Oleh Sudjarwo
BERDASARKAN hasil rekam jejak sejarah yang ada, ternyata di Provinsi Lampung sejak secara resmi program kolonisasi dikenalkan pada 1905, belum pernah ada kejadian konflik seperti halnya peristiwa Oktober 2012.
Peritiwa yang ada hanya bersifat individual, tidak sampai menyulut melibatkan banyak orang. Peristiwa itu sendiri dapat diselesaikan dengan kerangka adat yang memang ada ruang yang disediakan oleh para pemangku adat lampung.
Kerangka dasar kolonisasi yang dikembangkan Belanda di Lampung, di samping alasan demografis, juga alasan ekonomis. Sedangkan aspek politis pertimbangannya sangat kental dengan pendekatan pecah belah. Hal ini dapat dilihat dari dibuatkannya permukiman para kolonis jauh dari perkampungan warga lokal.
Aspek ?dia? dan ?kita? tampak sekali ditumbuhkembangkan dengan membedakan akan fasilitas yang diberikan. Ironisnya, kebijakkan ini di awal konsep transmigrasi masih berlanjut, akibatnya laju pertumbuhan ekonomi antarkeduanya menjadi berbeda tajam.
Kedua kondisi di atas paling tidak telah memberikan kontribusi pada ?cacat sejarah? bagi daerah eks kolonisasi, yang kemudian berubah menjadi tansmigrasi. Jika kelak penanganannya salah urus, cacat sejarah tadi menjadi sumbangan sosial untuk terjadinya konflik sosial.
Pada awal 2000 dikenalkannya konsep otonomi daerah membawa konsekuensi pada menguatnya kebijakkan daerah. Dengan segala macam keberhasilan yang diraih, ternyata juga diikuti dengan perkembangan yang tidak diinginkan, yaitu munculnya politik lokal yang menyempit.
Jika politik lokal ini bernuansa untuk memperjuangan daerah agar sama makmurnya dengan daerah lain, itu adalah suatu keharusan. Akan tetapi, jika perkembangan ini mengarah pada pembagian kekuasaan (dan akses politik) pada kelompok tertentu atau subetnik tertentu, kegagalan otonomi akan kita dapat. Tampaknya di Lampung secara tersurat hal ini belum ada, tetapi jika dirasa dengan indra perasa yang halus, suasana itu secara tersamar mulai ada.
Perjalanan Panjang
Konsep pemindahan penduduk yang dikenalkan oleh penjajah Belanda secara sistimatis sudah diberlakukan semenjak Perang Jawa (Perang Diponegoro). Pada waktu itu Diponegoro dan para pengikutnya ?dibuang? ke Tondano. Sekarang anak keturunan para pengikut sang pangeran ini dikenal dengan ?Jawa Tondano?. Adat istiadat mereka masih terekam di dalam masyatakatnya walaupun secara fisik dan geneologis mereka sudah sulit menari galur keturunannya di Jawa.
Sedangkan yang bermotif ekonomi kita kenal dengan diberangkatkannya para ?koeli kontrak? ke Suriname (Paramaribo). Dalam perkembangan sejarah sekarang generasi mereka sudah menduduki tampuk kepemimpinan negara. Namun, rekam jejak budaya tetap saja melekat pada mereka, bahkan identitas nama masih terekam sampai saat ini.
Selanjutnya, kita juga mengenal koeli kontrak di Deli Serdang, Sumatera Utara. Keturunan mereka lebih dikenal dengan sebutan ?jadel? yaitu singkatan dari Jawa Deli. Mereka sama dengan yang di Suriname yaitu menjadi pekerja perkebunan belanda (onderneming). Adat istiadat pun tetap mereka pelihara walaupun akulturasi dengan etnik lain telah terjadi secara luas dan masif.
Daerah seperti di atas hampir tidak terdengar selama perjalanan sejarahnya terjadi konflik antara mereka dan penduduk tempatan. Justru yang terjadi adalah akulturasi budaya yang berkembang pelan tetapi pasti.
Berbeda dengan daerah kolonisasi yang dirancang memang berbeda oleh Belanda. Ironisnya, kebijakkan itu dilanjutkan dengan program transmigrasi pada awalnya. Proses akulturasi sering terkendala karena pola permukiman yang enklave, sehingga proses sosial tidak dapat berjalan secara alami.
