SMPN 2 Bandar Lampung mengatakan dia mengeluarkan minimal Rp2 juta/bulan untuk keperluan putrinya yang sekolah di sekolah favorit tersebut. "Selain SPP yang mencapai Rp300 ribu lebih, saya harus membayar les yang diadakan oleh guru yang sangat mahal yakni Rp150 ribu/bulan dengan empat kali pertemuan," kata Ria, seorang ibu di bilangan Sukarame.
Biaya cukup besar juga harus dibayarkan untuk les bahasa Inggris yang rata-rata Rp700 ribu hingga Rp1 juta untuk tiga bulan. Selain itu, untuk mengejar ketertinggalan di sekolah, dia terpaksa mengundang guru les privat ke rumah yang tarifnya Rp30 ribu hingga Rp50 ribu/jam. "Selain itu saya juga harus membayar langganan internet yang bervariasi nilainya setiap bulan antara Rp150 ribu—Rp300 ribu," kata dia.
Mahalnya biaya RSBI di sejumlah sekolah di Lampung, selama ini karena dana yang seharusnya ditanggung pemerintah daerah baik Provinsi maupun kabupaten/kota terpaksa dibebankan kepada orang tua.
Kepala SDN 2 Rawalaut Nusyirwan Zakki mengatakan beberapa keperluan siswa di kelas seperti pengadaan bangku, ruang multimedia dan AC terpaksa dibebankan kepada siswa.
"Namun, khusus untuk pembangunan fisik dan pengadaan laboratorium merupakan bantuan dari Kementerian Pendidikan," kata dia.
Biaya yang “mahal” harus ditanggung oleh sekolah karena sekolah yang berstatus RSBI diwajibkan memiliki sertifikat ISO dari lembaga internasional yang diakui. Untuk mendapatkannya sekolah mendapat bimbingan dari konsultan yang hingga saat ini baru tersedia di kota-kota besar seperti Jakarta dan Palembang. Konon, untuk mendapatkan satu lembar sertifikat ISO 9000:2001 sekolah harus mengucurkan dana Rp50 juta hingga Rp100 juta.
Menurut Nusyirwan, khusus untuk sertifikat ISO, dananya dibantu penuh Kementerian. "Jadi kami dibantu penuh oleh pemerintah dan tidak dibebankan kepada wali murid," kata dia.
Sementara itu, Kepala SMKN 4 Bandar Lampung Septiana mengatakan karena peminat SMK sebagian besar berasal dari kalangan menengah ke bawah, sekolahnya tidak menetapkan tarif mahal.
"Untuk biaya masuk sekolah Rp2 juta dan bisa diangsur, sedangkan untuk SPP biayanya Rp200 ribu/bulan," kata dia.
Baik Nusyirwan maupun Septiana sepakat bahwa sekolah memberi ruang kepada siswa tidak mampu untuk masuk ke sekolahnya. "Kami memberikan subsidi silang atau mencarikan beasiswa bagi siswa yang tidak mampu," kata Septiana.
Meskipun demikian, diakui atau tidak, saat ini yang bisa mengakses pendidikan di RSBI ini hanya siswa dengan strata ekonomi menengah ke atas. Sebab, dengan tuntutan “tinggi” seperti pengadaan berbagai alat-alat canggih dengan harga selangit, tentu tidak bisa dipenuhi oleh mereka yang berkantong tipis. (UNI/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Maret 2011
[Fokus] Mutu Guru Kendala Utama RSBI
BERBAGAI kalangan di Bandar Lampung mendukung kebijakan pemerintah yang menghentikan pemberian izin baru RSBI mulai tahun ini. Untuk yang sudah ada, sebaiknya dievaluasi dan diperbaiki.
"Pemerintah sebaiknya tak hanya menghentikan pemberian izin baru RSBI. Pemerintah sebainya juga mengevaluasi 1.329 SD, SMP, dan SMA/SMK yang berstatus RSBI di Indonesia," kata Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Lampung Sutopo Ghani Nugroho, Kamis (10-3).
Ia menyarankan pemerintah segera menyiapkan aturan baru soal standar SBI di Indonesia. Dari kajian sementara Kementrian Pendidikan Nasional, pendanaan RSBI sebagian besar ditanggung orang tua dan Pemerintah Pusat.
Dukungan pendanaan dari pemerintah daerah justru minim. RSBI pun sebagian besar siswanya dari kalangan mampu.
Di sisi lain, alokasi 20% untuk siswa miskin yang mendapat beasiswa juga tidak dipenuhi RSBI. Dari kajian sementara juga terungkap, dana yang dimiliki RSBI sekitar 50% dialokasikan untuk sarana dan prasarana, sekitar 20% untuk pengembangan dan kesejahteraan guru, serta manajemen sekolah berkisar 10%persen.
Ia mengatakan berdasarkan evaluasi Dewan Pendidikan Provinsi Lampung, sebagian besar RSBI memiliki nilai yang cukup baik dalam hal manajerial pengelolaan sekolah. Namun, untuk tenaga pengajar, pendanaan, dan sarana prasarana masih kurang. Persepsi masyarakat tentang RSBI juga belum seragam.
Sementara itu, Kepala RSBI SMPN 1 Bandar Lampung, Haryanto, menyatakan pihaknya akan menunggu dan menjalankan apa pun keputusan dan peraturan yang tengah pemerintah siapkan. Terkait dengan pemberhentian pemberian izin baru, ia mengatakan ini langkah tepat. "Sebaiknya pemerintah fokus mengevaluasi dan memperbaiki RSBI yang telah ada," kata dia.
Ia berharap peraturan baru yang akan dibentuk nanti mampu menjabarkan sekolah RSBI lebih detail. Ia mengatakan peraturan yang ada saat ini masih multitafsir, baik oleh pemerintah sendiri, masyarakat, maupun penyelenggara RSBI.
Ia mengaku saat ini dukungan pemerintah daerah terhadap RSBI belum maksimal. Meskipun seluruh kepala pemerintahan kabupaten/kota di Provinsi Lampung termasuk gubernur telah membubuhkan tanda tangan dan menyatakan dukungannya terhadap RSBI di setiap daerah.
"Mengenai alokasi buat orang miskin sebenarnya sudah diterapkan, cuma bergantung pada kondisi karena kondisi siswa di masing-masing sekolah berlainan. Bisa saja jumlah orang miskin itu di bawah atau bahkan lebih dari 100%. Yang jelas, jika ada berapa pun jumlahnya, akan kami bebaskan," kata dia.
Mengenai pengadaan guru juga masih menjadi kendala. Ia mengatakan akan sulit terpenuhi jika hanya menunggu guru-guru yang ada menyelesaikan studi S-2 mereka. Sebaiknya, pemerintah membuka rekrutmen baru untuk guru RSBI ataupun memindahkan mereka yang telah bergelar S-2 untuk bertugas di sekolah RSBI.
Hal senada juga dikatakan Kepala SMPN 2 Bandar Lampung Sartono dan Kepala SMAN 2 Bandar Lampung Sobirin. Menurut mereka, dengan berubah status menjadi RSBI telah terjadi banyak peningkatan di sekolah. Para guru termotivasi dan pendanaan yang diberikan cukup signifikan untuk peningkatkan prasarana belajar di sekolah.
Mengenai kualitas guru, Sobirin mengatakan saat ini sekolah RSBI terkendala untuk menyediakan guru yang berkualitas sesuai dengan standar sekolah bertaraf internasional yang ditetapkan pemerintah.
Salah satu syaratnya 30% guru RSBI atau SBI harus bergelar magister, terutama untuk Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Berbagai kendala, kata Sobirin, yang paling utama adalah tidak adanya perguruan tinggi di Lampung yang menyelenggarakan program magister untuk Matematika dan IPA. Terlebih, jenjang pendidikan yang diharapkan adalah linier atau serumpun.
"Jika pendidikan sarjananya adalah pendidikan Fisika, program magisternya juga Fisika," kata Sobirin.
Untuk SMAN 2 Bandar Lampung, Sobirin memaparkan jumlah guru ada 80 orang PNS dan 17 honorer. Dari jumlah tersebut, 19 bergelar magister. Dengan demikian, baru 19,9 % guru SMAN 2 yang telah bergelar S-2. Namun, kata dia, untuk mata pelajaran yang disyaratkan, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, belum satu pun guru yang telah menempuh jenjang pendidikan magister. "Yang ada saat ini sebagian besar adalah S-2 untuk program studi Teknologi Pendidikan ataupun Manajemen Pendidikan. Namun, untuk IPS bahkan olahraga sekolah kami telah memiliki guru yang bergelar magister," kata dia.
Menurut dia, sebaiknya program RSBI itu dikelola langsung pemerintah dari awal. Dengan membangun sekolah baru dan merekrut guru-guru baru serta sarana-prasarana yang telah dipenuhi pemerintah.
Menurut Sobirin, meskipun guru RSBI yang bergelar master masih minim, hal ini ditutupi dengan penguasan kurikulum yang berkonten global. "Buktinya, lebih dari sepuluh siswa kami kuliah ke luar negeri, di antaranya Malaysia, Jerman, Jepang, Australia. Artinya, nilai yang kami berikan diakui di sana," kata dia. (ABDUL GOFUR/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Maret 2011
"Pemerintah sebaiknya tak hanya menghentikan pemberian izin baru RSBI. Pemerintah sebainya juga mengevaluasi 1.329 SD, SMP, dan SMA/SMK yang berstatus RSBI di Indonesia," kata Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Lampung Sutopo Ghani Nugroho, Kamis (10-3).
Ia menyarankan pemerintah segera menyiapkan aturan baru soal standar SBI di Indonesia. Dari kajian sementara Kementrian Pendidikan Nasional, pendanaan RSBI sebagian besar ditanggung orang tua dan Pemerintah Pusat.
Dukungan pendanaan dari pemerintah daerah justru minim. RSBI pun sebagian besar siswanya dari kalangan mampu.
Di sisi lain, alokasi 20% untuk siswa miskin yang mendapat beasiswa juga tidak dipenuhi RSBI. Dari kajian sementara juga terungkap, dana yang dimiliki RSBI sekitar 50% dialokasikan untuk sarana dan prasarana, sekitar 20% untuk pengembangan dan kesejahteraan guru, serta manajemen sekolah berkisar 10%persen.
Ia mengatakan berdasarkan evaluasi Dewan Pendidikan Provinsi Lampung, sebagian besar RSBI memiliki nilai yang cukup baik dalam hal manajerial pengelolaan sekolah. Namun, untuk tenaga pengajar, pendanaan, dan sarana prasarana masih kurang. Persepsi masyarakat tentang RSBI juga belum seragam.
Sementara itu, Kepala RSBI SMPN 1 Bandar Lampung, Haryanto, menyatakan pihaknya akan menunggu dan menjalankan apa pun keputusan dan peraturan yang tengah pemerintah siapkan. Terkait dengan pemberhentian pemberian izin baru, ia mengatakan ini langkah tepat. "Sebaiknya pemerintah fokus mengevaluasi dan memperbaiki RSBI yang telah ada," kata dia.
Ia berharap peraturan baru yang akan dibentuk nanti mampu menjabarkan sekolah RSBI lebih detail. Ia mengatakan peraturan yang ada saat ini masih multitafsir, baik oleh pemerintah sendiri, masyarakat, maupun penyelenggara RSBI.
Ia mengaku saat ini dukungan pemerintah daerah terhadap RSBI belum maksimal. Meskipun seluruh kepala pemerintahan kabupaten/kota di Provinsi Lampung termasuk gubernur telah membubuhkan tanda tangan dan menyatakan dukungannya terhadap RSBI di setiap daerah.
"Mengenai alokasi buat orang miskin sebenarnya sudah diterapkan, cuma bergantung pada kondisi karena kondisi siswa di masing-masing sekolah berlainan. Bisa saja jumlah orang miskin itu di bawah atau bahkan lebih dari 100%. Yang jelas, jika ada berapa pun jumlahnya, akan kami bebaskan," kata dia.
Mengenai pengadaan guru juga masih menjadi kendala. Ia mengatakan akan sulit terpenuhi jika hanya menunggu guru-guru yang ada menyelesaikan studi S-2 mereka. Sebaiknya, pemerintah membuka rekrutmen baru untuk guru RSBI ataupun memindahkan mereka yang telah bergelar S-2 untuk bertugas di sekolah RSBI.
Hal senada juga dikatakan Kepala SMPN 2 Bandar Lampung Sartono dan Kepala SMAN 2 Bandar Lampung Sobirin. Menurut mereka, dengan berubah status menjadi RSBI telah terjadi banyak peningkatan di sekolah. Para guru termotivasi dan pendanaan yang diberikan cukup signifikan untuk peningkatkan prasarana belajar di sekolah.
