January 31, 2012

Hadiah Sastera “Rancagé” 2012

Keputusan


Alhamdulillah Hadiah Sastera “Rancagé” untuk sastera dalam bahasa Sunda tahun ini atas rido Allah SWT dan dengan bantuan dari berbagai pihak yang menaruh perhatian terhadap usaha mengembangkan bahasa ibu insya Allah akan diberikan untuk ke-24 kalinya. Artinya sudah 24 tahun Hadiah Sastera “Rancagé” diberikan setiap tahun tanpa sekali pun lowong. Di samping Hadiah Sastera “Rancagé” untuk sastera Sunda, sejak 1994 diberikan hadiah “Rancagé” untuk sastera Jawa, sejak 1997 juga untuk sastera Bali dan sejak tahun 2008 diberikan juga buat sastera dalam bahasa Lampung. Kecuali untuk bahasa Lampung yang kadang-kadang tidak diberikan karena tidak ada buku yang terbit pada tahun yang bersangkutan, Hadiah Sastera “Rancagé“ buat bahasa Sunda, bahasa Jawa dan bahasa Bali selama ini secara tetap diberikan setiap tahun. Tahun ini, Hadiah untuk bahasa Lampung tidak diberikan, walaupun ada dua buku yang terbit dalam bahasa Lampung ialah Radin Intan II karangan Rudi Suhaimi Kalianda dan Warahan Radin Jambat suntingan Iwan Nurdaya Djafar, karena Saudara Irfan Anshory yang menyeponsori Hadiah untuk bahasa Lampung dan yang selama ini bertindak sebagai jurinya, mendadak meninggalkan kita pada tahun yang lalu, dan kami tidak sempat mencari juri yang lain. (Kebetulan kedua buku yang terbit tahun 2011 itu bukan karya sastera baru, sehingga tidak dinilai untuk mendapat Hadiah Rancagé”).

Hadiah Sastera “Rancagé” 2012 untuk bahasa Sunda


Dalam tahun 2011 ada 19 judul buku bahasa Sunda yang terbit, tidak dihitung beberapa judul buku-buku yang merupakan cétak ulang. Dari yang 19 itu, tiga judul di antaranya karya Ajip Rosidi (Sawér jeung Pupujian, Guguritan, dan Wawacan) yang sejak awal tidak pernah dinilai untuk mendapatkan Hadiah Sastera “Rancagé”. Begitu juga dua judul karya bersama (Kumpulan Carita Pondok Rumaja karya Zahra dkk dan Carem kumpulan sajak A. Yogaswara dan Ki Lodaya) tidak dinilai. Demikian pula biografi (Béntang Tembang: Fragmén Kahirupan Nénéng Dinar karya H.D. Bastaman) tidak dinilai. Dari yang 13 judul, lima judul berupa bacaan anak-anak yang dinilai untuk mendapatkan Hadiah Samsudi. Maka yang dinilai untuk mendapatkan Hadiah Sastera “Rancagé” ada 8 judul terdiri dari satu kumpulan sajak (Paguneman karya Acép Zamzam Noor), tiga kumpulan cerita péndék (Duriat karya Saini K.M., Haté Awéwé karya Risnawati, dan Samping Kebat Haturan Ema karya Dudi Santosa), satu drama (Mun-Tangan Alif karya R. Hidayat Suryalaga), satu kumpulan ésai (Ngamumulé Basa Sunda karya Wahyu Wibisana) dan dua kumpulan pantun (=sisindiran, yaitu Sisindiran: Rorotékan H. Adang S. dan Sisindiran jeung Wawangsalan Anyar karya Dédy Windyagiri).

Mun-Tangan Alif merupakan drama terakhir yang ditulis oléh R. Hidayat Suryalaga. Isinya melukiskan tingkat-tingkat yang harus ditempuh oléh manusia agar sampai pada asal-muasal yang sejati. Drama ini dapat disebut sebagai kongkritisasi paham Martabat 7. Yang menjadi tokoh dalam drama ini Ambu dan Bapuh, yang mempunyai tugas untuk membantu Utun, Inji, Enok dan Otong agar meningkat dari tingkat pertama ke tingkat ketujuh sambil berpegang pada tali yang terikat pada Alif yang berada di tingkat ketujuh. Tapi usahanya itu tidak mudah karena di samping Ambu dan Bapuh ada juga Samegost dan Samegeist yang selalu menghalangi dan menggoda siapa saja yang hendak naik tingkat. Dalam drama ini, Hidayat mampu menundukkan gagasan yang terbilang berat dalam peristiwa drama, walaupun pada beberapa bagian masih terasa belum berhasil.

Kumpulan Carita Pondok Rumaja karena dikarang bersama tidak termasuk yang dinilai untuk mendapatkan Hadiah “Rancagé”. Haté Awéwé (Hati Wanita) memuat 20 cerita péndék karya Risnawati yang umumnya melukiskan kehidupan perempuan, baik dalam lingkungan rumah tangga maupun dalam masyarakat, termasuk dalam lingkungan pekerjaan. Unggul dalam penggunaan bahasa Sunda namun sayang dalam susunan ceritanya banyak yang lemah dalam arguméntasi. Duriat (Cinta) karya Saini K.M. sangat unik, karena kecuali sebagai kumpulan cerita péndek, dapat juga dianggap roman yang setiap bagian sama-sama bertémakan “duriat” (cinta). Duriat yang menjadi judulnya mémang mengikat cerita-cerita yang dimuat di dalamnya sebagai suatu kesatuan. Sayang sebagai suatu kesatuan terasa bertélé-télé. Samping Kebat Haturan Ema (Kain Panjang buat Ibu) karya Dudi Santosa memuat 15 cerita péndék yang umumnya menceritakan masalah di lingkungan keluarga dan tempat pekerjaan seperti hubungan suami-isteri, orang tua dan anak, mertua dengan menantu, atasan dan bawahan, atau di antara teman sepekerjaan. Semuanya diceritakan dengan seadanya, yang menonjol hanya “Samping Kebat Haturan Ema” yang dijadikan judul buku.

Ngamumulé Basa Sunda (Memelihara Basa Sunda) memuat 61 ésai Wahyu Wibisana mengenai bahasa (Sunda) baku, lentong, morfém, diksi, konfiks, kalimat dan pengaruh bahasa Indonésia terhadap bahasa Sunda, dan lain-lain. Semuanya memperlihatkan keluasan pandangan dan pengetahuan penulisnya dan ketelitiannya dalam memilih subyék yang dibahas.

Baik Sisindiran: Rorotékan H. Adang S. maupun Sisindiran jeung Wawangsalan Anyar karya Dédy Windyagiri, keduanya merupakan kumpulan sisindiran dan juga wawangsalan. Sisindiran adalah semacam pantun yang sangat digemari dalam masyarakat Sunda lama. Pada tahun 1970-an Adang S. yang diangkat oléh Proyék Sundanologi untuk menangani “Caraka Sundanologi” yang merupakan lembaga bimbingan kepada para pemuda yang mau belajar mengarang dalam bahasa Sunda. Dalam kesempatan itu ia berhasil mempopulérkan lagi sisindiran, sehingga sempat menjadi acara tetap dalam TVRI Bandung. Dalam bukunya, dia memberikan uraian mengenai sisindiran, wawangsalan, dan lain-lain, selain memuat sisindiran ciptaannya sendiri. Sedang dalam buku Dédy Windyagiri hanya dimuat sisindiran dan wawangsalan baru ciptaannya.

Carem merupakan kumpulan sajak bersama, A. Yogaswara dan Ki Lodaya (ps. Otong Sumarli), jadi tidak dinilai untuk mendapatkan Hadiah “Rancagé”. Paguneman (Percakapan) kumpulan sajak Acép Zamzam Noor yang kedua dalam bahasa Sunda. Seperti diketahui, Acép banyak juga menulis sajak dalam bahasa Indonésia dan telah menerbitkan beberapa kumpulan sajak. Kumpulan sajak Acép yang pertama dalam bahasa Sunda berjudul Dayeuh Matapoé (1993) masuk nominasi untuk mendapatkan Hadiah Sastera “Rancagé” 1994. Seperti dalam kumpulan sajaknya yang pertama, dalam Paguneman juga Acép banyak melukiskan bercampurnya perasaan dan pikiran dalam perjalanan baik dalam jagat besar, maupun dalam jagat kecil. Tapi kalau dalam kumpulan yang pertama yang dilukiskan itu terutama tempat-tempat yang jauh termasuk yang di mancanagara, maka dalam kumpulan yang kedua yang dia kunjungi adalah tempat-tempat di tanah tumpah darahnya. Dalam kumpulan yang pertama, “jarak” menjadi sumber makna yang penting, sedangkan dalam kumpulan sajak yang kedua sumber makna itu terdapat pada “deukeut” (dekat), “deuheus” (akrab) dan “dalit” (karib). Hal itu menyebabkan sajak-sajak Acép terasa lebih sublim daripada sajak-sajaknya yang lebih dahulu. Tidak ada yang baru pada cara Acép melukiskan rasa, gagasan, dan suasana, tapi hampir dalam setiap sajak nampak keterampilan, pengetahuan dan keluasan pandang Acép sebagai penyair yang menonjol.
Karena itu yang terpilih sebagai karya yang pantas mendapat Hadiah Sastera “Rancagé” 2012 untuk bahasa Sunda adalah

Paguneman
Kumpulan sajak Acép Zamzam Noor
Terbitan Nuansa Cendekia (Bandung)

Maka kepada Acép Zamzam Noor akan disampaikan Hadiah Sastera “Rancagé” 2012 buat karya berupa piagam dan uang (Rp 5 juta ).

Sedangkan yang terpilih untuk memperoléh Hadiah Sastera “Rancagé” 2012 buat jasa dalam bahasa Sunda ialah

Etti R. S.
(lahir di Ciamis, 31 Agustus 1958)

Etti pernah mendapat Hadiah Sastera “Rancagé” untuk kumpulan sajak Maung Bayangan (1995) dan untuk Serat Panineungan (2009). Di samping menulis sajak, Etti juga menulis guguritan yang sering dijadikan tembang dalam Tembang Sunda Cianjuran. Dia sendiri sering menembang. Kegiatannya dalam bidang sastera Sunda kian meningkat setelah dia terpilih menjadi pengurus kemudian menjadi Ketua PP-SS (Paguyuban Pangarang Sastra Sunda yang kemudian menjadi Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda) sampai tiga kali masa bakti. Banyak préstasinya yang patut dicatat ketika menjadi Ketua PP-SS, antara lain menyelenggarakan berbagai kegiatan seperti sayémbara menulis drama, sayémbara menulis sajak, memperkenalkan sastra Sunda kepada para siswa sekolah menengah melalui kegiatan “saba sastra” dan menyelenggarakan ulang tahun pengarang-pengarang terkemuka. PP-SS di bawah kepemimpinan Etti juga banyak mengusahakan penerbitan buku-buku karya sastra para pengarang muda dengan mengadakan kerja sama dengan penerbit-penerbit profésional.
Kepada Etti RS juga akan disampaikan Hadiah Sastera “Rancagé” 2012 untuk jasa berupa piagam dan uang (Rp 5 juta ).


Hadiah Sastera “Rancagé” 2012 untuk bahasa Jawa

Dalam tahun 2011 terbit 14 judul buku dalam bahasa Jawa, tapi ada 4 judul yang tidak dinilai karena merupakan cétak ulang (Gumuk Sandhi karya Poerwadhie Atmodihardjo), kumpulan karya bersama termasuk terjemahan (Sajak-sajak Tegalan karya Lanang Setiawan) bukan terbitan 2011, (Cumloroting Cahya ing Telenging Wengi karya Budi Nugroho), dan Wedhus Gémbél Gunung Merapi karya Suci Hadi Suwita).

Maka buku karya sastera terbitan 2011 yang dinilai untuk mendapatkan Hadiah Sastera ”Rancagé” bahasa Jawa 2012 ada 10 judul, yaitu 6 kumpulan sajak (Raja Gurit karya Yudi Joyokusumo, Layang Saka Kekasih karya R. Djoko Prakosa, Ombak Wengi: Antologi 99 Puisi Jawa karya Yusuf Susilo Hartono, Mutung Suwung, Aja Mutung Mundhak Suwung karya R. Ng. Suisdiyati Sarmo, Kidung saka Bandungan karya Rini Tri Puspohardini, dan Bocah Cilik Diuber Srengéngé karya Widodo Basuki), 3 buah roman (Ing Manila Tresnaku Kelara-lara karya Fitri Gunawan, Dilabuhi Jajah Désa Milangkori karya Rahmat Ali, dan Sisip ing Dalan Sidhatan karya Harwimuka) dan sebuah kumpulan cerita péndek (Puber Kedua karya Ary Nurdiana).

