February 28, 2012

Lampung Berpotensi Masuk 5 Besar Destinasi Wisata di Indonesia

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Provinsi Lampung berpotensi masuk jajaran lima besar daerah destinasi wisata di Indonesia. Selain memiliki beragam sumber daya alam wisata, Lampung juga merupakan daerah multibudaya yang dapat menunjang bermacam kegiatan wisata nasional dan internasional.

"Lampung harus jadi lima besar destinasi wisata di Indonesia, setelah Jakarta, Yogyakarta, Bali, Surabaya, dan Bandung," kata Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarma Mahendradatta Suyasa III atau Raja Majapahit Bali, saat memberikan sambutan Malam Gelar Budaya di Pasar Seni, Enggal, Sabtu (25-2) malam.

Hadir pada acara itu di antaranya Sekkot Bandar Lampung Badri Tamam dan Ketua Tim Penggerak PKK Kota Bandar Lampung Eva Dwiana Herman H.N. Menurut Gusti Arya, potensi wisata di Lampung, khususnya wisata pantai, lebih baik daripada di Bali.

Namun, Lampung terkesan tidak memiliki grand design, sehingga potensi yang ada belum dapat terkelola maksimal. "Jika saya boleh jujur, pantai di Lampung ini lebih baik dari Bali."

Tidak hanya kagum dengan potensi wisata Lampung, secara khusus Gusti Arya juga mengapresiasi Lampung karena dapat menyatukan berbagai suku bangsa. "Lampung ini multibudaya, Melayu, Jawa, Kalimantan, dan etnis China. Lampung ini ibarat Indonesia mini dan ini patut dipertahankan."

Menurut dia, Lampung merupakan provinsi multietnis, agama, dan suku bangsa. Tidak ada perbedaan dan semua mampu terangkul menjadi satu. Dia menambahkan rasa toleransi orang Bali mungkin kalah dengan apa yang telah dilakukan Provinsi Lampung.

"Lampung tidak bersikap ekslusif. Dan saya rasa Lampung harus mendapat gelar pluralisme, karena memiliki tingkat toleransi yang tinggi. Saya akan bicarakan hal ini di pusat," kata dia.

Sementara itu, Badri Tamam dalam sambutannya, mewakili Wali Kota Bandar Lampung Herman H.N., mengatakan kegiatan Malam Gelar Budaya ini diharapkan dapat memberikan spirit dan inspirasi, khusunya bagi para duta wisata dalam memajukan seni dan budaya daerah masing-masing.

Malam Gelar Budaya yang diselenggarakan Pemkot Bandar Lampung itu mendapat apresiasi dan antuasias dari warga. Acara yang diawali dengan pertunjukkan alat musik gamolan dari SD Xaverius dan dilanjutkan dengan penampilan tari kipas dari Sanggar Tapis Berseri itu setidaknya dihadiri ratusan penonton. (YAR/K-2)

Sumber: Lampung Post, Selasa, 28 Februari 2012

February 26, 2012

Suramnya Sastra Daerah Lampung

Oleh Kuswinarto


"LAMPUNG Gagal Raih Hadiah Sastra Rancage 2012." Demikian judul salah satu berita di Lampung Post, Rabu, 1 Februari 2012. Ini berarti sudah lima kali penghargaan sastra tahunan ini diberikan kepada sastra Lampung, tetapi dua penghargaan saja yang berhasil diraih sastrawan Lampung.

Hadiah Sastra Rancage diberikan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage kepada sastra Lampung sejak 2008. "Bapak Puisi Modern Lampung Udo Z. Karzi, sastrawan Lampung pertama yang berhasil meraih penghargaan ini lewat kumpulan sajaknya Mak Dawah Mak Dibingi. Berita diterimanya Hadiah Sastra Rancage oleh Udo Z. Karzi di tahun 2008 itu disambut gembira oleh banyak pihak. Sebab, boleh jadi (dan memang diharapkan) itu akan memacu masyarakat Lampung untuk lebih bergairah dalam bersastra dalam bahasa daerahnya.

