Oleh Tandi Skober
BENARKAH taman pikir Jokowi bernuansa alur zikir Mamak Kenut, berbalut kentut Ki Semar mesem? Tanda tanya Tandi ini meluncur pada sebuah diskusi "secangkir kopi buat Indonesia" (23-9) di kedai depan Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung. Bisa jadi memang begitu itu. Jokowi telah mematematika kearifan kultural sebagai teologi kerakyatan. Heriditas pesona personality yang bertasbih pada jiwa rakyatlah yang membuat Jokowi dihalalkan duduk di mobil berpelat nomor B-1. Ia tahu bahwa, "All political theology, should be no more and no less than folk political theology, political theology of the people." (C. Song, 1982). Artinya: Semua teologi politik seharusnya menjadi teologi politik rakyat dan teologi politik tentang rakyat.
Tersebab itu, tidak aneh meskipun Fauzi Bowo memiliki kekayaan Rp59,3 miliar, didukung koalisi parpol segede gajah, berhiaskan kumis yang selalu disemir hitam dan citrakan diri sebagai sosok muslim istikamah, toh pada Pilkada Jakarta, Kamis (20-9), ambruk dikalahkan Joko Widodo dengan score 45,89% berbanding 54,11%. "Kumis di hari kamis tidak bagus dijadikan arena zero sum game pilkada," tuturku di hadapan peserta diskusi. Tapi Foke tidak juga mau mengerti. Bahkan diyakini bahwa jiwa manusia Jawa memosisikan kumis?rambut yang tumbuh di atas bibir di bawah hidung itu?sebagai simbol pria perkasa sekaligus tetenger sejatining drajating praja. Ia membuntuti pikiran bos Parpol Demokrat SBY. Timur Pradopo jadi kapolri disebabkan memiliki kumis melintang. SBY pada 2004 memilih Jusuf Kalla untuk melenggang ke istana disebabkan kumis tipis Kalla mirip Charlie Chaplin yang kerap disebut sebagai kumis politik pembawa berkah. Lantas ketika tahu Joko Widodo tidak berkumis, kian dipertebal pula kumis Foke.
Ah, Foke, andai dikau berteman daku juga Udo Z. Karzi di Facebook, pasti taulah bahwa tragedi kumis Foke di hari Kamis sudah diprediksi akan menjadi kartu mati Pilkada DKI. Tapi nasi sudah menjadi tai, mustahil dipungut ulang untuk dimakan. Yang bisa dicermati bahwa Jokowi tiap kali buat testimoni selalu diawali dengan tertawa hehehe usai itu lontarkan aksesori orasi yang cerdas. Tertawa hehehe Jokowi adalah presentasi kultural bercirikan kerakyatan khas wayang Semar sedang lontaran testimoni cerminkan aura negara batin Mamak Kenut. Terus? Kami peserta diskusi bersepakat bahwa wajah Jokowi mirip banget dengan peraih Hadiah Sastra Rancage 2008 bernama Udo Z. Karzi. "Simak, wajah tirus bertubuh kurus Jokowi cerminkan lelananging jagad yang mengadop frasa budaya Solo "cegah dahar kalawan guling," ucap saya yang disambut dengan tepuk tangan meriah.
Dalam arti lain, Jokowi kibarkan jargon teologi kultural yang berbasis pada hasrat steril akar rumput. Ini bisa dilihat ketika ada tetes eces di sudut bibir Jokowi saat melahap nasi bungkus. Hal ini paling tidak menjadi cerita citra kesalehan sosial akar rumput yang mengesankan. Bahkan ketika Jokowi tahu persis jerit tangis rakyat saat Pilkada Solo, ia ogah membalihokan gambar diri. Kenapa? Sebab rakyat tidak butuh gambar dan sesumbar. Rakyat itu butuh sandang, papan, pangan, dan udud.
Tapi itu sudah! Semua serba salah kaprah, Foke! Frasa lama Jawa ingatkan bahwa "Lanang lirlanangira yen tinemu kumis apes kamis wekasan". Lelaki akan kehilangan kelakiannya bila kumis di hari Kamis dijadikan simbol politik kekuasaan. Kumis di hari Kamis disarankan hanya untuk pemanis hubungan seksual di sebuah kamar harum bersama istri hingga fajar subuh menjelang. "Malam Jumat adalah malam ibadah menunaikan hajat kumis," tulis saya di Facebook.
Usai itu, Jumat pagi, sang pemilik kumis layak mengadop amalan Kanjeng Nabi Muhammad saw. seperti diriwayatkan Bukhari bahwa ada, "Lima perkara yang termasuk fitrah, yaitu mencukur bulu kemaluan, berkhitan, memotong kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku."
Kumis ?Baplang?
