Oleh Syarief Makhya
HANYA tersisa waktu kurang dari dua bulan, Unila akan menggelar pemilihan rektor. Tahapan pemilihan rektor sudah mulai dilaksanakan dan sampai sekarang sudah terjaring tiga calon rektor, yaitu Sugeng P. Harianto, Wan Abas Zakaria, dan Paul. Berbeda dengan pemilihan rektor sebelumnya, berdasar Permendiknas No. 24 Tahun 2010, pemilihan rektor Unila sekarang tidak hanya dipilih oleh senat Unila yang berjumlah sekitar 66 orang, tapi juga secara bersama-sama juga akan dipilih oleh Mendiknas dengan proporsi suara sebesar 35%.
Keterlibatan Mendiknas dalam memilih rektor, apa pun alasannya, adalah sebuah bentuk intervensi terhadap otoritas senat yang selama ini otonom dan memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam memilih rektor. Intervensi Mendiknas secara jelas akan berimplikasi buruk terhadap persaingan di lingkungan para kandidat rektor, karena akan memberikan ruang yang bersifat politis sehinga akan sulit untuk menentukan pilihan yang objektif dalam memilih rektor.
Pemilihan rektor bukan hanya agenda rutin pergantian kepemimpinan setiap empat tahunan, melainkan merupakan momentum untuk melakukan reformasi. Jika pemilihan rektor dipahami sebagai agenda untuk melakukan reformasi, isu yang diusung dalam pemilihan rektor bukan isu politis atau isu kampanye hitam. Alangkah tidak elok jika dalam komunitas akademik berkembang isu-isu yang lazimnya dipraktekkan dalam dunia politik praktis, semisal kampanye hitam.
Dalam pemilihan rektor, apa pun sistemnya, akan terjadi persaingan. Namun, persaingan harus mengarah pada perbaikan institusi serta berorientasi pada perubahan. Pemilihan rektor akan ditentukan oleh anggota senat yang mayoritas bergelar profesor dan doktor, maka pemilihan tentu akan dilakukan dengan cara-cara yang rasional. Oleh sebab itu, seharusnya yang terjadi dalam persaingan pemilihan rektor adalah pertarungan gagasan. Siapa yang memiliki dan berkemampuan mengusung gagasan untuk mewujudkan visi misi Unila disertai dengan program-program yang konkret dan oprasional, dari mana pun dan siapa pun kandidat tersebut, layak untuk dipilih. Budaya pemilihan rektor sepertinya belum mengarah pada pertarungan gagasan. Setiap menjelang pemilihan rektor, yang berkembang dikalangan sivitas akademika, bukannya mendiskusikan persoalan gagasan, melainkan masih cenderung pada sentuhan isu-isu yang bersifat emosional dan politis.
Mewujudkan Visi Unila ?
Unila sudah menetapkan visi menjadi 10 perguruan terbaik di Indonesia dan juga hendak go international dalam skema World Class Research University (WCRU). Namun, pertanyaan mendasar strategi implementasi, seperti apa yang bisa mewujudkan visi tersebut? Jawaban atas pertanyaan ini sesungguhhnya yang menjadi pekerjaan rumah bagi rektor Unila ke depan.
Mimpi Unila untuk memosisikan diri sebagai perguruan tinggi yang berdaya saing di tingkat nasional dan international adalah sesuatu yang realistis karena perkembangan komunitas akademik di Unila dari tahun ke tahun menunjukkan membaik.
Namun, pencapaian visi Unila belum didukung kapasitas manajemen dan perubahan budaya akademik yang mendukung terhadap peran Unila sebagai sumber pengembangan ilmu.
Visi Unila, secara subtansial adalah visi pengembangan ilmu, bukan visi dalam pengertian yang bersifat teknis. Oleh sebab itu, pengelolaan sumber daya harus diarahkan pada pengembangan ilmu dan peningkatan kinerja dalam proses pembelajaran. Pengembangan ilmu dan peningkatan proses pembelajaran bukan hanya dalam konteks mengejar peringkat, melainkan sampai seberapa jauh ilmuwan Unila itu mampu memberi kontribusi terhadap masyarakat dan lingkungannya.
Untuk mencapai visi tersebut, penguatan kinerja jurusan atau program studi menjadi penting dan strategis, karena pelaku dan tanggung jawab pengembangan ilmu ada pada unit-unit kecil, yaitu jurusan dengan program-Program studi dan pusat-pusat penelitian.
Upaya lain untuk mewujudkan visi Unila adalah membangun good university governance (GUG) yang sampai sekarang menjadi persoalan mendasar. Visi dan misi Unila hanya bisa diwujudkan apabila manajemen universitas mampu melaksanakan pilar GUG, antara lain kemampuan leadership, integritas, dan manajerial yang baik.
Kapasitas Manajerial dan Akademik
Merujuk pada problem yang dihadapi Unila, prasyarat penting untuk rektor Unila harus memiliki kapasitas manajerial dan kapasitas akademik yang memadai. Kemampuan manejerial ini bukan hanya sebatas pada kemampuan untuk mengelola perguruan tinggi dari aspek pemenuhuan sarana fisik pembelajaran atau pengelolaan sumber dana, melainkan yang paling penting adalah kemampuan untuk memobilisasikan intelectual resource.
Rektor juga harus memiliki kapasitas akademik, karena mengelola perguruan tinggi sangat berbeda dengan mengelola birokrasi pemerintahan pada umumnya. Jabatan rektor dalam persepsi publik adalah simbol intelektual. Oleh sebab itu, rektor juga harus mampu mengelola dan mengarahkan peran transformasi ilmu kepada masyarakat, perguruan tinggi harus menjadi sumber rujukan untuk memberi solusi terhadap problem yang dihadapi di daerah, ia harus mampu memberikan pencerahan pada publik, dan ia harus memiliki komitmen dan kepedulian untuk melakukan perubahan di lingkungan yang ada di sekitarnya serta menawarkan alternatif gagasan untuk melakukan perubahan pada masyarakat.
Syarief Makhya, Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unila
Sumber: Lampung Post, Senin, 25 Juli 2011
No comments:
Post a Comment