Kemudian dipicu juga dengan pemberian fasilitas yang sering menimbulkan rasa tidak adil bagi masyarakat tempatan. Tidak terkecuali di Lampung, jika kita lihat dari penempatan kolonisasi Gedongtataan, Kotaagung, Metro, Lampung Tengah, Sukadana, ternyata permukiman kolonisasi yang dilanjutkan dengan transmigrasi memiliki desa tersendiri dan diberi fasilitas tersendiri pula. Alasan pembenaran pada waktu itu ialah agar mempercepat penyesuaian diri dengan lingkungan, maka diberi dukungan sosial dan finansial sehingga para kolonis/transmigran tidak lari meninggalkan tempat.
Pada waktu sistem pemerintahan kita berpola terpusat, dengan makna semua keputusan ditentukan oleh pusat, termasuk sistem pengamanan kebijakkan pun terpusat, bahkan cenderung otoriter. Semua perbedaan diposisikan sebagai penentang pembangunan dan berarti penentang negara.
Kelompok ini sah untuk dipinggirkan. Akibatnya, semua dari atas mengikuti garis komando. Dampaknya, program transmigrasi tidak mendapatkan hambatan dari sudut pandang yang berbeda, karena tidak ada yang berani berada pada posisi berbeda.
Residu sosial ini menumpuk sehingga begitu era keterbukaan seperti sekarang ini seolah-olah memberikan ruang untuk berbeda pandang. Hanya saja, karena residu sosial ini sudah begitu lama menumpuk, begitu mendapatkan kanal, arus deras keluar begitu tiba-tiba dengan wujud ?amok?.
Perubahan Nilai
Pada awal generasi kolonisasi, para kolonis berkosentrasi pada satu tujuan yaitu perubahan nasib. Mereka siang-malam bekerja menaklukkan alam agar dapat menghasilkan dari apa yang mereka inginkan. Etos kerja menjadi andalan bagi mereka dengan orientasi perubahan nasib dan penguasaan kapital.
Hal ini diimplementasikan dengan mengolah lahan menjadi produktif, memiliki ternak untuk modal, baik sebagai sumber tenaga untuk bekerja maupun untuk investasi. Sehingga, parameter pada waktu itu adalah luas lahan yang dimiliki atau dikuasai dan jumlah ternak yang mereka punyai. Dua hal ini merupakan lambang kesuksesan mereka.
Semua itu mereka tunjukkan keberhasilannya dengan cara pada waktunya mereka bisa pulang ke tanah leluhur dan dipertontonkan kepada keluarga besar. Waktu yang mereka pilih pada umumnya saat Lebaran.
Mereka kembali ke bumi kolonisasi dengan membawa serta keluarga untuk dijadikan pekerja, sekaligus unjuk muka akan keberhasilan, sehingga dapat menjadi sesuatu yang dibanggakan. Keluarga yang dipekerjakan tadi juga menjadi benteng pengaman sosial di daerah kolonisasi.
Keluarga yang dibawa tadi pada waktunya juga akan melakukan apa yang dilakukan oleh ?induk semang? yang membawanya. Budaya patron?clent seperti ini berkembang menggurita, sehingga tidak hayal jika di satu pedukuhan (setara rukun warga/RW) merupakan jaring sosial keluarga. Hal ini dibentuk dan berproses secara alami dalam waktu yang cukup lama.
Kondisi ini berlanjut sampai generasi ke dua, dan pada generasi ketiga sudah mulai bergeser. Tata nilai semula keberhasilan diukur pada penumpukkan modal, bergeser pada keberhasilan identitas rumah, kendaraan, dan pendidikan anak anak. Seiring perjalanan waktu kualitas pendidikan anak menjadi prioritas. Akibat lanjut daerah transmigrasi ini menjadi daerah pengirim urbanisasi ke perkotaan.
Generasi ini mulai meninggalkan profesi leluhurnya sebagai petani, berubah menjadi kelompok menengah baru yang bekerja pada sektor nonpertanian. Kondisi ini disumbang juga oleh pola pewarisan dari generasi pertama. Keluarga kolonis/transmigran yang semula memiliki tanah luas menjadi menyempit karena tanah tersebut harus diwariskan kepada anak turun mereka. Pola ini menjadikan penguasaan akan lahan semakin turun kegenerasi, maka akan terjadi penyempitan penguasaan lahan.
