Oleh Isbedy Stiawan Z.S.
HARI kedua panggung perempuan Kala Sumatera II di Teater Tertutup Taman Budaya Lampung (TBL) menampilkan Teater Selembayung dari Riau. Kelompok teater pimpinan Fadli Azis ini memanggungkan “Melodi Pengakuan” karya Rina Ne dan sutradara Mimi Suraini.
Selembayung berangkat dari cerita Lancang Kuning yang amat terkenal di Tanah Melayu, terutama Riau dan Kepulauan Riau, mengusahkan seorang perempuan bernama Zubaidah (diperankan oleh Yuliati). Perempuan lugu dan setia pada sang suami, akhirnya (menjadi) korban kekejaman seorang panglima atau nakhoda. Sementara sang suami—Panglima Umar (Ekky Gurin Andika)—lebih dulu menjadi korban.
Rina mengangkat perjuangan perempuan dari kisah Lancang Kuning, sungguh tepat. Untuk masuk ke dalam cerita, dimulai oleh pertanyaan anak kecil yang mendapat tugas dari gurunya. Anak kecil yang diperankan Maudy, pada akhirnya ingin sekali mendengar kisah dari sang ibu (Tri Sepnita). Cerita pun mengalir, melalui pengakuan masing-masing tokoh yang tahu dan dekat dengan Zubaidah dan Panglima Umar.
Dimulai dari pengakuan sang nakhoda yang juga panglima kejam. Ia ternyata tak mengendalikan Lancang Kuning sebagaimana diharapkan—hal ini juga tertulis dalam bait lagunya: kalau nakhoda kurang la paham/alamat kapal akan tenggelam. Demikianlah, Zubaidah menjadi korban. Kapal tenggelam...
Meski Teater Selembayung mengangkat dari legenda Lancang Kuning, cerita yang dipanggungkan ini tak semata berkisah masalah Tanah Melayu melainkan negeri ini. Dapat dibayangkan sekiranya pemimpin tak faham, dipastikan negeri ini akan tenggelam. Dan, ini realitas dari negeri ini.
Di atas Lancang Kuning, ada Inang (Mimi), Bomo (Ahmad), Datuk Laksmana (Naldi), Panglima Hasan (Andre), Zubaidah, dan Panglima Umar. Satu persatu mereka memberi kesaksian (pengakuan) dengan versi masing-masing. Bagaimana nakhoda, dengan angkuh merasa benar meski yang dilakukannya sangatlah kejam. Lalu Datu Laksamana yang menyesali perbuatannya sebab—tak kuasa mencegah malapetaka. Begitupula Inang yang merasa tak mampu menjagai Zubaidah hingga menjadi korban kebejatan.
Dan, kesaksian Panglima Hasan yang dikhianati atas nama membela negeri, harus mengorbankan isteri tercintanya, Zubaidah. Sementara Zubaidah pun, sebagai perempuan mitos negeri yang dianggap menjadi korban, pada kenyataannya mengorbankan dirinya pada Lancang Kuning. Sungguh, realitanya memang perempuan selalu menjadi nomor dua dalam membangun negeri.
Padahal, seperti pengakuan Zubaidah, (adalah) perempuan yang ingin bersikap, perempuan yang ingin berpendapat, perempuan kuat. “Dengarlah, dengarlah, dengarlah... Zubaidah ingin bersaksi.”
Benarkah perempuan dalam suatu negeri ini—bahkan di dunia ini—hanya pelengkap? Bagaimana seorang Tjut Nyak Dien, Kartini, bahkan ibu Fatmawati yang menjahit kain merah dan kain putih lalu menjadi bendera Indonesia yang dikibarkan pertama kali saat Proklamasi RI, 17 Agustus 1945: apakah mereka tak layak berperan dalam membangun negeri ini?
Itulah yang ingin disampaikan Teater Selembayung dalam Panggung Perempuan Kala Sumatera, yang berakhir 29 Juli 2011. Bertolak dari legenda Melayu Lancang Kuning, sebenarnya mereka ingin menegasi sejatinya cerita ini bukan semata persoalan Melayu melainkan negeri ini secara umum.
Mimi Suraini sebagai sutradara, memang tidak memberi penokohan sekaligus karakter para pemainnya. Setiap pemain, berdialog sendiri sebagai kesaksian (pengakuan) atas Lancang Kuning dan perempuan Zubaidah. Sehingga sepanjang pementasan, penonton tidak disuguhkan dialog pingpong antar-tokoh. Laiknya monolog, para pemain asyik dengan diri sendiri. Percakapan mono itu berlangsung hampir sepanjang permainan. Kecuali pada tokoh ibu dan anak.
Cara yang ditempuh Rina dan Mimi bukan tanpa risiko. Pasalnya, sekitar 10 menit dialog usai babak ibu dan anak benar-benar melelahkan. Apatah lagi, vokal yang kadang hilang atau intonasi yang tak jelas.
Bagi penonton yang biasa dihadapkan pada permainan grup—atau dialog satu tokoh dengan tokoh lainnya—terasa sekali pemanggungan “Melodi Pengakuan” ini melelahkan, dan sulit dipahami.
Meski itu sebagai kelemahan, namun penampilan Teater Selembayung ini berkesan. Ada banyak kelebihan: ilustrasi musik, setting panggung yang menyimbolkan sebuah kapal besar cukup dipahami penonton. Beberapa pemainnya, sebenarnya juga kuat. Misalnya pemeran Zubaidah, anak, dan Panglima Umar.
Kemudian penulis cerita yang keliwat oratoris. Beberapa dialog terasa propaganda, sebagaimana dilakukan para pejabat di zaman Orde Baru. Padahal, kalau sedikit saja dilakukan editing niscaya akan apik. Namun, Mimi yang masih bersandar pada bahasa Melayu membuat pementasan ini (akan) dikangeni. Terutama bagi yang sudah jauh dari tatanan kemelayuan, tentu akan mengharap sekali.
