KREATIVITAS anak-anak muda Lampung untuk menunjukkan aktivitasnya melalui audio visual independen (film indie) tak terbendung. Mereka terus berkarya meski dengan kamera sederhana dan biaya cekak.
Anak-anak muda ini terus berkarya membuat film indie. Dengan biaya sendiri dan peralatan seadanya, mereka mengubah satu ide kreatif menjadi bentuk audio visual yang bisa dinikmati banyak orang. Meskipun merasa kemampuan membuat film masih kurang, gairah untuk menunjukkan bahwa “kami punya karya” menjadi dorongan semangat.
Multimedia Photografy (MF) Film SMAN 7 Bandar Lampung memakai kamera poket untuk membuat film pendek di tahun 2011. Dari kamera sangat sederhana itulah sekumpulan pelajar itu membuat film berjudul Pancasila Biru. Film bertema nasionalisme itu ternyata memenangkan juara pertama dalam Festival Film Indie Darmajaya 2011.
Salah satu penggiat MP Film, Danar Yudhistira, mengaku kesulitan membuat film dengan memakai kamera poket. Aktor pun dituntut untuk lebih aktif bergerak karena keterbatasan kemampuan kamera. Meskipun demikian, proses praproduksi harus matang supaya film yang dibuat bisa lebih bagus.
Diskusi dengan beberapa penggiat film pun dilakukan oleh MP Film untuk memberikan masukan dalam film yang digarap. Kerja keras mereka pun diganjar dengan mendapat penghargaan sebagai film terbaik.
Lain lagi dengan Komunitas Film Indie Kotabumi, Lampung Utara. Komunitas yang diisi oleh berbagai macam profesi ini pun tetap berkarnya dengan alat handycam dan tripot. Sejak dibentuk dua tahun lalu, mereka sudah menghasilkan dua film. Dua film itu diikutkan dalam FFI Darmajaya dan di tahun 2011 masuk nominasi film terbaik.
Komunitas ini tergolong punya fasilitas yang cukup dengan memiliki studio untuk mengedit film.
Namun, saat ingin mengikuti kompetisi film di Jakarta, mereka terkendala dana sehingga tidak jadi berangkat.
Penggiat Komunitas Film Indie Kotabumi, Muslim Wildan, mengaku sudah mengirimkan satu film pada sebuah kompetisi di Jakarta. Namun, saat diminta untuk datang ke Jakarta, komunitas sedang tidak punya uang dan akhirnya batal.
Menurut Wildan, komunitas pun bekerja sama dengan beberapa sekolah dalam membuat film. Misalnya dalam mencari pemeran film yang dipilih dari beberapa pelajar SMA.
Komunitas Jatisariku juga tidak ketinggalan membuat film indie. Komunitas yang berada di daerah Jatisari, Lampung Selatan, ini sudah memproduksi dua film bergenre action comedy dengan judul Jatisari First Blood I dan Jatisari First Blood II. Pembuatan film yang mengambil lokasi di daerah yang sama ini menggunakan kamera pinjaman. Bahkan, kini komunitas sudah menyelesaikan film ketiga Jatisari First Blood Reloaded.
Menurut Ahmad Suhardi, penggiat Komunitas Jatisariku, membuat film pendek dilakukan karena rasa ingin belajar. Beberapa teman memang ada yang jago membuat efek, jago editing, dan memakai kamera. Setelah berkumpul, akhirnya tercetuslah ide membuat
film. “Kami buat film ingin fun aja,” kata dia.
Film Jatisari First Blood I dan II diikutkan dalam FFI Darmajaya. Sedangkan film ketiga akan diikutkan dalam festival film indie di Yogyakarta.
Komunitas yang aktif membuat film ada juga di Pesawaran. Mereka menamakan diri sebagai Komunitas Film Indie Pesawaran. Komunitas yang dibentuk sejak 2008 ini sudah membuat 30 miniseri untuk televisi lokal dan satu film pendek. Namun, film pendek belum diikutkan dalam festival apa pun.
Ketua Komunitas Film Indie Pesawaran, Rizqon Agustia Fahsa, mengaku belum terlalu percaya diri dengan film yang sudah dibuat.
Komunitas ini rutin melakukan diskusi, sharing, dan nonton bareng untuk meningkatkan kemampuan dalam membuat film. Misalnya, diskusi untuk membuat naskah. Menurut Rizqon, semua anggota komunitas belajar membuat film secara autodidak. “Kami juga download e-book di internet
untuk menambah pengetahuan soal film,” kata dia.
