JAKARTA (Lampost): Pemerintah diharapkan tidak cuci tangan, tapi mesti terlibat dalam menyelamatkan sebanyak 7812 petambak Dipasena, khususnya menyangkut kemitraan dan hak kewajiban inti plasma sebagaimana surat PT PPA Persero tertanggal 15 Juni 2007.
PELUNCURAN BUKU. Fadilasari (tengah) berbicara dalam diskusi dan bedah bukunya, Dipasena: Kemitraan, Konflik, dan Perlawanan Petani Udang di Jakarta, Selasa (5-6). Diskusi juga menghadirkan utusan petambak udang, Towilun, dengan moderator Sekjen Kiara Abdul Halim. (LAMPUNG POST/HESMA ERYANI)
Demikian terungkap dalam diskusi dan bedah buku Dipasena: Kemitraan, Konflik, dan Perlawanan Petani Udang, di Jakarta, Selasa (5-6). Diskusi menghadirkan penulis buku Fadilasari, utusan petambak udang Towilun, dan moderator Abdul Halim (Sekjen Kiara).
Menurut Fadila, di balik kisruh yang selalu mencuat di Dipasena, ada cerita panjang yang terangkai. Bahkan, sejak awal Dipasena dibuka ribuan petambak itu merasa ditipu oleh perusahaan mitra, baik dari segi finansial maupun sosial. "Ternyata, pemerintah selama ini tidak tegas dan kurang berpihak pada ribuan petani udang di Dipasena," kata Fadila.
Menurut Abdul Halim, sengketa muncul saat perjanjian kerja sama disepakati antara inti dan plasma. Inti persoalannya adalah ketidakterbukaan dan monopoli serta wanprestasi perusahaan.
Sementara itu, menurut Towilun, dalam praktek di lapangan terjadi pola kemitraan yang tidak beres. Bahkan, pihak perusahaan tidak mau belajar dari kesalahan. Pola kemitraan yang seharusnya dikembangkan adalah berbentuk bagi hasil.
Fadila juga melihat konsep kemitraan ini belum ideal. Dia menyarankan disusun Undang-Undang Kemitraan Spesifik karena untuk perusahaan Dipasena terdapat aset sangat besar dan ribuan petambak.
Terkait dengan bukunya, wartawan MetroTV ini mengatakan buku tersebut berusaha mencari solusi penyelesaian konflik Dipasena. "Dipasena semestinya bisa menjadi penopang perekonomian dari sektor nonmigas," katanya.
Untuk itu, tentunya perlu ada tulisan yang kronologis dan sebab-akibat bagaimana rangkaian konflik itu terjadi sehingga publik tidak bisa melihat sepotong-sepotong. (HES/U-2)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 6 Juni 2012
PELUNCURAN BUKU. Fadilasari (tengah) berbicara dalam diskusi dan bedah bukunya, Dipasena: Kemitraan, Konflik, dan Perlawanan Petani Udang di Jakarta, Selasa (5-6). Diskusi juga menghadirkan utusan petambak udang, Towilun, dengan moderator Sekjen Kiara Abdul Halim. (LAMPUNG POST/HESMA ERYANI)
Demikian terungkap dalam diskusi dan bedah buku Dipasena: Kemitraan, Konflik, dan Perlawanan Petani Udang, di Jakarta, Selasa (5-6). Diskusi menghadirkan penulis buku Fadilasari, utusan petambak udang Towilun, dan moderator Abdul Halim (Sekjen Kiara).
Menurut Fadila, di balik kisruh yang selalu mencuat di Dipasena, ada cerita panjang yang terangkai. Bahkan, sejak awal Dipasena dibuka ribuan petambak itu merasa ditipu oleh perusahaan mitra, baik dari segi finansial maupun sosial. "Ternyata, pemerintah selama ini tidak tegas dan kurang berpihak pada ribuan petani udang di Dipasena," kata Fadila.
Menurut Abdul Halim, sengketa muncul saat perjanjian kerja sama disepakati antara inti dan plasma. Inti persoalannya adalah ketidakterbukaan dan monopoli serta wanprestasi perusahaan.
Sementara itu, menurut Towilun, dalam praktek di lapangan terjadi pola kemitraan yang tidak beres. Bahkan, pihak perusahaan tidak mau belajar dari kesalahan. Pola kemitraan yang seharusnya dikembangkan adalah berbentuk bagi hasil.
Fadila juga melihat konsep kemitraan ini belum ideal. Dia menyarankan disusun Undang-Undang Kemitraan Spesifik karena untuk perusahaan Dipasena terdapat aset sangat besar dan ribuan petambak.
Terkait dengan bukunya, wartawan MetroTV ini mengatakan buku tersebut berusaha mencari solusi penyelesaian konflik Dipasena. "Dipasena semestinya bisa menjadi penopang perekonomian dari sektor nonmigas," katanya.
Untuk itu, tentunya perlu ada tulisan yang kronologis dan sebab-akibat bagaimana rangkaian konflik itu terjadi sehingga publik tidak bisa melihat sepotong-sepotong. (HES/U-2)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 6 Juni 2012
No comments:
Post a Comment