Mengenai kualitas guru, Sobirin mengatakan saat ini sekolah RSBI terkendala untuk menyediakan guru yang berkualitas sesuai dengan standar sekolah bertaraf internasional yang ditetapkan pemerintah.
Salah satu syaratnya 30% guru RSBI atau SBI harus bergelar magister, terutama untuk Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Berbagai kendala, kata Sobirin, yang paling utama adalah tidak adanya perguruan tinggi di Lampung yang menyelenggarakan program magister untuk Matematika dan IPA. Terlebih, jenjang pendidikan yang diharapkan adalah linier atau serumpun.
"Jika pendidikan sarjananya adalah pendidikan Fisika, program magisternya juga Fisika," kata Sobirin.
Untuk SMAN 2 Bandar Lampung, Sobirin memaparkan jumlah guru ada 80 orang PNS dan 17 honorer. Dari jumlah tersebut, 19 bergelar magister. Dengan demikian, baru 19,9 % guru SMAN 2 yang telah bergelar S-2. Namun, kata dia, untuk mata pelajaran yang disyaratkan, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, belum satu pun guru yang telah menempuh jenjang pendidikan magister. "Yang ada saat ini sebagian besar adalah S-2 untuk program studi Teknologi Pendidikan ataupun Manajemen Pendidikan. Namun, untuk IPS bahkan olahraga sekolah kami telah memiliki guru yang bergelar magister," kata dia.
Menurut dia, sebaiknya program RSBI itu dikelola langsung pemerintah dari awal. Dengan membangun sekolah baru dan merekrut guru-guru baru serta sarana-prasarana yang telah dipenuhi pemerintah.
Menurut Sobirin, meskipun guru RSBI yang bergelar master masih minim, hal ini ditutupi dengan penguasan kurikulum yang berkonten global. "Buktinya, lebih dari sepuluh siswa kami kuliah ke luar negeri, di antaranya Malaysia, Jerman, Jepang, Australia. Artinya, nilai yang kami berikan diakui di sana," kata dia. (ABDUL GOFUR/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Maret 2011
March 18, 2011
Pustaka: ‘Pukau Kampung Semaka’ Diluncurkan
KOTAAGUNG (Lampost): Peringatan HUT ke-14 Kabupaten Tanggamus tahun ini dimeriahkan dengan peluncuran buku puisi berjudul Pukau Kampung Semaka yang diselenggarakan Dinas Pariwisata dan Dinas Pendidikan setempat, hari ini (18-3), di Islamic Center Kotaagung.
Antologi yang berisi 18 puisi terbaik dari penyelenggaraan Batu Bedil Award 2010 pada Festival Teluk Semaka tahun lalu itu merupakan hasil pilihan dewan juri yang memilih puisi karya Oki Sanjaya berjudul Pukau Kampung Semaka dari 103 puisi yang mengikuti lomba cipta puisi.
Penggagas kegiatan, Alfian A. Husin, yang juga Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Tanggamus, menjelaskan perkembangan seni dan budaya harus terus dieksplorasi dengan gagasan-gagasan segar melalui dialog dan interaksi estetika.
"Terlebih, gagasan untuk menerbitkan buku puisi tentang Kabupaten Tanggamus bertepatan dengan hari ulang tahun kabupaten. Ini menjadi momentum yang tepat untuk mengajak keturutsertaan masyarakat membangun wilayah melalui pendekatan kultural," kata Kadis yang dekat dengan kalangan seniman ini.
Alfian mengemukakan pada mulanya puisi-puisi yang termuat dalam buku ini adalah peserta lomba cipta puisi tahun 2010. Semua pesertanya berasal dari seluruh Indonesia, mulai dari ujung barat Sumatera sampai ke Kalimantan dan Denpasar.
Alfian berharap buku ini akan menjadi salah satu tolok ukur bahwa masyarakat yang berada di dalam maupun di luar kabupaten, bahkan di luar Provinsi Lampung, mengetahui dengan baik potensi budaya-wisata di Tanggamus.
Selain memuat dua puisi karya Oki Sanjaya yang merupakan penyair muda Lampung, antologi puisi ini memuat karya-karya penulis Indonesia lainnya, seperti A'yat Safrana G. Khalili (Sumenep), Budhy Setiawan (Jakarta), Dhea Fitria Juhara (Jakarta), Dian Hartati (Bandung), dan Dwi Setyo Wibowo (Yogyakarta).
Selain itu, Edi Purwanto (Lampung Barat), Faisal Syahreza (Bandung), Kemas Feri Rahman (Bogor), Moh. Sofakul (Mustaqim-Blitar), Muh. Husen Arifin (Malang), Oky Sanjaya (Lampung), Sakti Wibowo (Jakarta), Wayan Sunarta (Bali), dan Zanila Aqsa (Jakarta).
Peluncuran buku langsung dilakukan Bupati Tanggamus Bambang Kurniawan dan akan diisi dengan pembacaan puisi oleh Oki Sanjaya sebagai peraih Batu Bedil Award 2010. (ZUL/D-3)
Sumber: Lampung Post, Jumat, 18 Maret 2011
Antologi yang berisi 18 puisi terbaik dari penyelenggaraan Batu Bedil Award 2010 pada Festival Teluk Semaka tahun lalu itu merupakan hasil pilihan dewan juri yang memilih puisi karya Oki Sanjaya berjudul Pukau Kampung Semaka dari 103 puisi yang mengikuti lomba cipta puisi.
Penggagas kegiatan, Alfian A. Husin, yang juga Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Tanggamus, menjelaskan perkembangan seni dan budaya harus terus dieksplorasi dengan gagasan-gagasan segar melalui dialog dan interaksi estetika.
"Terlebih, gagasan untuk menerbitkan buku puisi tentang Kabupaten Tanggamus bertepatan dengan hari ulang tahun kabupaten. Ini menjadi momentum yang tepat untuk mengajak keturutsertaan masyarakat membangun wilayah melalui pendekatan kultural," kata Kadis yang dekat dengan kalangan seniman ini.
Alfian mengemukakan pada mulanya puisi-puisi yang termuat dalam buku ini adalah peserta lomba cipta puisi tahun 2010. Semua pesertanya berasal dari seluruh Indonesia, mulai dari ujung barat Sumatera sampai ke Kalimantan dan Denpasar.
Alfian berharap buku ini akan menjadi salah satu tolok ukur bahwa masyarakat yang berada di dalam maupun di luar kabupaten, bahkan di luar Provinsi Lampung, mengetahui dengan baik potensi budaya-wisata di Tanggamus.
Selain memuat dua puisi karya Oki Sanjaya yang merupakan penyair muda Lampung, antologi puisi ini memuat karya-karya penulis Indonesia lainnya, seperti A'yat Safrana G. Khalili (Sumenep), Budhy Setiawan (Jakarta), Dhea Fitria Juhara (Jakarta), Dian Hartati (Bandung), dan Dwi Setyo Wibowo (Yogyakarta).
Selain itu, Edi Purwanto (Lampung Barat), Faisal Syahreza (Bandung), Kemas Feri Rahman (Bogor), Moh. Sofakul (Mustaqim-Blitar), Muh. Husen Arifin (Malang), Oky Sanjaya (Lampung), Sakti Wibowo (Jakarta), Wayan Sunarta (Bali), dan Zanila Aqsa (Jakarta).
Peluncuran buku langsung dilakukan Bupati Tanggamus Bambang Kurniawan dan akan diisi dengan pembacaan puisi oleh Oki Sanjaya sebagai peraih Batu Bedil Award 2010. (ZUL/D-3)
Sumber: Lampung Post, Jumat, 18 Maret 2011
March 17, 2011
Obituarium: Juri Sastra Rancage Meninggal Dunia
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Irfan Anshory (58), salah satu anggota dewan juri hadiah sastra Rancage untuk sastra Lampung, menghembuskan napas terakhirnya, Selasa (15-3), pukul 05.30.
Irfan meninggal dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung. Rencananya jenazah beliau akan dikebumikan di Lampung.
Irfan yang juga merupakan salah satu anggota Tim Tafsir Ilmiah Masjid Salman ITB tersebut meninggal dunia akibat menderita sakit sirosis hepatitis.
Pria kelahiran Talangpadang, Tanggamus, 18 November 1952 tersebut juga merupakan dewan juri hadiah sastra Rancage sejak 2008, saat Lampung pertama kali mendapatkan penghargaan hadiah sastra Rancage lewat buku kumpulan puisi Mak Dawah Mak Dibingi (2007) yang ditulis oleh Udo Z. Karzi.
"Kami sangat kehilangan atas sosok beliau. Beliau sangat peduli dengan kesenian dan kebudayaan Lampung, selain kesenian Sunda dan Indonesia pada umumnya," kata Udo Z. Karzi, Rabu (16-3).
Menurut Udo, di bidang kebudayaaan, Irfan adalah seorang penulis dalam tiga bahasa, yakni bahasa Lampung, bahasa Sunda, dan bahasa Indonesia. Selain itu, almarhum juga aktif di Yayasan Kebudayaan Rancage dan beberapa lembaga seni budaya lainnya.
"Terakhir, beliau adalah dewan juri hadiah sastra Rancage untuk sastra Lampung yang diberikan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage," ujarnya.
Semasa hidupnya, suami dari Nia Kurnia Sholihat dan seorang putri bernama Reina Fidelita ini menjadi instruktur Latihan Mujahid Dakwah (LMD) Masjid Salman Institut Teknik Bandung (ITB). Lulusan Farmasi ITB angkatan 1971 ini juga pernah menjadi pembimbing umrah dan haji di masjid kampus pertama di Indonesia tersebut.
Beliau juga merupakan Direktur Pendidikan Bimbingan Belajar Ganesha Operation dan penulis buku-buku Kimia SMA untuk penerbit Ganeca Exact, Armico, dan Erlangga.
Irfan juga pernah aktif di Partai Amanat Nasional sebagai ketua DPW PAN Jawa Barat periode 1998—2000, ketua Fraksi PAN DPRD Provinsi Jawa Barat periode 1999—2001, dan ketua Komisi F Bidang Sumber Daya Alam dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) DPRD Provinsi Jawa Barat periode 2002—2004.
Cukup banyak organisasi yang pernah dijambangi beliau. Di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sendiri, Irfan pernah menjadi ketua umum HMI Korkom ITB periode 1974—1975, ketua Bidang Kader HMI Cabang Bandung periode 1975—1976, ketua Bidang Kader HMI Badko Jawa Barat periode 1976—1978, dan Ketua Bidang Kader PB HMI periode 1979—1981.
Irfan juga pernah aktif di Pemuda Muhammadiyah. Amanah yang pernah diembannya adalah ketua umum Pemuda Muhammadiyah Wilayah Jawa Barat periode 1981—1985, ketua PP Pemuda Muhammadiyah periode 1985—1989, wakil ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Barat periode 1995—2000, dan anggota Tanwir PP Muhammadiyah. (MG13/K-1)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 17 Maret 2011
Irfan meninggal dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung. Rencananya jenazah beliau akan dikebumikan di Lampung.
Irfan yang juga merupakan salah satu anggota Tim Tafsir Ilmiah Masjid Salman ITB tersebut meninggal dunia akibat menderita sakit sirosis hepatitis.
Pria kelahiran Talangpadang, Tanggamus, 18 November 1952 tersebut juga merupakan dewan juri hadiah sastra Rancage sejak 2008, saat Lampung pertama kali mendapatkan penghargaan hadiah sastra Rancage lewat buku kumpulan puisi Mak Dawah Mak Dibingi (2007) yang ditulis oleh Udo Z. Karzi.
"Kami sangat kehilangan atas sosok beliau. Beliau sangat peduli dengan kesenian dan kebudayaan Lampung, selain kesenian Sunda dan Indonesia pada umumnya," kata Udo Z. Karzi, Rabu (16-3).
Menurut Udo, di bidang kebudayaaan, Irfan adalah seorang penulis dalam tiga bahasa, yakni bahasa Lampung, bahasa Sunda, dan bahasa Indonesia. Selain itu, almarhum juga aktif di Yayasan Kebudayaan Rancage dan beberapa lembaga seni budaya lainnya.
"Terakhir, beliau adalah dewan juri hadiah sastra Rancage untuk sastra Lampung yang diberikan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage," ujarnya.
Semasa hidupnya, suami dari Nia Kurnia Sholihat dan seorang putri bernama Reina Fidelita ini menjadi instruktur Latihan Mujahid Dakwah (LMD) Masjid Salman Institut Teknik Bandung (ITB). Lulusan Farmasi ITB angkatan 1971 ini juga pernah menjadi pembimbing umrah dan haji di masjid kampus pertama di Indonesia tersebut.
Beliau juga merupakan Direktur Pendidikan Bimbingan Belajar Ganesha Operation dan penulis buku-buku Kimia SMA untuk penerbit Ganeca Exact, Armico, dan Erlangga.