Itu sudah! Sebagai sesama lansia tak elok kumis dipelihara, diplintir-plintir agar dilirik rakyat. Emang sih, kumis dalam perspektif teologi kultural Darma Ayu, Cirebon pertengahan abad ke-16, juga pernah menjadi tetenger dealetika demokrasi manunggaling kawula gusti. Era itu, ada pergulatan yang memetafor kumis sebagai kesatuan substansional suara kawula adalah suara gusti. Gusti yang berkumis dan kawula klimis selayaknya memanunggal lir manis kalawan madu manunggaling kawula-gusti. Kawula adalah rakyat dan gusti adalah Tuhan. Ikhwal ini bersebrangan dengan mindset penguasa saat itu yang memosisikan penguasa sebagai emanasi Ilahiah bersifat otonom dan tunggal. Dengan begitu, mustahil gusti berkumis dan kawula klimis menjadi satu kesatuan emban ingemban selawase.
Pengusung jargon yang bertentangan dengan mindset penguasa bernama Kantong Bolong. Seperti Mamak Kenut di Lampung, narasi sejarah Cirebon menuturkan bahwa Kantong Bolong adalah personifikasi nagara batin di hamparan akar rumput Dermayu. Ia memiliki kumis baplang?tidak jelas apakah Mamak Kenut juga berkumis? ia juga bersuara serak-serak basah berwajah aneh yang ngangenin. Disebabkan itu kumis Kantong Balong menjadi idola di dataran akar rumput. Kenapa? Kantong Bolong mendekonstruksi orientasi duniawi ke ruang steril ukhrawi. Ia tuding saudagar yang kuasai Pelabuhan Cimanuk adalah bayang-bayang mentalitas tak terpuji. Salah satu dari cacat besar sekaligus beban berat saat menyebrangi sirotolmustakim adalah wong ati saudagar.
Dari perdebatan antara penguasa dan Kantong Bolong inilah muncul teologi kerakyatan bahwa hanya suara rakyat yang bisa menentukan siapa yang layak menjadi penguasa. Hanya Kantong Bolong yang berkumislah yang layak menjadi demang Darma Ayu. Demokrasi kawula gusti ini menjadi pembicaraan di kalangan kasultanan Ceribon. Tersebab itu, Kesultanan Ceribon mengutus Nyi Endang Darma Ayu untuk membenahi kalbu rakyat Cimanuk. Maka peradilan kumis Kantong Bolong pun digelar. Nyi Endang paparkan bahwa suara rakyat bukan suara Tuhan tapi pada posisi tertentu adalah suara hantu. Mayoritas umat manusia pada zaman Nabi Nuh as. menentang dakwah nabi Nuh as., zaman Nabi Isa as. menentang dakwah Nabi Isa as., juga di era nabi Muhammad saw.. Artinya, suara mayoritas rakyat malah bertentangan dengan ajaran Tuhan.
Kantong Bolong kian terpuruk. Terlebih lagi saat Nyi Endang paparkan hanya Ahlul Halli wal ?Aqdi, yaitu kalangan ulama, ahli fiqih dan orang-orang yang mumpuni dalam bidangnya masing-masing yang mampu menempatkan siapa menduduki kursi apa. "Kumismu itu kumis ikan lele, Ki Sanak Kantong Balong," ujar Nyi Endang, "Hal aneh ketika bumi dicacah kuasa dan memutuskan kerumitan dengan cara menyembah pada pendapat banyak manusia. Ini lakon ling lang lung. Sebab, kebanyakan manusia itu bersepakat di atas kekufuran kepada Allah swt.. Mereka merekayasa fajir dan dhalim sebagai kesepakatan yang tidak terjelaskan."
Kumis Umbel
Kantong Bolong kalah! Ia duduk ngelemprak di hadapan Nyi Endang Darma Ayu. Ia menyayat ujung hidung. Darah Kantong Bolong membasahi jaringan kumis dan menetes ke tanah tiap kali Kantong Bolong paparkan esensi dari demokrasi kawula gusti. Sayatan darah merah itulah yang menjadi cikal-bakal berdirinya pedukuhan Lemah Abang (Tanah Merah) Sekober Indramayu.
Adakah pada Kamis (20-9), kumis dikau pada hakikatnya mendaur ulang kumis Kantong Bolong, wahai Foke? Benarkah taman pikir Jokowi bernuansa alur zikir Mamak Kenut, berbalut kentut Ki Semar mesem? Saya hanya angkat bahu! Sebab, narasi sejarah kabarkan bahwa sejak kumis Kantong Bolong memble di hari kamis, sejak itulah muncul rintihan macapat berbunyi "Benjing amenanging kala tida, wong duwur dadi umbul-umbul, wong cilik tengal-tengul nyedoti kumis umbel, brebes milih tetangisan."
