Data buku
Menulis dengan Telinga. Adian Saputra. Indepth Publishing, Bandar Lampung, Juni 2012. xvi + 138 hlm.
DALAM dunia kepenulisan dan jurnalisme umumnya, kerap muncul penulis dadakan yang jejak karyanya tidak begitu jelas dalam dunia tulis-menulis, tiba-tiba muncul buku karyanya yang kemudian ternyata malah bisa menjadi best seller, laris manis terjual di pasaran dan diburu untuk dibaca habis oleh para pembacanya.
Tapi, banyak pula di antara para penulis itu ternyata memiliki rekam jejak yang sangat jelas dan terukur dalam aktivitas kepenulisan sehingga layak mendapatkan predikat sebagai penulis yang sesungguhnya.
Adian Saputra adalah salah satu penulis asal Lampung yang berupaya menapaki jejak karier kepenulisannya ke tingkat lebih tinggi, secara bersungguh-sungguh telah memperjuangkannya. Rekam jejaknya yang mulai aktif menulis sejak masih sekolah di SMA Negeri 2 Bandar Lampung dengan menulis di majalah sekolahnya, Derap Pelajar.
Aktif di pers mahasiswa Pilar Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Lampung (Unila) dengan jabatan terakhir redaktur pelaksana. Ia sempat pula menjadi Pemimpin Redaksi Buletin Median Post, Isyhad, dan Cakrawala, serta aktif menulis di surat kabar mahasiswa (SKM) Teknokra. Lalu, bergabung dan menjadi pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung, setelah bekerja di harian Lampung Post-hingga sekarang.
Rekam jejak kepenulisan, berbagai pengalaman, dan prestasi di bidang jurnalistik dan lomba kepenulisan, menjadikannya seorang penulis yang sebenar-benarnya.
Pengalaman praktis faktual dan empirik (empirical experience) inilah yang lebih banyak dipaparkan secara apik, runtut, dan dialogis oleh Adian Saputra dalam buku ini. Buku ini bernas, berbobot, tapi "tidak berat" dicerna pembacanya.
Menulis dengan Telinga boleh dibilang sebagai sebuah karya buku individual, pengalaman nyata (empirical experience-book story).
Pengalaman suka dan duka, jerih payah, pahit getir, trial and error, mencoba-salah-dikembalikan, tapi terus mencoba lagi sampai berhasil, secara gamblang disampaikan kepada para pembacanya.
Tulisan dalam buku ini malah akan mampu menjadi pemandu dan pedoman serta guru yang sebenarnya, terutama bagi peminat dunia tulis menulis.
Dalam buku ini Adian menuturkan urut-urutan pengalaman empirik kepenulisan tersebut. Mulai dari soal bakat, mood, daily activity, berpikir kritis, tulisan opini, pasarkan tulisan, kiat "merayu" redaktur agar tulisan dimuat, teknik blitzkrieg opini, tulisan spesialis kontra generalis, cerita anak hingga resensi buku.
Penulis juga membagi resep jitu menampung ide-ide segar yang seakan tiada kering, pedoman menggunakan bahasa jurnalistik yang resik dan asyik, serta sejumlah kiat kepenulisan.
Gaya bertutur (naratif-deskriptif) dengan pilihan kata dan kalimat yang sesuai dengan cara bertutur bahasa lisan umumnya- tapi mampu ditranskripsikan dalam bentuk bahasa tulis oleh penulisnya—menjadi keunggulan tersendiri.
Menarik pula dalam setiap pergantian bab pokok bahasan (20 bab) buku ini, juga ditampilkan ilustrasi gambar karikaturis, dengan bahasa pergaulan sehari-hari anak muda yang sejalan dengan topik telah dibahas penulisnya.
Nyaris tiada cacat dan cela terdapat dalam buku ini. Namun, pada setiap awal topik (bab), masih terdapat jeda halaman kosong yang lumayan longgar, dan boleh jadi sebenarnya terlalu lebar, tanpa apa-apa. Padahal di bagian bawah setiap halamannya tampak menjadi terasa menyempit dalam beberapa halaman di dalamnya yang terasakan menjadi gangguan keindahan tata letak dan ilustrasi yang sudah lumayan apik dalam buku ini.
Mengingat sebagian besar materi dalam buku ini merupakan pengalaman empiris penulisnya, akhirnya tidak bisa tidak, buku ini pun menjadi karya tulis yang sangat "individualis" dari sudut pandang penulis bersangkutan, kendati dalam setiap topik bahasan selalu disisipkan panduan teoritikal, berbagai referensi, dan pedoman kiat serta panduan menulis dari berbagai sumber di dalamnya.
Semua itu, lagi-lagi, bukan menunjukkan kekurangan buku ini, tapi sekaligus membuktikan kekuatannya.
Namun, betapa pun juga, karya tulis berupa buku yang dinilai sebaik apa pun—oleh pembaca dan para kritikus—tetaplah belum sempurna dan selalu memiliki catatan kekurangan tersendiri untuk bahan mengevaluasi diri bagi karya pembuatan dan penerbitan buku selanjutnya.
Buku Menulis dengan Telinga ini menjadi sangat penting untuk dibaca, khususnya untuk para peminat dunia tulis-menulis. Kendati diterbitkan dan ditulis dari Lampung, buku ini tak kalah bergengsi dan berbobot, dibandingkan buku tentang kepenulisan yang pernah diterbitkan di negeri ini, seperti halnya karya Arswendo Atmowiloto, Seno Gumira Ajidarma, dan beberapa penulis (buku) terkenal lainnya, seperti Andrea Hirata (tetralogi Laskar Pelangi) atau Habiburrahman El Shirazy (novel Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih).
Boleh jadi, buku ini akan juga menjadi buku yang termasuk laris di pasaran dan banyak dibaca orang.
Budisantoso Budiman, jurnalis
Sumber: Lampung Post, Minggu, 08 Juli 2012
No comments:
Post a Comment