Irfan juga pernah aktif di Partai Amanat Nasional sebagai ketua DPW PAN Jawa Barat periode 1998—2000, ketua Fraksi PAN DPRD Provinsi Jawa Barat periode 1999—2001, dan ketua Komisi F Bidang Sumber Daya Alam dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) DPRD Provinsi Jawa Barat periode 2002—2004.
Cukup banyak organisasi yang pernah dijambangi beliau. Di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sendiri, Irfan pernah menjadi ketua umum HMI Korkom ITB periode 1974—1975, ketua Bidang Kader HMI Cabang Bandung periode 1975—1976, ketua Bidang Kader HMI Badko Jawa Barat periode 1976—1978, dan Ketua Bidang Kader PB HMI periode 1979—1981.
Irfan juga pernah aktif di Pemuda Muhammadiyah. Amanah yang pernah diembannya adalah ketua umum Pemuda Muhammadiyah Wilayah Jawa Barat periode 1981—1985, ketua PP Pemuda Muhammadiyah periode 1985—1989, wakil ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Barat periode 1995—2000, dan anggota Tanwir PP Muhammadiyah. (MG13/K-1)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 17 Maret 2011
Festival Megou Pak Ikon Wisata
MENGGALA (Lampost): Festival Megou Pak merupakan salah satu daya tarik wisata yang ada di Lampung. Untuk mewujudkan pariwisata yang berkelas nasional, bahkan internasional, dibutuhkan kerja sama semua pihak, termasuk pers.
Hal itu dikatakan perwakilan Menteri Budaya dan Pariwisata Titin Sunarya saat pembukaan Festival Megou Pak, di lokasi Wisata Cakat Raya, sekaligus perayaan HUT ke-14 Tulangbawang, Rabu (16-3).
"Festival Megou Pak bukan hanya suatu daya tarik, melainkan juga sebagai wadah seniman untuk menampilkan aktivitasnya. Seniman tidak akan semangat berkreasi jika tidak ada tempat," kata Titin.
Sehingga, kata Titin, jika Bupati Tulangbawang membuat Festival Megou Pak, merupakan langkah tepat. "Maka, kegiatan ini jangan hanya dipandang sebuah pesta. Tapi dengan kegiatan ini, terus tumbuhkan budaya dan seni daerah," kata dia.
Menurut Titin, budaya dan seni daerah merupakan dua potensi besar pariwisata di Tulangbawang. Sebab, budaya dan seni di Tulangbawang ini menunjukkan multikultur dan adanya perbedaan budaya. "Perbedaan itulah yang dapat dijadikan modal kuat dalam pariwisata," kata dia.
Sekarang, kata Titin, bagaimana daya tarik alam, seni, dan budaya yang ada di Tulangbawang dapat dikemas dalam dalam kegiatan yang memiliki nilai jual di tingkat nasional dan internasional.
"Tinggal siapa yang mau menjualnya ke Jakarta. Atau, kita ajak wisatawan luar daerah ke sini, atau ajak pers ikut mempromosikan pariwisata. Sebab, menjual pariwisata jangan terpenggal-penggal," kata Titin.
Lomba dan Kuliner
Pembukaan Festival Megou Pak diawali dengan menerbangkan balon dan merpati yang dilakukan perwakilan Kementerian Budaya dan Pariwisata. Dalam festival itu juga digelar berbagai lomba dan kegiatan sosial yang sudah dilaksanakan sejak 1 Maret—16 Maret 2011.
Kegiatan lomba, meliputi jalan sehat, mewarnai, lomba sepeda santai, serta kegiatan kebersihan lingkungan yang dilaksanakan Pemkab dan warga Tulangbawang.
Lomba lagu Lampung dan kuliner dengan seruit Lampung yang menjadi makanan khas daerah juga dihadirkan dalam pembukaan Festival Megou Pak yang diikuti 15 kecamatan di Tulangbawang.
"Saya berharap festival ini menjadi salah satu agenda Visit Indonesia Years dan dapat mendatangkan turis asing maupun lokal ke Tulangbawang. Festival ini diharapkan menjadikan Tulangbawang daerah pariwisata terbaik di Lampung," kata dia.
Apalagi, sebagai daerah yang dikelilingi rawa-rawa, kata Titin, Tulangbawang dapat dijadikan kawasan agrowisata yang sangat indah.
Sementara itu, Bupati Tulangbawang Abdurrachman Sarbini mengatakan saat ini pihaknya sedang membangun tujuh rumah adat dari luar daerah di kawasan wisata Cakat Raya.
"Tahun ini saya akan membangun tujuh rumah adat, di antaranya rumah adat Aceh, Ambon, Papua, dan Bugis di kawasan wisata Cakat raya. Pembangunan rumah adat ini disetujui DPRD Tulangbawang. Saya juga akan membangun kereta gantung di kawasan ini," kata Bupati. (CK-5/UNA/D-3)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 17 Maret 2011
Hal itu dikatakan perwakilan Menteri Budaya dan Pariwisata Titin Sunarya saat pembukaan Festival Megou Pak, di lokasi Wisata Cakat Raya, sekaligus perayaan HUT ke-14 Tulangbawang, Rabu (16-3).
"Festival Megou Pak bukan hanya suatu daya tarik, melainkan juga sebagai wadah seniman untuk menampilkan aktivitasnya. Seniman tidak akan semangat berkreasi jika tidak ada tempat," kata Titin.
Sehingga, kata Titin, jika Bupati Tulangbawang membuat Festival Megou Pak, merupakan langkah tepat. "Maka, kegiatan ini jangan hanya dipandang sebuah pesta. Tapi dengan kegiatan ini, terus tumbuhkan budaya dan seni daerah," kata dia.
Menurut Titin, budaya dan seni daerah merupakan dua potensi besar pariwisata di Tulangbawang. Sebab, budaya dan seni di Tulangbawang ini menunjukkan multikultur dan adanya perbedaan budaya. "Perbedaan itulah yang dapat dijadikan modal kuat dalam pariwisata," kata dia.
Sekarang, kata Titin, bagaimana daya tarik alam, seni, dan budaya yang ada di Tulangbawang dapat dikemas dalam dalam kegiatan yang memiliki nilai jual di tingkat nasional dan internasional.
"Tinggal siapa yang mau menjualnya ke Jakarta. Atau, kita ajak wisatawan luar daerah ke sini, atau ajak pers ikut mempromosikan pariwisata. Sebab, menjual pariwisata jangan terpenggal-penggal," kata Titin.
Lomba dan Kuliner
Pembukaan Festival Megou Pak diawali dengan menerbangkan balon dan merpati yang dilakukan perwakilan Kementerian Budaya dan Pariwisata. Dalam festival itu juga digelar berbagai lomba dan kegiatan sosial yang sudah dilaksanakan sejak 1 Maret—16 Maret 2011.
Kegiatan lomba, meliputi jalan sehat, mewarnai, lomba sepeda santai, serta kegiatan kebersihan lingkungan yang dilaksanakan Pemkab dan warga Tulangbawang.
Lomba lagu Lampung dan kuliner dengan seruit Lampung yang menjadi makanan khas daerah juga dihadirkan dalam pembukaan Festival Megou Pak yang diikuti 15 kecamatan di Tulangbawang.
"Saya berharap festival ini menjadi salah satu agenda Visit Indonesia Years dan dapat mendatangkan turis asing maupun lokal ke Tulangbawang. Festival ini diharapkan menjadikan Tulangbawang daerah pariwisata terbaik di Lampung," kata dia.
Apalagi, sebagai daerah yang dikelilingi rawa-rawa, kata Titin, Tulangbawang dapat dijadikan kawasan agrowisata yang sangat indah.
Sementara itu, Bupati Tulangbawang Abdurrachman Sarbini mengatakan saat ini pihaknya sedang membangun tujuh rumah adat dari luar daerah di kawasan wisata Cakat Raya.
"Tahun ini saya akan membangun tujuh rumah adat, di antaranya rumah adat Aceh, Ambon, Papua, dan Bugis di kawasan wisata Cakat raya. Pembangunan rumah adat ini disetujui DPRD Tulangbawang. Saya juga akan membangun kereta gantung di kawasan ini," kata Bupati. (CK-5/UNA/D-3)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 17 Maret 2011
March 16, 2011
Mengatasi Kemiskinan Petani Lampung
Oleh Erwin Octavianto
BEBERAPA waktu lalu dalam forum penyuluhan dan pegambangan pertanian, Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. menyatakan 60% warga Lampung dengan mata pencarian di sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan (PPK) hidup dalam kondisi kekurangan (miskin), baik dari sisi ekonomi maupun akses sumber daya.
Kemiskinan petani memang merupakan masalah klasik yang sampai saat ini masih belum dapat terselesaikan dengan baik. Salah satu penyebab tingginya tingkat kemiskinan di sektor pertanian karena kepemilikan lahan petani rata-rata berada di bawah satu hektare sehingga keuntungan dari usaha tani mereka sangat kecil.
Padahal kita ketahui pertanian adalah sektor utama yang mendominasi perekonomian Provinsi Lampung. Namun, sektor pertanian tidak mengalami perkembangan yang cukup berarti di provinsi ini karena setiap tahunnnya selalu mengalami penurunan pertumbuhan. Tak bisa dimungkiri sektor ini merupakan sektor kasar yang nilainya jualnya masih sangat rendah. Jika sektor ini terus dibiarkan tanpa adanya sektor penunjang yang dapat meningkatkan nilai tambah produknya, sudah pasti Provinsi Lampung akan mengalami stagnasi pertumbuhan ekonomi.
Jika sektor ini mengalami stagnasi, apa pun yang kita usahakan untuk menaikkan pendapatan petani dan usaha pertanian tak akan membantu sepenuhnya. Sedang lapangan kerja sangat terbatas membuat usaha pertanian masih menjadi andalan sebagai mata pencaharian sebagian besar masyarakat Provinsi Lampung. Akibatnya, dengan kepemilikan lahan pertanian yang sempit itu sehingga usaha di sektor pertanian menjadi tidak ekonomis dan tidak mampu memberi keuntungan yang cukup bagi petani.
Dari hasil survei kami (PSKD) terhadap masyarakat miskin di beberapa desa-desa terpencil di wilayah di Provinsi Lampung, seperti di Tanggamus dan di Way Kanan. Rata-rata pendapatan per bulan petani di daerah tersebut tidak lebih dari 500 ribu/bulan. Sementara rata-rata jumlah keluarga yang harus di tanggung per kepala keluarga mencapai 5—6 orang. Hal ini menggambarkan betapa tidak layaknya pendapatan mereka dibandingkan dengan beban keluarga yang mereka tanggung.
Namun, bukan berarti masalah ini harus berlarut tanpa ada solusi untuk mengatasinya. Inti dari permasalahan yang berkembang saat ini ialah bagaimana meningkatkan pendapatan para petani di Lampung. Karena peningkatan pendapatan inilah masyarakat dapat dikatakan mengalami peningkatan hidup menuju ke kehidupan yang layak atau sejahtera. Dengan demikian petani-petani ini butuh nilai tambah (added value) dari hasil pertanian yang selama ini mereka produksi. Karena sektor pertanian ini merupakan sektor penggerak utama bagi perekonomian para petani di Lampung, dibutuhkan dorongan dari sektor lain untuk meningkatkan nilai tambah di sektor ini.
Oleh sebab itu, perlu dikembangkan sektor industri sebagai sektor penunjangnya. Sektor inilah yang nantinya akan dapat menopang dan meningkatkan nilai tambah produk pertanian yang mereka hasilkan sehingga petani memiliki usaha sampingan, dan bukan sekadar menjadi buruh tani saja. Diharapkan petani tidak hanya menanam, tapi juga punya usaha olahan sehingga mampu menaikkan pendapatan mereka. Konsep ini juga dinamakan sebagai agroindustri.
Konsep agroindustri ini sebenarnya sangat sederhana. Sektor pertanian sebagai penyedia input utama, yaitu berupa produk barang pertanian, dan sektor industri sebagai penghasil output utama, yaitu produk barang jadi yang memiliki nilai tambah (added value) yang lebih besar dari input-nya.
Sebenarnya agroindustri ini telah banyak diwacanakan para ekonom untuk meningkatkan peran serta sektor pertanian dan sektor industri dalam meningkatkan perekonomian di daerah-daerah agraris. Kedua sektor ini memiliki hubungan yang sangat erat dalam mendorong sektor satu sama lain sehingga dalam konsep agro industri dua sektor inilah yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat ke depannya. Namun, belum adanya tindakan komprehensif dari pemerintah membuat konsep ini tidak berjalan.