Raja Gurit karya Yudi Jayakusmah memuat 61 guritan yang melukiskan tentang alam, tentang kefanaan, pembélaan terhadap bahasa Jawa, penghargaan kepada tokoh-tokoh sejarah dan tokoh wayang, yang semuanya diungkapkan dengan gaya yang lugu, pilihan kata yang lugas, hampir tidak memanfaatkan gaya bahasa apa pun untuk menciptakan keindahan.Sementara itu R. Djoko Prakosa dalam kumpulan guritannya Layang Saka Kekasih yang memuat 111 sajak cinta mengéksprésikan semuanya dengan nuansa melankolik yang melukiskan berbagai situasi cinta yang diungkapkan dengan imaji bernuansa Jawa seperti dalam sajak “Geter”.

Sedangkan Mutung Suwung Aja Mutung Mundhak Suwung kumpulan guritan karya R. Ngt. Suisdiyati Sarmo, seorang ibu berusia 70 tahun selama lk 10 tahun (2002–2011) menggarap berbagai masalah seperti bencana dan kerusuhan yang menimpa, pujian kepada para pejuang, cinta kepada keluarga, kawan dan bangsa, tapi semuanya diéksprésikan secara lugas dan secara keseluruhan cenderung didaktis.

Kidung Saka Bandungan karya Rini Tri Puspohardini berisi 48 guritan bahasa Jawa yang disertai dengan terjemahannya dalam bahasa nasional, menyampaikan masalah-masalah kemanusiaan dengan éksprési yang lembut. Bila ia marah atau merasa kecéwa, hal itu diungkapkan dengan santun. Di dalamnya sering dijumpai ungkapan, métafora dan perbandingan yang baru sehingga terasa segar.

Téma dan masalah yang terdapat dalam kumpulan puisi Yusuf Susilo Hartono berjudul Ombak Wengi yang memuat 99 guritan pilihan 1981–2011, amat bervariasi karena “aku lirik” kaya dengan pengalaman hidup. Seperti nampak dalam sajaknya yang dijadikan judul buku, perkataan “ombak” memiliki makna multi diménsi, dibayangkan sebagai semangat, tenaga yang poténsial bagi manusia dan kehidupan yang semakin lama semakin kuat, dapat dikiaskan dengan anak panah yang mampu menjebol mendung hitam yang mengotori langit hati. Namun ombak juga bisa menjadi kuping yang dengan bijak mendengarkan penderitaan rakyat kecil atau menjadi mulut yang akan mengucapkan kejujuran. Secara keseluruhan puisi-puisi dalam kumpulan ini menekankan pada tiga aspék, yaitu (1) kerinduan kembali kepada kehidupan kampung halaman yang pernah terlupakan, (2) téma dan masalah yang bervariasi diangkat dari renungan jiwa yang matang, dan (3) figur ibu dibayangkan sebagai lambang keiklasan, kehangatan, dan kedamaian.

Bocah Cilik Diuber Srengéngé karya Widodo Basuki, memuat 67 guritan. Judulnya diambil dari judul salah sebuah guritan yang bergaya irasional, menggabungkan dunia mimpi dengan dunia nyata. Bagi anak kecil maka mungkin dia lari ketakutan jatuh bangun dikejar matahari, tapi kemudian berhasil menelannya dan matahari itu jatuh di tempat tidurnya. Ketika bangun keésokan harinya, matahari itu tidak ada tapi pagi itu ia melihat matahari terang bersinar kekuningan di ufuk timur, diiringi suara burung bernyanyi. Terlepas dari puisi-puisi irasionalnya, puisi-puisi péndék réligiusnya memiliki daya saran yang dalam seperti “Rejeki”, “Saradan”, “Klasa Gumelar Sajembaré Langit”, dan “Wiji kang tinandur”.

Kumpulan cerita péndék Puber Kedua karya Ary Nurdiana memuat 25 cerita. Sebagian besar menggarap téma cinta remaja. Cerita yang dijadikan judul buku bercerita tentang Hamid yang sudah beristeri jatuh cinta kepada anak buahnya, Rini.

Dilabuhi Jajah Désa Milangkori karya Rahmat Ali ditulis dalam bahasa Jawa dialék Malang. Sayang menggunakan éjaan semau sendiri, sehingga sulit dibaca masyarakat luas. Kisahnya bersifat otobiografis yang menggunakan gaya aku-serta, mengisahkan sejarah hidup sejak dari asal-usul ayah-ibunya, kemudian tentang orang-orang di sekitarnya (Bu Anna, Kang Dasimin, Yu Tum, Ipah, Ayuk dan saudara-saudaranya yang lain). Tokoh aku lulus SMA tapi tak ada dana untuk melanjutkan, tapi ada kawannya yang menawarkan kerja di proyék bangunan. Kemudian dia berhasil masuk Angkatan Laut dan mengikuti pendidikan di Rusia. Dilanjutkan dengan suka-duka pengalaman hidup si aku yang mengasyikkan. Diakhiri sebagai keluarga bahagia yang meninggalkan pekerjaan formal yang dianggap mengikat, memilih hidup mandiri dengan membuka warung Tegal.

Roman berjudul Ing Manila Tresnaku Kelara-lara karya Fitri Gunawan (Kushartati) ditulis dengan bahasa anak muda yang ringan, menceritakan pengalaman si aku (Dini) ketika mengikuti program S-2 di Manila. Si aku dengan tiga orang kawannya dari Indonésia bertemu secara menyebalkan di toko buku dengan Irawan, mahasiswa program S-3 dari Malaysia. Hubungan Dini dengan Irawan makin dekat, padahal di Bali ada Hari, kawan dekat Dini yang menantinya pulang. Hubungan Dini dan Irawan itu berakhir dengan pernikahan keduanya di Indonésia. Cerita yang ujungnya mudah ditebak itu, sayang sekali kurang cermat dalam alih kode percakapan antar tokoh, sehingga Eni orang Jakarta dan Déwi dari Palémbang menggunakan bahasa Jawa, padahal percakapan antara Irawan, Dini dan dua kawannya yang lain menggunakan bahasa Inggris.

Sisip ing Dalan Sidhatan roman karya Harwimuka dimulai dengan ironi: Biasanya TKW yang baru pulang mendapati rumahnya menjadi bagus dan kehidupan keluarga yang membaik. Tapi Santi yang baru pulang dari Hongkong, mendapati rumahnya tetap butut dan anak serta suaminya tak ada di rumah. Yang ada hanya ibunya yang terbaring sakit, tidak ada yang mengurus. Oléh tetangga-tetangganya Santi dianggap sebagai TKW yang gagal setelah tiga tahun bekerja di luar negeri.

Ketika Santi menemui Hartati, kakak suaminya, ke Malang dikawani oléh kakaknya sendiri, Ratmi, ternyata Hartati mengira Santi sudah menikah dengan laki-laki lain, berdasarkan surat Santi kepada Redias, suaminya, yang menyebabkan Rédias kawin lagi. Santi yang tidak pernah menulis surat demikian tentu saja menolak tuduhan itu. Dan dengan bantuan Ratmi, Santi dapat membuktikan bahwa ada orang yang memalsukan suratnya.

Setelah dipertimbangkan dengan saksama, karena ada beberapa buku bahasa Jawa yang sebenarnya patut mendapat Hadiah Sastera “Rancagé” 2012, namun akhirnya diputuskan bahwa yang mendapat Hadiah Sastera “ Rancagé” 2012 untuk karya dalam bahasa Jawa ialah

Ombak Wengi
Karya Yusuf Susilo Hartono
(terbitan Elmatera Jakarta)

Kepada Yusuf Susilo Hartono akan disampaikan Hadiah Sastera “Rancagé’ 2012 berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).


Adapun yang mendapat Hadiah Sastera “Rancagé” 2012 untuk jasa dalam pengembangan bahasa dan sastera Jawa ialah

Sucipto Hadi Purnomo
(lahir di Trikoyo, Jaken, Pati, 6 Agustus 1972)

Di samping menjadi dosén di jurusan Bahasa dan Sastera Jawa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang, Sucipto juga menjadi redaktur Tabloid Yunior Suara Merdéka dan membina rubrik budaya “Sang Pamomong” yaitu lembar khusus bahasa Jawa. Ia juga memimpin Lembaga Kajian dan Pengembangan Pendidikan (LKP2) di Semarang dan menjadi sékertaris Forum Bahasa Média Massa Jawa Tengah dan sejak 2006 memimpin Organisasi Pengarang Sastra Jawa.

Dia juga aktif menulis, baik dalam bahasa Jawa maupun dalam bahasa Indonésia. Kecuali menulis karangan tentang kebudayaan, tentang pendidikan, dan feature, dia juga menuilis guritan dan lakon ketoprak. Karangannya tersebar dalam surat kabar dan majalah seperti Suara Merdéka, Kompas, Panjebar Semangat, Damar Jati, Jayabaya, dan lain-lain. Cerita bersambungnya dalam bahasa Jawa dialék Pati berjudul Saridin Mokong dimuat dalam Suara Merdéka édisi Muria lebih dari 500 kali muat dan judul itu kemudian dijadikan nama kesebelasan Persipa Pati: Laskar Saridin Mokong. Di samping itu Sucipto menulis buku Wong Jawa (kok) Ora Ngapusi (2008), Belajar Dusta di Sekolah Kita (2008), Ketoprak: Siasat Hidup di Antara Tradisi dan Modernitas (akan terbit).

Kepada Sucipto Hadi Purnomo akan disampaikan Hadiah Sastera “Rancagé” 2012 untuk jasa berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).


Hadiah Sastera “Rancagé” 2012 untuk bahasa Bali

Dalam tahun 2011 buku bahasa Bali yang terbit ada 9 judul, lebih sedikit daripada yang terbit tahun 2010 (ada 13 judul). Dari yang 9 judul itu, yang sebuah cétak ulang, sehingga yang dinilai untuk mendapatkan Hadiah Sastera “Rancagé” hanya 8 judul. Yang cétak ulang itu adalah Tresnané Lebur Ajur Satondén Kembang (Cinta Layu Sebelum Berkembang) karya Djelantik Santha yang pernah terbit tahun 1984. Romannya Sembalun Rinjani mendapat Hadiah Sastera “Rancage” tahun 2002.

Dari yang delapan judul buku baru, tiga adalah roman karya I Nyoman Manda pengarang yang sangat produktif dalam bahasa Bali, yaitu Cicih, Sam Pék Engtay, dan Jayaprana-Layonsari. Nyoman Manda pernah tiga kali mendapat Hadiah Sastera Rancagé yaitu tahun 1997 untuk jasa, tahun 2003 untuk karya (Bunga Gadung Ulung Abancang) dan tahun 2008 untuk karya (Depang Tiang Bajang Kayang-kayang).

Cicih mengambil téma hukum karma, yaitu bahwa orang akan mendapatkan kebaikan atau keburukan sesuai dengan perbuatannya sendiri. Tokoh cerita yang berbuat baik akhirnya mendapatkan kebahagiaan. Bahasa yang digunakannya sederhana, mudah dipahami, alurnya jelas; Cicih adalah roman yang happy ending, memberikan pelajaran moral léwat cerita.
Sam Pék Engtay dan Jayaprana-Layonsari keduanya pengisahan ulang cerita lama. Sam Pék Engtay cerita rakyat Cina yang sejak 1900-an sangat popular di Bali dalam bentuk puisi tradisional Bali, gaguritan, yang sering dijadikan lakon arja atau drama gong. Jayaprana-Layonsari adalah legénda Bali yang juga banyak dibuat menjadi gaguritan atau lakon arja dan drama gong. Keduanya juga menggarap téma tentang hukum karma seperti Cicih.
Lima judul buku lain yang baru terbit ialah Bor karya IBW Widiasa Kenitén, Sundel Tanah dan Bunga Valentine keduanya karya I Madé Sugianto, Meték Bintang (Menghitung Bintang) karya Komang Adnyana dan Kama Bang Kama Putih karya I Madé Suarsa.