Seiring perjalanan waktu, generasi ini mulai meninggalkan tata nilai agraris, berubah menjadi penganut tata nilai urban. Namun, tidak semua mereka berhasil menjadi penganut paham urban. Banyak di antara mereka juga gagal yang kemudian kembali ke desa. Generasi ini sudah tidak lagi mau berprofesi petani, tetapi juga tidak sukses untuk masuk budaya urban. Akhirnya, kelompok ini menjadi residu dalam masyarakat agraris, yang tidak jarang terjerumus pada budaya hedonis dan mengalami krisis identitas. Generasi inilah yang diduga menjadi pemicu kerusuhan di wilayah ekstransmigrasi.
Potensi ini seharusnya dipahami oleh pemimpin daerah/lokal, karena jika kondisi tidak dikelola dengan baik, konflik sosial akan terus terjadi. Sebaliknya, jika dipahami pokok persoalannya, penangananya pun dapat dilakukan dengan secara terencana dan berkesinambungan.
Sudjarwo,Guru besar FKIP dan Direktur Pascasarjana Universitas Lampung
Sumber: Lampung Post, Jumat, 23 November 2012
BERDASARKAN hasil rekam jejak sejarah yang ada, ternyata di Provinsi Lampung sejak secara resmi program kolonisasi dikenalkan pada 1905, belum pernah ada kejadian konflik seperti halnya peristiwa Oktober 2012.
Peritiwa yang ada hanya bersifat individual, tidak sampai menyulut melibatkan banyak orang. Peristiwa itu sendiri dapat diselesaikan dengan kerangka adat yang memang ada ruang yang disediakan oleh para pemangku adat lampung.
Kerangka dasar kolonisasi yang dikembangkan Belanda di Lampung, di samping alasan demografis, juga alasan ekonomis. Sedangkan aspek politis pertimbangannya sangat kental dengan pendekatan pecah belah. Hal ini dapat dilihat dari dibuatkannya permukiman para kolonis jauh dari perkampungan warga lokal.
Aspek ?dia? dan ?kita? tampak sekali ditumbuhkembangkan dengan membedakan akan fasilitas yang diberikan. Ironisnya, kebijakkan ini di awal konsep transmigrasi masih berlanjut, akibatnya laju pertumbuhan ekonomi antarkeduanya menjadi berbeda tajam.
Kedua kondisi di atas paling tidak telah memberikan kontribusi pada ?cacat sejarah? bagi daerah eks kolonisasi, yang kemudian berubah menjadi tansmigrasi. Jika kelak penanganannya salah urus, cacat sejarah tadi menjadi sumbangan sosial untuk terjadinya konflik sosial.
Pada awal 2000 dikenalkannya konsep otonomi daerah membawa konsekuensi pada menguatnya kebijakkan daerah. Dengan segala macam keberhasilan yang diraih, ternyata juga diikuti dengan perkembangan yang tidak diinginkan, yaitu munculnya politik lokal yang menyempit.
Jika politik lokal ini bernuansa untuk memperjuangan daerah agar sama makmurnya dengan daerah lain, itu adalah suatu keharusan. Akan tetapi, jika perkembangan ini mengarah pada pembagian kekuasaan (dan akses politik) pada kelompok tertentu atau subetnik tertentu, kegagalan otonomi akan kita dapat. Tampaknya di Lampung secara tersurat hal ini belum ada, tetapi jika dirasa dengan indra perasa yang halus, suasana itu secara tersamar mulai ada.
Perjalanan Panjang
Konsep pemindahan penduduk yang dikenalkan oleh penjajah Belanda secara sistimatis sudah diberlakukan semenjak Perang Jawa (Perang Diponegoro). Pada waktu itu Diponegoro dan para pengikutnya ?dibuang? ke Tondano. Sekarang anak keturunan para pengikut sang pangeran ini dikenal dengan ?Jawa Tondano?. Adat istiadat mereka masih terekam di dalam masyatakatnya walaupun secara fisik dan geneologis mereka sudah sulit menari galur keturunannya di Jawa.
Sedangkan yang bermotif ekonomi kita kenal dengan diberangkatkannya para ?koeli kontrak? ke Suriname (Paramaribo). Dalam perkembangan sejarah sekarang generasi mereka sudah menduduki tampuk kepemimpinan negara. Namun, rekam jejak budaya tetap saja melekat pada mereka, bahkan identitas nama masih terekam sampai saat ini.
Selanjutnya, kita juga mengenal koeli kontrak di Deli Serdang, Sumatera Utara. Keturunan mereka lebih dikenal dengan sebutan ?jadel? yaitu singkatan dari Jawa Deli. Mereka sama dengan yang di Suriname yaitu menjadi pekerja perkebunan belanda (onderneming). Adat istiadat pun tetap mereka pelihara walaupun akulturasi dengan etnik lain telah terjadi secara luas dan masif.
