PAGARDEWA adalah salah satu kampung tua di Lampung. Terletak di pinggir Way Tulangbawang, kampung ini memiliki eksotisme sejarah dan kisah-kisah raja-raja Lampung.
Kampung pinggir sungai ini berada di Kabupaten Tulangbawang Barat. Beredar cerita-cerita rakyat dengan bukti autentik berupa barang peninggalan dan makam-makam tua. Sayangnya, kampung itu terkesan terisolasi dari perkampungan lain.
Betapa tidak, guna menjangkau kampung yang dihuni tak kurang 2.000 jiwa itu, harus melintasi jalan rusak dan berdebu hingga puluhan kilometer. Lebih parah lagi, kampung yang telah ada sejak sekitar abad V atau VI Masehi itu tak memiliki jaringan listrik yang disuplai pihak PT PLN laiknya kampung lain di provinsi ini.
Untuk menjangkau Kampung Pagardewa, ada beberapa jalur alternatif yang bisa kita tempuh. Jalur pertama dari Unit II Tulangbawang atau lebih dikenal Jalur Etanol. Sebab, pada jalur tersebut terdapat sebuah industri etanol. Jalur sepanjang sekitar 25 kilometer yang rusak itu melintasi sejumlah kampung tetangga.
Jalur kedua, pengunjung dapat melintasi Unit VI dengan jarak tempuh hampir sama dengan jalur pertama. Pada jalur kedua itu pun jalan dalam kondisi rusak parah, berdebu, dan banyak lubang. "Kalau jalannya bagus, dari Menggala bisa kurang satu jam," kata Bahrain, warga Kampung Pagardewa yang kini menetap di Bandar Lampung.
Ketika Lampung Post sampai di Pagardewa, banyak kita jumpai kendaraan mewah yang parkir pada sisi kiri dan kanan jalan. Mereka bukan saja warga asal kampung itu yang pulang kampung, melainkan banyak juga mereka yang berasal dari daerah lain yang bermaksud ziarah ke makam para ulama atau raja Islam yang dimakamkan di kampung itu.
Selain itu, kita juga dapat menjumpai bangunan masjid, rumah panggung yang dibangun ratusan tahun silam. Tak hanya itu, di ujung kampung kita dapat memanfaatkan waktu istirahat di tepi sungai Tulangbawang dengan semilir angin yang nan sejuk. Sesekali tampak nelayan dengan perahu mereka hilir mudik di sungai besar itu.
Sambil menikmati semilir angin dari hulu sungai Tulangbawang, Bahrain banyak bercerita tentang keberadaan Kerajaan Tulangbawang termasuk Kampung Tua Pagardewa. Menurut kisah, Kerajaan Tulangbawang maupun Kampung Pagardewa telah ada jauh sebelum Islam masuk ke Lampung atau telah ada sejak abad V atau VI Masehi.
Meskipun hingga kini Kerajaan Tulangbawang tak jelas keberadaannya, sejumlah pihak menyatakan jika kerajaan itu terletak di hulu Kota Menggala atau Kampung Pagardewa sekarang. Hal itu dibuktikan adanya sejumlah makam (keramat) seperti makam Rio Mangku Bumi, Ratu Bagus Koneng, H. Pajurit Glr Minak Kemala Bumi, dan makam sejumlah tokoh atau raja Islam lainnya.
Selain itu, Kampung Pagardewa merupakan kawasan yang terletak di hulu Sungai Tulangbawang yang mengalir ke hilir, yakni ke Kampung Teladas/Dente, Way Kanan, Negeri Besar, Way Kiri hingga ke Tabu Kayu dan Negeri Jungkarang.
Mengapa dinamakan Pagardewa? Dari sebuah buku berjudul Kerajaan Tulangbawang Sebelum dan Sesudah Islam karangan H. Assa'ih Akip (1976) menjelaskan bahwa Pagardewa berasal dari dua kata yakni Pagar dan Dewa. Artinya, sebuah kampung yang di dalamnya dikelilingi keramat atau makam yang menurut anggapan masyarakat kampung itu sama halnya dengan dewa karena kesaktian mereka semasa hidup.
Selain sakti, para tokoh yang dimakamkan di kampung itu banyak menyimpan beragam mukjizat seperti dengan mudah menyembuhkan orang sakit serta kesaktian lain.
"Ada satu ungkapan yang hingga kini masih diingat orang, yakni Pagardewou Mengan Jimo yang berarti orang Pagardewa makan orang," kata Bahrain.
