Oleh Febrie Hastiyanto
DALAM sayup-sayup kerinduan di tanah seberang, menyaksikan pertikaian antarkelompok warga di Lampung baru-baru ini (yang kemudian diidentifikasi berasal dari dua etnis berbeda) membuat saya terluka. Kita semua tentu sepakat seharusnya konflik dan pertikaian tak boleh ada di bumi Lampung.Untuk sampai pada situasi ini tampaknya kita harus banyak memaknai ulang perspektif filsafat kehidupan masing-masing kelompok. Pada dasarnya semua filsafat kehidupan berlaku universal sehingga dapat disebut bahwa filsafat kehidupan seluruhnya setia pada kebaikan. Namun tafsir, penghayatan, dan implementasi filsafat hidup yang dikodifikasi dalam sistem nilai kebudayaan sering menyebabkan distorsi atas nilai-nilai luhur yang dikandung sistem-sistem nilai yang ada.
Mendiskusikan isu-isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) hari-hari ini memang riskan. Namun, bersikap menghindari diskusi soal-soal SARA juga tak taktis. Betapa pun pahitnya dan kita tutupi (misalnya dalam konteks jurnalisme perdamaian atau wawasan kebangsaan) realitasnya isu etnisitas adalah isu yang aktual terjadi dalam masyarakat. Sudah saatnya kita memberanikan diri mendiskusikan soal etnisitas karena kebiasaan kita menghindari diskusi soal etnisitas justru membuat salah pengertian semakin berpotensi terjadi. Sudah tentu diskusi soal etnisitas mula-mula hendak memperoleh pengetahuan masing-masing etnografi yang ada untuk kemudian mencari formula bagaimana etnis-etnis yang ada dapat hidup berdampingan, saling memahami serta menghargai.
Masyarakat Heterogen
Kesadaran mula-mula yang perlu ditumbuhkan di antara kita adalah pengakuan bahwa Lampung dihuni oleh masyarakat yang heterogen. Hubungan antarbudaya dalam masyarakat heterogen setidaknya dapat berujud tiga formula: etnosentrisme, peleburan (melting pot), atau pluralisme/multikulturalisme (Nurdaya, 2012). Rasa-rasanya kita semua sepakat model hubungan etnosentrisme hampir-hampir mustahil terjadi tanpa paksaan (coercion) dalam masyarakat heterogen hari ini. Pilihannya kemudian adalah formula peleburan (melting pot) atau pluralisme. Dalam konteks keindonesiaan, saudara kita etnis Tionghoa pernah berada pada persimpangan-budaya: masuk dalam melting pot Indonesia melalui gerakan pembaruan/asimilasi melalui wadah Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB)—antara lain dengan mengubah nama diri ke dalam bahasa Indonesia, maupun mereka yang tetap setia pada kebudayaan Tionghoa, bahkan sebagian memilih menjadi WN China ketika tahun 1950-1960-an pemerintah menerbitkan kebijakan naturalisasi.
Relasi yang sejajar dalam masyarakat heterogen dan multikultur adalah penghormatan terhadap pluralitas. Pluralitas mengandaikan masing-masing kultur saling menghormati, tidak ada kultur yang dependen terhadap kultur lain (dalam skema asimilasi, misalnya), sekaligus masing-masing kultur mendapat tempat yang sama untuk melakukan internalisasi dan pewarisan nilai-nilai. Ikatan yang yang menyatukan masyarakat heterogen adalah kedudukan yang sama sebagai penduduk/warga dalam satu wilayah. Nilai-nilai, cita-cita dan tujuan wilayah (dalam hal ini nasionalisme Indonesia) adalah nilai yang mengikat masing-masing warga (negara)-nya.
‘Nemui Nyimah’
Dalam Kuntara Raja Niti, disebutkan nilai-nilai yang diwariskan dalam tradisi masyarakat etnis Lampung adalah piil pesenggiri (perilaku yang memantulkan nilai-nilai yang luhur, berjiwa besar, tahu diri, serta tahu kewajiban), bejuluk beadek (mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya), nemui nyimah (sikap terbuka serta ramah menerima tamu), nengah nyampur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis), dan sakai sembayan (gotong royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya).
Ketika terjadi konflik warga (yang berasal dari etnis berbeda) kita sering mendengar konsepsi nemui nyimah dan piil pesenggiri menguat untuk dibincangkan.
Dalam konsepsi nemui nyimah umumnya disebutkan agar tuan rumah mampu bersikap terbuka dan ramah, serta sebaliknya tamu bersikap tahu diri dan menghargai tuan rumah. Sedang konsepsi piil pesenggiri yang kerap dibincangkan adalah distorsi pemaknaan perilaku (Arab: fiil) dan keharusan bermoral tinggi (pesenggiri) yang bergeser menjadi perasaan ingin besar, ingin dihargai, tak ingin lebih rendah/kalah dari orang lain—yang disebut sebagai ijdelheid dalam bahasa Belanda (Hadikusuma, 1989). Padahal praktek piil pesenggiri sebagaimana dirilis Kuntara Raja Niti tidak lepas dari pedoman untuk berlaku arif dan bijaksana dalam memecahkan masalah (way ni dang robok, iwa ni dapok), termasuk memahami anggota masyarakat yang kehendaknya tidak sama (pak huma pak sapu, pak jelma pak semapu, sepuluh pandai sebelas ngulih-ulih, sepuluh tawai sebelas milih-pilih) (Anshory, 2007).