Unit Kegiatan Mahasiswa Darmajaya Computer and Film Club (DCFC) juga bergerak dalam pembuatan film indie. Anggota DCFC Anca mengatakan untuk membuat sebuah film indie, terkadang harus menggunakan uang pribadi. Dana diperlukan untuk membeli kaset dan perlengkapan lain, seperti konsumsi dan uang bensin saat proses pembuatan film.
Selain komunitas, film juga sudah merambah hingga sekolah-sekolah. Misalnya SMAN 1 Bandar Lampung, SMAN 7, SMAN 2, SMAN 9, SMKN 1 Bandar Lampung, SMKN 5. Beberapa sekolah di luar Bandar Lampung pun sudah memiliki ekstrakurikuler film.
Untuk tingkat pelajar, prestasi bidang film ini sangat membanggakan. Film dokumenter buatan pelajar SMKN 5 Bandar Lampung mendapat juara I dalam Festival Film Fajar Yogyakarta tahun 2011. Pada 2010, SMKN 5 Bandar Lampung juga menyabet juara II untuk festival film yang sama.
Ketua Komite Film DKL Dede Safara mengakui bahwa kualitas film para movie maker sudah lumayan bagus. Namun, ia menyesalkan tidak ada konsistensi dalam berkarya dan regenerasi. Ketika sudah memenangi lomba dan lulus sekolah kemudian menghilang. “Yang sangat disayangkan setelah menghilang tidak melakukan regenerasi sehingga tidak ada penerus yang akan menjadi movie maker selanjutnya,” kata dia.
Dede manambahkan pembuat film di Lampung, untuk pelajar dan komunitas, membuat film hanya sebatas ada festival saja. Jika tidak ada perlombaan, tidak ada film yang dibuat. Dia menyebut fenomena ini sebagai gelembung sabun. Ramai jika ada festival dan kemudian pecah jika acara sudah selesai. (PADLI RAMDAN/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 April 2012
Anak-anak muda ini terus berkarya membuat film indie. Dengan biaya sendiri dan peralatan seadanya, mereka mengubah satu ide kreatif menjadi bentuk audio visual yang bisa dinikmati banyak orang. Meskipun merasa kemampuan membuat film masih kurang, gairah untuk menunjukkan bahwa “kami punya karya” menjadi dorongan semangat.
Multimedia Photografy (MF) Film SMAN 7 Bandar Lampung memakai kamera poket untuk membuat film pendek di tahun 2011. Dari kamera sangat sederhana itulah sekumpulan pelajar itu membuat film berjudul Pancasila Biru. Film bertema nasionalisme itu ternyata memenangkan juara pertama dalam Festival Film Indie Darmajaya 2011.
Salah satu penggiat MP Film, Danar Yudhistira, mengaku kesulitan membuat film dengan memakai kamera poket. Aktor pun dituntut untuk lebih aktif bergerak karena keterbatasan kemampuan kamera. Meskipun demikian, proses praproduksi harus matang supaya film yang dibuat bisa lebih bagus.
Diskusi dengan beberapa penggiat film pun dilakukan oleh MP Film untuk memberikan masukan dalam film yang digarap. Kerja keras mereka pun diganjar dengan mendapat penghargaan sebagai film terbaik.
Lain lagi dengan Komunitas Film Indie Kotabumi, Lampung Utara. Komunitas yang diisi oleh berbagai macam profesi ini pun tetap berkarnya dengan alat handycam dan tripot. Sejak dibentuk dua tahun lalu, mereka sudah menghasilkan dua film. Dua film itu diikutkan dalam FFI Darmajaya dan di tahun 2011 masuk nominasi film terbaik.
Komunitas ini tergolong punya fasilitas yang cukup dengan memiliki studio untuk mengedit film.
Namun, saat ingin mengikuti kompetisi film di Jakarta, mereka terkendala dana sehingga tidak jadi berangkat.
Penggiat Komunitas Film Indie Kotabumi, Muslim Wildan, mengaku sudah mengirimkan satu film pada sebuah kompetisi di Jakarta. Namun, saat diminta untuk datang ke Jakarta, komunitas sedang tidak punya uang dan akhirnya batal.
Menurut Wildan, komunitas pun bekerja sama dengan beberapa sekolah dalam membuat film. Misalnya dalam mencari pemeran film yang dipilih dari beberapa pelajar SMA.