Sebenarnya, kata dia, ungkapan itu tidak demikian. Saat itu Minak Pati Pajurit Gelar Minak Kemalo Bumi akan ke Negeri Balau Kedamaian (saat ini Kedaton, Bandar Lampung) bermaksud mempersunting putri Raja Dibalau untuk dijadikan permaisuri. Agar sampai di Negeri Balau, Pati Pajurit melintasi jalur laut, yakni dari hulu Sungai Tulangbawang menuju Laut Jawa dan tiba di muara Way Lunik, Panjang.
Tiba di Way Lunik, Pati Pajurit lalu bermalam. Dan malam itu, pria yang memiliki ilmu sakti itu menangkap seekor rusa dan langsung memanggangnya. Sementara, prajurit Ratu Dibalau yang melihat hal itu beranggapan jika Pati Pajurit sedang memanggang manusia. Minak Pati Pajurit yang sadar aksinya itu disaksikan sejumlah prajurit dengan lahap menyantap daging rusa yang dipanggangnya itu. Dan, sejumlah prajurit Ratu Dibalau itu pun kian ketakutan.
"Jadi ungkapan orang Pagardewa makan orang itu enggak benar. Karena orang Pagardewa itu juga manusia biasa," kata dia.
Dalam buku itu juga dijelaskan, sekitar tahun 1950-an, jika telah larut malam di Kampung Pagardewa, warga tak jarang mendengar suara-suara aneh. Antara lain tabuhan musik kerajaan dan hiruk pikuk manusia seolah sedang menggelar sebuah pesta. Anehnya, ketika beragam suara-suara aneh didekati, suara itu pun menghilang dan yang tinggal sebuah kesenyapan.
"Tak dimungkiri, hingga kini Kampung Tua Pagardewa banyak menyimpan misteri dan cerita aneh dari tokoh terdahulu," kata Bahrain yang didampingi Karmani.
Hal-hal aneh lain yang kerap dijumpai warga kampung itu adalah saat mereka mencari rotan di hutan ujung kampung. Di tengah hutan itu, warga kerap melihat sebuah bangunan rumah megah seperti istana yang lengkap dengan gong besar terbuat dari emas serta peralatan kerajan lain. "Ini bukan takhayul. Tapi, benar-benar terjadi. Dan, di Kampung Pagardewa memang banyak menyimpan misteri," kata dia. (CHAIRUDIN/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 April 2012
Kampung pinggir sungai ini berada di Kabupaten Tulangbawang Barat. Beredar cerita-cerita rakyat dengan bukti autentik berupa barang peninggalan dan makam-makam tua. Sayangnya, kampung itu terkesan terisolasi dari perkampungan lain.
Betapa tidak, guna menjangkau kampung yang dihuni tak kurang 2.000 jiwa itu, harus melintasi jalan rusak dan berdebu hingga puluhan kilometer. Lebih parah lagi, kampung yang telah ada sejak sekitar abad V atau VI Masehi itu tak memiliki jaringan listrik yang disuplai pihak PT PLN laiknya kampung lain di provinsi ini.
Untuk menjangkau Kampung Pagardewa, ada beberapa jalur alternatif yang bisa kita tempuh. Jalur pertama dari Unit II Tulangbawang atau lebih dikenal Jalur Etanol. Sebab, pada jalur tersebut terdapat sebuah industri etanol. Jalur sepanjang sekitar 25 kilometer yang rusak itu melintasi sejumlah kampung tetangga.
Jalur kedua, pengunjung dapat melintasi Unit VI dengan jarak tempuh hampir sama dengan jalur pertama. Pada jalur kedua itu pun jalan dalam kondisi rusak parah, berdebu, dan banyak lubang. "Kalau jalannya bagus, dari Menggala bisa kurang satu jam," kata Bahrain, warga Kampung Pagardewa yang kini menetap di Bandar Lampung.
Ketika Lampung Post sampai di Pagardewa, banyak kita jumpai kendaraan mewah yang parkir pada sisi kiri dan kanan jalan. Mereka bukan saja warga asal kampung itu yang pulang kampung, melainkan banyak juga mereka yang berasal dari daerah lain yang bermaksud ziarah ke makam para ulama atau raja Islam yang dimakamkan di kampung itu.
Selain itu, kita juga dapat menjumpai bangunan masjid, rumah panggung yang dibangun ratusan tahun silam. Tak hanya itu, di ujung kampung kita dapat memanfaatkan waktu istirahat di tepi sungai Tulangbawang dengan semilir angin yang nan sejuk. Sesekali tampak nelayan dengan perahu mereka hilir mudik di sungai besar itu.