Untuk mendudukkan konsepsi nemui nyimah dalam masyarakat multikultur agaknya kita perlu memahami karakteristik “tamu” yang kini bermukim di Lampung. "Tamu" di Lampung hari ini adalah penduduk keturunan generasi keempat, kelima, keenam bahkan ketujuh bila kita rujuk dari kontingen pertama transmigrasi tahun 1905, maupun gelombang transmigrasi tahun 1950-an, 1960-an, dan 1970-an. "Tamu" dari Bali datang ke Lampung paling tidak sejak 1962 ketika mereka ditransmigrasikan sebab Gunung Agung meletus. Mulanya imigran dari seberang ini memegang teguh tradisinya, bahkan bermukim di daerah-daerah kantong (enklave) transmigran.
Seiring perkembangan, tradisi kultural yang dilakukan semakin tergerus modernisasi. Mereka yang telah beberapa generasi di Lampung selalu dianggap "tamu", sementara di tanah leluhurnya di Jawa dan Bali, mereka tak lagi dianggap "Jawa dan Bali". Mereka tak lagi menjadi Jawa atau Bali (atau etnis-asal lain), kecuali satu-dua tetes darah secara genealogi. Praktek kultural mereka, termasuk saudaranya etnis Lampung semakin kosmopolit seiring introduksi kebudayaan yang sudah sama sekali "nasional". /Kondisi psikologis-kultural ini tak menguntungkan bagi kedua pihak. Sering mereka berlaku sebagai "tamu" karena selalu diperlakukan sebagai "tamu".
Dalam konteks masyarakat multikultur dengan semangat pluralisme, sudah saatnya konsepsi nemui nyimah ditafsir ulang. Siapa pun penduduk yang bermukim di Lampung adalah warga Lampung dan tak lagi dianggap sebagai “tamu” oleh sebab genealogi atau etnisnya sepanjang ia dapat hidup dan menjadi bagian masyarakat Lampung yang setia pada nilai-nilai luhur filsafat kehidupan universal. Tabik. n
Febrie Hastiyanto, Putra Way Kanan, kini mukim di Tegal. Alumnus Sosiologi FISIP UNS
Sumber: Lampung Post, Minggu, 1 April 2012
DALAM sayup-sayup kerinduan di tanah seberang, menyaksikan pertikaian antarkelompok warga di Lampung baru-baru ini (yang kemudian diidentifikasi berasal dari dua etnis berbeda) membuat saya terluka. Kita semua tentu sepakat seharusnya konflik dan pertikaian tak boleh ada di bumi Lampung.Untuk sampai pada situasi ini tampaknya kita harus banyak memaknai ulang perspektif filsafat kehidupan masing-masing kelompok. Pada dasarnya semua filsafat kehidupan berlaku universal sehingga dapat disebut bahwa filsafat kehidupan seluruhnya setia pada kebaikan. Namun tafsir, penghayatan, dan implementasi filsafat hidup yang dikodifikasi dalam sistem nilai kebudayaan sering menyebabkan distorsi atas nilai-nilai luhur yang dikandung sistem-sistem nilai yang ada.
Mendiskusikan isu-isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) hari-hari ini memang riskan. Namun, bersikap menghindari diskusi soal-soal SARA juga tak taktis. Betapa pun pahitnya dan kita tutupi (misalnya dalam konteks jurnalisme perdamaian atau wawasan kebangsaan) realitasnya isu etnisitas adalah isu yang aktual terjadi dalam masyarakat. Sudah saatnya kita memberanikan diri mendiskusikan soal etnisitas karena kebiasaan kita menghindari diskusi soal etnisitas justru membuat salah pengertian semakin berpotensi terjadi. Sudah tentu diskusi soal etnisitas mula-mula hendak memperoleh pengetahuan masing-masing etnografi yang ada untuk kemudian mencari formula bagaimana etnis-etnis yang ada dapat hidup berdampingan, saling memahami serta menghargai.
Masyarakat Heterogen
Kesadaran mula-mula yang perlu ditumbuhkan di antara kita adalah pengakuan bahwa Lampung dihuni oleh masyarakat yang heterogen. Hubungan antarbudaya dalam masyarakat heterogen setidaknya dapat berujud tiga formula: etnosentrisme, peleburan (melting pot), atau pluralisme/multikulturalisme (Nurdaya, 2012). Rasa-rasanya kita semua sepakat model hubungan etnosentrisme hampir-hampir mustahil terjadi tanpa paksaan (coercion) dalam masyarakat heterogen hari ini. Pilihannya kemudian adalah formula peleburan (melting pot) atau pluralisme. Dalam konteks keindonesiaan, saudara kita etnis Tionghoa pernah berada pada persimpangan-budaya: masuk dalam melting pot Indonesia melalui gerakan pembaruan/asimilasi melalui wadah Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB)—antara lain dengan mengubah nama diri ke dalam bahasa Indonesia, maupun mereka yang tetap setia pada kebudayaan Tionghoa, bahkan sebagian memilih menjadi WN China ketika tahun 1950-1960-an pemerintah menerbitkan kebijakan naturalisasi.