Harapan itu ternyata tinggal harapan. Tahun berikutnya, 2009, tidak ada sastrawan Lampung yang menerima penghargaan yang diberikan kepada siapa saja yang dianggap berjasa dalam pengembangan bahasa dan sastra daerah itu. Ini berarti, setelah Udo Z. Karzi menerima hadiah ini di tahun 2008, tidak ada lagi pengembang bahasa dan sastra Lampung yang layak diberi penghargaan. Mungkin malah tidak ada lagi orang yang berusaha mengembangkan bahasa dan sastra daerah Lampung.

Apalagi, Program Studi Bahasa dan Sastra Daerah Lampung di Universitas Lampung pun ditutup. Padahal, program yang terutama mempersiapkan pendidik dan pengajar mata pelajaran muatan lokal Bahasa dan Sastra Daerah Lampung di sekolah-sekolah di Lampung itu belum lama dibuka. Tentu saja penutupan program ini bukan kabar baik bagi upaya pengembang bahasa dan sastra Lampung lewat pendidikan formal. Sebab, sudah tentu sekolah-sekolah di Lampung akan kesulitan mendapatkan pengajar-pengajar profesional untuk mata pelajaran muatan lokal Bahasa dan Sastra Daerah Lampung.

Satu hal yang sedikit menghibur, lepasnya Hadiah Sastra Rancage tahun 2009 untuk sastra Lampung hanyalah karena kesalahan teknis. Sebab, ketika itu sebetulnya ada dua buku baru sastra Lampung, yakni kumpulan cerita pendek Cerita-Cerita jak Bandar Negeri Semuong karya Bapak Cerpen Modern Lampung Asarpin Aslami dan kumpulan sajak Di Lawok Nyak Nelepon Pelabuhan karya Oky Sanjaya. Hanya saja kedua buku itu terlambat dikirimkan ke panitia Hadiah Sastra Rancage. Ini menghibur, karena meskipun Hadiah Sastra Rancage tahun 2009 untuk sastra Lampung lepas, itu tidak berarti bahwa sastra modern Lampung stagnan karena masih ada sastrawan yang menggelutinya. Jadi, tak hanya Udo Z. Karzi.

Tahun 2010 Lampung kembali meraih Hadiah Sastra Rancage. Asarpin Aslami yang berhak atas penghargaan itu lewat kumpulan cerpennya Cerita-Cerita Jak Bandar Negeri Semuong. Ini cukup melegakan dan diharapkan banyak orang menjadi pelecut gairah bersastra dalam bahasa Lampung. Sebab, lepasnya Hadiah Sastra Rancage 2009 dari sastrawan Lampung menimbulkan kegelisahan bagi sebagian masyarakat Lampung ketika itu. Masalah itu pun menjadi bahan diskusi. Dan diraihnya Hadiah Sastra Rancage 2010 oleh Asarpin Aslami merupakan salah satu jawaban positif bagi kegelisahan itu.

Akan tetapi, tahun berikutnya, 2011, Yayasan Kebudayaan Rancage kembali kebingungan menentukan kepada siapa Hadiah Sastra Rancage untuk sastra Lampung akan diberikan. Tidak ada karya yang masuk ke panitia, juga tidak ada karya yang terlambat masuk. Artinya, saat itu memang tidak ada buku baru sastra Lampung yang terbit. Sebab itu, diputuskan tidak ada sastrawan Lampung yang menerima Hadiah Sastra Rancage 2011.

Lantas tahun 2012 ini, lagi-lagi Hadiah Sastra Rancage untuk sastra Lampung tidak ada penerimanya. Berarti, dua tahun berturut-turut Hadiah Sastra Rancage absen di Lampung. Tahun 2011 sebetulnya terbit dua buku sastra Lampung, yakni Raden Intan II karya Rudi Suhaimi Kalianda dan Warahan Radin Jambat suntingan Iwan Nurdaya-Djafar. Namun, Hadiah Sastra Rancage untuk sastra Lampung tahun 2012 tetap tidak diberikan untuk satu dari dua buku tersebut. Alasannya, kedua buku itu bukan karya sastra baru.

