BANDAR LAMPUNG—Falsafah hidup Adipati Karna dalam perang Kurusetra menjadi inti pertunjukan Teater Satu di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung (TBL) kemarin. Dalam pentas tiga hari, 20—22 Maret, lakon ini yang disajikan sarat pertentangan kelas.
Panggung sore kemarin, dipenuhi kubik-kubik, anak tangga dalam balutan warna kelabu yang mendominasi. Iswadi Pratama, sang sutradara, menerjemahkan Kisah Lain Kurusetra atawa Karna Gugur karya Goenawan Nohammad dalam konsep minimalis.
Dalam naskah asli, konsep pemanggungan gugurnya Karna ini sejatinya berisikan kumpulan monolog dari lima tokoh: Radha, Radheya atau Karna, Resi Parasurama, Kunthi, dan Surtikanti. Namun, Iswadi mencoba melengkapinya dengan menggambarkan momen-momen penting.
"Seseorang mengada, seseorang menjadi, dan dirumuskan adalah karena ilmu, kemampuan, serta tindak dan pilihannya. Bukan karena asal usulnya, bukan dari mana dia berasal," demikian pesan Karna, dalam suratnya kepada Surtikanti, istrinya.
Dikisahkan, Karna, seorang anak yang lahir dari hubungan Kunthi dengan seorang laki-laki asing. Namun, demi menjaga kemurnian silsilah, dia harus rela dibuang ke sungai dan akhirnya ditemukan Radha, istri kusir kereta, kaum Sudra.
Karna mencoba melawan takdir yang tak adil. Ia lahir dengan identitas yang tak bisa dirumuskan, dalam silsilah dan masa lalu yang tak jelas. Ia memilih bertempur dalam perang Kurusetra karena ia telah memilih untuk mengukuhkan jati dirinya, meski harus bertempur dengan adik-adiknya sendiri.
Seisi gedung pertunjukan hening. Alunan musik yang lirih menjadi perangkat paling minim yang digunakan, tapi tetap jadi unsur penting pertunjukan. Sementara itu, tata lampu menjadi pendukung utama menciptakan suasana suram dari pertunjukan yang kaya akan dialog kontemplatif para tokoh.
"Karya ini, tergolong sulit karena berisikan monolog para tokohnya. Saya khawatir hal ini membuat pononton bosan mengikuti kisahnya. Maka, momen-momen penting yang tak ada dalam naskah asli coba kami hidupkan dalam pementasan seperti momen pengukuhan Karna sebagai adipati," ujar Iswadi.
Namun, Budi Laksana yang memerankan tokoh Karna, Hendri Rosfel sebagai mahaguru Parasurama, Ruth Marini sebagai Kunthi, Desi Susanti sebagai Radha, dan Yeli Shinta Laras Utami sebagai Surikanti, berhasil memukau para penonton, meski pementasan berlangsung dalam tempo cukup lambat.
Di akhir cerita, di padang Kurusetra, dalam perang tanding dengan Arjuna itu, Karna kalah melawan kodratnya. Ia mati karena ia lahir dengan identitas yang sulit dirumuskan, tetapi oleh sang guru, ia ditunjuk dengan pasti sebagai kaum kesatria yang oleh sang guru dibenci. Karna pun berperang dalam kutuk dan mantera sang guru yang tak sempurna.
Tokoh Karna yang terampil dan mahir dalam memanah itu, seolah terpaksa kalah dalam perang lantaran identitas yang ia sandang. "Seperti halnya orang miskin di negeri ini, yang hilang kesempatan mengenyam pendidikan layak, bukan karena tak mampu secara akademik, tetapi terpaksa kalah karena faktor ekonomi," ujar Iswadi. (ABDUL GOFUR/U-2)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 21 Maret 2012
No comments:
Post a Comment