Oleh sebab itu, peran dan dukungan pemerintah sangat dibutuhkan demi terwujudnya pengembangan konsep agroindustri ini. Pemerintah sebagai otoritas pembuatan kebijakan segera menyusun regulasi, perencanaan, dan kebijakan-kebijakan terkait demi terciptanya konsep pengembangan agropolitan ini di Provinsi Lampung. Pemerintah juga langsung turun tangan untuk mengawasi perkembangan yang terjadi dalam pengembangan konsep agropolitan ini agar dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan.
Dengan mengembangkan agroindustri untuk para petani di Lampung, niscaya dalam waktu 5—10 tahun ke depan petani-petani di Provinsi Lampung akan menjadi petani yang sejahtera. Sehingga sektor pertanian yang katanya menggambarkan kemiskinan menjadi sektor utama yang dapat menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya untuk para petani di Provinsi Lampung ini.
Erwin Octavianto, Pengamat ekonomi Pusat Studi Kota dan Daerah (PSKD) UBL
Sumber: Lampung Post, Rabu, 16 Maret 2011
BEBERAPA waktu lalu dalam forum penyuluhan dan pegambangan pertanian, Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. menyatakan 60% warga Lampung dengan mata pencarian di sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan (PPK) hidup dalam kondisi kekurangan (miskin), baik dari sisi ekonomi maupun akses sumber daya.
Kemiskinan petani memang merupakan masalah klasik yang sampai saat ini masih belum dapat terselesaikan dengan baik. Salah satu penyebab tingginya tingkat kemiskinan di sektor pertanian karena kepemilikan lahan petani rata-rata berada di bawah satu hektare sehingga keuntungan dari usaha tani mereka sangat kecil.
Padahal kita ketahui pertanian adalah sektor utama yang mendominasi perekonomian Provinsi Lampung. Namun, sektor pertanian tidak mengalami perkembangan yang cukup berarti di provinsi ini karena setiap tahunnnya selalu mengalami penurunan pertumbuhan. Tak bisa dimungkiri sektor ini merupakan sektor kasar yang nilainya jualnya masih sangat rendah. Jika sektor ini terus dibiarkan tanpa adanya sektor penunjang yang dapat meningkatkan nilai tambah produknya, sudah pasti Provinsi Lampung akan mengalami stagnasi pertumbuhan ekonomi.
Jika sektor ini mengalami stagnasi, apa pun yang kita usahakan untuk menaikkan pendapatan petani dan usaha pertanian tak akan membantu sepenuhnya. Sedang lapangan kerja sangat terbatas membuat usaha pertanian masih menjadi andalan sebagai mata pencaharian sebagian besar masyarakat Provinsi Lampung. Akibatnya, dengan kepemilikan lahan pertanian yang sempit itu sehingga usaha di sektor pertanian menjadi tidak ekonomis dan tidak mampu memberi keuntungan yang cukup bagi petani.
Dari hasil survei kami (PSKD) terhadap masyarakat miskin di beberapa desa-desa terpencil di wilayah di Provinsi Lampung, seperti di Tanggamus dan di Way Kanan. Rata-rata pendapatan per bulan petani di daerah tersebut tidak lebih dari 500 ribu/bulan. Sementara rata-rata jumlah keluarga yang harus di tanggung per kepala keluarga mencapai 5—6 orang. Hal ini menggambarkan betapa tidak layaknya pendapatan mereka dibandingkan dengan beban keluarga yang mereka tanggung.
Namun, bukan berarti masalah ini harus berlarut tanpa ada solusi untuk mengatasinya. Inti dari permasalahan yang berkembang saat ini ialah bagaimana meningkatkan pendapatan para petani di Lampung. Karena peningkatan pendapatan inilah masyarakat dapat dikatakan mengalami peningkatan hidup menuju ke kehidupan yang layak atau sejahtera. Dengan demikian petani-petani ini butuh nilai tambah (added value) dari hasil pertanian yang selama ini mereka produksi. Karena sektor pertanian ini merupakan sektor penggerak utama bagi perekonomian para petani di Lampung, dibutuhkan dorongan dari sektor lain untuk meningkatkan nilai tambah di sektor ini.
Oleh sebab itu, perlu dikembangkan sektor industri sebagai sektor penunjangnya. Sektor inilah yang nantinya akan dapat menopang dan meningkatkan nilai tambah produk pertanian yang mereka hasilkan sehingga petani memiliki usaha sampingan, dan bukan sekadar menjadi buruh tani saja. Diharapkan petani tidak hanya menanam, tapi juga punya usaha olahan sehingga mampu menaikkan pendapatan mereka. Konsep ini juga dinamakan sebagai agroindustri.
Konsep agroindustri ini sebenarnya sangat sederhana. Sektor pertanian sebagai penyedia input utama, yaitu berupa produk barang pertanian, dan sektor industri sebagai penghasil output utama, yaitu produk barang jadi yang memiliki nilai tambah (added value) yang lebih besar dari input-nya.
Sebenarnya agroindustri ini telah banyak diwacanakan para ekonom untuk meningkatkan peran serta sektor pertanian dan sektor industri dalam meningkatkan perekonomian di daerah-daerah agraris. Kedua sektor ini memiliki hubungan yang sangat erat dalam mendorong sektor satu sama lain sehingga dalam konsep agro industri dua sektor inilah yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat ke depannya. Namun, belum adanya tindakan komprehensif dari pemerintah membuat konsep ini tidak berjalan.
Oleh sebab itu, peran dan dukungan pemerintah sangat dibutuhkan demi terwujudnya pengembangan konsep agroindustri ini. Pemerintah sebagai otoritas pembuatan kebijakan segera menyusun regulasi, perencanaan, dan kebijakan-kebijakan terkait demi terciptanya konsep pengembangan agropolitan ini di Provinsi Lampung. Pemerintah juga langsung turun tangan untuk mengawasi perkembangan yang terjadi dalam pengembangan konsep agropolitan ini agar dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan.
Dengan mengembangkan agroindustri untuk para petani di Lampung, niscaya dalam waktu 5—10 tahun ke depan petani-petani di Provinsi Lampung akan menjadi petani yang sejahtera. Sehingga sektor pertanian yang katanya menggambarkan kemiskinan menjadi sektor utama yang dapat menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya untuk para petani di Provinsi Lampung ini.
Erwin Octavianto, Pengamat ekonomi Pusat Studi Kota dan Daerah (PSKD) UBL
Sumber: Lampung Post, Rabu, 16 Maret 2011
March 15, 2011
Innalillahi, Irfan Anshory Meninggal Dunia
Oleh Yudha P Sunandar
INNALILLAHI wa inna ilaihi raji’un. Telah meninggal dunia Irfan Anshory (58), anggota Tim Tafsir Ilmiah Masjid Salman ITB, pada pukul 5.30 hari ini, Selasa (15/3) karena sakit Sirosis Hepatitis. Beliau meninggal dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung. Jenazah rencananya akan diberangkatkan dan dikebumikan di Lampung.
Irfan Anshory (Foto: Facebook.com)
Irfan Anshory meninggalkan seorang istri bernama Nia Kurnia Sholihat dan seorang putri bernama Reina Fidelita. Sebelumnya beliau sempat dirawat di Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung pada 1 Maret 2011 selama beberapa hari.
Semasa hidupnya, lulusan Farmasi ITB angkatan 1971 ini, pernah menjadi instruktur Latihan Mujahid Dakwah (LMD) Masjid Salman ITB. Beliau juga pernah menjadi pembimbing umrah dan haji di Masjid Kampus pertama di Indonesia tersebut.
Cukup banyak organisasi yang pernah dijambangi beliau. Di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sendiri, Irfan pernah menjadi Ketua Umum HMI Korkom ITB periode 1974 – 1975, Ketua Bidang Kader HMI Cabang Bandung periode 1975 – 1976, Ketua Bidang Kader HMI Badko Jawa Barat periode 1976 – 1978, dan Ketua Bidang Kader PB HMI periode 1979 – 1981.
Irfan juga pernah aktif di Pemuda Muhammadiyah. Amanah yang pernah diembannya adalah Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Wilayah Jawa Barat periode 1981 – 1985 dan Ketua PP Pemuda Muhammadiyah periode 1985 – 1989.
Sedangkan di Muhammadiyah, Irfan pernah diamanahi sebagai Ketua Majelis Tabligh Muhammadiyah Jawa Barat periode 1990 – 1995, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Barat periode 1995 – 2000, dan Anggota Tanwir PP Muhammadiyah.
Irfan juga pernah aktif di Partai Amanat Nasional sebagai Ketua DPW PAN Jawa Barat periode 1998 – 2000, Ketua Fraksi PAN DPRD Propinsi Jawa Barat periode 1999 – 2001; dan Ketua Komisi F bidang Sumber Daya Alam dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) DPRD Propinsi Jawa Barat periode 2002 – 2004.
Saat ini, selain aktif di Salman ITB, pria kelahiran 18 Nopember 1952 ini juga merupakan Direktur Pendidikan Bimbingan Belajar Ganesha Operation dan Penulis buku-buku Kimia SMA untuk Penerbit Ganeca Exact, Armico, dan Erlangga.
Sumber: http://salmanitb.com, 15 Maret 2011
INNALILLAHI wa inna ilaihi raji’un. Telah meninggal dunia Irfan Anshory (58), anggota Tim Tafsir Ilmiah Masjid Salman ITB, pada pukul 5.30 hari ini, Selasa (15/3) karena sakit Sirosis Hepatitis. Beliau meninggal dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung. Jenazah rencananya akan diberangkatkan dan dikebumikan di Lampung.
Irfan Anshory (Foto: Facebook.com)
Irfan Anshory meninggalkan seorang istri bernama Nia Kurnia Sholihat dan seorang putri bernama Reina Fidelita. Sebelumnya beliau sempat dirawat di Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung pada 1 Maret 2011 selama beberapa hari.
Semasa hidupnya, lulusan Farmasi ITB angkatan 1971 ini, pernah menjadi instruktur Latihan Mujahid Dakwah (LMD) Masjid Salman ITB. Beliau juga pernah menjadi pembimbing umrah dan haji di Masjid Kampus pertama di Indonesia tersebut.
Cukup banyak organisasi yang pernah dijambangi beliau. Di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sendiri, Irfan pernah menjadi Ketua Umum HMI Korkom ITB periode 1974 – 1975, Ketua Bidang Kader HMI Cabang Bandung periode 1975 – 1976, Ketua Bidang Kader HMI Badko Jawa Barat periode 1976 – 1978, dan Ketua Bidang Kader PB HMI periode 1979 – 1981.
Irfan juga pernah aktif di Pemuda Muhammadiyah. Amanah yang pernah diembannya adalah Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Wilayah Jawa Barat periode 1981 – 1985 dan Ketua PP Pemuda Muhammadiyah periode 1985 – 1989.
Sedangkan di Muhammadiyah, Irfan pernah diamanahi sebagai Ketua Majelis Tabligh Muhammadiyah Jawa Barat periode 1990 – 1995, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Barat periode 1995 – 2000, dan Anggota Tanwir PP Muhammadiyah.
Irfan juga pernah aktif di Partai Amanat Nasional sebagai Ketua DPW PAN Jawa Barat periode 1998 – 2000, Ketua Fraksi PAN DPRD Propinsi Jawa Barat periode 1999 – 2001; dan Ketua Komisi F bidang Sumber Daya Alam dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) DPRD Propinsi Jawa Barat periode 2002 – 2004.
Saat ini, selain aktif di Salman ITB, pria kelahiran 18 Nopember 1952 ini juga merupakan Direktur Pendidikan Bimbingan Belajar Ganesha Operation dan Penulis buku-buku Kimia SMA untuk Penerbit Ganeca Exact, Armico, dan Erlangga.
Sumber: http://salmanitb.com, 15 Maret 2011
March 13, 2011
Pesta Makna di Dermaga Puisi
Oleh Iwan Nurdaya-Djafar
Menikmati puisi-puisi Fitri Yani, saya sungguh terlena dibuai oleh kemerduan bunyinya. Ciri ini yang menandai banyak puisinya, tak pelak telah membuatnya menjadi makna untuk puisi-puisinya. Makna, bukanlah pesan. Makna bukan untuk dipahami, melainkan untuk dihayati.
DERMAGA Tak Bernama (Siger Publisher, 2010, 83 halaman) adalah antologi puisi Fitri Yani, penyair muda Lampung yang tengah naik daun, yang terbit melalui suntingan Paus Sastra Lampung Isbedy Stiawan Z.S. Puisi-puisinya sudah berhasil menembus media cetak nasional yang berwibawa, semisal Kompas, Koran Tempo, majalah budaya Gong, Lampung Post, dan hebatnya lagi termasuk ke dalam 60 Puisi Indonesia Terbaik 2009 versi Anugerah Sastra Pena Kencana. Antologi berisi 64 puisi ini terpindai ke dalam tiga bagian: Ihwal Perjumpaan, Menunggu, dan Suara-suara Sebelum Terjaga.