Daerah seperti di atas hampir tidak terdengar selama perjalanan sejarahnya terjadi konflik antara mereka dan penduduk tempatan. Justru yang terjadi adalah akulturasi budaya yang berkembang pelan tetapi pasti.
Berbeda dengan daerah kolonisasi yang dirancang memang berbeda oleh Belanda. Ironisnya, kebijakkan itu dilanjutkan dengan program transmigrasi pada awalnya. Proses akulturasi sering terkendala karena pola permukiman yang enklave, sehingga proses sosial tidak dapat berjalan secara alami.
Kemudian dipicu juga dengan pemberian fasilitas yang sering menimbulkan rasa tidak adil bagi masyarakat tempatan. Tidak terkecuali di Lampung, jika kita lihat dari penempatan kolonisasi Gedongtataan, Kotaagung, Metro, Lampung Tengah, Sukadana, ternyata permukiman kolonisasi yang dilanjutkan dengan transmigrasi memiliki desa tersendiri dan diberi fasilitas tersendiri pula. Alasan pembenaran pada waktu itu ialah agar mempercepat penyesuaian diri dengan lingkungan, maka diberi dukungan sosial dan finansial sehingga para kolonis/transmigran tidak lari meninggalkan tempat.
Pada waktu sistem pemerintahan kita berpola terpusat, dengan makna semua keputusan ditentukan oleh pusat, termasuk sistem pengamanan kebijakkan pun terpusat, bahkan cenderung otoriter. Semua perbedaan diposisikan sebagai penentang pembangunan dan berarti penentang negara.
Kelompok ini sah untuk dipinggirkan. Akibatnya, semua dari atas mengikuti garis komando. Dampaknya, program transmigrasi tidak mendapatkan hambatan dari sudut pandang yang berbeda, karena tidak ada yang berani berada pada posisi berbeda.
Residu sosial ini menumpuk sehingga begitu era keterbukaan seperti sekarang ini seolah-olah memberikan ruang untuk berbeda pandang. Hanya saja, karena residu sosial ini sudah begitu lama menumpuk, begitu mendapatkan kanal, arus deras keluar begitu tiba-tiba dengan wujud ?amok?.
Perubahan Nilai
Pada awal generasi kolonisasi, para kolonis berkosentrasi pada satu tujuan yaitu perubahan nasib. Mereka siang-malam bekerja menaklukkan alam agar dapat menghasilkan dari apa yang mereka inginkan. Etos kerja menjadi andalan bagi mereka dengan orientasi perubahan nasib dan penguasaan kapital.
Hal ini diimplementasikan dengan mengolah lahan menjadi produktif, memiliki ternak untuk modal, baik sebagai sumber tenaga untuk bekerja maupun untuk investasi. Sehingga, parameter pada waktu itu adalah luas lahan yang dimiliki atau dikuasai dan jumlah ternak yang mereka punyai. Dua hal ini merupakan lambang kesuksesan mereka.
Semua itu mereka tunjukkan keberhasilannya dengan cara pada waktunya mereka bisa pulang ke tanah leluhur dan dipertontonkan kepada keluarga besar. Waktu yang mereka pilih pada umumnya saat Lebaran.
Mereka kembali ke bumi kolonisasi dengan membawa serta keluarga untuk dijadikan pekerja, sekaligus unjuk muka akan keberhasilan, sehingga dapat menjadi sesuatu yang dibanggakan. Keluarga yang dipekerjakan tadi juga menjadi benteng pengaman sosial di daerah kolonisasi.
Keluarga yang dibawa tadi pada waktunya juga akan melakukan apa yang dilakukan oleh ?induk semang? yang membawanya. Budaya patron?clent seperti ini berkembang menggurita, sehingga tidak hayal jika di satu pedukuhan (setara rukun warga/RW) merupakan jaring sosial keluarga. Hal ini dibentuk dan berproses secara alami dalam waktu yang cukup lama.
Kondisi ini berlanjut sampai generasi ke dua, dan pada generasi ketiga sudah mulai bergeser. Tata nilai semula keberhasilan diukur pada penumpukkan modal, bergeser pada keberhasilan identitas rumah, kendaraan, dan pendidikan anak anak. Seiring perjalanan waktu kualitas pendidikan anak menjadi prioritas. Akibat lanjut daerah transmigrasi ini menjadi daerah pengirim urbanisasi ke perkotaan.