Bor berisi 13 cerita yang umumnya menggambarkan ketidakharmonisan dalam masyarakat Bali akibat penafsiran adat dan tradisi yang sangat kaku. Disajikan dengan bahasa Bali yang halus, cerita-cerita IBW Kenitén sering menggunakan tokoh luar Bali atau asing (Jawa, turis Amérika) sebagai saluran untuk menyampaikan kritik terhadap ketidakharmonisan di Bali. Dalam “Julia”, umpamanya, pengarang menggunakan tokoh wanita orang Amérika untuk menyindir perilaku masyarakat Bali yang terlibat perkelahian antar-kelompok, masyarakat yang menolak menguburkan jenazah, dan lain-lain.

Sundel Tanah dan Bunga Valentine masing-masing juga memuat 13 cerita. Témanya beragam, mulai dari kisah romantika remaja merayakan hari kasih sayang dalam cerita “Bunga Valentine” sampai dengan isyu serius mengenai masyarakat Bali yang kian dihimpit oléh situasi, untuk mau tidak mau, perlu tidak perlu, harus menjual tanahnya seperti dalam “Sundel Tanah”. Madé Sugianto dalam kedua kumpulan cerita ini menunjukkan kréativitasnya dalam mengangkat téma cerita, namun dalam penggarapan masih memerlukan pendalaman, baik dalam perwatakan maupun dalam pengembangan konflik.

Prosa liris Kama Bang Kama Putih karya I Madé Suarsa menawarkan penggalian dan pengungkapan baru dalam sastra Bali modéren. Pemakaian bahasa yang indah dalam prosa liris ini menunjukkan kemampuan pengarang dan bahasa Bali itu sendri untuk mengungkapkan persoalan secara mendalam secara éstétis. Kama Bang dan Kama Putih adalah lambang laki-laki dan perempuan, dua yang berbéda, perempuan memiliki indung telur (kama bang) dan laki-laki memiliki spérma (kama putih). Dalam prosa liris ini dilukiskan ésénsi keperempuanan dan kelaki-lakian dalam kehidupan yang penuh gejolak hawa nafsu, gejolak sosial politik, dan sebagainya. Sayang keseluruhan prosa liris ini dalam penggalian kata-kata bersajak terasa agak berlebihan.

Kumpulan cerita péndék Meték Bintang (Menghitung Bintang) karya Komang Adnyana yang juga berisi 13 cerita, hampir semuanya menarik dalam hal téma dan penggarapan. Pengarang mampu untuk “terang-terangan menyembunyikan” titik-titik penting cerita, sehingga pembaca dibuat terpaksa memikirkan dan membayangkan hubungan-hubungan antara peristiwa dan ucapan para tokoh. Pembaca cerita-cerita ini tidak akan merasa rampung setelah habis membaca kalimat terakhir tetapi akan terus terangsang untuk berpikir, mengait-ngaitkan dan menggali-gali unsur cerita yang disembunyikan pengarang. Dalam “Ngamén”, misalnya, dilukiskan hubungan rumit antara suami-isteri Bali dengan orang Jerman bernama Michél yang datang ke Bali untuk mempelajari kebudayaan Bali. Bahkan dia ingin menjadi orang Bali, sehingga mengganti nama menjadi Luh Sandat. Ketekunannya mempelajari kesenian dan kebudayaan Bali membuat orang Bali merasa malu, sehingga terpanggil untuk melestarikan kebudayaannya. Michél jatuh cinta kepada seorang laki-laki yang sudah beristeri, tetapi belakangan ternyata Michél itu laki-laki.

Cerita dalam Meték Bintang ini sangat beragam dan membacanya sangat menyenangkan, terutama cerita-cerita yang tragis seperti “Cicing” (Anjing), “Maling”, dan “Luh Ronji”. Kejutan pada akhir cerita merupakan kekuatan lain yang merata dalam kumpulan Meték Bintang.
Berdasarkan penilaian di atas maka Hadiah Sastera “Rancagé” 2012 untuk karya dalam bahasa Bali diberikan kepada

Meték Bintang (Menghitung Bintang)
Karya Komang Adnyana
(terbitan Jnana Aksara Bali)

Kepada Komang Adnyana akan disampaikan Hadiah Sastera “Ranacgé” 2012 berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).

Sedangkan Hadiah Sastera “Rancagé” 2012 untuk jasa dalam mengembangkan bahasa dan sastera Bali disampaikan kepada

I Madé Sugianto
(lahir di Tabanan, 19 April 1979)

Jasa I Madé Sugianto terhadap perkembangan sastera Bali ada dua hal. Pertama, dia banyak menulis karya dalam bahasa Bali modéren terutama berupa cerita péndék yang dimuat dalam Bali Orti, supelmén Bali Post Minggu yang khusus untuk bahasa Bali. Sudah ada empat judul kumpulan cerita péndéknya yang terbit sebagai buku (dua judul tahun 2010, dua judul tahun 2011). Dia yang bekerja sebagai wartawan itu merupakan salah seorang sasterawan Bali modéren yang produktif.

Kedua, jasa Madé Sugianto adalah dalam usahanya menerbitkan karya-karya sastera Bali modéren menjadi buku melalui penerbit kecil yang dikelolanya bernama Pustaka Eksprési yang pertama kali menerbitkan buku tahun 2009. Sekarang sudah menerbitkan 9 judul buku seperti Jangkrik Maénci (2009), Bikul, Préman, Komédi Birokrat, Jénggot Kambing (semuanya 2010) dan Bunga Valentine, Sundel Tanah, Tresnané Ajur Lebur Satondén Kembang, dan Bor (2011). Setiap judul dicétak 200 (dua ratus) éksempkar dan diédarkan melalui toko-toko buku. Dengan usahanya itu karya sastera Bali modéren bisa terbit sebagai buku.

Sebelum menerbitkan buku bahasa Bali melalui Pustaka Eksprési, Madé Sugianto menerbitkan majalah sastera Eksprési sejak 2007 dan sejak 2011 tampil dengan sisipan bahasa Bali “Kedaton”. Majalah ini ditujukan kepada para remaja, sehingga melalui sisipan “Kedaton” sastera Bali modéren diperkenalkan kepada generasi muda.

Kepada I Madé Sugianto akan disampaikan Hadiah Sastera “Rancagé” 2012 berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).


Hadiah Samsudi 2012 untuk bacaan kanak-kanak dalam bahasa Sunda

Buku bacaan kanak-kanak berbahasa Sunda dalam tahun 2011 terbit lima judul, yaitu Asal Usul Hayam Pelung jeung Dongéng-dongéng Cianjur Lianna karya Tatang Setiadi dan Sasakala Situ Buleud, Sasakala Situs Gunung Padang, Sasakala Situ Wanayasa, dan Sangkuriang jeung Gunung Tangkuban Parahu keempatnya karya Aan Merdéka Permana.

Asal-usul Hayam Pelung memuat 9 dongéng yang bertalian dengan Cianjur, termasuk tentang asal-usul ayam pelung, tempat mandi badak putih, Gunung Padang, Sungai Citarum, makam Si Kabayan, dan kuda kosong. Diceritakan dengan menarik dan lancar. Meskipun timbul tanda tanya mengapa dalam “Dongéng Sasakala Gunung Padang” dikisahkan ada LSM, sementara cerita “Jangari anu Kalindih” lebih merupakan cerita péndék daripada dongéng. Namun demikian buku Asal-Usul Hayam Pelung sangat menarik buat bacaan kanak-kanak.
Sementara itu keempat buku sasakala yang disusun oléh Aan Merdéka Permana, memperlihatkan ketidakprofésionalan, baik dalam penyusunan cerita maupun dalam penerbitannya sebagai buku, sehingga kurang baik kalau sampai ke tangan kanak-kanak.
Maka sebagai pemenang Hadiah Samsudi 2012 ditetapkan

Asal-Usul Hayam Pelung jeung Dongéng-dongéng Cianjur Lianna
Karya Tatang Setiadi
Terbitan Kiblat Buku Utama, Bandung

Kepada Tatang Setiadi akan disampaikan Hadiah Samsudi 2012 berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).

*

Upacara penyerahan Hadiah Sastera “Rancagé” 2012 dan Hadiah Samsudi 2012 akan dilaksanakan dalam suatu upacara khusus di tempat dan pada waktu yang akan ditetapkan kemudian.

Pabélan, 31 Januari 2012
Yayasan Kebudayaan “Rancagé,

Ajip Rosidi
Ketua Déwan Pembina

January 29, 2012

[Perjalanan] Budaya Lampung di Sukadana Darat

ORANG menyebut daerah itu sebagai Sukadana Darat. Ia adalah satu dari sedikit kantong budaya Lampung yang masih mempunyai kelengkapan instrumen, termasuk para pelakunya.





1
Suasana Jalan Annur, Sukadana Darat. Satu menara masjid tua dan Rumah Informasi Budaya Lampung (belakang masjid) menjadi penanda kampung ini masih teguh memegang budaya.

2
Seorang pengunjung sedang memperhatikan konstruksi rumah tradisional Sukadana di bagian bawah.

3
Benda-benda kuno yang menjadi koleksi Rumah Tradisional Sukadana tertata rapi di beberapa sudut ruang rumah.

4
Uzunuhir, pemilik rumah ini menunjukkan beberapa barang koleksinya.

Melintas di Sukadana, wilayah Kabupaten Lampung Timur melalui jalur lama, satu kampung etnik mesti dilewati. Lokasinya berada di bagian atas sungai, seolah menanjak bukit.

Lokasi ini lazim disebut sebagai Sukadana Darat. Darat yang menjadi kata ikutan itu hanya sebagai penanda karena posisinya yang lebih tinggi. Kebetulan, di desa etnik inilah para tokoh masyarakat adat Sukadana tinggal. Tak pelak, segala bentuk kebijakan dan pengaruh hadir dari sini. Kantor kepala Desa Sukadana juga ada di sini.

Meskipun ada sebutan darat, tidak ada laut atau sungai di sisi lainnya. Yang ada adalah Sukadana Pasar. Lokasinya dipisahkan sungai dan menjadi pusat perniagaan sejak zaman lama. Sayang, saat ini meskipun pemerintah daerah merehabilitasi lokasi dengan membangun pusat perbelanjaan konsep modern, “pasar” yang sesungguhnya justru mati.

Pembangunan pusat pemerintahan Kabupaten Lampung Timur yang “menjauh” dari Sukadana Darat membuat “aslinya” Sukadana ini mati suri. Terlebih sejak jalan lintas pantai timur (Jalinpantim) dibuka dan mulus, Sukadana Darat hanya jalur kepepet. Ditambah lagi, reputasi beberapa wilayah Lampung Timur yang rawan kriminalitas pembegalan, jalan yang dulunya adalah urat nadi itu sebisa mungkin dihindari.

Memasuki Jalan Annur, di desa itu, atmosfer suasana memang menjadi berbeda. Citarasa pemandangan kampung etnik masih terasa, meskipun bangunan-bangunan rumah sudah banyak berubah dengan model modern. Ciri yang menguatkan suasana itu adalah kerapatan hunian dan kedekatan dengan jalan raya.

Di bagian tengah, satu masjid dengan menara model besar dan cukup tinggi menandai ketuaan umurnya. Tak tertulis prasasti tahun pembuatan pada menara masjid itu, tetapi menurut Uzunuhir, salah satu pelaku budaya yang saat ini masih eksis, usia masjid itu setara dengan desa itu.

Di samping masjid, di depan kantor desa, satu bangunan berarsitektur Lampung megah berdiri. Rumah kayu panggung bertiang 70 batang kayu dengan cat hitam natural itu menjadi ikon budaya Lampung di Sukadana. Sejak 1986, rumah milik keluarga Ahmad Basyari gelar Suttan Kencana ini ditetapkan sebagai cagar budaya dengan sebutan “Rumah Tradisional Sukadana”.

Bangunan ini memang sudah tidak asli. Namun, sebagaimana silsilah yang tertuang dalam beberapa bahan publikasi, sebelum dipugar dengan konsep aslinya pada 1986, rumah ini dibangun pada 1940 itu oleh keluarga Muhammad Yusuf Paksi Mergo. Sedangkan Paksi Mergo mendapat warisan ini dari M. Nur Bati Kepala Migo yang membangun rumah yang diadaptasi dari rumah Palembang pada 1820. Versi asli rumah ini dibangun pada abad 17 atau tepatnya pada 1650.

