Oleh Khomsahrial Romli
KONFLIK antarwarga di Indonesia tampaknya tak kunjung berakhir. Setelah kita dikejutkan dengan konflik antarwarga Sunni-Syiah di Dusun Nangkemang, Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Madura, yang terjadi pada 29 Agustus 2012, kita kembali harus terenyah. Belasan nyawa melayang sia-sia lantaran konflik antara warga Desa Balinuraga dan Desa Kalianda, Lampung Selatan. Konflik yang terjadi pada Minggu-Senin (28?29 Oktober 2012) menelan korban jiwa hingga 12 orang dan ribuan warga diungsikan. Konflik yang terjadi disejumlah tempat di Indonesia karena tersumbatnya tingkat komunikasi. Dan munculnya konflik karena adanya klaim kebenaran masinga-masing pihak. Konflik tidak selalu melahirkan kekerasan, ada di antaranya yang dapat selesai tanpa kekerasan. Biasanya konflik yang berujung dengan kekerasan akan menjadi perilaku anarki yang dapat disertai amuk massa.
Konflik yang terjadi di Lampung Selatan lebih bersifat kultural karena ketidakmampuan/ketidakberdayaan pribadi dalam menghadapi dinamika masyarakat, serta bersifat struktural yang disebabkan gesekan kepentingan kelompok tertentu. Dan konflik-konflik itu terjadi karena kurangnya komunikasi, sosialisasi. Apabila dioptimalkan dari sisi komunikasi dan sosialisasi, kemungkinan tidak sampai terjadi konflik terbuka. Hanya konflik yang bersifat perbedaan pendapat.
Kalau kita lihat, potensi konflik bisa berasal dari masyarakat itu sendiri, maraknya praktek demokrasi yang keliru, persepsi masa depan yang yang skeptis, pendidikan politik masyarakat yang invalid, dan krisis ekonomi berkepanjangan. Hal lain yang menjadi pemicunya karena terjadinya krisis pendidikan baik konseptual maupun praktek, kepercayaan melemah terhadap pejabat publik dan aparatur negara, serta merebaknya pandangan hidup masyarakat yang semakin hedonistis dan materialistis.
Sehingga setiap manusia adalah individu yang unik, artinya setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal dalam lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik, karena dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya, sedikit-banyaknya akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendidirian kelompoknya.
Permasalahan-permasalahan tersebut di atas dalam komunitas masyarakat perlu mendapatkan perhatian oleh sistem sosial yang ada, terutama hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial yang bersifat menunjang kehidupan masyarakat. Implementasi yang paling penting adalah pembangunan nonfisik adalah pemahaman tentang pentingnya ?komunikasi? dan cara ?berinteraksi? antara masyarakat dan intitusi terkait sehingga akan terjadi kesejahteraan yangdiharapkan.
Melalui komunikasi sosial, inovasi-inovasi dapat diakomodasi oleh pihak-pihak terkait yang bersentuhan langsung dengan kehidupan sosial, baik itu kelompok masyarakat, organisasi, institusi pemerintah, maupun institusi lain (lembaga-lembaga sekolah) yang dapat mengambil bagian dalam mengatasi setiap permasalahan sosial di masyarakat, ke depan akan terwujud ke keamanan dan kenyamanan bersama.
Dalam kaitannya bentrokan yang terjadi di masyarakat Lampung Selatan di atas guna menghilangkan, mengurangi kemungkinan rasa dendam dan emosional yang memengaruhi mereka dan berlanjut pada aksi penyerangan, perlu adanya komunikasi secara optimal bersama aparat keamanan setempat dengan melibatkan tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda kedua pihak. Menciptakan komunikasi yang baik sehingga timbul interaksi sosial yang dapat merealisasikan tujuan yang sama dalam masyarakat serta berguna untuk mewujudkan pembangunan dalam segala aspek kehidupan. Sehingga dapat disimpulkan konflik Lampung Selatan memberikan isyarat yang jelas bahwa ada sesuatu yang kurang beres dalam hubungan antaretnik selama ini di Lampung Selatan.