Tandi Skober, budayawan
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 29 september 2012
BENARKAH taman pikir Jokowi bernuansa alur zikir Mamak Kenut, berbalut kentut Ki Semar mesem? Tanda tanya Tandi ini meluncur pada sebuah diskusi "secangkir kopi buat Indonesia" (23-9) di kedai depan Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung. Bisa jadi memang begitu itu. Jokowi telah mematematika kearifan kultural sebagai teologi kerakyatan. Heriditas pesona personality yang bertasbih pada jiwa rakyatlah yang membuat Jokowi dihalalkan duduk di mobil berpelat nomor B-1. Ia tahu bahwa, "All political theology, should be no more and no less than folk political theology, political theology of the people." (C. Song, 1982). Artinya: Semua teologi politik seharusnya menjadi teologi politik rakyat dan teologi politik tentang rakyat.
Tersebab itu, tidak aneh meskipun Fauzi Bowo memiliki kekayaan Rp59,3 miliar, didukung koalisi parpol segede gajah, berhiaskan kumis yang selalu disemir hitam dan citrakan diri sebagai sosok muslim istikamah, toh pada Pilkada Jakarta, Kamis (20-9), ambruk dikalahkan Joko Widodo dengan score 45,89% berbanding 54,11%. "Kumis di hari kamis tidak bagus dijadikan arena zero sum game pilkada," tuturku di hadapan peserta diskusi. Tapi Foke tidak juga mau mengerti. Bahkan diyakini bahwa jiwa manusia Jawa memosisikan kumis?rambut yang tumbuh di atas bibir di bawah hidung itu?sebagai simbol pria perkasa sekaligus tetenger sejatining drajating praja. Ia membuntuti pikiran bos Parpol Demokrat SBY. Timur Pradopo jadi kapolri disebabkan memiliki kumis melintang. SBY pada 2004 memilih Jusuf Kalla untuk melenggang ke istana disebabkan kumis tipis Kalla mirip Charlie Chaplin yang kerap disebut sebagai kumis politik pembawa berkah. Lantas ketika tahu Joko Widodo tidak berkumis, kian dipertebal pula kumis Foke.
Ah, Foke, andai dikau berteman daku juga Udo Z. Karzi di Facebook, pasti taulah bahwa tragedi kumis Foke di hari Kamis sudah diprediksi akan menjadi kartu mati Pilkada DKI. Tapi nasi sudah menjadi tai, mustahil dipungut ulang untuk dimakan. Yang bisa dicermati bahwa Jokowi tiap kali buat testimoni selalu diawali dengan tertawa hehehe usai itu lontarkan aksesori orasi yang cerdas. Tertawa hehehe Jokowi adalah presentasi kultural bercirikan kerakyatan khas wayang Semar sedang lontaran testimoni cerminkan aura negara batin Mamak Kenut. Terus? Kami peserta diskusi bersepakat bahwa wajah Jokowi mirip banget dengan peraih Hadiah Sastra Rancage 2008 bernama Udo Z. Karzi. "Simak, wajah tirus bertubuh kurus Jokowi cerminkan lelananging jagad yang mengadop frasa budaya Solo "cegah dahar kalawan guling," ucap saya yang disambut dengan tepuk tangan meriah.
Dalam arti lain, Jokowi kibarkan jargon teologi kultural yang berbasis pada hasrat steril akar rumput. Ini bisa dilihat ketika ada tetes eces di sudut bibir Jokowi saat melahap nasi bungkus. Hal ini paling tidak menjadi cerita citra kesalehan sosial akar rumput yang mengesankan. Bahkan ketika Jokowi tahu persis jerit tangis rakyat saat Pilkada Solo, ia ogah membalihokan gambar diri. Kenapa? Sebab rakyat tidak butuh gambar dan sesumbar. Rakyat itu butuh sandang, papan, pangan, dan udud.
Tapi itu sudah! Semua serba salah kaprah, Foke! Frasa lama Jawa ingatkan bahwa "Lanang lirlanangira yen tinemu kumis apes kamis wekasan". Lelaki akan kehilangan kelakiannya bila kumis di hari Kamis dijadikan simbol politik kekuasaan. Kumis di hari Kamis disarankan hanya untuk pemanis hubungan seksual di sebuah kamar harum bersama istri hingga fajar subuh menjelang. "Malam Jumat adalah malam ibadah menunaikan hajat kumis," tulis saya di Facebook.
Usai itu, Jumat pagi, sang pemilik kumis layak mengadop amalan Kanjeng Nabi Muhammad saw. seperti diriwayatkan Bukhari bahwa ada, "Lima perkara yang termasuk fitrah, yaitu mencukur bulu kemaluan, berkhitan, memotong kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku."
Kumis ?Baplang?