Kini, Ahmad Basyari Suttan Kencana telah wafat. Beruntung, Uzunuhir, istrinya, yang berasal dari Padangratu (Lampung Tengah) amat menguasai tatanan dan tatacara adat budaya Lampung. Juga delapan anaknya yang telah mentas konsisten menjaga warisan leluhur tata adat budaya Lampung ini hingga sekarang.

“Rumah ini sudah dicanangkan sebagai cagar budaya oleh menteri pariwisata. Pemerintah juga sudah memugar sehingga sampai sekarang masih bagus begini. Sejak dua tahun lalu, kami juga dapat subsidi biaya perawatan Rp1,65 juta setiap tiga bulan,” kata perempuan energik mantan kepala SD ini.

Selain masih tampak kokoh dari luar, bagian dalam rumah juga menyimpan benda-benda bersejarah. Kebanyakan berupa perangkat upacara adat Lampung peninggalan ratusan tahun lalu. Selain juga peralatan rumah tangga dan peralatan lainnya.

“Ada banyak macamnya. Kebanyakan buatan abad 17. Ada meja marmer, kitab Alquran, pepadun, peti besi, meriam sundut, kendi-kendi, siger, sepatu kayu, sampai lampu minyak,” kata Uzunuhir.

Tata ruang rumah yang posisinya “terlalu” dekat dengan jalan itu memang tidak spesifik. Juga, karena posisi lahan yang lebih rendah dari jalan membuat unsur rumah panggungnya tidak cukup terlihat. Padahal, rumah itu ditopang 70 tiang setinggi 180 sentimeter.

Ada teras, ruang tamu yang memajang sekaligus menyimpan benda-benda tua itu, ruang keluarga, kamar-kamar, dan balkon di lantai atas.

Selain mengelola rumah tua, Uzunuhir juga mendirikan sanggar Kencana Lepus. Rumah ini menjadi markas sanggar sekaligus tempat latihan dan transfer ilmu pengetahuan tentang budaya Lampung kepada generasi muda.

“Ada 50 lebih muli-mekhanai (bujang gadis) warga sini yang jadi anggota aktif. Mereka bisa dan tahu tata adat Lampung. Kami sering diminta menampilkan upacara adat Lampung secara lengkap sampai tingkat nasional. Peralatan kami lengkap dan pelaku budayanya juga masih banyak,” kata pendiri TK dan diniah gratis di Sukadana ini. (M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Januari 2012

January 26, 2012

Tapis, Pesona Tanah Lada

Oleh Lukman Hakim


AWAL April 2009, dosen seni University of Michigan, Amerika Serikat, Mary-Louise Totton, menerbitkan buku sejarah dan perkembangan budaya dan tapis Lampung. Buku dengan judul Wearing Wealth And Styling Identity Tapis from Lampung, South Sumatra, Indonesia itu pernah dipamerkan di Hood Museum of Art. Amerika, 21 April hingga 31 Agustus 2009.

Buku setebal 188 halaman itu diterbitkan University Press of New England. Buku itu merupakan hasil studi lapangan, sebagai sarjana kunjungan Pusat Studi Asia Tenggara di beberapa negara, termasuk Indonesia (Lampung) selama tujuh tahun (2002—2009). Penelitian Mary tentang sejarah, budaya, dan perkembangan tapis Lampung dilakukan juga di Museum Tropenmusium Amsterdam, Belanda. Namun, karena koleksi tapis Lampung di Belanda kurang lengkap dan banyak yang belum diberi nama, Mary melakukan studi lapangan di Lampung, dengan meminta koleksi dan penjelasan dari peneliti, pengamat, dan perajin Bandar Lampung.

Dalam buku tersebut dijelaskan sekitar 51 jenis tapis Lampung dan koleksi yang dituliskan hampir mewakili semua unsur budaya yang ada di Lampung. Buku tersebut memang lebih lengkap. Karena, data yang didapat, selain dari Belanda dan museum Lampung, juga berasal dari konsultasi dengan peneliti dan pengamat budaya Lampung. Bahkan, pemerintah Indonesia dan narasumber dalam buku itu, Raswan, Ida Mustika Zaini, dan Ansori Djausal diundang ke Hood Museum of Art Amerika untuk melihat pameran buku dan tapis Lampung, yang berakhir pada 31 Agustus 2009.

Kepedulian Orang Luar

Mungkin kita sangat sedih setelah tahu orang luar yang lebih dulu menulis buku tentang tapis. Padahal, sejarah membuktikan kalau tapis berasal dari Lampung yang memiliki ragam budaya yang sangat banyak dan unik.

Ketika buku Wearing Wealth and Styling Identity Tapis from Lampung, South Sumatra, Indonesia hadir, pengamat, budayawan, dan seniman tanah lada ini seharusnya tidak hanya banyak komentar dan bereuforia soal kebudayaan Lampung. Tapi, diharapkan semua pihak bangkit dan menunjukkan kepada dunia luar bahwa budaya Lampung pun bisa dijual. Bukan hanya di Nusantara, tapi di luar negeri.

Memang tidak mudah menggali soal budaya Lampung, terlebih membahas soal tapis. Bahkan, seorang peneliti ataupun desainer tapis pun harus sangat memahami dan filosofi tapis dan budaya Lampung itu sendiri. Artinya, untuk mengenal tapis, seseorang harus lebih dulu mengetahui sejarah dan arti motif yang tertuang di dalamnya. Setelah itu, barulah membuat kreasi untuk mengembangkan motif kain tapis tersebut.

Munculnya kain tapis ditempuh melalui tahapan-tahapan yang mengarah pada kesempurnaan teknik tenunnya maupun cara-cara memberikan ragam hias yang sesuai dengan perkembangan kebudayaan masyarakat. Perkembangan kerajinan tenun di Lampung, teknik kerajinan tapis sebagai hasil proses akulturasi kebudayaan. Kemudian dilengkapi dengan berbagai variasi budaya.

Hal ini terlihat dari unsur-unsur pengaruh tradisi neolitikum yang memang banyak ditemukan di Indonesia. Demikian pula dengan perkembangannya, ragam hias tapis masih terlihat pengaruh dari unsur-unsur ragam hias yang timbul dalam periode Hindu Indonesia. Dalam ragam hias menggunakan unsur flora dan fauna yang dihubungkan dengan kepercayaan umat Hindu. Masuknya agama Islam di Lampung, ternyata ikut memperkaya kerajinan tapis ini.

Kenalkan Budaya Lampung

Sejauh ini, di Lampung dikenal 36 jenis kain tapis. Namun, di museum AS, terdapat lebih dari 53 jenis tapis lama yang usianya bahkan mencapai 400 tahun. Pada masyarakat Lampung, banyak ditemukan pembuat kain tapis. Sedangkan tempat asal yang dikenal adalah Abung Siwo Mego, Mego Pak Tulangbawang, Sungkai Way Kanan, Pubian Telu Suku, dan Pasir. Kain tapis Lampung sudah ada sejak lebih dari 400 tahun lalu, berupa tenun ikat.

Namun, seiring perkembangan zaman dan banyak alat tenun yang hilang, baru pada era 1980-an kain tapis mulai dikenal kembali masyarakat luas. Sayangnya, masyarakat hanya mengenal kain tapis Sumatera (untuk menyebutkan kain tapis Lampung).

Selain itu, banyak sekali pengusaha tapis membawa perajin tapis dari daerah asalnya ke Tanjungkarang. Hal itulah yang selama ini dilakukan pengusaha tapis Lampung. Akibatnya, kerajinan tapis justru tidak berkembang. Padahal, pengusaha harus meniru Obin atau Iwan Tirta yang mengembangkan batik dengan tetap membuat batik dari daerah asalnya, Jepara. Semoga.

Lukman Hakim, Wartawan Lampung Post

Sumber: Lampung Post, Kamis, 26 Januari 2012

January 22, 2012

Kemiling-Piabung Jalur Pariwisata Bandar Lampung

MELEPAS Kota Bandar Lampung menuju wilayah Kabupaten Pesawaran di pinggir Teluk Lampung adalah kesan. Tak kurang 20 kilometer, pandangan akan bertatap dengan keindahan alam nan menyejukkan.





Tak usahlah berpikir untuk menikmati keindahan alam ketika ada tugas atau keperluan untuk mengunjungi wilayah selatan Kabupaten Pesawaran dari Bandar Lampung. Pilihlah jalur lengang yang menyisir di bagian barat kota.

Saat memasuki Jalan Raden Imba Kusuma Ratu atau yang dikenal sebagai Palangbesi (Palbes), Kemiling, tanggalkan dulu bahan bacaan, ponsel, atau lainnya. Bahkan, enyahkan dulu obrolan politik, rencana pekerjaan, gerundel gaji, atau gosip. Sebab, Anda akan mulai disuguhi warna-warna yang akan membuat pikiran segar kembali.

Jalan yang cukup baik, dengan liuk-liukan cukup tajam, kontur berbukit yang menawarkan sensasi menanjak-turun, pohon-pohon besar di kebun, serta tanaman lainnya sungguh pengobat lelah indra penglihatan. Para pedagang durian dan buah lainnya yang menjajakan dengan apa adanya menambah kuat rute ini sebagai jalur wisata.

Beberapa taman rekreasi besar dan ramai juga bertakhta di sini. Ada Lembah Hijau, ada Bumi Kedaton, ada Wira Garden, dan lainnya. Juga vila-vila pribadi milik para pejabat Lampung dan Jakarta dengan kebun durian sebagai ikonnya banyak singgah di sini.

Di perbukitan Sukadanaham, pemandangan Teluk Lampung dengan laut biru, pulau-pulau, kapal-kapal, dan nelayan sudah terbingkai. Ini menjadi pintu masuk ke kawasan Teluk Lampung yang menyajikan pemandangan segar hingga pangkalan marinir TNI AL Piabung, Kecamatan Padangcermin, Pesawaran.

Selepas Kemiling dan Telukbetung Barat, memasuki wilayah Kabupaten Pesawaran adalah sensasi perpaduan pantai di sebelah kiri dan gunung di sisi kanan. Ada komunitas nelayan yang menjual ikan langsung di TPI Lempasing maupun yang mengolah menjadi ikan asin di kawasan selebihnya.

Sedangkan di sebelah kanan ada permakaman warga Tionghoa yang terlihat megah “menempel” dinding pegunungan berlatar hutan hijau.

Terus, pantai, bukit batu, gunung berhutan, tambak, dan pemandangan khas lain memagari pandangan. Jalan kecil yang naik-turun-meliuk di bahu bukit dengan latar bawah amparan laut dan lembah membuat suasana sejuk makin memikat.

Melanjutkan laju kendaraan, beberapa nama tempat rekreasi berbasis pantai memasang merek. Ada Duta Wisata, Pantai Mutun, Pantai Ringgung, Bensor, dan masih banyak lagi.

Ketika jalan harus berdampingan dengan pantai, suasana laut begitu terasa. Komunitas nelayan dengan puluhan perahu penangkap ikan terayun-ayun saat diparkir tak jauh dari rumah-rumah sederhana mereka. Lalu, laut di kiri dan bukit hijau lestari itu hanya dipisahkan oleh jalan aspal yang membelah menuju Padangcermin.

Kawasan ini sudah berada pada areal milik TNI Angkatan Laut yang bebas permukiman. Ada daratan selebar kira-kira 60 meter sepanjang kira-kira 2 kilometer yang kemudian dikelola secara sederhana menjadi tempat wisata. Namanya Klara yang merupakan singkatan dari kelapa rapat. Meskipun pengelolaannya sederhana, Klara sudah sangat dikenal dan mendapat tempat di hati masyarakat.

Bergeser sekitar 300 meter, satu pantai lagi mulai dikelola warga dengan dukungan Inkopal. Seperti ingin mendompleng pantai tetangganya, pantai ini diberi merek Claura.

Meskipun baru dan sederhana, pantai ini menawarkan pantai dengan pasir laut tanpa batu karang dengan riak ombak sedang. “Di sini tidak ada batu karangnya dan dalam airnya sampai sekitar 100 meter hanya 1,5 meter. Jadi aman dan enak untuk berenang anak-anak,” kata Aan, salah satu pengelola.