Begitulah sedikit apresiasi saya atas pementasan “Melodi Pengakuan” dari Teater Selembayung, Riau. Karena saya sudah mengenal lama kelompok teater ini, memang tampak kemajuan tiap penampilan. Misalnya, kali ini, bagaimana mereka membangun trap hingga tinggi meyerupai di anjungan kapal. Kemudian latar belakang digantung batangan pipa air yang panjang, menyerupai layar/tali kapal. Semua itu pertanda kreativitas yang kecil nilainya.
Panggung Perempuan
Kehadiran anak-anak dari Tanah Melayu itu, seperti memelekkan mata penonton yang dipenuhi para pelajar SMA se-Bandarlampung, bahwa sejatinya kemelayuan belum hilang terkikis zaman. Tradisi Melayu masih kental dalam diri anak-anak muda, sehingga betapapun Teater Selembayung bertolak dari kisah Lancang Kuning tetaplah sampai ke hati penikmat teater di daerah Lampung.
Adalah Kala Sumatera, Gelar Karya Teater Panggung Perempuan yang kali ini memasuki tahun kedua, dilaksanakan di Teater Tertutup TBL dari 25 Juli sampai 29 Juli 2011.
Acara yang ditaja Teater Satu atas bantuan HIVOS Belanda dan didukung antara lain Dewan Kesenian Lampung (DKL) dan Taman Budaya Provinsi Lampung itu, menampilkan grup teater se-Sumatera minus Provinsi Kepulauan Riau, Bangka Belitung, dan Nagroe Aceh Darusalam.
Hari pertama (25/7) menampilkan grup teater UKMF KSS Unila yang mementaskan naskah “Tanah” karya Angraini Agfar dan sutradara Karlina. Sebagai pembuka, UKMF KSS Unila tampil memukau. Para penikmat teater mengaku puas dengan kehadiran anak-anak Universitas Lampung tersebut.
Sejumlah grup teater di Sumatera yang tampil pada Panggung Perempuan se-Sumatera ini, yaitu Teater Mentari Universitas Muhammadiyah Metro, Teater Selembayung (Riau), Teater Rumah Mata (Medan), Teater Donga Cinga Kito (Bengkulu), Teater Catur (Palembang), Komunitas Seni Inner (Jambi), Teater Sakata (Padangpanjang), dan UKMF KSS Unila.
Menurut Direktur Artistik Teater Satu, Iswadi Pratama, pementasan Kala Sumatera II setap hari dimulai 25 Juli hingga 29 Juli 2011. Setiap hari pada pukul 14.30 hingga selesai, mementaskan dua grup teater. Dalam Kala Sumatera ini, penulis naskah dan sutradara harus perempuan.
“Kaum perempuan yang merancang, mengkoordinir latihan, menyutradarai pementasan,” ujar Iswadi Pratama di sela penampilan Teater Selembayung dari Riau.
Dikatakannya, sebelum mereka merancang sebuah pementasan terlebih dulu mengikuti workshop pada Maret 2011 silam di Bandarlampung. Pematerinya saat itu Iwan Nurdaya-Djafar (budayawan), Zen Hae (sastrawan, kritikus pementasan), SN Laila dari LSM perempuan DAMAR, dan Iswadi Pratama sendiri.
Setelah workshop, imbuh penyair ini, mereka ditugaskan menciptakan satu karya teater yang dipentaskan pada Panggung Perempuan ini. “Jadi workshop itu ada hasilnya yang direfresentasikan dalam panggung sekarang ini.
Menurut salah seorang penikmat teater di daerah ini, Kala Sumatera II lebih baik dibanding pada tahun lalu. Hal itu menunjukkan bahwa perempuan punya kemampuan menggarap sebuah pertunjukan, yang selama ini hanya jadi pemain. “Saatnya memang perempuan punya karya,” kata dia seusai menyaksikan “Melodi Pengakuan” Teater Selembayung, Rabu (27/7) lalu.
Seluruh penampilan diamati Novi dari Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta dan Falencia Hutabarat (HIVOS), dan Dino dari FTJ. Pada hari terakhir (29/7) ditutup dengan pementasan grup teater yang diundang, yakni Teater Satu (Lampung) dan Teater Tulang (Solo).
Dua grup bintang tamu akan mementaskan monolog “Kenang-kenangan Seorang Perempuan” karya WS Rendra (Teater Satu), dan “Bila Malam Bertambah Malam” karya Putu Wijaya (Teater Tulang).
Sementara itu, Teater Rumah Mata (Medan) pada Kamis (28/7) mementaskan “Jendela-Jendela” karya Sakinah dan sutradara Sidratul Muntaha. Permainan Rumah Mata tergolong kuat. Meski naskah ini adaptasi dari “Malam Terakhir”-nya Yukio Mishima, di tangan anak-anak Medan ini menjadi cair dan mengalir.
Di panggung hanya tiga pemain: Ayu Lestari (anak kelas 6 SD yang berperan idiot), Sidratul Muntaha (sebagai nenek yang juga idiot), dan Agus Susilo (pemuda yang kerap mengancam dan menggangu nenek). Akhir dari cerita, Ayu Lestari bermimpi menarikan tor-tor.
Terus terang, Ayu Lestari sangat bagus memainkan perannya. Ia konsisten sebagai anak idiot yang seluruh tubuhnya bergoyang. Agaknya, dia layak sebagai pemain teater berbakat di kemudian hari. Hanya itu.
Isbedy Stiawan ZS, sastrawan, penikmat teater, tinggal di Bandarlampung.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 31 Juli 2011
No comments:
Post a Comment