Oleh Syahran Lubis
TULISAN ini saya buat ketika perdamaian telah diikrarkan oleh warga Lampung bersuku Bali dan non-Bali. Janji itu diharapkan mengakhiri pertikaian yang menewaskan 14 orang di Lampung Selatan, Lampung.
Keterangan waktu “ketika perdamaian telah diikrarkan” menjadi penting demi meminimalkan kemungkinan keliru makna atas apa yang saya tulis, yang mungkin terjadi jika permusuhan masih dikumandangkan.
Ini juga bukan pembenaran atas kekerasan yang terjadi, yang dilakukan oleh warga Lampung bersuku non-Bali terhadap warga Desa Balinuraga yang didominasi etnis Bali.
Tulisan ini hanya ditujukan untuk mengingatkan kita bersama bahwa kearifan lokal harus diberi tempat yang memadai, tetap dihormati, karena ia bagian dari pemelihara kedamaian, ketenteraman, kenyamanan, dan segala hal yang menyuguhkan kebaikan.
Saya tuliskan “bersuku non-Bali”, bukan semata-mata yang beretnis Lampung, karena menurut penuturan salah satu korban yang sempat dilansir oleh sebuah surat kabar nasional, penyerang warga Desa Balinuraga bukan hanya berlogat Lampung, tetapi juga Palembang, Batak, dan Banten.
Sebenarnya agak mengejutkan, kerusuhan seperti di Balinuraga bisa terjadi di Lampung. Warga provinsi ini sangat terbuka dengan kaum pendatang. Bahkan, cukup banyak desa yang orang Lampung aslinya berkomunikasi dalam bahasa Jawa karena warga setempat didominasi orang Jawa.
Mari kita bandingkan dengan orang Jawa yang datang ke Sumatra Utara, yang pada awal abad ke-20 dibawa penjajah Belanda untuk dipekerjakan di perkebunan di seputaran Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang, dan sekitarnya.
Bukan hanya berbicara dengan logat Melayu—Deli Serdang bukan termasuk wilayah Tapanuli yang ‘dimiliki’ oleh orang Batak, melainkan masuk wilayah Melayu—, komunitas Jawa di Sumut bahkan ‘ketularan’ karakter warga asli. Berbeda dengan di Lampung yang budaya dan karakter Jawa-nya tetap terpelihara.
Secara khusus saya membandingkan etnis pendatang di Sumut dan Lampung, karena dua daerah ini merupakan yang pertama-tama di Pulau Sumatra yang kedatangan orang Jawa dalam jumlah besar pada awal 1900-an.
Keterbukaan etnis asli Lampung—yang berdasarkan berbagai sumber terbentuk dari suku Bugis, Batak, Banten, bahkan China—terhadap kaum pendatang barangkali hanya bisa disaingi oleh orang Betawi yang mempersilakan siapa saja untuk berkarya di tanah Batavia.
Sayangnya, keterbukaan dan penghormatan itu sempat tercabik. Seperti ditulis oleh budayawan Lampung yang asli berdarah Jawa bernama Christian Heru Cahyo Saputro dalam buku Piil Pesenggiri, Etos dan Semangat Kelampungan, penduduk Lampung senantiasa mengedepankan cara hidup yang disebut sebagai piil pesenggiri.
Menurut Direktur Eksekutif Jung Foundation itu (jung adalah nama perahu orang Sumatra bagian selatan/Sriwijaya termasuk Lampung), piil pesenggiri bagi masyarakat Lampung, baik penduduk asli maupun pendatang, memiliki makna sebagai cara hidup yakni setiap gerak dan langkah dalam kehidupan sehari-hari dilandasi dengan kebersihan jiwa.
Dari tindakan itulah tecermin hubungan vertikal dan horisontal dalam masyarakat Lampung berupa keimanan pada Tuhan dan pergaulan sosial kepada sesama. Etos dan spirit itu menjadi penanda kelokalan di tengah keberagaman dunia global.