Untuk masuk lokasi, setiap mobil, berapa pun penumpangnya, dikenai bea parkir Rp20 ribu. Untuk sepeda motor Rp5.000. “Kalau orang tidak kami hitung bayaran,” kata Ajat, teman Aan.

Belasan gubuk untuk berteduh dan mengobrol disediakan pengelola dengan sewa Rp20 ribu. Fasilitas lain, ada kolam ikan air payau yang berisi ikan nila dan beberapa jenis lainnya dipersilakan pengunjung untuk memancing gratis.

“Musala sedang kami buat, meskipun sederhana. Mudah-mudahan tiga hari ini selesai,” kata Ajat.

Soal keamanan, lokasi yang berada di wilayah otoritas marinir ini, kata Ajat, dijamin aman. “Termasuk juga keamanan anak-anak yang berenang, kami ikut menjaga,” kata dia. (M-1)

Teks: Sudarmono
Foto: Hendrivan Gumay

Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Januari 2012

January 19, 2012

Ihwal Lambang Daerah Bandar Lampung

Oleh Iwan Nurdaya-Djafar


DPRD Bandar Lampung tengah mengambil peran inisiatif untuk menyesuaikan lambang daerah Kota Bandar Lampung dengan merevisi Peraturan Daerah No. 15 Tahun 1984 tentang Lambang dan Panji-Panji Daerah.
Untuk itu, dilaksanakanlah sayembara lambang daerah Kota Bandar Lampung yang berlangsung dari tanggal 11 Januari--21 Januari 2012 untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat menggagas lambang daerah tersebut.

Mencermati isi pengumuman sayembara yang memuat sembilan ketentuan, tak satu pun yang memberikan arahan atau kisi-kisi mengenai unsur-unsur yang mesti tercantum dalam lambang daerah Bandar Lampung. Hanya saja, pada ketentuan keempat ditegaskan bahwa peserta wajib memberi narasi atau penjelasan arti lambang dan panji-panji daerah secara terperinci.

Sementara pada ketentuan kedelapan disebutkan bahwa lambang dan panji-panji yang telah ditetapkan sebagai pemenang menjadi milik Pemkot Bandar Lampung dan panitia berhak mengubah dan akan disesuaikan untuk menjadi lambang dan panji-panji yang akan dimuat dalam perda. Ini berarti peserta sayembara diberikan keleluasaan amat besar untuk menggagas lambang daerah.

Absennya unsur-unsur yang mesti tercantum dalam lambang daerah bukan mustahil justru akan kontraproduktif untuk sayembara itu sendiri karena belum tentu peserta sayembara mengerti apa yang dimaksud dengan lambang daerah. Oleh karena itu, penulis terpanggil untuk mengarahkan konsep lambang daerah yang sedang disayembarakan itu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bukan Simbol Kedaulatan

Secara yuridis, lambang daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah No.77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah (Lembaran Negara tahun 2007 No.161, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4790). Lambang daerah adalah panji kebesaran dan simbol kultural bagi masyarakat daerah yang mencerminkan kekhasan daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 angka 4). Lambang daerah bukan hanya meliputi logo seperti disebutkan panitia, melainkan juga meliputi bendera; bendera jabatan kepala daerah; dan himne (Pasal 2).

Lambang daerah berkedudukan sebagai tanda identitas daerah dan berfungsi sebagai pengikat kesatuan sosial budaya masyarakat daerah dalam NKRI. Sungguhpun demikian, lambang daerah bukanlah simbol kedaulatan daerah.

Mengenai desain logo daerah, berdasarkan Pasal 6 Ayat (2), desain logo daerah disesuaikan dengan isi logo yang menggambarkan potensi daerah, harapan masyarakat daerah, serta semboyan untuk mewujudkan harapan tersebut. Aturan ini kiranya sangat penting untuk diperhatikan oleh peserta sayembara sehingga desain yang dibuatnya tidak melenceng dari aturan mengenai desain logo daerah.

Di samping itu, desain logo tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo daerah lain, partai politik, organisasi kemasyarakatan, atau negara lain. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kerancuan terhadap lambang institusi atau kelembagaan pemerintah daerah maupun organisasi kemasyarakatan dan partai politik di daerah. Begitu pula terhadap desain logo negara lain yang dilindungi peraturan perundang-undangan.

Desain logo juga tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam NKRI.

Misalnya logo dan bendera bulan sabit yang digunakan oleh gerakan separatis di Aceh, logo burung mambruk dan bintang kejora yang digunakan gerakan separatis di Papua, serta bendera benang raja yang digunakan gerakan separatis di Maluku.

Dalam menyelenggarakan otonomi daerah, pemerintah daerah mempunyai kewajiban antara lain melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan, kerukunan nasional, dan melestarikan nilai sosial budaya dalam NKRI.

Citra Masa Depan

Pelestarian nilai sosial budaya masyarakat daerah antara lain direfleksikan dalam lambang daerah sebagai tanda identitas daerah dalam NKRI. Sebagai tanda identitas, lambang daerah menggambarkan potensi daerah, harapan masyarakat daerah, dan semboyan yang melukiskan semangat untuk mewujudkan harapan dimaksud.

Peraturan Pemerintah No.77 Tahun 2007 perlu dijadikan rujukan dan pedoman bagi pemerintah daerah dan masyarakat di seluruh daerah di Indonesia dalam membuat lambang daerah. Dengan demikian, meskipun diberi keleluasaan yang besar, peserta sayembara tetaplah mesti merujuk dan mempedomani Peraturan Pemerintah No.77 Tahun 2007 tersebut.

Penulis juga ingin menyarankan agar di dalam membuat lambang daerah, para peserta dan panitia tidak berorientasi ke masa silam seraya merayakan kerinduan nostalgik. Sebaliknya, menampilkan citra masa depan.
Jika dipandang perlu, berilah pemaknaan baru atas nilai-nilai sosial budaya masyarakat Lampung masa lalu sesuai dengan derap dan panggilan zaman sehingga mampu menjawab tantangan masa depan. Karena hidup bergerak ke depan, bukan mundur ke masa silam!

Iwan Nurdaya-Djafar, Budayawan

Sumber: Lampung Post, Kamis, 19 Januari 2012

January 15, 2012

Mengawal Badak Sumatera

BADAK sumatera adalah satwa yang sangat dilindungi karena terancam punah. Salah satu habitat hewan dengan nama latin Dicerorhinus sumatrensis ini di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Rhino Protection Unit (RPU) menjadi salah satu pengawal kelestarian si kulit tebal ini. Wartawan Lampung Post Sayuti sempat ikut patroli RPU beberapa waktu lalu.





Sekelompok orang berseragam serbahitam, dengan bawaan standar pasukan militer itu bergerak tegap menyusuri jalan setapak menuju hutam. Mereka adalah unit khusus yang tergabung dalam penyelamat badak sumatera yang dibentuk Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (BBTNBBS).

Rhino Protection Unit (RPU), demikian nama unit khusus itu. Tim ini rutin berpatroli di hutan untuk menangkap pemburu satwa yang terancam punah itu di kawasan TNBBS yang membentang dari Tanggamus—Lampung Barat—Bengkulu.

Tugas-tugas yang diemban personel RPU yang identik dengan satuan antiperburuan di kawasan hutan TNBBS ini sungguh sangat berbahaya. Arif Rubiyanto, koordinator RPU Balai Besar TNBBS, mendeskripsikan kehidupan sehari-harinya personel RPU ini seperti mission impossible.

Bagaimana tidak, selain bertugas memantau habitat dan keberadaan badak sumatera dengan melakukan patroli menembus belantara hutan perawan selama berhari-hari bahkan berminggu, tidur beratapkan awan, berselimut embun, dengan hiburan kicauan burung dan lengkingan satwa serta sonata hutan lainnya.

Personel RPU ini tidak pernah menyerah. Mereka biasa bertarung melawan penebang liar, baku tembak dengan pemburu, berhasil bertahan selama berhari-hari di hutan tanpa makanan, dan bahkan menyamar sebagai pembeli produk hewan liar ilegal.

Ketika banyak konservasionis bekerja dengan bicara dari kantor-kantor, para anggota bekerja di lapangan. Mereka di hutan, di banjir hujan, di bebatuan, dan di lautan yang tak terprediksi. Sering merisikokan keselamatan hidupnya sendiri untuk menyelamatkan hewan-hewan liar Sumatera yang luar biasa unik dan sangat terancam itu.

RPU yang dibentuk tahun 1991 itu memiliki 16 unit patroli terlatih yang tersebar di tiga taman nasional. Masing-masing 8 unit di Bukit Barisan Selatan, 5 unit di Way Kambas, dan 3 unit di Ujung Kulon. Setiap unit terdiri dari seorang polisi kehutanan ditambah tiga penduduk lokal.

Di TNBBS ada 36 orang yang terlatih menjaga badak dan habitatnya. Dalam berpatroli, anggota tim antiperburuan ini tidak pernah kenal kompromi terhadap segala bentuk penyimpangan dalam kawasan konservasi. Mereka bukan hanya mengejar dan menangkap orang yang berniat berburu, juga para perambah hutan.

Dengan demikian, pasukan ini bukan cuma melindungi badak, tetapi hutan dan isinya.
Perjalanan patroli bukan perkara mudah. Meskipun disebut patroli, tim tidak selalu bertemu dengan satwa yang dijaganya. Tim hanya menemukan jejak-jejak berupa tapak kaki atau bekas makan, serta lintasan hewan yang sering dianalogikan sebagai wajah yang tak tahu malu itu.

Bekerja sambil menikmati alam yang luar biasa ini bukan tanpa risiko. Bagi Lampung Post, perjalanan ikut patroli adalah rekreasi, meskipun berisiko. Namun, bagi anggota tim, ini adalah tugas rutin mulia dengan dua sisi manfaat. Satu sisi mereka beribadah mendapatkan nafkah untuk keluarga, di sisi lain mereka mengabdi kepada negara untuk kelestarian alam.

Menjaga kelestarian satwa ini jelas bukan tugas mudah. Sebab, para pengganggu, baik sengaja atau tidak, adalah manusia. Mereka adalah para pencari burung, pencari rotan, pencari gaharu, pencari getah damar, dan kegiatan ilegal lain.

Kondisi medan yang berbukit dan dan jurang terjal, serta cuaca yang selalu lembap dan hampir selalu hujan merupakan tantangan tersendiri saat bertugas. Sering jika tim RPU melintasi satu bukit ke bukit lainnya setelah menyeberangi sungai, tim harus memanjat dan merayap ditebing yang curam dan licin. Bahkan salah satu personel RPU terjatuh dan luka di kaki dan tangannya.

Jika tim menyeberangi sungai, formasi tim harus selalu siap. Personel yang kuat harus menjaga personel yang lemah atau sakit karena sungai berbatu licin dan arus deras.
Kehati-hatian dalam menjaga keselamatan tim terhadap satwa predator, satwa berbisa, serta mamalia besar lainnya juga harus selalu diperhatikan. Itu semua merupakan tugas dan tantangan yang harus diselesaikan.

Pada patroli November lalu, tim menemukan jejak anak badak yang berusia sekitar 1—1,5 tahun. Temuan tersebut setelah melalui bukit-bukit curam dan menyeberangi sungai besar yang setiap hari terjadi banjir tiba-tiba. Temuan berada di daerah lembah sepi, di tepi sungai kecil yang di kelilingi bukit terjal. “Menemukan jejaknya berupa tapak kaki dan bekas kotorannya saja, kami sudah bangga. Sebab, satwa itu memang sudah sangat langka. Artinya, penemuan itu menandakan bahwa keberadaan badak ini masih ada,” kata dia.

Keringat dan darah kami terus menetes karena banyak digigit pacet. Kaki yang selalu lembap, rawan terserang kutu air.

Mengikuti patroli bersama tim RPU TNBBS itu timbul rasa syukur kepada Sang Khalik. Ternyata Bumi Indonesia dikaruniai wilayah yang memiliki keindahan alam yang luar biasa dan kekayaan kehidupan fauna (satwa) dan flora (tumbuhan) yang beraneka ragam dan khas.