Menikmati puisi-puisi Fitri Yani, saya sungguh terlena dibuai oleh kemerduan bunyinya. Ciri ini yang menandai banyak puisinya, tak pelak telah membuatnya menjadi makna untuk puisi-puisinya. Makna, bukanlah pesan. Makna bukan untuk dipahami, melainkan untuk dihayati. Permainan bunyi yang terutama berujud pengulangan, kesejajaran, dan rima merupakan makna sajak-sajaknya. Inilah yang harus dihayati, bukan untuk dipahami. Maka, menyerahlah sepenuhnya ke dalam buaian puisi-puisi Fitri Yani nan merdu nian. Kiranya, cara pembacaan sedemikian ini lebih menempatkan kita pada zona aman, ketimbang memasuki “zona berbahaya” dengan berjuang keras mencari “kutu” pesan sebagai seorang message hunter “pemburu pesan”. Sebab begitu pesan ditangkap, sajak pun selesai. Tetapi makna justru menggoda kita untuk terus menghayati, semacam apresiasi yang lebih kekal.
Coba hayati kemerduan bait pertama puisi Ihwal Perjumpaan ini: aku akan pergi/ menuju malam/ meski senja belum tunai/ hujan belum usai/ dan aroma tubuhku/ masih melekat/ di ambang pintu. Atau pada puisi dua baris bertajuk Seperti Berziarah ini: bunga cempaka menguarkan aroma/ jatuh di nisan yang tak memiliki nama.
Hemat saya, kita bisa mengapresiasi makna pada puisi lainnya semisal ®Dongeng bagi Kaum Lansia, Tarian Hujan, Dermaga tak Bernama, Putaran Gelombang, Kisah di Pagi Hari, Menuju Kubangan, Di Sisi Bangunan Tua, Seperti Kuntum Cempaka, Di Taman Kota, Malam di Atas Sampan, Perubahan Suasana.
Bagi yang ingin memburu pesan pun sejatinya terdapat juga di dalam puisi-puisi Fitri Yani. Puisi Muli, misalnya, menarik untuk diapresiasi. Pesan pertama yang saya tangkap adalah bahwa sudah sejak judulnya Fitri memberdayakan bahasa Lampung, bahasa ibu yang juga dikuasai oleh perempuan penyair kelahiran Liwa, Lampung Barat, tahun 1986 ini. Dalam bahasa Lampung muli berarti "gadis". Puisi ini berkisah tentang muli di dalam sistem patriarkat (sistem pengelompokan sosial yang sangat mementingkan garis turunan bapak), sebagaimana dianut adat Lampung. Diawali dengan semacam kearifan lokal berupa penghormatan terhadap perempuan, "dengarlah, wahai keturunan yang berjalan di atas air (Buwai Bejalan di Way)/ muliakan ia dengan bahasa/ dan pandangan yang bersahaja." Lalu puisi berlanjut dengan pencarian si muli atas kekasihnya yang tertawan.
Terjadi semacam konflik antara adat masa lalu yang apak dengan realitas masa kini yang segar: "mengapa kau terikat sejarah masa silam/ padahal matahari berulangkali tenggelam." Konflik agaknya disebabkan pada tahap praksis kearifan lokal tadi justru dibelokkan menjadi semacam peniadaan atas eksistensi perempuan (kalau bukan pelecehan) dari lingkungan keluarga asal manakala si muli memasuki tahap hidup baru yaitu perkawinan endogam: di dalam hidup,/ ia hanya memuja satu lelaki. dan di negerinya,/ siapa pun muli yang telah pergi/ maka pantanglah bagi mereka/ untuk kembali/ karena di rumah yang baru/ mereka telah disambut oleh air suci/ sebelum anak-anak tangga dinaiki.
Pada bait pamungkas, setelah si muli menetap di rumah pihak laki-laki, hal sama ditandaskan kembali: di rumah yang jauh/ telah berkumpul sanak saudara/ yang telah percaya/ bahwa setiap perempuan/ memang akan hilang dari keluarga.
Hilangnya perempuan dari keluarga, boleh jadi dipandang sebagai ketidakadilan gender. Jika demikian halnya, terdapat bias gender dalam sistem patriarkat semacam itu. Oleh sebab itu, perlu mempertimbangkan tradisi. Kalangan feminis sendiri mendambakan munculnya budaya pascapatriarkat, yang dalamnya relasi gender dapat berlangsung dengan adil lagi setara.
Melihat sejarahnya, matriarkat mendahului patriarkat. Namun, budaya pascapatriarkat bukan berarti budaya matriarkat, melainkan budaya yang memperbaiki kualitas kehidupan ke arah lebih baik. Penghormatan terhadap nilai dan martabat manusia, bukan hanya dilihat dari satu sisi, yaitu sisi laki-laki (kekuasaan) saja, melainkan juga harus dilihat dari sisi lain. Relasi antara manusia dalam segala aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik, agama, penting untuk dikembalikan kepada relasi yang setara, bukan subordinat dan hierarkis.
Dengan penjelasan semacam ini, semoga saja saya tidak sedang merasa sok tahu demi menjelaskan apa gerangan yang ada di balik larik-larik puisi Muli Fitri Yani.
Puisi Muli juga menarik karena terdapat dua bait muayak dalam bahasa Lampung, yang notabene disisipkan ke dalam puisi berbahasa Indonesia. Pendapat lama mengatakan bahwa sastra bergantung pada bahasa yang dipakai. Sastra Indonesia memakai bahasa Indonesia, sastra Lampung memakai bahasa Lampung. Namun, pendapat baru menyatakan bahwa sastra bergantung pada bangsanya; sehingga meskipun menggunakan bahasa Inggris bisa saja disebut sastra Amerika, sastra Australia, bukan melulu sastra Inggris. Lantas, puisi Muli termasuk ke dalam puisi Indonesia atau puisi Lampung? Puisi Indonesia, tentu saja. Ketika ditanya atas alasan apa menyisipkan dua muayak itu, Fitri menuturkan itu merupakan alasan personal terhadap rasa bahasa (muayak).
Jika demikian halnya, berarti penyair memang terikat tanah tempat tumbuhnya beserta budayanya. Sebagai pengguna bahasa yang indah dan tepat, penyair akan mendayagunakan bahasa yang dikuasainya, termasuk anasir rasa estetik terhadap bahasa di dalamnya. Gejala sedemikian bukan melulu muncul pada puisi Fitri Yani. Sebagai pejalan ulang-alik bahasa dan budaya, seorang Darmanto Jatman menggunakan campuran bahasa Indonesia, Jawa, Inggris, dan Prancis dalam puisi-puisinya. Ajatrohaedi menggunakan kata ajrih dalam salah satu puisinya, yang merupakan bahasa Sunda. Linus Suryadi demikian pula dalam Pengakuan Pariyem. Emha Ainun Nadjib menggunakan kata mripat dari bahasa Jawa yang berarti mata. Sesekali Isbedy juga menggunakan kata tujah yang berasal dari bahasa Lampung. Hal itu boleh-boleh saja, asal bukan untuk mencari efek, seperti terjadi pada para penyair Indonesia kiwari yang rame-rame memakai kata déjà vu di dalam puisi mereka, yang dicomot dari bahasa Prancis.
Maka, adalah sah-sah belaka bagi Fitri untuk menyisipkan dua muayak itu yang berbunyi: telu kilo jak pulau/labuhan di Kuala/jukung bawakni kuwau/layau kik mak digaga. Satu lagi: bindom dipa nyak lawi/anjungan jawoh nana/ kusepok di bumi sepa lagi/nyim kham khua betungga.
Sayangnya Fitri tidak menggenapinya dengan terjemahan pada catatan kaki, sehingga bagi pembaca yang tidak paham bahasa Lampung muayak itu tetap tinggal sebagai sesuatu yang gaib lagi misterius. Demi membantu apresiasi pembaca, izinkahlah saya menerjemahkannya: tiga kilo dari pulau/ pelabuhan di Kuala/ biduk kulitnya selisik/ keterusan jika tak dilerai. Satu muayak lagi: di mana saya akan berteduh/ rumah panggung sangat jauh/ kucari di bumi mana lagi/ agar kita dua bersua.
Kepiawaian lain Fitri Yani bahwa hal sederhana bisa menjadi objek puisi, seperti muncul pada puisi Pencuci Piring serta Penjahit dan Kainnya. Pada kedua puisi ini, sudut pandang justru muncul dari si piring dan si kain yang dihadirkan melalui personifikasi. Begitu pula peristiwa yang tak tersangka-sangka muncul dalam puisi Di Restoran, yang berkisah tentang seorang istri yang selama dua puluh tahun hidup dalam kenangan terhadap kekasih lama yang bekerja sebagai pelayan restoran, tanpa sepengetahuan si suami yang dibiarkan kapiran karena sekadar hangatnya secangkir kopi di pagi hari saja tak pernah lagi ia jumpai!
Disayangkan, terdapat inkosistensi penulisan kata yang sama dalam sajak yang berbeda. Saya memergoki kata “metaphor” (hlm 59) dan “metafor” (hlm 64). Lagi pula, kenapa tidak menggunakan kata "kiasan" yang asli Indonesia atau "sanepa" (bahasa Jawa) untuk menggantikan "metaphor" yang bahasa Inggris, yang berasal dari "metafora" (bahasa Yunani). Juga "sentiment" (hlm 63) yang mestinya cukup kata serapannya saja "sentimen". Kesalahan berbahasa juga tampak pada "berterbangan" (hlm 5) mestinya "beterbangan"; "tentram" (hlm 76) mestinya "tenteram"; "sprei" mestinya "seprai" (hlm 12). Juga terdapat salah cetak, "ramaja" (hlm 30) mestinya "remaja".
Terlepas dari sekelumit kekeliruan itu, antologi puisi Dermaga Tak Bernama bukan sekadar menambah satu buku dalam rak perpustakaan Anda, karena puisi-puisi Fitri Yani—mengutip Goenawan Mohammad dalam esai Potret Seorang Penyair Muda sebagai si Malin Kundang yang ditulisnya pada usia 17—secara jumawa mesti dikatakan "hasil sastranya bukan hasil eksemplar dari suatu jumlah, melainkan hasil keseorangan yang betul-betul utuh."
Iwan Nurdaya-Djafar, budayawan
Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 Maret 2011
Menikmati puisi-puisi Fitri Yani, saya sungguh terlena dibuai oleh kemerduan bunyinya. Ciri ini yang menandai banyak puisinya, tak pelak telah membuatnya menjadi makna untuk puisi-puisinya. Makna, bukanlah pesan. Makna bukan untuk dipahami, melainkan untuk dihayati.
DERMAGA Tak Bernama (Siger Publisher, 2010, 83 halaman) adalah antologi puisi Fitri Yani, penyair muda Lampung yang tengah naik daun, yang terbit melalui suntingan Paus Sastra Lampung Isbedy Stiawan Z.S. Puisi-puisinya sudah berhasil menembus media cetak nasional yang berwibawa, semisal Kompas, Koran Tempo, majalah budaya Gong, Lampung Post, dan hebatnya lagi termasuk ke dalam 60 Puisi Indonesia Terbaik 2009 versi Anugerah Sastra Pena Kencana. Antologi berisi 64 puisi ini terpindai ke dalam tiga bagian: Ihwal Perjumpaan, Menunggu, dan Suara-suara Sebelum Terjaga.
Menikmati puisi-puisi Fitri Yani, saya sungguh terlena dibuai oleh kemerduan bunyinya. Ciri ini yang menandai banyak puisinya, tak pelak telah membuatnya menjadi makna untuk puisi-puisinya. Makna, bukanlah pesan. Makna bukan untuk dipahami, melainkan untuk dihayati. Permainan bunyi yang terutama berujud pengulangan, kesejajaran, dan rima merupakan makna sajak-sajaknya. Inilah yang harus dihayati, bukan untuk dipahami. Maka, menyerahlah sepenuhnya ke dalam buaian puisi-puisi Fitri Yani nan merdu nian. Kiranya, cara pembacaan sedemikian ini lebih menempatkan kita pada zona aman, ketimbang memasuki “zona berbahaya” dengan berjuang keras mencari “kutu” pesan sebagai seorang message hunter “pemburu pesan”. Sebab begitu pesan ditangkap, sajak pun selesai. Tetapi makna justru menggoda kita untuk terus menghayati, semacam apresiasi yang lebih kekal.
Coba hayati kemerduan bait pertama puisi Ihwal Perjumpaan ini: aku akan pergi/ menuju malam/ meski senja belum tunai/ hujan belum usai/ dan aroma tubuhku/ masih melekat/ di ambang pintu. Atau pada puisi dua baris bertajuk Seperti Berziarah ini: bunga cempaka menguarkan aroma/ jatuh di nisan yang tak memiliki nama.
