SEKITAR 650 personel di bawah kendali Polda Lampung "menyerbu" kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung Barat, 3—7 Oktober 2011. Ratusan hunian para perambah "selesai".
Gambar dalam foto ini adalah kawasan TNBBS yang sudah digunduli perambah dan ditanami kopi, kakao, dan lainnya lengkap dengan gubuknya. Lokasi ini yang menjadi sasaran tim untuk dimusnahkan.(LAMPUNG POST/HENDRI ROSADI)
Persoalan perambahan di Hutan kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) wilayah Kabupaten Lampung Barat sangat kompleks. Tidak hanya soal kerusakan hutan, satwa, tetapi ratusan kepala keluarga (KK) yang telah mengandalkan hidup dengan menjarah kawasan itu. Mereka tidak punya pencarian lain sehingga tetap nekat meskipun harus berhadapan dengan undang-undang.
Dari sekitar 20 ribu hektare areal TNBBS di Resort Pugung Tampak, sekitar 8.030 hektare atau lebih dari 40% kondisinya rusak parah. Sejauh mata memandang tidak terlihat lagi adanya pohon besar. Kawasan itu telah berubah fungsi menjadi areal perkebunan produktif, seperti kopi, lada, kakao, dan tanaman pertanian lainnya.
Pada Juni 2011, ketika dilangsungkan operasi penurunan perambah, wartawan Lampung Post sempat mewawancarai tokoh masyarakat Pekon (Desa) Rataagung, Kecamatan Lemong, Syahri. Ia pernah menjabat sebagai peratin (kepala desa) pada era 1990-an.
Ia mengatakan awal mula terjadinya aktivitas perambahan hutan di kawasan TNBBS Resort Pugung Tampak terjadi pada 1993. Saat itu, belasan kepala keluarga dari beberapa kecamatan di Pesisir dan wilayah Liwa sekitarnya secara bertahap masuk dalam hutan kawasan dan melakukan pembabatan hutan untuk disulap menjadi areal perkebunan produktif.
Bertambahnya perambah dalam kawasan dan terus berlanjut, apalagi yang telah merambah dan menghasilkan, secara bertahap mengajak sanak keluarga untuk ikut berkebun kedalam hutan. Alhasil, semakin tahun jumlahnya terus bertambah.
Bahkan sejak tahun 2000, pembabatan hutan kawasan yang dilindungi negara tersebut juga dilakukan oleh perambah yang berasal dari kabupaten dan provinsi lainnya. Ada dari Lampung Selatan, Tanggamus, OKU Selatan (Sumsel) hingga yang dari Kaur, Bengkulu.
Suandi (31), seorang perambah asal Kabupaten OKU Selatan, mengaku keluar dari kawasan pada malam hari bersama sekitar 75 KK pada operasi terpadu bulan Juli 2011 lalu. Bapak beranak satu itu mengaku telah mendiami lokasi kawasan sejak tahun 2006, untuk mencari kehidupan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari karena tidak memiliki pekerjaan dan lahan di luar kawasan.
Awalnya ia bersama istrinya hanya bekerja sebagai kuli harian yang membantu mengoret dan memetik buah kopi dan lada milik perambah lain. Karena merasa tidak cukup untuk bertahan hidup, ia pun kemudian nekat membuka lahan sendiri yang masih hutan belantara menjadikannya perkebunan kopi.
Operasi penyisiran perambah oleh petugas memang menjadi momok. Setiap kali ada petugas yang masuk mereka semua pasrah dan berusaha kucing-kucingan. Setelah diketahui petugas telah keluar, mereka kembali beraktivitas seperti biasa.
”Mau diapakan saja saya sudah pasrah, karena kami tidak punya pilihan lain. Mau pulang ke kampung juga tidak ada usaha. Daripada jadi maling lebih baik kami mencari hidup dalam kawasan,” kata dia.
