Kritikus yang Cermat
Oleh K.H. M. Arief Mahya**
SAYA melihat Harian Umum Lampung Post kini sangat indah, stijl, dan opmaakt. Di sisi kiri atas halaman muka ada "Buras" yang ditulis khusus oleh penulis kawakan yang Pemimpin Umum harian tersebut, Bapak H. Bambang Eka Wijaya.
Di salah satu halaman bagian dalam Lampung Post, di bawah Tajuk, ada kolom "Nuansa". Banyak di antaranya ditulis Zulkarnain Zubairi yang sering menggunakan nama samaran Udo Z. Karzi.
Saya kenal Udo Z. Karzi karena kami berdua sama kelahiran Liwa, Lampung Barat.
Buras dan Nuansa tersebut bermuatan kritikan segar, kritik membangun (opbouuwen-critik) atas hal ilwal yang terjadi di daerah (lokal). Ada pula isu nasional yang memang patut dikritisi, terutama oleh para penulis dan wartawan "angkatan berpena".
Dalam kaidah budaya Lampung Barat, jika umpamanya si A anak laki-laki tertetua seseorang, dia mempunyai adik kandung satu orang atau lebih (B atau juga ada C dan D) laki-laki atau juga perempuan, maka B, C, dan D tersebut harus memanggil (bertutur) Udo terhadap si A. Dan, C, D memanggil Abang untuk si B. Si D memanggil Kakak untuk si C. Budaya tutur ini tidak boleh kacau. Ini diajarkan sejak seseorang masih kecil.
Bertutur Udo begitu berlaku pula untuk keturunan A, B, C, dan D. Untuk anak laki-laki tertua si A (AA), maka semua anak dari B, C, dan D, baik laki-laki maupun perempuan yang umurnya di bawah AA, semua harus memanggil Udo, terhadap AA. Demikian berlanjut pada cucu dan cicit A, B, C, dan D selanjutnya.
Maka, mengertilah kita bahwa Udo Z. Karzi adalah anak laki-laki tertua dari ayahnya. Di lingkungan struktur kerabatnya, Udo Z. Karzi sedikit banyak mempunyai "anak buah". Artinya, bagaimana pun Udo Z. Karzi berfungsi sebagai pemimpin di kerabatnya.
Saya kagum pada kemampuan Udo Z. Karzi menulis. Dalam kurun waktu tiga tahun (2002-2004), setidaknya ia telah menulis 101 tulisan untuk kolom Nuansa Lampung Post. Rinciannya, 34 judul tahun 2002, 33 judul tahun 2003, dan 34 judul tahun 2004.
Tulisannya, komprehensif dan teliti. Maka, saya dengan ini memberinya predikat "kritikus yang cermat".
Jika Buras mengandung kritikan dengan sistem "kelakar", maka Nuansa, terutama yang ditulis Udo Z. Karzi berisi kritikan dengan sistem "ratapan" (bahasa Lampung Barat: buhiwang).
Keberadaan Buras dan Nuansa di media cetak menurut saya memang diperlukan. Tulisan semacam ini bisa menjadi semacam dialog atau obrolan Gareng, Petruk, Semar di pewayangan. Kadangkala, dalam percakapan mereka pun mengkritisi bendoro (penguasa) mereka sendiri.
Kritik yang dikemas dengan sistem seperti itu, pernah ada pula di media elektronik. Dulu, pernah ada segmentasi "Obrolan Pak Besut" di RRI Perjuangan Yogyakarta (1945-1948) dengan Asmuni dan Asmunah sebagai kelompok yang diperankan dalam obrolan. Isi acara ini bernada kritikan menyejukkan yang membuat masyarakat pendengar mendapat pesan dan kesan yang benar tentang perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia dan segala hal yang berkaitan dengannya.
Ketika membaca Buras dan Nuansa di Lampung Post, saya terkenang kritikan Pak Besut di RRI Yogya. Tapi di balik itu, ada rasa "sedih" saya melihat telah 60 tahun Indonesia merdeka, masih saja banyak keadaan belum berpisah dari apa yang dikritik. Namun demikian, kritik tetap harus ada dari semua pihak.
Saya mendorong Udo Z. Karzi agar dapat terus-menerus menjadi aktivis pengemban tugas berat, tetapi mulia tersebut. Terus perankan Mamak Kenut dan Minan Tunja.
Semoga!
* Buku Mamak Kenut, Orang Lampung Punya Celoteh karya Udo Z. Karzi diterbitkan Indepth Pubishing, Bandar Lampung, Juni 2012. xxii + 126 hlm.