Masih mengutip Christian Heru, yang kadar ke-budayawan-annya di Lampung layak disejajarkan dengan dua orang asli Lampung yakni Anshori Djausal dan Zulkarnain Zubairi alias Udo Z. Karzi, piil pesenggiri adalah prinsip menjaga kehormatan.
Piil pesenggiri juga merupakan pilar utama filosofi orang Lampung yang disokong oleh empat penyangga lagi yakni nemui nyimah (produktif), nengah nyappur (kompetitif), sakai sambaian (gotong royong/kooperatif), dan juluk adek (inovatif).
Kita cermati makna nemui nyimah. Seseorang disebut berhasil apabila sanggup menjadi tamu yang baik atau menjadi tuan rumah yang baik pula manakala menerima tamu. Apapun posisinya, baik sebagai tamu maupun tuan rumah, yang menjadi ukurannya adalah simah yang berarti santun.
Nemui nyimah yang merupakan salah satu penyangga piil pesenggiri inilah yang tercabik ketika terjadi pelecehan oleh satu pihak terhadap pihak lainnya. Inilah yang tidak dilakoni secara tepat oleh beberapa ‘oknum’ warga Balinuraga terhadap dua gadis warga Agom.
Mengutip pandangan Budi P. Hutasuhut, orang asli Tapanuli yang besar menjadi sastrawan yang getol menulis tentang antropologi di Lampung, piil pesenggiri berakar pula dari adanya rasa malu terhadap berbagai hal yang tidak baik. Ini pula yang memicu kemarahan luar biasa bila terjadi hal yang mengusik kehormatan diri sebagai manusia yang seharusnya dihormati.
Hanya, barangkali kemarahan yang muncul boleh jadi berlebihan dibandingkan dengan peristiwa yang mencabik piil pesenggiri tadi. Yang pasti, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung harus diterapkan oleh semua pihak, semua etnis. Kearifan lokal harus dipahami dan jangan dilukai. (syahran.lubis@bisnis.co.id)
Sumber: Bisnis Indonesia, Minggu, 11 November 2012
TULISAN ini saya buat ketika perdamaian telah diikrarkan oleh warga Lampung bersuku Bali dan non-Bali. Janji itu diharapkan mengakhiri pertikaian yang menewaskan 14 orang di Lampung Selatan, Lampung.
Keterangan waktu “ketika perdamaian telah diikrarkan” menjadi penting demi meminimalkan kemungkinan keliru makna atas apa yang saya tulis, yang mungkin terjadi jika permusuhan masih dikumandangkan.
Ini juga bukan pembenaran atas kekerasan yang terjadi, yang dilakukan oleh warga Lampung bersuku non-Bali terhadap warga Desa Balinuraga yang didominasi etnis Bali.
Tulisan ini hanya ditujukan untuk mengingatkan kita bersama bahwa kearifan lokal harus diberi tempat yang memadai, tetap dihormati, karena ia bagian dari pemelihara kedamaian, ketenteraman, kenyamanan, dan segala hal yang menyuguhkan kebaikan.
Saya tuliskan “bersuku non-Bali”, bukan semata-mata yang beretnis Lampung, karena menurut penuturan salah satu korban yang sempat dilansir oleh sebuah surat kabar nasional, penyerang warga Desa Balinuraga bukan hanya berlogat Lampung, tetapi juga Palembang, Batak, dan Banten.
Sebenarnya agak mengejutkan, kerusuhan seperti di Balinuraga bisa terjadi di Lampung. Warga provinsi ini sangat terbuka dengan kaum pendatang. Bahkan, cukup banyak desa yang orang Lampung aslinya berkomunikasi dalam bahasa Jawa karena warga setempat didominasi orang Jawa.
Mari kita bandingkan dengan orang Jawa yang datang ke Sumatra Utara, yang pada awal abad ke-20 dibawa penjajah Belanda untuk dipekerjakan di perkebunan di seputaran Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang, dan sekitarnya.