Generasi ini mulai meninggalkan profesi leluhurnya sebagai petani, berubah menjadi kelompok menengah baru yang bekerja pada sektor nonpertanian. Kondisi ini disumbang juga oleh pola pewarisan dari generasi pertama. Keluarga kolonis/transmigran yang semula memiliki tanah luas menjadi menyempit karena tanah tersebut harus diwariskan kepada anak turun mereka. Pola ini menjadikan penguasaan akan lahan semakin turun kegenerasi, maka akan terjadi penyempitan penguasaan lahan.
Seiring perjalanan waktu, generasi ini mulai meninggalkan tata nilai agraris, berubah menjadi penganut tata nilai urban. Namun, tidak semua mereka berhasil menjadi penganut paham urban. Banyak di antara mereka juga gagal yang kemudian kembali ke desa. Generasi ini sudah tidak lagi mau berprofesi petani, tetapi juga tidak sukses untuk masuk budaya urban. Akhirnya, kelompok ini menjadi residu dalam masyarakat agraris, yang tidak jarang terjerumus pada budaya hedonis dan mengalami krisis identitas. Generasi inilah yang diduga menjadi pemicu kerusuhan di wilayah ekstransmigrasi.
Potensi ini seharusnya dipahami oleh pemimpin daerah/lokal, karena jika kondisi tidak dikelola dengan baik, konflik sosial akan terus terjadi. Sebaliknya, jika dipahami pokok persoalannya, penangananya pun dapat dilakukan dengan secara terencana dan berkesinambungan.
Sudjarwo,Guru besar FKIP dan Direktur Pascasarjana Universitas Lampung
Sumber: Lampung Post, Jumat, 23 November 2012
Saya komentari pendahuluannya saja..
ReplyDeleteTidak benar kalau dikatakan sblmnya tdk pernah terjadi konflik massal antar etnis di Lampung..
Tahun 1991 pernah terjadi konflik serupa di kota Menggala (sekitar 150-200 km utara kota Bandar Lampung), Kab. Lampung Utara waktu itu. Bukan individual, tetapi konflik massal antara warga etnis Bali dari satu perkampungan trans (saya lupa nama UPTnya) di Lampung Utara dgn warga asli Lampung (Melayu) yg ada di kota Menggala. Pemicunya krn ada 2 org penumpang bus warga trans Bali dipalak di terminal kota Menggala. Krn tdk mau meladeni, akhirnya mrk dikeroyok dan dikejar-kejar massa sampai terpencar. Satu dari 2 warga trans Bali tsb duluan sampai di kampungnya, sedangkan yg satu lagi sempat dinyatakan hilang. Sore harinya, banyak warga trans Bali (laki2 dg membawa senjata tajam) datang ke terminal Menggala dg menggunakan sekitar 4-5 truk utk mencari temannya yg hilang dan meminta pertanggungjawaban dari orang-orang yg ada disitu, tetapi para pelakunya sdh pd kabur.
Massa trans Bali tdk mau pulang sblm temannya dikembalikan dg selamat dan pelakunya diserahkan pd mereka. Krn pelakunya tdk ditemukan, kmdn mrk menyisir kota Menggala dan menduduki terminal sampai 2 hari. Dua hari dua malam keadaan kota Menggala mencekam, warga tdk berani berkeliaran dan lebih memilih berdiam didlm rmh. Pada hari kedua massa trans Bali memberikan ultimatum. Puluhan bahkan mungkin ratusan polisi dan tentara sdh diturunkan dari Bandar Lampung utk menjaga keamanan kota Menggala, tetapi massa Trans Bali tetap bertahan dg tuntutannya.
Krn ultimatum mrk tdk digubris hingga batas wkt yg ditentukan, akhirnya massa trans Bali membakar habis terminal Menggala (dihadapan polisi dan tentara). Danrem 043/Garuda Hitam Lampung waktu itu, Kol. Yusman Yutam jg turun langsung ke lokasi kejadian. Setelah terminal Menggala habis dibakar, barulah didapat informasi bhw teman mrk yg hilang sdh ditemukan dlm keadaan selamat (rupanya dia sembunyi dulu, tdk langsung pulang ke kampungnya). Akhirnya massa warga trans Bali pulang kembali ke desa (Unit Pemukiman Transmigrasi /UPT) mereka….
Saya tahu peristiwa ini krn saya ada disana (Menggala) pd wkt itu.