** K.H. M. Arief Mahya, intelektual muslim, tinggal di Bandar Lampung
Oleh K.H. M. Arief Mahya**
SAYA melihat Harian Umum Lampung Post kini sangat indah, stijl, dan opmaakt. Di sisi kiri atas halaman muka ada "Buras" yang ditulis khusus oleh penulis kawakan yang Pemimpin Umum harian tersebut, Bapak H. Bambang Eka Wijaya.
Di salah satu halaman bagian dalam Lampung Post, di bawah Tajuk, ada kolom "Nuansa". Banyak di antaranya ditulis Zulkarnain Zubairi yang sering menggunakan nama samaran Udo Z. Karzi.
Saya kenal Udo Z. Karzi karena kami berdua sama kelahiran Liwa, Lampung Barat.
Buras dan Nuansa tersebut bermuatan kritikan segar, kritik membangun (opbouuwen-critik) atas hal ilwal yang terjadi di daerah (lokal). Ada pula isu nasional yang memang patut dikritisi, terutama oleh para penulis dan wartawan "angkatan berpena".
Dalam kaidah budaya Lampung Barat, jika umpamanya si A anak laki-laki tertetua seseorang, dia mempunyai adik kandung satu orang atau lebih (B atau juga ada C dan D) laki-laki atau juga perempuan, maka B, C, dan D tersebut harus memanggil (bertutur) Udo terhadap si A. Dan, C, D memanggil Abang untuk si B. Si D memanggil Kakak untuk si C. Budaya tutur ini tidak boleh kacau. Ini diajarkan sejak seseorang masih kecil.
Bertutur Udo begitu berlaku pula untuk keturunan A, B, C, dan D. Untuk anak laki-laki tertua si A (AA), maka semua anak dari B, C, dan D, baik laki-laki maupun perempuan yang umurnya di bawah AA, semua harus memanggil Udo, terhadap AA. Demikian berlanjut pada cucu dan cicit A, B, C, dan D selanjutnya.
Maka, mengertilah kita bahwa Udo Z. Karzi adalah anak laki-laki tertua dari ayahnya. Di lingkungan struktur kerabatnya, Udo Z. Karzi sedikit banyak mempunyai "anak buah". Artinya, bagaimana pun Udo Z. Karzi berfungsi sebagai pemimpin di kerabatnya.
Saya kagum pada kemampuan Udo Z. Karzi menulis. Dalam kurun waktu tiga tahun (2002-2004), setidaknya ia telah menulis 101 tulisan untuk kolom Nuansa Lampung Post. Rinciannya, 34 judul tahun 2002, 33 judul tahun 2003, dan 34 judul tahun 2004.
Tulisannya, komprehensif dan teliti. Maka, saya dengan ini memberinya predikat "kritikus yang cermat".
Jika Buras mengandung kritikan dengan sistem "kelakar", maka Nuansa, terutama yang ditulis Udo Z. Karzi berisi kritikan dengan sistem "ratapan" (bahasa Lampung Barat: buhiwang).
Keberadaan Buras dan Nuansa di media cetak menurut saya memang diperlukan. Tulisan semacam ini bisa menjadi semacam dialog atau obrolan Gareng, Petruk, Semar di pewayangan. Kadangkala, dalam percakapan mereka pun mengkritisi bendoro (penguasa) mereka sendiri.
Kritik yang dikemas dengan sistem seperti itu, pernah ada pula di media elektronik. Dulu, pernah ada segmentasi "Obrolan Pak Besut" di RRI Perjuangan Yogyakarta (1945-1948) dengan Asmuni dan Asmunah sebagai kelompok yang diperankan dalam obrolan. Isi acara ini bernada kritikan menyejukkan yang membuat masyarakat pendengar mendapat pesan dan kesan yang benar tentang perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia dan segala hal yang berkaitan dengannya.
Ketika membaca Buras dan Nuansa di Lampung Post, saya terkenang kritikan Pak Besut di RRI Yogya. Tapi di balik itu, ada rasa "sedih" saya melihat telah 60 tahun Indonesia merdeka, masih saja banyak keadaan belum berpisah dari apa yang dikritik. Namun demikian, kritik tetap harus ada dari semua pihak.
Saya mendorong Udo Z. Karzi agar dapat terus-menerus menjadi aktivis pengemban tugas berat, tetapi mulia tersebut. Terus perankan Mamak Kenut dan Minan Tunja.
Semoga!
* Buku Mamak Kenut, Orang Lampung Punya Celoteh karya Udo Z. Karzi diterbitkan Indepth Pubishing, Bandar Lampung, Juni 2012. xxii + 126 hlm.
** K.H. M. Arief Mahya, intelektual muslim, tinggal di Bandar Lampung
No comments:
Post a Comment