Bukan hanya berbicara dengan logat Melayu—Deli Serdang bukan termasuk wilayah Tapanuli yang ‘dimiliki’ oleh orang Batak, melainkan masuk wilayah Melayu—, komunitas Jawa di Sumut bahkan ‘ketularan’ karakter warga asli. Berbeda dengan di Lampung yang budaya dan karakter Jawa-nya tetap terpelihara.
Secara khusus saya membandingkan etnis pendatang di Sumut dan Lampung, karena dua daerah ini merupakan yang pertama-tama di Pulau Sumatra yang kedatangan orang Jawa dalam jumlah besar pada awal 1900-an.
Keterbukaan etnis asli Lampung—yang berdasarkan berbagai sumber terbentuk dari suku Bugis, Batak, Banten, bahkan China—terhadap kaum pendatang barangkali hanya bisa disaingi oleh orang Betawi yang mempersilakan siapa saja untuk berkarya di tanah Batavia.
Sayangnya, keterbukaan dan penghormatan itu sempat tercabik. Seperti ditulis oleh budayawan Lampung yang asli berdarah Jawa bernama Christian Heru Cahyo Saputro dalam buku Piil Pesenggiri, Etos dan Semangat Kelampungan, penduduk Lampung senantiasa mengedepankan cara hidup yang disebut sebagai piil pesenggiri.
Menurut Direktur Eksekutif Jung Foundation itu (jung adalah nama perahu orang Sumatra bagian selatan/Sriwijaya termasuk Lampung), piil pesenggiri bagi masyarakat Lampung, baik penduduk asli maupun pendatang, memiliki makna sebagai cara hidup yakni setiap gerak dan langkah dalam kehidupan sehari-hari dilandasi dengan kebersihan jiwa.
Dari tindakan itulah tecermin hubungan vertikal dan horisontal dalam masyarakat Lampung berupa keimanan pada Tuhan dan pergaulan sosial kepada sesama. Etos dan spirit itu menjadi penanda kelokalan di tengah keberagaman dunia global.
Masih mengutip Christian Heru, yang kadar ke-budayawan-annya di Lampung layak disejajarkan dengan dua orang asli Lampung yakni Anshori Djausal dan Zulkarnain Zubairi alias Udo Z. Karzi, piil pesenggiri adalah prinsip menjaga kehormatan.
Piil pesenggiri juga merupakan pilar utama filosofi orang Lampung yang disokong oleh empat penyangga lagi yakni nemui nyimah (produktif), nengah nyappur (kompetitif), sakai sambaian (gotong royong/kooperatif), dan juluk adek (inovatif).
Kita cermati makna nemui nyimah. Seseorang disebut berhasil apabila sanggup menjadi tamu yang baik atau menjadi tuan rumah yang baik pula manakala menerima tamu. Apapun posisinya, baik sebagai tamu maupun tuan rumah, yang menjadi ukurannya adalah simah yang berarti santun.
Nemui nyimah yang merupakan salah satu penyangga piil pesenggiri inilah yang tercabik ketika terjadi pelecehan oleh satu pihak terhadap pihak lainnya. Inilah yang tidak dilakoni secara tepat oleh beberapa ‘oknum’ warga Balinuraga terhadap dua gadis warga Agom.
Mengutip pandangan Budi P. Hutasuhut, orang asli Tapanuli yang besar menjadi sastrawan yang getol menulis tentang antropologi di Lampung, piil pesenggiri berakar pula dari adanya rasa malu terhadap berbagai hal yang tidak baik. Ini pula yang memicu kemarahan luar biasa bila terjadi hal yang mengusik kehormatan diri sebagai manusia yang seharusnya dihormati.
Hanya, barangkali kemarahan yang muncul boleh jadi berlebihan dibandingkan dengan peristiwa yang mencabik piil pesenggiri tadi. Yang pasti, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung harus diterapkan oleh semua pihak, semua etnis. Kearifan lokal harus dipahami dan jangan dilukai. (syahran.lubis@bisnis.co.id)
Sumber: Bisnis Indonesia, Minggu, 11 November 2012
No comments:
Post a Comment