Dalam kehidupan satwa misalnya, Indonesia adalah negara dan bangsa yang satu-satunya yang memiliki jenis badak terlengkap. Dari 5 (lima) jenis yang tersisa di dunia, Indonesia memiliki dua jenis badak, yaitu badak bercula satu (badak jawa) dan badak bercula dua (badak sumatera). Sedangkan Benua Afrika yang luas pun, walaupun memiliki dua jenis badak (badak hitam dan badak putih) keduanya bercula dua dan India hanya memiliki badak bercula satu (badak india).

Badak sumatera yang dijumpai di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan badak terkecil dan jenis yang paling primitif dari kelima jenis badak yang masih hidup di dunia.

Ciri-ciri yang khas dari badak sumatera, antara lain mempunyai bibir atas lengkung-mengait ke bawah (hooked upped), bercula dua, warna kulit cokelat kemerahan, serta lipatan kulit hanya terdapat pada pangkal bahu, kaki depan maupun kaki belakang. Kekhasan yang menonjol dari badak sumatera daripada jenis badak lainnya adalah kulitnya yang berambut. Waktu bayi seluruh kulit badannya ditutupi rambut yang lebat (gondrong) dan semakin jarang seiring dengan bertambahnya usia. (SAYUTI/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Januari 2012

January 8, 2012

Membentuk Karakter, Membuka Cakrawala

Oleh Anton Kurniawan

BETAPA riuh pembicaraan bahwa masyarakat Indonesia hari ini adalah bangsa tanpa karakter. Bangsa besar yang tak mampu menentukan jalan nasibnya sendiri. Bangsa yang kaya dengan sejarah adiluhung tapi telah kehilangan karakter. Lalu, kita membincangkan strategi tepat untuk menciptakan generasi berkarakter.

PENTAS TEATER. Sanggar teater komunitas Akasia SMA Negeri 1 Abungsemuli, Lampung Utara, mementaskan lakon Labirin karya Djuhardi Basri di gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Unila, Jumat (23-11-2011) lalu. Pementasan ini merupakan rangkaian Hajatan Teater Lampung (HTL) yang digelar rutin UKMBS Unila. n ISTIMEWA

Dari sinilah esai ini berangkat. Awal Desember 2011 saya mendapat pesan singkat dari Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni Universitas Lampung (UKMBS Unila). Isinya, undangan pementasan teater untuk mengisi acara Hajatan Teater Lampung (HTL) yang digelar rutin UKMBS Unila. Dalam pesan singkat itu telah ditentukan waktu pementasan adalah 24 Desember 2011 pukul 19.30, tetapi kemudian diubah menjadi 23 Desember 2011.

Mendapat pesan singkat ini, saya langsung menghubungi teman-teman di Sanggar Teater Komunitas Akasia SMA Negeri 1 Abung Semuli, Lampung Utara, sanggar tempat saya dan kawan-kawan pelajar belajar bersama, berproses untuk mencipta. Undangan tersebut disambut dengan gembira dan bersemangat.

Agaknya, UKMBS telah menjadi magnet yang memiliki daya tarik teramat dahsyat. UKMBS Unila merupakan ruang sekaligus jalan setapak yang kini banyak dipilih para penggiat teater di seantero Lampung untuk menyajikan hasil sebuah proses, tempat berdiskusi dan berbagi kisah dalam proses penciptaan, meskipun tempat dan fasilitas yang ada hanya sederhana. Namun bukankah hal-hal besar selalu lahir dari ruang-ruang yang sederhana?

Akan halnya Sanggar Teater Komunitas Akasia, meskipun berada di daerah yang cukup jauh dari pusat kota, terpencil di antara kebun karet dan kebun singkong yang tumbuh subur, ternyata punya keinginan yang kuat untuk memperlihatkan mereka terus berproses.

Pementasan teater bukanlah olimpiade Fisika yang harus diikuti, bukan pula olimpiade Matematika yang wah atau lomba karya ilmiah yang selalu dinantikan. Bahkan, pementasan teater tidaklah sebanding dengan lomba cerdas cermat tingkat kecamatan sekalipun. Begitulah pemikiran yang tertanam di benak nyaris semua pemangku kebijakan, termasuk para birokrat di sekolah. Oleh sebab itu, mengeluarkan dana yang besar untuk sebuah pementasan teater bukanlah langkah cerdas dan membanggakan. Tapi, untunglah restu sekolah keluar juga.

***

Singkat cerita, Sanggar Akasia pentas di Unila, Jumat, 23 Desember 2011 malam. Para undangan telah hadir, kebanyakan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Lampung. Ada juga penyair, sastrawan, teaterwan seperti Ari Pahala Hutabarat, Edi Samudera Kertagama, Iskandar G.B., Yulizar Fadli, dan Oky Sanjaya.

Begitulah naskah Labirin karya Djuhardi Basri yang dibawakan Sangar Akasia terus bergerak menuju akhir. Sekitar satu jam kemudian, pementasan pun usai yang dilanjutkan dengan acara diskusi dan evaluasi pementasan. Saya tidak hendak membahas pementasan ini.

***

Saya tidak terlalu memusingkan segala masukan dan kritikan yang disampaikan, tetapi paling penting bagi saya adalah bagaimana siswa-siswa SMA yang datang dari tempat yang jauh, daerah yang dikelilingi kebun karet dan suburnya tanaman singkong, ternyata mampu menunjukkan hasil proses dengan caranya sendiri. Mereka begitu percaya diri.

Paling tidak, menjadi bukti teater dan sastra mampu membentuk seorang manusia menjadi lebih berkualitas baik jika dibimbing dan diarahkan dengan proses yang tepat. Usai acara malam itu saya melihat begitu banyak senyum di wajah mereka. Mungkinkah mereka telah menemukan dan mendapatkan? Atau ada perasaan lain yang tak mampu saya maknai.

Namun yang jelas, sejak malam itu tergambar rasa percaya diri yang tinggi di wajah mereka untuk mengarungi hari-hari ke depan. Bahkan, mereka berjanji untuk menjadi siswa yang berprestasi. Melihat senyum di wajah-wajah belia itu seusai pementasan, seakan menjadi sebuah perigi, oase tempat saya bisa membasuh segala kepenatan. Sebab belakangan, koran dan televisi begitu banyak mewartakan tentang kekerasan, pencurian, dan berbagai bentuk kriminal lain di negeri ini.

***

Indonesia hari ini, seakan Hanafi dalam roman Salah Asuhan karya Abdoel Moeis, yang yang malu mengakui takdirnya sebagai pribumi saat jatuh cinta dengan Corrie, putri seorang Belanda, dan akhirnya mati memanggung beban berat: cintanya kandas, dicampakkan dari tanah leluhur, tidak diakui sebagai orang Belanda meskipun ia telah mengubah kewarganegaraannya. Mengenaskan.

Ketika semua tersadar—mungkin karena tidak membaca novel Salah Asuhan—para penguasa pun membuat kebijakan bahwa bangsa ini harus mengembangkan pendidikan karakter melalui sekolah. Celakanya, tak banyak yang paham (terutama pendidik dan instansi pendidikan) apa dan bagaimana sesungguhnya memberikan pendidikan karakter itu. Akibatnya, tujuan yang telah ditetapkan belum tercapai—kalau tak ingin dikatakan gagal. Lalu apa yang salah dan siapa yang patut disalahkan?

Jika boleh jujur, saat ini kita seperti kehilangan jalan pulang karena gandrung pada sesuatu yang instan danberaroma asing, yang seungguhnya semu. Sekolah-sekolah lebih menghargai siswa-siswi yang mampu meraih nilai tinggi tanpa mempertimbangkan bagaimana ia mendapatkannya. Etika dan norma kearifan lokal telah dilupakan. Adakah hal ini terkait langsung dengan kebiasaan kita yang malas membaca, kemampuan menghargai karya sastra yang rendah (termasuk para guru), dan pemahaman teater yang dangkal?

***

Ah, kita tak mau belajar dari sejarah. Betapa tokoh besar berkarakter negeri ini, Sukarno—mungkin tidak banyak yang tahu—adalah seorang dramawan. Ia juga penulis yang produktif. Termasuk, menulis naskah drama sebagai bagian dari perjuangan. Naskah yang menggambarkan perjuangan dalam rangka merebut kemerdekaan ditulisnya dalam masa pembuangan di Ende dan Bengkulu. Bung Karno bahkan mementaskan drama yang ia buat sebagai pertunjukan teater yang dulu lebih dikenal dengan istilah tonil.

Sebagai pejuang kemerdekaan yang berkali-kali ditangkap dan dibuang, Soekarno telah menulis sebuah pleidoi yang sangat brilian, Indonesia Menggugat (1930) dan risalah Mencapai Indonesia Merdeka (1933). Bukunya yang lainnya yang dahsyat, Sarinah dan Di Bawah Bendera Revolusi. Pidato-pidatonya di berbagai kesempatan telah sanggup melalui bergam ujian zaman. Ia pejuang sejati yang menginspirasi pembebasan, kebebasan, dan kemerdekaan Negara-negara di dunia ketiga; Asia-Afrika-Amerika Latin.

Soekarno memang telah tiada. Ia meninggal dalam sepi dan sunyi. Tapi begitulah pejuang sejati, sanggup menjalani perih luka demi kesejahteraan rakyatnya. Jejaknya di dunia sastra masih bisa dilihat dalam drama-dramanya yang sebagian sudah diterbitkan. Ini membuktikan betapa besar pengaruh sastra dan teater dalam membentuk karakter.

Sebab itu, sudah saatnya sastra dan teater mendapat tempat penting di negeri ini agar bangsa ini kembali bermartabat dan disegani. Alih-alih menciptakan manusia Indonesia yang berkarakter, cara mendidik yang saat ini digunakan ternyata malah melahirkan banyak koruptor yang terus menghisap hak-hak rakyat.

Dengan teater kita bentuk karakter, lewat sastra kita buka cakrawala.

Anton Kurniawan
, pekerja teater lahir di Sinarjaya, Way Tebu, Lampung Barat. Berderma di Sanggar Teater Komunitas Akasia SMAN 1 Abungsemuli, Lampung Utara.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 7 Januari 2012

[Inspirasi] Graffiti David untuk Keindahan Kota

KETERTARIKANNYA pada dunia graffiti mengantarkan David Irawan menjadi seniman yang diakui dan dikenal di kalangan street art. Sudah berbagai lomba dari lokal hingga nasional yang dia menangkan.

Bahkan saking seringnya David memenangi lomba, dia diminta teman-teman yang lain untuk tidak lagi jadi peserta. ”Sekarang hanya jadi juri saja,” kata mahasiswa FISIP Unila ini di Pasar Seni Enggal, Bandar Lampung, Jumat (6-1).

Dalam perlombaan di Bali dan Palembang, dia selalu menjadi juara I atau the best. Pernah David tidak sengaja ikut dalam perlombaan graffiti di Banten dan berhasil meraih juara I. ”Waktu itu lagi touring dan kebetulan motor mogok di Banten. Karena ada lomba graffiti jadi ikutan dulu dan akhirnya menang,” kata David.

Keahlian menggambar di tembok dengan menggunakan cat semprot didapat David dengan belajar sendiri dan mengamati orang lain. Saat masih kuliah di Inter Studi di Jakarta, dia terlibat aktivitas sebagai bomber, sebutan untuk kegiatan menggambar di tembok-tembok kosong.

”Waktu di Jakarta, di kampus memang ada tembok yang disediakan khusus untuk digambar. Ada dosen yang juga hobi graffiti dan mengajak mahasiswa gambar di tembok,” kata dia.

Dia pun rajin mengasah kemampuannya menggambar graffiti dengan berlatih membuat gambar pada tembok indekos. Awalnya membuat pola di kertas, kemudian dituangkan dalam gambar nyata di tembok.

Keahlian gambar street art ini memang dibentuk di jalanan. Jalanan yang menempa David sehingga mahir membuat graffiti. Dia pun kini bisa mural menggambar dengan kuas dengan media tembok. Bahkan kini menggambar ukuran besar tanpa harus membuat pola dahulu di kertas.

Kemampuan yang dia nilai sebagai anugerah ini berusaha untuk ditularkan pada yang orang lain. Graffiti bukan hal yang negatif dan berbeda dengan vandalisme. Menurutnya, seniman sudah banyak mengakui bahwa graffiti dan mural sebagai bagian dari seni rupa. Meskipun masih ada yang menolak untuk mengategorikan graffiti sebagai seni rupa.