Sambil menikmati semilir angin dari hulu sungai Tulangbawang, Bahrain banyak bercerita tentang keberadaan Kerajaan Tulangbawang termasuk Kampung Tua Pagardewa. Menurut kisah, Kerajaan Tulangbawang maupun Kampung Pagardewa telah ada jauh sebelum Islam masuk ke Lampung atau telah ada sejak abad V atau VI Masehi.
Meskipun hingga kini Kerajaan Tulangbawang tak jelas keberadaannya, sejumlah pihak menyatakan jika kerajaan itu terletak di hulu Kota Menggala atau Kampung Pagardewa sekarang. Hal itu dibuktikan adanya sejumlah makam (keramat) seperti makam Rio Mangku Bumi, Ratu Bagus Koneng, H. Pajurit Glr Minak Kemala Bumi, dan makam sejumlah tokoh atau raja Islam lainnya.
Selain itu, Kampung Pagardewa merupakan kawasan yang terletak di hulu Sungai Tulangbawang yang mengalir ke hilir, yakni ke Kampung Teladas/Dente, Way Kanan, Negeri Besar, Way Kiri hingga ke Tabu Kayu dan Negeri Jungkarang.
Mengapa dinamakan Pagardewa? Dari sebuah buku berjudul Kerajaan Tulangbawang Sebelum dan Sesudah Islam karangan H. Assa'ih Akip (1976) menjelaskan bahwa Pagardewa berasal dari dua kata yakni Pagar dan Dewa. Artinya, sebuah kampung yang di dalamnya dikelilingi keramat atau makam yang menurut anggapan masyarakat kampung itu sama halnya dengan dewa karena kesaktian mereka semasa hidup.
Selain sakti, para tokoh yang dimakamkan di kampung itu banyak menyimpan beragam mukjizat seperti dengan mudah menyembuhkan orang sakit serta kesaktian lain.
"Ada satu ungkapan yang hingga kini masih diingat orang, yakni Pagardewou Mengan Jimo yang berarti orang Pagardewa makan orang," kata Bahrain.
Sebenarnya, kata dia, ungkapan itu tidak demikian. Saat itu Minak Pati Pajurit Gelar Minak Kemalo Bumi akan ke Negeri Balau Kedamaian (saat ini Kedaton, Bandar Lampung) bermaksud mempersunting putri Raja Dibalau untuk dijadikan permaisuri. Agar sampai di Negeri Balau, Pati Pajurit melintasi jalur laut, yakni dari hulu Sungai Tulangbawang menuju Laut Jawa dan tiba di muara Way Lunik, Panjang.
Tiba di Way Lunik, Pati Pajurit lalu bermalam. Dan malam itu, pria yang memiliki ilmu sakti itu menangkap seekor rusa dan langsung memanggangnya. Sementara, prajurit Ratu Dibalau yang melihat hal itu beranggapan jika Pati Pajurit sedang memanggang manusia. Minak Pati Pajurit yang sadar aksinya itu disaksikan sejumlah prajurit dengan lahap menyantap daging rusa yang dipanggangnya itu. Dan, sejumlah prajurit Ratu Dibalau itu pun kian ketakutan.
"Jadi ungkapan orang Pagardewa makan orang itu enggak benar. Karena orang Pagardewa itu juga manusia biasa," kata dia.
Dalam buku itu juga dijelaskan, sekitar tahun 1950-an, jika telah larut malam di Kampung Pagardewa, warga tak jarang mendengar suara-suara aneh. Antara lain tabuhan musik kerajaan dan hiruk pikuk manusia seolah sedang menggelar sebuah pesta. Anehnya, ketika beragam suara-suara aneh didekati, suara itu pun menghilang dan yang tinggal sebuah kesenyapan.
"Tak dimungkiri, hingga kini Kampung Tua Pagardewa banyak menyimpan misteri dan cerita aneh dari tokoh terdahulu," kata Bahrain yang didampingi Karmani.
Hal-hal aneh lain yang kerap dijumpai warga kampung itu adalah saat mereka mencari rotan di hutan ujung kampung. Di tengah hutan itu, warga kerap melihat sebuah bangunan rumah megah seperti istana yang lengkap dengan gong besar terbuat dari emas serta peralatan kerajan lain. "Ini bukan takhayul. Tapi, benar-benar terjadi. Dan, di Kampung Pagardewa memang banyak menyimpan misteri," kata dia. (CHAIRUDIN/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 April 2012
No comments:
Post a Comment