Kenyataannya, konflik sudah meledak dan bahkan terjadi berulang. Hal ini tentu tak bisa dibiarkan terus berlanjut dan/atau didiamkan begitu saja tanpa penyelesaian yang konkret dan adil. Dalam kasus konflik di Lampung Selatan, sampai saat ini belum optimal kebijakan konkret pemerintah daerah untuk menuntaskannya. Hal ini mengisyaratkan betapa masalah konflik akan mengancam kerukunan sosial. Tulisan ini mencoba menawarkan pola-pola solusi praksis dan bersifat segera dalam menangani konflik di Lampung Selatan, antara lain: Pertama, penyelesaiannya diserahkan untuk ditangani lembaga independen yang beranggotakan tokoh-tokoh dari kedua etnik serta kalangan intelektual dan tokoh-tokoh kredibel dari pemerintahan, yang difasilitasi sepenuhnya oleh pemerintah daerah. Lembaga ini diberi kewenangan untuk menemukan kesepakatan-kesepakatan dari pihak-pihak yang bertikai dan kemudian mengantarkan para pihak ke titik rekonsiliasi yang memungkinkan menata mereka kembali keharmonisan sosial dalam ketenangan dan rasa aman yang terjamin.
Kedua, siapa pun yang diindikasikan kuat sebagai aktor-aktor intelektual di balik kerusuhan Lampung Selatan, baik dari kalangan kedua pihak yang konflik, harus ditangkap dan dibawa ke pengadilan, supremasi hukum harus ditegakkan atas mereka.
Ketiga, pemerintah daerah harus membantu atas kerusakan rumah tempat tinggal mereka yang rusak. Keempat, pemerintah daerah bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat melakukan sosialisasi dan kampanye terus-menerus dalam berbagai bentuk tentang kenyataan Lampung Selatan sebagai penduduk yang majemuk berikut pentingnya hidup berdampingan secara damai serta keutamaan menyelesaikan konflik tanpa kekerasan di dalam masyarakat. Tak kalah pentingnya, berupaya menghapus kesan negatif atau streotif antara kedua belah pihak yang ada selama ini.
Hal itu sebagai upaya untuk melakukan rekonstralasi dalam hubungan anatara kedua pihak yang bertikai, yang diharapkan semua pihak dapat belajar dari pengalaman sekaligus mampu merakit hubungan sosial secara damai kendati dalam seribu satu macam perbedaan.
Khomsahrial Romli, Guru besar, Wakil Rektor Bidang Akademik UBL
Sumber: Lampung Post, Selasa, 6 November 2012
KONFLIK antarwarga di Indonesia tampaknya tak kunjung berakhir. Setelah kita dikejutkan dengan konflik antarwarga Sunni-Syiah di Dusun Nangkemang, Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Madura, yang terjadi pada 29 Agustus 2012, kita kembali harus terenyah. Belasan nyawa melayang sia-sia lantaran konflik antara warga Desa Balinuraga dan Desa Kalianda, Lampung Selatan. Konflik yang terjadi pada Minggu-Senin (28?29 Oktober 2012) menelan korban jiwa hingga 12 orang dan ribuan warga diungsikan. Konflik yang terjadi disejumlah tempat di Indonesia karena tersumbatnya tingkat komunikasi. Dan munculnya konflik karena adanya klaim kebenaran masinga-masing pihak. Konflik tidak selalu melahirkan kekerasan, ada di antaranya yang dapat selesai tanpa kekerasan. Biasanya konflik yang berujung dengan kekerasan akan menjadi perilaku anarki yang dapat disertai amuk massa.
Konflik yang terjadi di Lampung Selatan lebih bersifat kultural karena ketidakmampuan/ketidakberdayaan pribadi dalam menghadapi dinamika masyarakat, serta bersifat struktural yang disebabkan gesekan kepentingan kelompok tertentu. Dan konflik-konflik itu terjadi karena kurangnya komunikasi, sosialisasi. Apabila dioptimalkan dari sisi komunikasi dan sosialisasi, kemungkinan tidak sampai terjadi konflik terbuka. Hanya konflik yang bersifat perbedaan pendapat.
Kalau kita lihat, potensi konflik bisa berasal dari masyarakat itu sendiri, maraknya praktek demokrasi yang keliru, persepsi masa depan yang yang skeptis, pendidikan politik masyarakat yang invalid, dan krisis ekonomi berkepanjangan. Hal lain yang menjadi pemicunya karena terjadinya krisis pendidikan baik konseptual maupun praktek, kepercayaan melemah terhadap pejabat publik dan aparatur negara, serta merebaknya pandangan hidup masyarakat yang semakin hedonistis dan materialistis.
Sehingga setiap manusia adalah individu yang unik, artinya setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal dalam lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik, karena dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya, sedikit-banyaknya akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendidirian kelompoknya.