Hemat saya, kita bisa mengapresiasi makna pada puisi lainnya semisal ®Dongeng bagi Kaum Lansia, Tarian Hujan, Dermaga tak Bernama, Putaran Gelombang, Kisah di Pagi Hari, Menuju Kubangan, Di Sisi Bangunan Tua, Seperti Kuntum Cempaka, Di Taman Kota, Malam di Atas Sampan, Perubahan Suasana.
Bagi yang ingin memburu pesan pun sejatinya terdapat juga di dalam puisi-puisi Fitri Yani. Puisi Muli, misalnya, menarik untuk diapresiasi. Pesan pertama yang saya tangkap adalah bahwa sudah sejak judulnya Fitri memberdayakan bahasa Lampung, bahasa ibu yang juga dikuasai oleh perempuan penyair kelahiran Liwa, Lampung Barat, tahun 1986 ini. Dalam bahasa Lampung muli berarti "gadis". Puisi ini berkisah tentang muli di dalam sistem patriarkat (sistem pengelompokan sosial yang sangat mementingkan garis turunan bapak), sebagaimana dianut adat Lampung. Diawali dengan semacam kearifan lokal berupa penghormatan terhadap perempuan, "dengarlah, wahai keturunan yang berjalan di atas air (Buwai Bejalan di Way)/ muliakan ia dengan bahasa/ dan pandangan yang bersahaja." Lalu puisi berlanjut dengan pencarian si muli atas kekasihnya yang tertawan.
Terjadi semacam konflik antara adat masa lalu yang apak dengan realitas masa kini yang segar: "mengapa kau terikat sejarah masa silam/ padahal matahari berulangkali tenggelam." Konflik agaknya disebabkan pada tahap praksis kearifan lokal tadi justru dibelokkan menjadi semacam peniadaan atas eksistensi perempuan (kalau bukan pelecehan) dari lingkungan keluarga asal manakala si muli memasuki tahap hidup baru yaitu perkawinan endogam: di dalam hidup,/ ia hanya memuja satu lelaki. dan di negerinya,/ siapa pun muli yang telah pergi/ maka pantanglah bagi mereka/ untuk kembali/ karena di rumah yang baru/ mereka telah disambut oleh air suci/ sebelum anak-anak tangga dinaiki.
Pada bait pamungkas, setelah si muli menetap di rumah pihak laki-laki, hal sama ditandaskan kembali: di rumah yang jauh/ telah berkumpul sanak saudara/ yang telah percaya/ bahwa setiap perempuan/ memang akan hilang dari keluarga.
Hilangnya perempuan dari keluarga, boleh jadi dipandang sebagai ketidakadilan gender. Jika demikian halnya, terdapat bias gender dalam sistem patriarkat semacam itu. Oleh sebab itu, perlu mempertimbangkan tradisi. Kalangan feminis sendiri mendambakan munculnya budaya pascapatriarkat, yang dalamnya relasi gender dapat berlangsung dengan adil lagi setara.
Melihat sejarahnya, matriarkat mendahului patriarkat. Namun, budaya pascapatriarkat bukan berarti budaya matriarkat, melainkan budaya yang memperbaiki kualitas kehidupan ke arah lebih baik. Penghormatan terhadap nilai dan martabat manusia, bukan hanya dilihat dari satu sisi, yaitu sisi laki-laki (kekuasaan) saja, melainkan juga harus dilihat dari sisi lain. Relasi antara manusia dalam segala aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik, agama, penting untuk dikembalikan kepada relasi yang setara, bukan subordinat dan hierarkis.
Dengan penjelasan semacam ini, semoga saja saya tidak sedang merasa sok tahu demi menjelaskan apa gerangan yang ada di balik larik-larik puisi Muli Fitri Yani.
Puisi Muli juga menarik karena terdapat dua bait muayak dalam bahasa Lampung, yang notabene disisipkan ke dalam puisi berbahasa Indonesia. Pendapat lama mengatakan bahwa sastra bergantung pada bahasa yang dipakai. Sastra Indonesia memakai bahasa Indonesia, sastra Lampung memakai bahasa Lampung. Namun, pendapat baru menyatakan bahwa sastra bergantung pada bangsanya; sehingga meskipun menggunakan bahasa Inggris bisa saja disebut sastra Amerika, sastra Australia, bukan melulu sastra Inggris. Lantas, puisi Muli termasuk ke dalam puisi Indonesia atau puisi Lampung? Puisi Indonesia, tentu saja. Ketika ditanya atas alasan apa menyisipkan dua muayak itu, Fitri menuturkan itu merupakan alasan personal terhadap rasa bahasa (muayak).
Jika demikian halnya, berarti penyair memang terikat tanah tempat tumbuhnya beserta budayanya. Sebagai pengguna bahasa yang indah dan tepat, penyair akan mendayagunakan bahasa yang dikuasainya, termasuk anasir rasa estetik terhadap bahasa di dalamnya. Gejala sedemikian bukan melulu muncul pada puisi Fitri Yani. Sebagai pejalan ulang-alik bahasa dan budaya, seorang Darmanto Jatman menggunakan campuran bahasa Indonesia, Jawa, Inggris, dan Prancis dalam puisi-puisinya. Ajatrohaedi menggunakan kata ajrih dalam salah satu puisinya, yang merupakan bahasa Sunda. Linus Suryadi demikian pula dalam Pengakuan Pariyem. Emha Ainun Nadjib menggunakan kata mripat dari bahasa Jawa yang berarti mata. Sesekali Isbedy juga menggunakan kata tujah yang berasal dari bahasa Lampung. Hal itu boleh-boleh saja, asal bukan untuk mencari efek, seperti terjadi pada para penyair Indonesia kiwari yang rame-rame memakai kata déjà vu di dalam puisi mereka, yang dicomot dari bahasa Prancis.
Maka, adalah sah-sah belaka bagi Fitri untuk menyisipkan dua muayak itu yang berbunyi: telu kilo jak pulau/labuhan di Kuala/jukung bawakni kuwau/layau kik mak digaga. Satu lagi: bindom dipa nyak lawi/anjungan jawoh nana/ kusepok di bumi sepa lagi/nyim kham khua betungga.
Sayangnya Fitri tidak menggenapinya dengan terjemahan pada catatan kaki, sehingga bagi pembaca yang tidak paham bahasa Lampung muayak itu tetap tinggal sebagai sesuatu yang gaib lagi misterius. Demi membantu apresiasi pembaca, izinkahlah saya menerjemahkannya: tiga kilo dari pulau/ pelabuhan di Kuala/ biduk kulitnya selisik/ keterusan jika tak dilerai. Satu muayak lagi: di mana saya akan berteduh/ rumah panggung sangat jauh/ kucari di bumi mana lagi/ agar kita dua bersua.
Kepiawaian lain Fitri Yani bahwa hal sederhana bisa menjadi objek puisi, seperti muncul pada puisi Pencuci Piring serta Penjahit dan Kainnya. Pada kedua puisi ini, sudut pandang justru muncul dari si piring dan si kain yang dihadirkan melalui personifikasi. Begitu pula peristiwa yang tak tersangka-sangka muncul dalam puisi Di Restoran, yang berkisah tentang seorang istri yang selama dua puluh tahun hidup dalam kenangan terhadap kekasih lama yang bekerja sebagai pelayan restoran, tanpa sepengetahuan si suami yang dibiarkan kapiran karena sekadar hangatnya secangkir kopi di pagi hari saja tak pernah lagi ia jumpai!
Disayangkan, terdapat inkosistensi penulisan kata yang sama dalam sajak yang berbeda. Saya memergoki kata “metaphor” (hlm 59) dan “metafor” (hlm 64). Lagi pula, kenapa tidak menggunakan kata "kiasan" yang asli Indonesia atau "sanepa" (bahasa Jawa) untuk menggantikan "metaphor" yang bahasa Inggris, yang berasal dari "metafora" (bahasa Yunani). Juga "sentiment" (hlm 63) yang mestinya cukup kata serapannya saja "sentimen". Kesalahan berbahasa juga tampak pada "berterbangan" (hlm 5) mestinya "beterbangan"; "tentram" (hlm 76) mestinya "tenteram"; "sprei" mestinya "seprai" (hlm 12). Juga terdapat salah cetak, "ramaja" (hlm 30) mestinya "remaja".
Terlepas dari sekelumit kekeliruan itu, antologi puisi Dermaga Tak Bernama bukan sekadar menambah satu buku dalam rak perpustakaan Anda, karena puisi-puisi Fitri Yani—mengutip Goenawan Mohammad dalam esai Potret Seorang Penyair Muda sebagai si Malin Kundang yang ditulisnya pada usia 17—secara jumawa mesti dikatakan "hasil sastranya bukan hasil eksemplar dari suatu jumlah, melainkan hasil keseorangan yang betul-betul utuh."
Iwan Nurdaya-Djafar, budayawan
Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 Maret 2011
[Perjalanan] Menyusuri Rel Palembang-Lampung
SATU ekspedisi bertajuk Susur Rel Kereta Api Palembang-Lampung dilakukan UKM Fotografi Zoom Unila bulan lalu. Tim beranggota 9 orang itu berburu foto sambil “menikmati” pengalaman lain di jalur sejauh 389 km. Berikut catatan perjalanan mereka.
Satu seremoni sederhana digelar di Stasiun Tanjungkarang, 20 Februari 2011 malam. Acara penuh haru itu untuk melepas sembilan “penantang” yang akan menapaki setiap ruas rel dari Palembang—Tanjungkarang.
Tim dari UKM Fotografi Zoom Unila itu terdiri dari Tegar Mujahid, Yolli M., Rahmad Anefri, Belly Maishela, Fahmi Rahmat, Rama Kapitan, Resca Ridhatama, Aryanti Widyaningrum, dan Kukuh Rubiyanto. Mereka didamping tim support terdiri dari Ari Martha, M. Andriyan, Riky Efran Gambit, dan Lian Edvantris yang telah lebih dahulu berangkat.
Bertolak ke Palembang dengan kereta api Limex Sriwijaya malam, mereka bermodal semangat mengasah kepekaan dan menjajal trek berbeda. Ucapan-ucapan selamat jalan dan semangat mengiringi keberangkatan yang membesarkan dada.
Berjam-jam di dalam kereta, pagi menyapa, dan kota tujuan telah ditapaki roda sepur. Tim support yang menjadi bagian dari ekspedisi ini telah berada di Stasiun Kertapati menyambut dan menyiapkan segala sesuatu.
Satu sambutan kecil oleh pihak PT KA Stasiun Kertapati berbarengan dengan briefing menjelang bendera start. Persiapan, dari sekadar mandi sampai sarapan selesai, ekspedisi diawali dengan foto-foto bersama. Dengan langkah gagah kami memulai hitungan perjalanan. Selain alat keselamatan dan bekal, satu alat utama kami adalah kamera. Ini yang menjadi alat pokok karena ekspedisi ini juga diembel-embeli reli foto.
Di sekitar Stasiun Kertapati, banyak objek yang kami temui, terutama human interest. Ada pekerja yang sedang membenarkan rel, ada anak-anak yang sedang bermain, orang-orang yang lalu lalang dan lain sebagainya. Langkah awal kami semangat, ligat, dan sigap. Setiap ada objek menarik kami siap kamera dan membidik.
Meskipun sibuk dengan kamera, kami tetap bersosialisasi dengan menyapa warga sekitar rel. Sambutan senyum hangat pun mereka berikan. Sesekali terjadi percakapan antara kami dan warga. Mereka bertanya tentang kegiatan yang kami lakukan, dengan bangga kami menjawab bahwa kami sedang melaksanakan kegiatan ekspedisi susur rel Palembang—Lampung.
Dengan wajah dan nada suara kaget mereka menanggapi jawaban kami. Walaupun tidak begitu percaya, mereka memberikan semangat dan doa kepada kami agar kami bisa sampai di Lampung, khususnya Stasiun Tanjungkarang, dengan keadaan selamat dan sehat.
Semakin jauh berjalan kami semakin meninggalkan daerah permukiman warga, yang kami temui hanyalah semak belukar, seperti hutan tapi bukan hutan. Ada juga beberapa rawa-rawa. Menjelang siang, terik matahari menyapa.
Cuaca panas di daerah Sumatera Selatan memang terasa lebih panas. Hal ini membuat langkah kami terasa berat, kami berjalan mulai melambat. Keringat pun mulai membasahi baju, gerah rasanya membuat tidak nyaman.
Menjelang tengah hari kami beristirahat. Tempatnya sepi, hanya ada beberapa rumah penduduk. Kami membuka bekal nasi bungkus.
Dalam 15 menit, acara lunch selesai. Sejurus, ransel sudah bertengger di punggung dan perjalanan di terik diteruskan.