David tertarik untuk mengembangkan graffiti di Lampung. Setelah pulang dari Jakarta, tahun 2004, dia dan beberapa temannya membuat komunitas Flash Squad tempat berkumpulnya para bomber. Namun, setelah Flash Squad vakum, tahun 2007 David dan Saktia Wicaksono membentuk Lampung Street Art (LAS) yang kini sudah cukup terkenal dan kerap diundang untuk hadir pada acara di daerah lain.

LSA kini cukup berkibar sebagai komunitas graffiti yang dikenal luas. Bahkan, Unila sempat menggandeng LSA untuk mengadakan lomba graffiti dengan menggambar tembok kolam renang. Pada saat acara Pameran Pembangunan yang diadakan Pemprov Lampung tahun 2011, graffiti diakomodasi sebagai salah satu perlombaan. ”Ini sebagai salah satu kesuksesan dunia graffiti di Lampung, bahwa Pemprov mengakui keberadaan graffiti sebagai sebuah seni,” kata dia.

David menegaskan graffiti sebagai seni menggambar di dinding, jauh berbeda dengan aktivitas vandal. Graffiti menghadirkan keindahan dan membantu agar wajah kota lebih menarik. Bukan untuk mengotori dan merusak keindahan kota.

Pemuda kelahiran Bandar Lampung, 28 Juni 1985 ini menilai dunia graffiti Lampung tidak jauh tertinggal dengan daerah Jawa. Bahkan kalangan street art di Jawa mengakui dan memuji kalangan seniman graffiti Lampung.

Kini LSA aktif membina beberapa ekstrakurikuler (ekskul) di sekolah. Beberapa sekolah yang sudah memiliki ekskul adalah SMAN 1 Bandar Lampung, SMAN 7 Bandar Lampung, dan SMAN 10 Bandar Lampung. LSA masuk ke sekolah-sekolah atas inisiatif pribadi. Mereka tanpa bayaran mengajarkan anak-anak SMA untuk berkesenian menggambar yang lebih ngepop.

Menurut David, anak-anak SMA perlu diarahkan untuk menyalurkan kegiatan pada hal yang lebih positif. Daripada hanya nongkrong-nongkrong saja, atau malah tawuran, lebih baik menyalurkan kreativitas. Graffiti bila ditekuni bisa menghasilkan pemasukan yang lumayan.

Kini beberapa SMA minta untuk diajarkan membuat graffiti. LSA pernah mendapat proyek menggambar tembok sampah di PT Nestle Panjang. David dkk. menggambar dunia bawah laut di tembok tersebut. Sebelumnya tembok tempat sampah menjadi hal yang menjijikkan. Namun, saat ini acara-acara gathering keluarga diadakan di dekat tembok sampah. Bahkan ada yang mau foto-foto dekat tembok itu.

Ini menunjukkan graffiti menjadi seni sekaligus pekerjaan yang menggiurkan. ”Kami dapat puluhan juta dari proyek itu,” kata dia.

LSA pun memiliki cara tersendiri untuk mengungkapkan nasionalisme di acara peringatan Hari Kemerdekaan RI, 17 Agustus. Sejak 2007 LSA memperingati Hari Kemerdekaan RI dengan membuat graffiti di tembok-tembok kosong dengan tema nasional.

Awalnya David belum berani terang-terangan sehingga menggambar pada malam hari. Namun, tahun 2008, sudah berani memperingati 17 Agustus dengan menggambar pada siang hari di salah satu tembok kosong di Jalan Raden Intan.

”Pernah ada polisi yang negor. Kami sampaikan bahwa LSA ngadain peringatan 17 Agustus dengan gambar. Akhirnya kami dibiarkan,” kata David.

Komunitas graffiti menunjukkan jiwa sosial dengan ikut berbagai kegiatan tanpa dibayar. Misalnya ikut acara donor darah dan kegiatan musik dengan demonstrasi menggambar dengan cat semprot yang disebut performance. Orang bisa menikmati demonstrasi LSA sambil menunggu giliran untuk donor darah.

Komunitas graffiti di Lampung hanya menggambar di tembok-tembok kosong yang memang layak untuk digambar. Fasilitas umum tidak akan pernah diganggu. ”Kami hanya gambar pada tembok kosong yang kami sebut sebagai polusi visual jika hanya dibiarkan kosong. Inilah bedanya grafiti dan vandalisme. Grafiti coba memunculkan sisi seni untuk memperindah kota, bukan hanya sekadar coret-coret,” kata dia.

David menilai pemerintah di Lampung lebih cuek soal graffiti. Di Lampung memang tidak ada pelarangan untuk membuat gambar di tembok. Di Yogyakarta, dunia graffitinya maju dan berkembang karena didukung pemda. Pemda menyediakan ruang publik khusus bagi para bomber. Bahkan saat ini ada wisata mural bagi wisatawan asing yang berkunjung ke Yogyakarta.

Kini komunitas graffiti dan mural sudah mulai banyak tumbuh di Lampung. Graffiti menjadi hal positif dan memperindah kota. David pun ingin menularkan semangat bahwa kota akan semakin hidup jika ditunjang dengan aktivitas graffiti. (PADLI RAMDAN/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 7 Januari 2012

[Perjalanan] Belajar dari Alam di Lomba Lintas Wisata Alam TNBBS

LOMBA lintas wisata alam (LLWA) Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNNBBS) kembali digelar, 27—29 Desember 2011. Perjalanan menawarkan spektakel alam dan edukasi lingkungan.





Liburan akhir tahun 2011 begitu berkesan bagi ratusan peserta lomba lintas alam TNBBS 2011. Lomba yang mengambil tema Melalui Lomba Lintas Wisata Alam Bukit Barisan Selatan kita jaga dan lestarikan hutan sebagai tempat hidup dan berlindung flora fauna itu dimulai dari Bumi Perkemahan Sukaraja, Tanggamus.

Hari pertama diisi dengan kegiatan sosialisasi dan perkenalan dengan para peserta dan panitia pelaksana dari Balai Besar TNBBS dan sejumlah mitranya, seperti Rhino Protection Unit (RPU), World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, dan Wildlife Conservation Society-Indonesia Program (WCS-IP).

Dalam pertemuan teknik disampaikan tentang tata cara lomba (pos-pos yang akan dilalui dalam LLWA TNBBS), tata tertib dan larangan buat peserta, teknik penilaian, serta peralatan yang harus dibawa oleh peserta yang disampaikan panitia.

Hari kedua, lomba lintas alam dimulai pukul 08.00 yang diikuti 26 regu (setiap regu 3 orang) dibuka Kepala Balai Besar TNBBS Jhon Kenedie, disaksikan Kabid I Wilayah BBTNBBS Iwen Yovanho Imarson dan pejabat BBTNBBS lainnya.

Kegiatan yang cukup memacu adrenalin, ketangkasan, dan ketepatan waktu melintasi hutan itu membuat para peserta semakin bersemangat.

Memesona, eksotis, dan lengkap. Begitu kira-kira kesan ratusan peserta ketika menginjakkan kaki di taman nasional yang memiliki luas 324 ribu hektare ini. Hawa sejuk, angin bertiup sepoi, kicauan burung, dan lengkingan marga satwa di hutan perawan itu seakan melupakan segala kepenatan para peserta yang selama ini berkutat dengan kesibukan masing-masing, ya sebagai pelajar, mahasiswa, profesional dan lain sebagainya.

Peserta yang memang memiliki jiwa petualangan dan rimbawan sejati seakan kembali ke habitatnya. Karena di sini, peserta LLWA dapat menikmati suasana hutan yang masih perawan, melihat pepohonan besar dan kecil yang beraneka jenis, menghirup udara segar dan bersih, memotret satwa, dan berkemah.

Kondisi medan yang naik turun dan jalan setapak yang berkelok-kelok sampai jauh ke dalam hutan, tentu merupakan areal yang diidam-idamkan pencinta olahraga lintas alam, yang selama ini kebanyakan hanya mereka baca dalam buku.

Kawasan hutan taman nasional ini juga cocok dijadikan tempat wisata pendidikan atau wisata ilmiah. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan adalah sebuah taman nasional yang ditujukan untuk melindungi hutan hujan tropis Pulau Sumatera beserta kekayaan alam hayati yang dimilikinya.

UNESCO menjadikan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan sebagai warisan dunia. Bukit Barisan Selatan dinyatakan sebagai cagar alam suaka margasatwa pada 1935 dan menjadi taman nasional pada 1982.

Kondisi medan dengan jalur yang licin dan terjal akibat diguyur hujan menjadi daya tarik dan tantangan tersendiri bagi para peserta. Lomba ini juga diisi dengan uji kecerdasan dengan berbagai kuis dari panitia.

Sepanjang perjalanan peserta disuguhi panorama alam yang memukau. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yang merupakan perwakilan dari rangkaian pegunungan Bukit Barisan yang terdiri dari tipe vegetasi hutan mangrove, hutan pantai, hutan pamah tropika sampai pegunungan di Sumatera.

Peserta dikenalkan dengan berbagai jenis tumbuhan yang hidup di TNBBS, antara lain pidada (Sonneratia sp.), nipah (Nypa fruticans), cemara laut (Casuarina equisetifolia), pandan (Pandanus sp.), cempaka (Michelia champaka), meranti (Shorea sp.), mersawa (Anisoptera curtisii), ramin (Gonystylus bancanus), keruing (Dipterocarpus sp.), damar (Agathis sp.), rotan (Calamus sp.), dan bunga raflesia (Rafflesia arnoldi).

Selain itu, peserta juga menemukan tumbuhan yang menjadi ciri khas taman nasional ini, yakni bunga bangkai jangkung (Amorphophallus decus-silvae), bunga bangkai raksasa (A. titanum), dan anggrek raksasa/tebu (Grammatophylum speciosum). Tinggi bunga bangkai jangkung dapat mencapai lebih dari 2 meter.

Bukan itu saja, sepanjang rute yang mendaki, menurun, melalui perbukitan, ngarai, lembah padang savana, dan hutan belantara. Para peserta juga menyaksikan keanekaragaman hewan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Seperti beruang madu (Helarctos malayanus malayanus), badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis sumatrensis), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), tapir (Tapirus indicus), ungko (Hylobates agilis), siamang (H. syndactylus syndactylus), simpai (Presbytis melalophos fuscamurina), kancil (Tragulus javanicus kanchil), dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata).

Usai lomba lintas wisata alam. Aksi selanjutnya yaitu aksi bersih lingkungan, yakni membersihkan sampah-sampah yang berserakan di sekitar lokasi perkemahan. Dilanjutkan dengan penamanam sedikitnya 500 pohon di kawasan Buper Sukaraja, Kecamatan Semaka. Pada malam terakhir digelar acara ramah tamah dan pentas seni serta pemutaran film.

Kegiatan terakhir adalah acara penutupan sekaligus penyerahan hadiah oleh Kepala Bidang Wilayah I Balai Besar TNBBS Iwen Yovanho Imarson. (SAYUTI/M-1)


Sumber: Lampung Post, Minggu, 7 Januari 2012

January 5, 2012

Bahasa Lampung: FKIP Usulkan Berdirinya P3BL

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unila mengusulkan berdirinya pusat Pendidikan, Pelestarian, dan Pengembangan Budaya Lampung (P3BL), terkait mendesaknya kebutuhan guru muatan lokal Pendidikan Bahasa Lampung.

Diharapkan melalui lembaga tersebut akan dihasilkan guru-guru yang memiliki kemampuan berbahasa Lampung. Pusat P3BL ini merupakan jenjang pendidikan strata satu (S-1) yang memiliki sertifikat pendidikan muatan lokal, dengan lama studi selama dua semester atau satu tahun, kata Dekan FKIP Unila Bujang Rahman saat silaturahmi ke Lampung Post, Rabu (4-1).

Bujang mengatakan hingga kini FKIP Unila telah mengajukan proposal ke Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi guna izin pembentukan program studi S-1 pendidikan bahasa Lampung pada FKIP Unila.


Menurutnya, kebutuhan akan guru bahasa Lampung merupakan persoalan daerah yang sangat mendesak, sementara proses perizinan berdirinya jurusan bahasa Lampung memakan waktu cukup lama. Belum lagi waktu studi untuk S-1 yang minimal empat tahun baru menghasilkan lulusan, sementara kebutuhan terus mendesak.