Menurut keterangan Kepala Bidang Pengelolaan TNBBS Wilayah II Edy Susanto, sebelum operasi penurunan perambah sejak 3—7 Oktober 2011 tersebut adalah kali ketiga. Pada Oktober 2010 dan Juni 2011 juga pernah telah dilakukan operasi penurunan perambah, dan upaya pemusnahan tanam tumbuh yang ada di kawasan TNBBS Resort Pugung Tampak.
Sebelum dilakukan operasi, terang Edy, pihak TNBBS bersama aparat kepolisian dan unsur pemerintah daerah telah rutin mengumpulkan peramabah untuk menyosialisasikan agar mereka meninggalkan hutan kawasan yang dilindungi negara itu. Mereka menerangkan mulai dari dasar hukum, tujuan pelarangan hingga dampak dari kerusakan taman nasional.
Namun upaya tersebut, kata Edy, tidak membuat perambah yang berada di dalam kawasan untuk meninggalkannya. Sementara berbagai elemen, baik pemerintah maupun nonpemerintah hingga organisasi pemerhati lingkungan tingkat dunia, terus menyoroti kerusakan TNBBS.
Upaya untuk memulihkan fungsi TNBBS sebagai hutan konservasi dan penyangga kehidupan juga didukung oleh pemerintah kabupaten melalui Surat Keputusan (SK) Bupati Lampung Barat No:B/211/KPTS/II.11/2010. tertanggal 7 Juli 2010 tetang tim terpadu penanganan perambah hutan Lampung Barat.
Keputusan Bupati Lambar tersebut, kata Edy, ditindaklanjuti dengan pembentukan tim terpadu operasi penurunan perambah yang melibatkan berbagai instansi, mulai dari TNBBS, Polres, Kodim, Dinas kehutanan, dan beberapa instansi terkait lainnya di lingkup Pemkab Lambar.
Yang melakukan penurunan perambah pada Oktober 2010, saat berlangsungnya operasi, petugas melakukan pembakaran pondokan dan menangkap tiga orang warga yang kedapatan berada dalam kawasan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun karena hanya diikuti oleh puluhan petugas, operasi tersebut tidak membuahkan hasil maksimal, dan pascaoperasi perambah kembali masuk ke dalam kawasan.
Pada Juni 2011, tim terpadu operasi penurunan perambah kembali beroperasi dengan jumlah personel mencapai 170 orang. Petugas terdiri dari unsur petugas BBTNBBS, Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Polres Lambar, Dinas Kehutanan Lambar, Satuan Polisi Pamong Praja. Juga Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Liwa, Kodim, Rhino Protection Unit (RPU), Yayasan Badak Indonesia (YABI), Satuan Polhut Reaksi Cepat (Sport) Taman Nasional Way Kambas, dan Worldlife Conservation Society (WCS). Mereka melakukan pengosongan di 15 titik yang ada Kecamatan Lemong.
Lagi-lagi usaha tersebut juga tidak menyurutkan niat perambah untuk kembali ke dalam kawasan. Karena operasi yang hanya berlangsung selama tiga hari tersebut masih menyisakan ratusan gubuk dan ratusan hektare areal perkebunan yang tidak sempat dimusnahkan.
Pada 3—7 Oktober 2011, tim terpadu kembali melakukan operasi di bawah komando Jajaran Polda Lampung dengan menerjunkan setidaknya 650 personel dari berbagai kesatuan yang tergabung dalam terpadu operasi penurunan permambah.
Tim tersebut ditugaskan untuk melakukan pengosongan lahan di 15 lokasi. Antara lain Talang Km 72 hingga Keramat Manula, Talang Km 65-Km 72. Talang Way Penaga, Way Selelayang, dan Durianbalak. Selanjutnnya Talang Way Manula, Simpang PDI, Kubu Mutung, Talang Kekup, Pematang Balak, Way Lemong, Simpang Kandis, Way Nungkah, Simpang Lunik, dan Talang Atar Lintik. (HENDRI ROSADI/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 9 Oktober 2011
No comments:
Post a Comment