Menjelang sore hari, kami mencapai stasiun kecil pertama, yaitu Stasiun Simpang Tiga. Dengan napas terengah-engah kami duduk sambil meluruskan kaki. Beberapa anggota sudah ada yang mulai mengeluh. Seperti saya yang meminta plester untuk memplester jempol kakinya.
Masih tetap diterpa cuaca panas saat sore, kami perlahan melangkah. Jarak antaranggota tim pun mulai menjauh. Kami pun mulai mengeluh kelaparan.
Perjalanan diteruskan. Di bulak panjang, kami melihat seekor babi besar melintas. Ini pertama kali kami melihat babi liar di hutan. Kami juga sempat dikejar anjing menjelang magrib.
Hari semakin gelap, letih mengganggu konsentrasi berjalan hingga membuat emosi memuncak. Walaupun jarak ke stasiun berikutnya hanya 4 km lagi, terasa sangat jauh. Harapan untuk istirahat mulai ada ketika kami sudah melihat cahaya lampu dari stasiun kecil yang kami tuju.
Langkah kaki semakin cepat. Sekitar pukul 20.30 kami sampai ke stasiun kecil, Paya Kabung. Di tempat ini kami bermalam dengan beberapa kejadian gaib yang membuat bergidik. Saat pagi, kami baru tahu jika di stasiun itulah tempat mayat-mayat dikumpulkan saat terjadi kecelakaan kereta api beberapa waktu lalu.
Pada hari kedua, kami lanjutkan ekspedisi hanya dengan delapan orang karena Yolly sakit. Stasiun demi stasiun kami lewati. Selama perjalanan kami lewati suka dan duka bersama. Teman yang paling setia menemani kami dan sangat menolong kami di saat kami kelaparan adalah roti Donal.
Berikutnya kami melanjutkan perjalanan dari Blumbangan hingga Prabumulih dengan terus “membekukan” setiap objek foto.
Dari Prabumulih, kami Stasiun Baturaja. Dari Baturaja, stasiun berikutnya adalah Martapura. Tempat yang menarik adalah jembatan yang sangat besar dan panjang. Di situ kami puas berfoto, selain jembatan yang menarik di sana merupakan tempat penambang pasir. Jadi banyak objek menarik yang dapat kami foto.
Meski masih separuh perjalanan, selepas Martapura kami sudah terasa lebih tenteram di hati ketika memasuki wilayah Lampung. Stasiun Blambangan Umpu meneguhkan bahwa satu provinsi telah terlewati.
Setelah dari Blambangan Umpu kami melanjutkan ke Stasiun kotabumi. Terasa sudah Lampung tercinta, perasaan kangen dengan keluarga di rumah makin terasa. Rasanya ingin cepat-cepat sampai ke Stasiun Tanjungkarang. Perasaan inilah yang membuat kami semakin bersemangat agar cepat sampai tempat tujuan terakhir.
Setelah bermalam di Kotabumi, kami melanjutkan kembali perjalanan. Istirahat pertama kami di Stasiun Kalibalangan, selanjutnya di Blambangan Pagar dan tempat terakhir pada hari itu adalah Stasiun Sulusuban.
Perjalanan selanjutnya ke Stasiun Haji Pemanggilan dengan kawalan hujan deras. Terus melewati beberapa stasiun kecil, akhirnya kami disambut dengan haru oleh keluarga dan segenap warga kampus. Tak kurang, Rektor juga hadir menyambut.
Pukul 16.15, kami sampai di Stasiun Tanjungkarang. Perasaan campur aduk, dari bahagia, haru, bangga dan lain-lain menjadi satu. Hari yang sangat berkesan. (TIM/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 Maret 2011
Satu seremoni sederhana digelar di Stasiun Tanjungkarang, 20 Februari 2011 malam. Acara penuh haru itu untuk melepas sembilan “penantang” yang akan menapaki setiap ruas rel dari Palembang—Tanjungkarang.
Tim dari UKM Fotografi Zoom Unila itu terdiri dari Tegar Mujahid, Yolli M., Rahmad Anefri, Belly Maishela, Fahmi Rahmat, Rama Kapitan, Resca Ridhatama, Aryanti Widyaningrum, dan Kukuh Rubiyanto. Mereka didamping tim support terdiri dari Ari Martha, M. Andriyan, Riky Efran Gambit, dan Lian Edvantris yang telah lebih dahulu berangkat.
Bertolak ke Palembang dengan kereta api Limex Sriwijaya malam, mereka bermodal semangat mengasah kepekaan dan menjajal trek berbeda. Ucapan-ucapan selamat jalan dan semangat mengiringi keberangkatan yang membesarkan dada.
Berjam-jam di dalam kereta, pagi menyapa, dan kota tujuan telah ditapaki roda sepur. Tim support yang menjadi bagian dari ekspedisi ini telah berada di Stasiun Kertapati menyambut dan menyiapkan segala sesuatu.
Satu sambutan kecil oleh pihak PT KA Stasiun Kertapati berbarengan dengan briefing menjelang bendera start. Persiapan, dari sekadar mandi sampai sarapan selesai, ekspedisi diawali dengan foto-foto bersama. Dengan langkah gagah kami memulai hitungan perjalanan. Selain alat keselamatan dan bekal, satu alat utama kami adalah kamera. Ini yang menjadi alat pokok karena ekspedisi ini juga diembel-embeli reli foto.
Di sekitar Stasiun Kertapati, banyak objek yang kami temui, terutama human interest. Ada pekerja yang sedang membenarkan rel, ada anak-anak yang sedang bermain, orang-orang yang lalu lalang dan lain sebagainya. Langkah awal kami semangat, ligat, dan sigap. Setiap ada objek menarik kami siap kamera dan membidik.
Meskipun sibuk dengan kamera, kami tetap bersosialisasi dengan menyapa warga sekitar rel. Sambutan senyum hangat pun mereka berikan. Sesekali terjadi percakapan antara kami dan warga. Mereka bertanya tentang kegiatan yang kami lakukan, dengan bangga kami menjawab bahwa kami sedang melaksanakan kegiatan ekspedisi susur rel Palembang—Lampung.
Dengan wajah dan nada suara kaget mereka menanggapi jawaban kami. Walaupun tidak begitu percaya, mereka memberikan semangat dan doa kepada kami agar kami bisa sampai di Lampung, khususnya Stasiun Tanjungkarang, dengan keadaan selamat dan sehat.
Semakin jauh berjalan kami semakin meninggalkan daerah permukiman warga, yang kami temui hanyalah semak belukar, seperti hutan tapi bukan hutan. Ada juga beberapa rawa-rawa. Menjelang siang, terik matahari menyapa.
Cuaca panas di daerah Sumatera Selatan memang terasa lebih panas. Hal ini membuat langkah kami terasa berat, kami berjalan mulai melambat. Keringat pun mulai membasahi baju, gerah rasanya membuat tidak nyaman.
Menjelang tengah hari kami beristirahat. Tempatnya sepi, hanya ada beberapa rumah penduduk. Kami membuka bekal nasi bungkus.
Dalam 15 menit, acara lunch selesai. Sejurus, ransel sudah bertengger di punggung dan perjalanan di terik diteruskan.
Menjelang sore hari, kami mencapai stasiun kecil pertama, yaitu Stasiun Simpang Tiga. Dengan napas terengah-engah kami duduk sambil meluruskan kaki. Beberapa anggota sudah ada yang mulai mengeluh. Seperti saya yang meminta plester untuk memplester jempol kakinya.
Masih tetap diterpa cuaca panas saat sore, kami perlahan melangkah. Jarak antaranggota tim pun mulai menjauh. Kami pun mulai mengeluh kelaparan.
Perjalanan diteruskan. Di bulak panjang, kami melihat seekor babi besar melintas. Ini pertama kali kami melihat babi liar di hutan. Kami juga sempat dikejar anjing menjelang magrib.
Hari semakin gelap, letih mengganggu konsentrasi berjalan hingga membuat emosi memuncak. Walaupun jarak ke stasiun berikutnya hanya 4 km lagi, terasa sangat jauh. Harapan untuk istirahat mulai ada ketika kami sudah melihat cahaya lampu dari stasiun kecil yang kami tuju.
Langkah kaki semakin cepat. Sekitar pukul 20.30 kami sampai ke stasiun kecil, Paya Kabung. Di tempat ini kami bermalam dengan beberapa kejadian gaib yang membuat bergidik. Saat pagi, kami baru tahu jika di stasiun itulah tempat mayat-mayat dikumpulkan saat terjadi kecelakaan kereta api beberapa waktu lalu.
Pada hari kedua, kami lanjutkan ekspedisi hanya dengan delapan orang karena Yolly sakit. Stasiun demi stasiun kami lewati. Selama perjalanan kami lewati suka dan duka bersama. Teman yang paling setia menemani kami dan sangat menolong kami di saat kami kelaparan adalah roti Donal.
Berikutnya kami melanjutkan perjalanan dari Blumbangan hingga Prabumulih dengan terus “membekukan” setiap objek foto.
Dari Prabumulih, kami Stasiun Baturaja. Dari Baturaja, stasiun berikutnya adalah Martapura. Tempat yang menarik adalah jembatan yang sangat besar dan panjang. Di situ kami puas berfoto, selain jembatan yang menarik di sana merupakan tempat penambang pasir. Jadi banyak objek menarik yang dapat kami foto.
Meski masih separuh perjalanan, selepas Martapura kami sudah terasa lebih tenteram di hati ketika memasuki wilayah Lampung. Stasiun Blambangan Umpu meneguhkan bahwa satu provinsi telah terlewati.
Setelah dari Blambangan Umpu kami melanjutkan ke Stasiun kotabumi. Terasa sudah Lampung tercinta, perasaan kangen dengan keluarga di rumah makin terasa. Rasanya ingin cepat-cepat sampai ke Stasiun Tanjungkarang. Perasaan inilah yang membuat kami semakin bersemangat agar cepat sampai tempat tujuan terakhir.
Setelah bermalam di Kotabumi, kami melanjutkan kembali perjalanan. Istirahat pertama kami di Stasiun Kalibalangan, selanjutnya di Blambangan Pagar dan tempat terakhir pada hari itu adalah Stasiun Sulusuban.
Perjalanan selanjutnya ke Stasiun Haji Pemanggilan dengan kawalan hujan deras. Terus melewati beberapa stasiun kecil, akhirnya kami disambut dengan haru oleh keluarga dan segenap warga kampus. Tak kurang, Rektor juga hadir menyambut.
Pukul 16.15, kami sampai di Stasiun Tanjungkarang. Perasaan campur aduk, dari bahagia, haru, bangga dan lain-lain menjadi satu. Hari yang sangat berkesan. (TIM/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 Maret 2011
March 12, 2011
Mengapa Bahasa Lampung Kurang Diminati?
Oleh Muhammad Muis
JIKA dalam suatu kesempatan orang berjalan-jalan ke Lampung untuk suatu keperluan, orang itu akan memperoleh kenyataan bahwa di dalam komunikasi sehari-hari akan jarang terdengar orang bertutur di dalam bahasa Lampung. Jika pun ada pertuturan di dalam bahasa daerah itu, frekuensi atau kekerapannya—boleh dikatakan—sangat kecil atau sangat jarang. Agaknya hampir-hampir dapat dihitung dengan jari orang yang bercakap-cakap di dalam bahasa ini. Yang menggunakannya pun lazimnya adalah generasi tua, bukan generasi muda. Harus diakui bahwa, jika dicermati dan diamati, di Lampung agak jarang terdengar generasi muda—orang asli Lampung ataupun, apalagi, orang bukan asli Lampung menggunakan bahasa Lampung.
Hal seperti ini sangat berbeda dengan realitas penggunaan bahasa Jawa, Sunda, Minang, dan Melayu Bangka, misalnya, di wilayah penggunaan bahasa daerah itu. Jika orang tadi—misalnya—berjalan-jalan ke Semarang, Bandung, dan Pangkalpinang, misalnya, ia akan mendapatkan perbedaan yang mencolok dengan apa yang ada di Lampung dalam hal penggunaan bahasa daerah itu.
Jika dilacak lebih lanjut, akan diperoleh kenyataan yang cukup mencengangkan juga bahwa banyak pendatang atau orang yang bukan asli Lampung yang sudah bermukim bertahun-tahun, bahkan berpuluh tahun, di Lampung banyak yang tidak dapat berbahasa Lampung, kecuali sepatah dua patah kata.
Apakah bahasa Lampung memang sulit untuk dikuasai ataukah ada faktor lain yang menyebabkan orang kurang tertarik untuk menggunakannya, apalagi mendalaminya? Apakah sebenarnya faktor penyebab persoalan itu?