Permasalahan-permasalahan tersebut di atas dalam komunitas masyarakat perlu mendapatkan perhatian oleh sistem sosial yang ada, terutama hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial yang bersifat menunjang kehidupan masyarakat. Implementasi yang paling penting adalah pembangunan nonfisik adalah pemahaman tentang pentingnya ?komunikasi? dan cara ?berinteraksi? antara masyarakat dan intitusi terkait sehingga akan terjadi kesejahteraan yangdiharapkan.
Melalui komunikasi sosial, inovasi-inovasi dapat diakomodasi oleh pihak-pihak terkait yang bersentuhan langsung dengan kehidupan sosial, baik itu kelompok masyarakat, organisasi, institusi pemerintah, maupun institusi lain (lembaga-lembaga sekolah) yang dapat mengambil bagian dalam mengatasi setiap permasalahan sosial di masyarakat, ke depan akan terwujud ke keamanan dan kenyamanan bersama.
Dalam kaitannya bentrokan yang terjadi di masyarakat Lampung Selatan di atas guna menghilangkan, mengurangi kemungkinan rasa dendam dan emosional yang memengaruhi mereka dan berlanjut pada aksi penyerangan, perlu adanya komunikasi secara optimal bersama aparat keamanan setempat dengan melibatkan tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda kedua pihak. Menciptakan komunikasi yang baik sehingga timbul interaksi sosial yang dapat merealisasikan tujuan yang sama dalam masyarakat serta berguna untuk mewujudkan pembangunan dalam segala aspek kehidupan. Sehingga dapat disimpulkan konflik Lampung Selatan memberikan isyarat yang jelas bahwa ada sesuatu yang kurang beres dalam hubungan antaretnik selama ini di Lampung Selatan.
Kenyataannya, konflik sudah meledak dan bahkan terjadi berulang. Hal ini tentu tak bisa dibiarkan terus berlanjut dan/atau didiamkan begitu saja tanpa penyelesaian yang konkret dan adil. Dalam kasus konflik di Lampung Selatan, sampai saat ini belum optimal kebijakan konkret pemerintah daerah untuk menuntaskannya. Hal ini mengisyaratkan betapa masalah konflik akan mengancam kerukunan sosial. Tulisan ini mencoba menawarkan pola-pola solusi praksis dan bersifat segera dalam menangani konflik di Lampung Selatan, antara lain: Pertama, penyelesaiannya diserahkan untuk ditangani lembaga independen yang beranggotakan tokoh-tokoh dari kedua etnik serta kalangan intelektual dan tokoh-tokoh kredibel dari pemerintahan, yang difasilitasi sepenuhnya oleh pemerintah daerah. Lembaga ini diberi kewenangan untuk menemukan kesepakatan-kesepakatan dari pihak-pihak yang bertikai dan kemudian mengantarkan para pihak ke titik rekonsiliasi yang memungkinkan menata mereka kembali keharmonisan sosial dalam ketenangan dan rasa aman yang terjamin.
Kedua, siapa pun yang diindikasikan kuat sebagai aktor-aktor intelektual di balik kerusuhan Lampung Selatan, baik dari kalangan kedua pihak yang konflik, harus ditangkap dan dibawa ke pengadilan, supremasi hukum harus ditegakkan atas mereka.
Ketiga, pemerintah daerah harus membantu atas kerusakan rumah tempat tinggal mereka yang rusak. Keempat, pemerintah daerah bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat melakukan sosialisasi dan kampanye terus-menerus dalam berbagai bentuk tentang kenyataan Lampung Selatan sebagai penduduk yang majemuk berikut pentingnya hidup berdampingan secara damai serta keutamaan menyelesaikan konflik tanpa kekerasan di dalam masyarakat. Tak kalah pentingnya, berupaya menghapus kesan negatif atau streotif antara kedua belah pihak yang ada selama ini.
Hal itu sebagai upaya untuk melakukan rekonstralasi dalam hubungan anatara kedua pihak yang bertikai, yang diharapkan semua pihak dapat belajar dari pengalaman sekaligus mampu merakit hubungan sosial secara damai kendati dalam seribu satu macam perbedaan.
Khomsahrial Romli, Guru besar, Wakil Rektor Bidang Akademik UBL
Sumber: Lampung Post, Selasa, 6 November 2012
No comments:
Post a Comment