Komunitas Jatisariku juga tidak ketinggalan membuat film indie. Komunitas yang berada di daerah Jatisari, Lampung Selatan, ini sudah memproduksi dua film bergenre action comedy dengan judul Jatisari First Blood I dan Jatisari First Blood II. Pembuatan film yang mengambil lokasi di daerah yang sama ini menggunakan kamera pinjaman. Bahkan, kini komunitas sudah menyelesaikan film ketiga Jatisari First Blood Reloaded.
Menurut Ahmad Suhardi, penggiat Komunitas Jatisariku, membuat film pendek dilakukan karena rasa ingin belajar. Beberapa teman memang ada yang jago membuat efek, jago editing, dan memakai kamera. Setelah berkumpul, akhirnya tercetuslah ide membuat
film. “Kami buat film ingin fun aja,” kata dia.
Film Jatisari First Blood I dan II diikutkan dalam FFI Darmajaya. Sedangkan film ketiga akan diikutkan dalam festival film indie di Yogyakarta.
Komunitas yang aktif membuat film ada juga di Pesawaran. Mereka menamakan diri sebagai Komunitas Film Indie Pesawaran. Komunitas yang dibentuk sejak 2008 ini sudah membuat 30 miniseri untuk televisi lokal dan satu film pendek. Namun, film pendek belum diikutkan dalam festival apa pun.
Ketua Komunitas Film Indie Pesawaran, Rizqon Agustia Fahsa, mengaku belum terlalu percaya diri dengan film yang sudah dibuat.
Komunitas ini rutin melakukan diskusi, sharing, dan nonton bareng untuk meningkatkan kemampuan dalam membuat film. Misalnya, diskusi untuk membuat naskah. Menurut Rizqon, semua anggota komunitas belajar membuat film secara autodidak. “Kami juga download e-book di internet
untuk menambah pengetahuan soal film,” kata dia.
Unit Kegiatan Mahasiswa Darmajaya Computer and Film Club (DCFC) juga bergerak dalam pembuatan film indie. Anggota DCFC Anca mengatakan untuk membuat sebuah film indie, terkadang harus menggunakan uang pribadi. Dana diperlukan untuk membeli kaset dan perlengkapan lain, seperti konsumsi dan uang bensin saat proses pembuatan film.
Selain komunitas, film juga sudah merambah hingga sekolah-sekolah. Misalnya SMAN 1 Bandar Lampung, SMAN 7, SMAN 2, SMAN 9, SMKN 1 Bandar Lampung, SMKN 5. Beberapa sekolah di luar Bandar Lampung pun sudah memiliki ekstrakurikuler film.
Untuk tingkat pelajar, prestasi bidang film ini sangat membanggakan. Film dokumenter buatan pelajar SMKN 5 Bandar Lampung mendapat juara I dalam Festival Film Fajar Yogyakarta tahun 2011. Pada 2010, SMKN 5 Bandar Lampung juga menyabet juara II untuk festival film yang sama.
Ketua Komite Film DKL Dede Safara mengakui bahwa kualitas film para movie maker sudah lumayan bagus. Namun, ia menyesalkan tidak ada konsistensi dalam berkarya dan regenerasi. Ketika sudah memenangi lomba dan lulus sekolah kemudian menghilang. “Yang sangat disayangkan setelah menghilang tidak melakukan regenerasi sehingga tidak ada penerus yang akan menjadi movie maker selanjutnya,” kata dia.
Dede manambahkan pembuat film di Lampung, untuk pelajar dan komunitas, membuat film hanya sebatas ada festival saja. Jika tidak ada perlombaan, tidak ada film yang dibuat. Dia menyebut fenomena ini sebagai gelembung sabun. Ramai jika ada festival dan kemudian pecah jika acara sudah selesai. (PADLI RAMDAN/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 April 2012
Halo kawan-kawan komunitas Film Indie "Lampung", Britsh Council dan Arthur Guinness Fund tengah mengadakan "Journalism Commpetition" pada programme BC-AGF Community Entrepreneurs Challenge Wave 3. launchingnya dapa dilihat pada http://www.youtube.com/watch?v=QMU5Gg4lCTM
ReplyDeletepembukaan aplikasinya mulai tanggal 12 May 2012 - 31 July 2012. untuk aplikasi dan keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada http://www.britishcouncil.org/id/indonesia-entrepreneurship-cec.htm
senang sekali jiga teman2 dapat berpartisipasi dalam kompetisi tersebut.
terima kasih,
Sri Nalarani
British Council - Indonesia
sri.nalarani@britishcouncil.or.id