Faktor Penyebab Bahasa Lampung Kurang Diminati
Penelitian yang komprehensif dan mendalam tentang apa penyebab kurangnya minat orang berbahasa Lampung, yang termasuk rumpun bahasa Austronesia ini, setakat ini—setahu penulis—juga belum dilakukan. Oleh karena itu, kendati pun masih merupakan dugaan awal, berikut ditegaskan, antara lain beberapa faktor yang diduga kuat menjadi penyebab bahasa daerah ini kurang diminati.
Pertama, Provinsi Lampung adalah provinsi yang penduduknya heterogen. Selain penduduk asli Lampung, di provinsi ini banyak suku bangsa lain, seperti Jawa, Sunda, Minang, Bali, Melayu (misalnya Melayu Jakarta, Melayu Palembang, dan Melayu Bangka-Belitung). Kaum pendatang ini selain berbahasa daerahnya masing-masing sesama mereka, juga berbahasa Indonesia dengan kelompok suku lain. Bahkan, ada kalanya sesama suku mereka pun mereka berbahasa Indonesia.
Jarang sekali—jika pun pernah—mereka bertutur dalam bahasa Lampung. Pada satu sisi, hal itu kurang menguntungkan bagi pelestarian bahasa Lampung. Akan tetapi, pada sisi lain—untuk perkembangan dan masa depan bahasa Indonesia—hal itu sangat menguntungkan bahasa Indonesia sebab semakin hari jumlah penutur bahasa Indonesia, termasuk mereka yang sejak lahir telah menjadi penutur bahasa ibu bahasa Indonesia, semakin bertambah.
Dalam konteks itu, orang Lampung asli kurang dapat menerapkan penggunaan bahasa Lampung dengan rekannya yang bukan asli Lampung. Bahasa Lampung itu secara spesifik pada akhirnya—disetujui atau tidak—hanya dapat digunakan pada orang sesama penduduk asli atau orang Lampung yang memahaminya.
Kedua, bahasa Lampung kurang dipromosikan secara gencar, baik oleh Pemerintah Provinsi Lampung, pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Lampung, media massa, maupun dunia pendidikan. Promosi melalui jalur pariwisata, misalnya, agaknya dapat ditempuh.
Ketiga, pengajar atau guru bahasa Lampung, baik pada tingkat SD maupun SMP, saya duga masih sangat kurang. Asumsi dasar ini muncul sebab diduga guru bidang studi bahasa Lampung yang khusus mengajar bahasa ini di dunia persekolahan itu dianggap tidak memadai, terutama dari jumlah guru yang mengajar jika dibandingkan dengan rasio ribuan jumlah murid yang harus diajarkan di seluruh Provinsi Lampung.
Ketersediaan guru bidang studi bahasa Lampung yang terdidik secara khusus di dalam bahasa itu (artinya yang bersangkutan sebagai tenaga pengajar harus berijazah D-3 atau S-1 bahasa Lampung) agar dapat mengajarkan bidang studi itu dengan sebaik-baiknya merupakan conditio sine qua non. Jadi, penyediaan tenaga guru bahasa Lampung harus dapat dipenuhi sesegera mungkin. Hal ini harus dimaklumi bersama.
Keempat, Pemerintah Provinsi Lampung, pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Lampung, media massa, dunia pendidikan, dan pasar kerja belum memberikan perhatian yang maksimal kepada para lulusan perguruan tinggi yang mendalami bahasa Lampung, misalnya alumni D-3 dari Universitas Lampung (yang sayangnya program studi itu sementara ini telah ditutup). Penyerapan mereka di pasar kerja, khususnya di wilayah Provinsi Lampung, akan berpengaruh cukup signifikan bagi pengembangan, perkembangan, dan masa depan bahasa Lampung.
Kelima, penutur asli bahasa Lampung, khususnya generasi mudanya, diduga agaknya kurang bersikap positif terhadap bahasa daerah Lampung. Mereka lebih cenderung menggunakan bahasa Indonesia untuk keperluan komunikasi sehari-hari, yang bukan dalam konteks resmi. Beberapa penelitian, seperti Gunarwan (1994), Gunarwan (2001), dan Zawarnis dan Hasnawati Nasution (2009), setidaknya membuktikan hal itu. Untuk konteks yang tidak resmi atau di dalam percakapan sehari-hari, ada baiknya bahasa daerah ini mulai lebih digalakkan penggunaannya.
Tanggung Jawab Kebahasaan
Beberapa persoalan tersebut harus segera diupayakan pemecahannya dan dicarikan jalan keluarnya. Dengan iktikad baik dan kemauan keras yang dilakukan secara berencana, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan berbagai unsur yang relevan di dalam masyarakat, bukan sesuatu yang mustahil untuk mengatasi masalah itu.
Upaya pelestarian, pengembangan, dan pembinaan bahasa Lampung harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Usaha-usaha yang ditempuh tidak dengan sungguh-sungguh tidak akan dapat menghasilkan capaian yang maksimal!
Bahasa Lampung ini adalah milik bersama seluruh warga Lampung. Oleh karena itu, tanggung jawab untuk penggunaan, pelestarian, pembinaan, dan pengembangannya pada hakikatnya adalah tanggung jawab bersama pula. Artinya, semua unsur dalam masyarakat: pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, instansi atau lembaga terkait, dosen, guru, peneliti, agamawan, tokoh masyarakat, media massa, dan seluruh masyarakat Lampung harus bahu-membahu untuk pemajuan bahasa daerah Lampung dan semuanya harus terlibat secara sinergis untuk itu.
Muhammad Muis, Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 12 Maret 2011
JIKA dalam suatu kesempatan orang berjalan-jalan ke Lampung untuk suatu keperluan, orang itu akan memperoleh kenyataan bahwa di dalam komunikasi sehari-hari akan jarang terdengar orang bertutur di dalam bahasa Lampung. Jika pun ada pertuturan di dalam bahasa daerah itu, frekuensi atau kekerapannya—boleh dikatakan—sangat kecil atau sangat jarang. Agaknya hampir-hampir dapat dihitung dengan jari orang yang bercakap-cakap di dalam bahasa ini. Yang menggunakannya pun lazimnya adalah generasi tua, bukan generasi muda. Harus diakui bahwa, jika dicermati dan diamati, di Lampung agak jarang terdengar generasi muda—orang asli Lampung ataupun, apalagi, orang bukan asli Lampung menggunakan bahasa Lampung.
Hal seperti ini sangat berbeda dengan realitas penggunaan bahasa Jawa, Sunda, Minang, dan Melayu Bangka, misalnya, di wilayah penggunaan bahasa daerah itu. Jika orang tadi—misalnya—berjalan-jalan ke Semarang, Bandung, dan Pangkalpinang, misalnya, ia akan mendapatkan perbedaan yang mencolok dengan apa yang ada di Lampung dalam hal penggunaan bahasa daerah itu.
Jika dilacak lebih lanjut, akan diperoleh kenyataan yang cukup mencengangkan juga bahwa banyak pendatang atau orang yang bukan asli Lampung yang sudah bermukim bertahun-tahun, bahkan berpuluh tahun, di Lampung banyak yang tidak dapat berbahasa Lampung, kecuali sepatah dua patah kata.
Apakah bahasa Lampung memang sulit untuk dikuasai ataukah ada faktor lain yang menyebabkan orang kurang tertarik untuk menggunakannya, apalagi mendalaminya? Apakah sebenarnya faktor penyebab persoalan itu?
Faktor Penyebab Bahasa Lampung Kurang Diminati
Penelitian yang komprehensif dan mendalam tentang apa penyebab kurangnya minat orang berbahasa Lampung, yang termasuk rumpun bahasa Austronesia ini, setakat ini—setahu penulis—juga belum dilakukan. Oleh karena itu, kendati pun masih merupakan dugaan awal, berikut ditegaskan, antara lain beberapa faktor yang diduga kuat menjadi penyebab bahasa daerah ini kurang diminati.
Pertama, Provinsi Lampung adalah provinsi yang penduduknya heterogen. Selain penduduk asli Lampung, di provinsi ini banyak suku bangsa lain, seperti Jawa, Sunda, Minang, Bali, Melayu (misalnya Melayu Jakarta, Melayu Palembang, dan Melayu Bangka-Belitung). Kaum pendatang ini selain berbahasa daerahnya masing-masing sesama mereka, juga berbahasa Indonesia dengan kelompok suku lain. Bahkan, ada kalanya sesama suku mereka pun mereka berbahasa Indonesia.
Jarang sekali—jika pun pernah—mereka bertutur dalam bahasa Lampung. Pada satu sisi, hal itu kurang menguntungkan bagi pelestarian bahasa Lampung. Akan tetapi, pada sisi lain—untuk perkembangan dan masa depan bahasa Indonesia—hal itu sangat menguntungkan bahasa Indonesia sebab semakin hari jumlah penutur bahasa Indonesia, termasuk mereka yang sejak lahir telah menjadi penutur bahasa ibu bahasa Indonesia, semakin bertambah.
Dalam konteks itu, orang Lampung asli kurang dapat menerapkan penggunaan bahasa Lampung dengan rekannya yang bukan asli Lampung. Bahasa Lampung itu secara spesifik pada akhirnya—disetujui atau tidak—hanya dapat digunakan pada orang sesama penduduk asli atau orang Lampung yang memahaminya.
Kedua, bahasa Lampung kurang dipromosikan secara gencar, baik oleh Pemerintah Provinsi Lampung, pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Lampung, media massa, maupun dunia pendidikan. Promosi melalui jalur pariwisata, misalnya, agaknya dapat ditempuh.
Ketiga, pengajar atau guru bahasa Lampung, baik pada tingkat SD maupun SMP, saya duga masih sangat kurang. Asumsi dasar ini muncul sebab diduga guru bidang studi bahasa Lampung yang khusus mengajar bahasa ini di dunia persekolahan itu dianggap tidak memadai, terutama dari jumlah guru yang mengajar jika dibandingkan dengan rasio ribuan jumlah murid yang harus diajarkan di seluruh Provinsi Lampung.
Ketersediaan guru bidang studi bahasa Lampung yang terdidik secara khusus di dalam bahasa itu (artinya yang bersangkutan sebagai tenaga pengajar harus berijazah D-3 atau S-1 bahasa Lampung) agar dapat mengajarkan bidang studi itu dengan sebaik-baiknya merupakan conditio sine qua non. Jadi, penyediaan tenaga guru bahasa Lampung harus dapat dipenuhi sesegera mungkin. Hal ini harus dimaklumi bersama.
Keempat, Pemerintah Provinsi Lampung, pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Lampung, media massa, dunia pendidikan, dan pasar kerja belum memberikan perhatian yang maksimal kepada para lulusan perguruan tinggi yang mendalami bahasa Lampung, misalnya alumni D-3 dari Universitas Lampung (yang sayangnya program studi itu sementara ini telah ditutup). Penyerapan mereka di pasar kerja, khususnya di wilayah Provinsi Lampung, akan berpengaruh cukup signifikan bagi pengembangan, perkembangan, dan masa depan bahasa Lampung.
Kelima, penutur asli bahasa Lampung, khususnya generasi mudanya, diduga agaknya kurang bersikap positif terhadap bahasa daerah Lampung. Mereka lebih cenderung menggunakan bahasa Indonesia untuk keperluan komunikasi sehari-hari, yang bukan dalam konteks resmi. Beberapa penelitian, seperti Gunarwan (1994), Gunarwan (2001), dan Zawarnis dan Hasnawati Nasution (2009), setidaknya membuktikan hal itu. Untuk konteks yang tidak resmi atau di dalam percakapan sehari-hari, ada baiknya bahasa daerah ini mulai lebih digalakkan penggunaannya.
Tanggung Jawab Kebahasaan
Beberapa persoalan tersebut harus segera diupayakan pemecahannya dan dicarikan jalan keluarnya. Dengan iktikad baik dan kemauan keras yang dilakukan secara berencana, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan berbagai unsur yang relevan di dalam masyarakat, bukan sesuatu yang mustahil untuk mengatasi masalah itu.
Upaya pelestarian, pengembangan, dan pembinaan bahasa Lampung harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Usaha-usaha yang ditempuh tidak dengan sungguh-sungguh tidak akan dapat menghasilkan capaian yang maksimal!
Bahasa Lampung ini adalah milik bersama seluruh warga Lampung. Oleh karena itu, tanggung jawab untuk penggunaan, pelestarian, pembinaan, dan pengembangannya pada hakikatnya adalah tanggung jawab bersama pula. Artinya, semua unsur dalam masyarakat: pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, instansi atau lembaga terkait, dosen, guru, peneliti, agamawan, tokoh masyarakat, media massa, dan seluruh masyarakat Lampung harus bahu-membahu untuk pemajuan bahasa daerah Lampung dan semuanya harus terlibat secara sinergis untuk itu.
Muhammad Muis, Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 12 Maret 2011