Itu sudah! Sebagai sesama lansia tak elok kumis dipelihara, diplintir-plintir agar dilirik rakyat. Emang sih, kumis dalam perspektif teologi kultural Darma Ayu, Cirebon pertengahan abad ke-16, juga pernah menjadi tetenger dealetika demokrasi manunggaling kawula gusti. Era itu, ada pergulatan yang memetafor kumis sebagai kesatuan substansional suara kawula adalah suara gusti. Gusti yang berkumis dan kawula klimis selayaknya memanunggal lir manis kalawan madu manunggaling kawula-gusti. Kawula adalah rakyat dan gusti adalah Tuhan. Ikhwal ini bersebrangan dengan mindset penguasa saat itu yang memosisikan penguasa sebagai emanasi Ilahiah bersifat otonom dan tunggal. Dengan begitu, mustahil gusti berkumis dan kawula klimis menjadi satu kesatuan emban ingemban selawase.
Pengusung jargon yang bertentangan dengan mindset penguasa bernama Kantong Bolong. Seperti Mamak Kenut di Lampung, narasi sejarah Cirebon menuturkan bahwa Kantong Bolong adalah personifikasi nagara batin di hamparan akar rumput Dermayu. Ia memiliki kumis baplang?tidak jelas apakah Mamak Kenut juga berkumis? ia juga bersuara serak-serak basah berwajah aneh yang ngangenin. Disebabkan itu kumis Kantong Balong menjadi idola di dataran akar rumput. Kenapa? Kantong Bolong mendekonstruksi orientasi duniawi ke ruang steril ukhrawi. Ia tuding saudagar yang kuasai Pelabuhan Cimanuk adalah bayang-bayang mentalitas tak terpuji. Salah satu dari cacat besar sekaligus beban berat saat menyebrangi sirotolmustakim adalah wong ati saudagar.
Dari perdebatan antara penguasa dan Kantong Bolong inilah muncul teologi kerakyatan bahwa hanya suara rakyat yang bisa menentukan siapa yang layak menjadi penguasa. Hanya Kantong Bolong yang berkumislah yang layak menjadi demang Darma Ayu. Demokrasi kawula gusti ini menjadi pembicaraan di kalangan kasultanan Ceribon. Tersebab itu, Kesultanan Ceribon mengutus Nyi Endang Darma Ayu untuk membenahi kalbu rakyat Cimanuk. Maka peradilan kumis Kantong Bolong pun digelar. Nyi Endang paparkan bahwa suara rakyat bukan suara Tuhan tapi pada posisi tertentu adalah suara hantu. Mayoritas umat manusia pada zaman Nabi Nuh as. menentang dakwah nabi Nuh as., zaman Nabi Isa as. menentang dakwah Nabi Isa as., juga di era nabi Muhammad saw.. Artinya, suara mayoritas rakyat malah bertentangan dengan ajaran Tuhan.
Kantong Bolong kian terpuruk. Terlebih lagi saat Nyi Endang paparkan hanya Ahlul Halli wal ?Aqdi, yaitu kalangan ulama, ahli fiqih dan orang-orang yang mumpuni dalam bidangnya masing-masing yang mampu menempatkan siapa menduduki kursi apa. "Kumismu itu kumis ikan lele, Ki Sanak Kantong Balong," ujar Nyi Endang, "Hal aneh ketika bumi dicacah kuasa dan memutuskan kerumitan dengan cara menyembah pada pendapat banyak manusia. Ini lakon ling lang lung. Sebab, kebanyakan manusia itu bersepakat di atas kekufuran kepada Allah swt.. Mereka merekayasa fajir dan dhalim sebagai kesepakatan yang tidak terjelaskan."
Kumis Umbel
Kantong Bolong kalah! Ia duduk ngelemprak di hadapan Nyi Endang Darma Ayu. Ia menyayat ujung hidung. Darah Kantong Bolong membasahi jaringan kumis dan menetes ke tanah tiap kali Kantong Bolong paparkan esensi dari demokrasi kawula gusti. Sayatan darah merah itulah yang menjadi cikal-bakal berdirinya pedukuhan Lemah Abang (Tanah Merah) Sekober Indramayu.
Adakah pada Kamis (20-9), kumis dikau pada hakikatnya mendaur ulang kumis Kantong Bolong, wahai Foke? Benarkah taman pikir Jokowi bernuansa alur zikir Mamak Kenut, berbalut kentut Ki Semar mesem? Saya hanya angkat bahu! Sebab, narasi sejarah kabarkan bahwa sejak kumis Kantong Bolong memble di hari kamis, sejak itulah muncul rintihan macapat berbunyi "Benjing amenanging kala tida, wong duwur dadi umbul-umbul, wong cilik tengal-tengul nyedoti kumis umbel, brebes milih tetangisan."
Tandi Skober, budayawan
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 29 september 2012