"Makanya selain kami berupaya membentuk S-1 bahasa Lampung, kami juga mengupayakan berdirinya pusat Pendidikan, Pelestarian, dan Pengembangan Budaya Lampung yang telah kami ajukan ke DPRD, Komisi V, dan kepada pemerintah daerah dalam hal ini Gubernur Lampung," kata dia.

Ia menjelaskan nantinya lembaga inilah yang mendidik atau memberikan kursus kepada guru bidang studi yang tertarik mengajar bahasa Lampung. "Toh Undang-Undang Guru dan Dosen pun memperbolehkan seorang guru memiliki sertifikat profesi lebih dari satu," kata Bujang.

Namun, menurut dia, agar tujuan tersebut dicapai, dibutuhkan komitmen seluruh pemerintah daerah untuk mempergunakan lulusan baik dari pusat pendidikan maupun program studi yang tengah diupayakan, sesuai kebutuhan bukan pada kekuasaan. "Artinya nanti siapa pun pemimpinnya, maka komitmennya tetaplah sama," kata dia. (MG1/S-2)

Sumber: Lampung Post, Kamis, 5 Januari 2012

Pemprov-Pemkot Diminta Bangun Monumen ‘Gamolan’

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Guna melestarikan dan mengenalkan gamolan, perlu dibangun monumen alat musik khas Lampung tersebut. Gamolan juga akan diusulkan masuk salah satu gambar mata uang rupiah.

"Gamolan perlu mengikuti jejak angklung. Pemerintah daerah sudah membangun monumen angklung. Pemprov Lampung pun harus membangun monumen untuk mengenalkan alat musik gamolan sebagai salah satu simbol daerah," kata Anggota Majalis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) Bandar Lampung Fajar Ramadhan Muchtar, Rabu (4-1).

Fajar bersama peneliti gamolan Hasyimkan dan pencinta gamolan Kemal Sjachdinata akan bertemu dengan Pemprov Lampung dan Pemkot Bandar Lampung mengenai usulan pembangunan monumen ini.

Menurut Fajar, lokasi tempat pembangunan monumen belum diputuskan. Namun, monumen perlu dibangun di Kota Bandar Lampung. Pemkot dan Pemprov bisa mendanai pembangunan monumen ini. "Mudah-mudahan tahun 2012 ini sudah bisa dimulai pembangunannya," kata dia.

Dia menambahkan langkah pembangunan monumen juga perlu dilanjutkan dengan mendorong agar Bank Indonesia mencantumkan gambar gamolan dalam salah satu mata uang. Angklung sudah lebih dahulu menjadi gambar desain mata uang koin pecahan Rp1.000.

"Gamolan sebagai alat musik tua dan sudah diteliti perkembangannya perlu juga diperkenalkan kepada masyarakat melalui mata uang," ujar dia.

Sementara itu, pendaftaran hak kekayaan intelektual (haki) belum juga dilakukan. Awalnya, pendaftaran dijadwalkan pada akhir Desember lalu melalui Lembaga Penelitian Unila. Sementara itu, pendaftaran gamolan ke lembaga kebudayaan dunia, UNESCO, akan dilakukan setelah pengurusan haki selesai.

Saat ini gamolan juga sudah diperkenalkan melalui dunia maya. Informasi tentang gamolan bisa diakses melalui gamolan.wordpress.com. Dalam situs tersebut, orang bisa lebih mengenal alat musik yang terbuat dari bambu ini. (MG2/K-2)

Sumber: Lampung Post, Kamis, 5 Januari 2012

January 2, 2012

Prospek Otda Lampung 2012

Oleh Syarief Makhya

MEMASUKI 2012, salah satu yang layak dipertanyakan dari sekian banyak isu, yaitu bagaimana prospek pelaksanan otonomi daerah (otda) di Lampung. Apakah pelaksanan otda akan membaik atau justru sebaliknya, tidak ada kemajuan yang berarti, bahkan tambah memburuk dan menimbulkan sejumlah masalah baru.

Beberapa catatan penting yang menjadi isu otda di Lampung sepanjang tahun 2011, yaitu hampir semua kabupaten/kota tidak mampu memperbaiki kondisi jalan sangat buruk, Pemerintah Kota Metro tahun 2011 dan Kota Bandar Lampung tahun 2010 berdasar hasil survei KPK dianugerahi sebagai kota yang pelayanan publiknya sangat buruk, Bupati Lamtim masih bermasalah karena diduga menyalahgunakan wewenang, terjadi konflik kepala daerah dengan wakil kepala seperti terjadi di Bandar Lampung dan beberapa kabupaten/kota lainnya, indek pembangunan manusia (IPM) di hampir semua kabupaten/kota masih rendah, terjadi konflik kepala daerah dengan DPRD di Kabupaten Pesawaran, angka kemiskinan di semua kabupaten masih tinggi, terjadi resistensi masyarakat terhadap kebijakan Bupati Lamsel tentang pembangunan patung Zainal Pagar Alam, mutasi pegawai sudah menjadi agenda rutin yang dilakukan di hampir semua kabupaten/kota, proporsi anggaran tidak langsung masih cenderung lebih besar daripada anggaran langsung di semua kabupaten/kota, masih kuatnya politisasi birokrasi di lingkungan pemda, lima kabupaten tertinggal di Lampung masih belum berubah nasib, belum bersinerginya pelaksanaan otda antara Pemprov dengan kabupaten, dst.

Walaupun tidak bermaksud untuk melakukan generalisasi terhadap pelaksanaan otda secara menyeluruh, itulah cerminan pelaksanaan otda di Lampung. Dari gambaran Otda di Lampung, secara umum telah terjadi disorientasi dalam pelaksanaan otda. Otda yang seharusnya memiliki visi untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dalam berbagi sektor, justru menimbulkan sejumlah persoalan baru dan kegagalan dalam memecahkan masalah publik.

Disorientasi pelaksanaan otda di Lampung bersumber karena persoalan kegagalan kepemimpinan pemerintahan. Sosok kepala daerah yang secara konstitutional memiliki kekusaan penuh untuk mengelola pemerintahan dengan baik, justru tidak dimanfaatkan untuk mengubah kondisi daerahnya. Performa kepemimpinan kepemerintahan lebih dominan dicirikan gaya kepemimpinan rutinitas, pencitraan kewibawaan yang berlebihan, mobilisasi dukungan politik, pemanfaatan kewenangan untuk melakukan praktek rent seeking, dan pola kepemimpinan elitis.

Prospek Otda 2012?

Karakter kepemimpinan pemerintahan menjadi variabel yang sangat berpengaruh dan menentukan dalam pelaksanaan otda. Karakter kepemimpinan pemerintahan yang memiliki visi untuk mengubah daerah dan masyarakatnya dengan melakukan inovasi, kreativitas, keberanian, dan terobosan dalam mengambil kebijakan serta sikap konsisten dalam mengemban amanah rakyat menjadi faktor penentu dalam melaksanakan keberhasilan otda. Keterbatasan anggaran yang selama ini sering dikeluhkan untuk melakukan pembangunan dan memenuhi segala kebutuhan masyarakat, sebenarnya bukan persoalan utama, sejauh seorang kepala daerah itu mampu mengelola efektivitas penggunaan dana itu untuk betul-betul untuk kepentingan publik.

Oleh sebab itu, kata kunci pelaksanaan otda di Lampung di tahun 2012 akan memiliki prospek yang lebih baik sangat tergantung pada kepemimpinan pemerintahan kepala daerah.

Di samping itu, pelaksanaan otda di Lampung juga ditentukan sinerginya kebijakan yang dilakukan pemerintah provinsi dengan kabupaten/kota. Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sampai sekarang masih berjalan sendiri-sendiri dalam pelaksanaan otda, harus segera dibenahi. Apa yang menjadi kepentingan dan masalah kabupaten/kota harus diatasi, difasilitasi, dan disinergikan dengan pemerintah provinsi.

Upaya lain agar otda memiliki prospek yang menjanjikan yaitu konflik kepentingan baik diinternal pemda maupun hubungan antara kepala daerah dengan DPRD harus seminimal mungkin dihindari karena sangat tidak produktif dalam mengelola pemerintahan.

Akhirnya, untuk menghindari praktek rent seeking dan penyalahgunaan wewenang, kontrol dan tekanan publik terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan harus dilakukan. Kekuatan masyarakat sipil, jika tidak peduli terhadap proses pembuatan kebijakan dan penyelenggaran pemerintahan sama saja dengan membiarkan terjadinya praktek pemerintahan yang elitis dan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kewenangan.

Dengan demikian, prospek otda di Lampung harus ada visi dan orientasi yang jelas, untuk kepentingan siapa otda dilaksanakan? Jika otda masih menjadi arena kepentingan elit pemerintahan untuk meraih keuntungan ekonomis dan masih menjadi permainan politik di lingkaran elite pemerintahan serta masih dipahami hanya sekadar agenda rutinitas, tanpa ada gereget mengubah daerahnya menjadi maju dan berdaya saing, hampir dapat dipastikan Lampung akan berada dalam posisi tertinggal, termiskin, dan terbelakang dibandingkan dengan daerah lain dan pada akhirnya otda hanya bisa dinikimati para pemilik kewenangan formal dan mereka yang memiliki akses di lingkaran elite pemerintahan.

Syarief Makhya, Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung

Sumber: Lampung Post, Senin, 02 January 2012

Pesta Durian Bersama Wali Kota

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pesta durian digelar Pemerintah Kota Bandar Lampung untuk merayakan pergantian tahun di GOR Saburai, Enggal, Sabtu (31-12), sekitar pukul 19.00. Ribuan orang larut dalam pesta unik tersebut.

REKOR MURI MAKAN DURIAN. Ribuan masyarakat Bandar Lampung memakan durian di Lapangan Saburai, Sabtu (31-12) malam. Sebanyak 10 ribu lebih durian disajikan Pemkot guna memecahkan Musem Rekor Dunia-Indonesia (Muri) makan durian terbanyak. (LAMPUNG POST/MG3)

"Pesta durian ini sengaja diselenggarakan untuk memberikan hiburan kepada masyarakat saat pergantian tahun, sehingga dapat menghadapi Tahun Baru lebih bersemangat," kata Wali Kota Bandar Lampung Herman H.N. sesaat sebelum pesta dimulai.

Kegiatan tersebut merupakan salah satu bentuk perhatian pemerintah dalam memberi perayaan penutup tahun kepada masyarakat. "Saya harap durian 10 ribu lebih ini bisa mencukupi seluruh masyarakat yang hadir," kata mantan Kepala Dispenda Provinsi Lampung itu.

Wali Kota yakin pesta durian tersebut dapat memecahkan rekor Muri makan durian bersama sebanyak 10 ribu buah di Lapangan Saburai, Bandar Lampung.

Para pencandu buah berduri itu sempat tak sabar menanti kedatangan Wali Kota, sehingga mereka menyantap lebih dahulu durian yang telah disediakan.
Akibatnya, sempat terjadi kegaduhan sesaat. Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama, karena yang lainnya dapat ditenangkan agar menunggu acara dimulai baru dilaksanakan makan durian bersama.

Di sisi lain, ruas jalan protokol menjelang malam pergantian tahun terjadi kemacetan yang cukup parah. Kendaraan roda dua maupun roda empat tidak dapat melalui Jalan Raden Intan dan Jalan Majapahit. Kondisi lalu lintas menuju GOR Saburai, tempat dilaksanakannya pesta durian, mengalami macet total.

Pada malam Tahun Baru itu, Polda Lampung menurunkan 349 personelnya untuk mengamankan beberapa pusat keramaian dan rumah ibadah. Titik-titik yang menjadi perhatian kepolisian adalah objek pariwisata, hotel-hotel, tempat hiburan, lapangan Korpri, kata Kabid Humas Polda Lampung AKBP Sulistiyaningsih, Sabtu.

Pengamanan juga dilakukan di sejumlah rumah ibadah yang melakukan muhasabah dan pusat perbelanjaan.

Sementara itu, di beberapa perumahan, pesta pergantian tahun diwarnai bunyi petasan kembang api yang bersahutan. Di Perumahan Griya Way Huwi, Perum Way Kandis, Tanjungraya Permai sejumlah warga merayakan malam Tahun Baru dengan membakar ikan bersama. Menjelang pukul 00.00, mereka menikmati masakan sambil membunyikan petasan kembang api. (UDA/K-2)

Sumber: Lampung Post, Senin, 02 January 2012