Relasi yang sejajar dalam masyarakat heterogen dan multikultur adalah penghormatan terhadap pluralitas. Pluralitas mengandaikan masing-masing kultur saling menghormati, tidak ada kultur yang dependen terhadap kultur lain (dalam skema asimilasi, misalnya), sekaligus masing-masing kultur mendapat tempat yang sama untuk melakukan internalisasi dan pewarisan nilai-nilai. Ikatan yang yang menyatukan masyarakat heterogen adalah kedudukan yang sama sebagai penduduk/warga dalam satu wilayah. Nilai-nilai, cita-cita dan tujuan wilayah (dalam hal ini nasionalisme Indonesia) adalah nilai yang mengikat masing-masing warga (negara)-nya.
‘Nemui Nyimah’
Dalam Kuntara Raja Niti, disebutkan nilai-nilai yang diwariskan dalam tradisi masyarakat etnis Lampung adalah piil pesenggiri (perilaku yang memantulkan nilai-nilai yang luhur, berjiwa besar, tahu diri, serta tahu kewajiban), bejuluk beadek (mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya), nemui nyimah (sikap terbuka serta ramah menerima tamu), nengah nyampur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis), dan sakai sembayan (gotong royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya).
Ketika terjadi konflik warga (yang berasal dari etnis berbeda) kita sering mendengar konsepsi nemui nyimah dan piil pesenggiri menguat untuk dibincangkan.
Dalam konsepsi nemui nyimah umumnya disebutkan agar tuan rumah mampu bersikap terbuka dan ramah, serta sebaliknya tamu bersikap tahu diri dan menghargai tuan rumah. Sedang konsepsi piil pesenggiri yang kerap dibincangkan adalah distorsi pemaknaan perilaku (Arab: fiil) dan keharusan bermoral tinggi (pesenggiri) yang bergeser menjadi perasaan ingin besar, ingin dihargai, tak ingin lebih rendah/kalah dari orang lain—yang disebut sebagai ijdelheid dalam bahasa Belanda (Hadikusuma, 1989). Padahal praktek piil pesenggiri sebagaimana dirilis Kuntara Raja Niti tidak lepas dari pedoman untuk berlaku arif dan bijaksana dalam memecahkan masalah (way ni dang robok, iwa ni dapok), termasuk memahami anggota masyarakat yang kehendaknya tidak sama (pak huma pak sapu, pak jelma pak semapu, sepuluh pandai sebelas ngulih-ulih, sepuluh tawai sebelas milih-pilih) (Anshory, 2007).
Untuk mendudukkan konsepsi nemui nyimah dalam masyarakat multikultur agaknya kita perlu memahami karakteristik “tamu” yang kini bermukim di Lampung. "Tamu" di Lampung hari ini adalah penduduk keturunan generasi keempat, kelima, keenam bahkan ketujuh bila kita rujuk dari kontingen pertama transmigrasi tahun 1905, maupun gelombang transmigrasi tahun 1950-an, 1960-an, dan 1970-an. "Tamu" dari Bali datang ke Lampung paling tidak sejak 1962 ketika mereka ditransmigrasikan sebab Gunung Agung meletus. Mulanya imigran dari seberang ini memegang teguh tradisinya, bahkan bermukim di daerah-daerah kantong (enklave) transmigran.
Seiring perkembangan, tradisi kultural yang dilakukan semakin tergerus modernisasi. Mereka yang telah beberapa generasi di Lampung selalu dianggap "tamu", sementara di tanah leluhurnya di Jawa dan Bali, mereka tak lagi dianggap "Jawa dan Bali". Mereka tak lagi menjadi Jawa atau Bali (atau etnis-asal lain), kecuali satu-dua tetes darah secara genealogi. Praktek kultural mereka, termasuk saudaranya etnis Lampung semakin kosmopolit seiring introduksi kebudayaan yang sudah sama sekali "nasional". /Kondisi psikologis-kultural ini tak menguntungkan bagi kedua pihak. Sering mereka berlaku sebagai "tamu" karena selalu diperlakukan sebagai "tamu".
Dalam konteks masyarakat multikultur dengan semangat pluralisme, sudah saatnya konsepsi nemui nyimah ditafsir ulang. Siapa pun penduduk yang bermukim di Lampung adalah warga Lampung dan tak lagi dianggap sebagai “tamu” oleh sebab genealogi atau etnisnya sepanjang ia dapat hidup dan menjadi bagian masyarakat Lampung yang setia pada nilai-nilai luhur filsafat kehidupan universal. Tabik. n
Febrie Hastiyanto, Putra Way Kanan, kini mukim di Tegal. Alumnus Sosiologi FISIP UNS
Sumber: Lampung Post, Minggu, 1 April 2012
No comments:
Post a Comment