Keputusan Yayasan Kebudayaan Rancage untuk tidak meloloskan buku Raden Intan II atau Warahan Radin Jambat sebagai penerima Hadiah Sastra Rancage untuk sastra Lampung tahun 2012, saya kira, sangat tepat. Untung saja, panitia tidak berpikir, "Tidak ada karya yang baru, karya lama jadilah. Toh, terbitnya juga baru saja." Kalau saja pikiran itu digunakan, lantas salah satu dari dua buku itu diberi Hadiah Sastra Rancage, bisa jadi Yayasan Kebudayaan Rancage akan kebanjiran karya-karya serupa.

Sebab, bukan tidak mungkin ke depan lantas akan banyak orang yang sibuk berburu dan mengetiki cerita rakyat yang berlimpah jumlahnya itu dan diterbitkan supaya mendapat Hadiah Sastra Rancage. Tidak hanya di Lampung, tetapi juga di Sunda, Jawa, dan Bali pun orang akan berbondong-bondong mengetik karya-karya sastra lama demi mendapat Hadiah Sastra Rancage. Jika ini terjadi, Hadiah Sastra Rancage memang bisa diberikan secara konsisten, tetapi boleh jadi tidak ada karya sastra baru yang terbit.

Menjaga konsistensi melahirkan buku sastra baru, inilah problem sastra Lampung. Akibatnya, Hadiah Sastra Rancage tidak dapat diterima rutin setiap tahun. Ketidakkonsistenan penerimaan Hadiah Sastra Rancage ini juga memperlihatkan bahwa penghargaan sastra itu, khusus di Lampung, kurang memberi akibat positif. Ketika memutuskan memberikan hadiah untuk sastra Lampung di tahun 2008, Ajip Rosidi berharap penghargaan itu mampu menjadikan kehidupan sastra daerah Lampung menjadi lebih dinamis. Kalau melihat kenyataan yang terjadi, Ajip Rosidi pun agaknya boleh kecewa karena harapannya tidak menjadi nyata. Sebab, Hadiah Sastra Rancage ternyata tidak membuat upaya pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra daerah Lampung menjadi lebih bergairah, lebih hidup, dan lebih greget. Alhasil, khusus untuk sastra Lampung, Yayasan Kebudayaan Rancage tidak dapat memberikan hadiah secara konsisten tiap tahun karena karya yang hendak diberi hadiah tidak ada!

Selama beberapa minggu sejak ada berita bahwa tahun 2012 ini tidak ada penerima Hadiah Sastra Rancage untuk sastra Lampung, saya menengok media massa dan sejumlah forum online. Saya ingin tahu apa kata dunia—terutama kata orang-orang Lampung—tentang berita menyedihkan ini. Yang ada ternyata hanya sepi. Tak banyak orang membicarakan hal ini. Padahal, berbagai kritik, saran, dan masukan yang disampaikan sejumlah pihak untuk pemerintah daerah Lampung, lembaga pendidikan, sastrawan, dan sebagainya juga kurang mendapat sikap positif.

Kesannya, sastra Lampung seolah-olah tak ada pemiliknya. Seperti sebatangkara. Dan sejauh ini, sastra Lampung kondisinya seperti apa, memang tak banyak orang yang peduli.

Memang, Hadiah Sastra Rancage bukanlah tolokukur bagi bahasa dan sastra daerah Sunda, Jawa, Bali, dan Lampung dikembangkan atau tidak. Kalaupun boleh disebut tolokukur, Hadiah Sastra Rancage bukanlah satu-satunya tolokukur bagi dikembangkan atau tidaknya bahasa dan sastra daerah-daerah tersebut.

Namun, dari kasus ketidakmampuan menyediakan "produk" secara konsisten setiap tahun untuk diberi Hadiah Sastra Rancage ini, tampak sekali bahwa sastra Lampung dalam masalah besar.

Kuswinarto, esais tinggal di Kediri, Jawa Timur

Sumber: Lampung Post, Minggu, 26 Februari 2012

[Perjalanan] ‘Taman Refleksi’ Ciarum, Gedongtataan

MENIKMATI keindahan alam sekaligus melatih telapak kaki melakukan refleksi menjadi perpaduan yang menguntungkan. Pikiran fresh, tubuh sehat.

Jutaan akar dari tetumbuhan lestari di puncak Gunung Betung, Pesawaran, meneteskan bulir air bening secara perlahan. Sumber kehidupan itu meresap ke tanah, bersatu dengan air dari akar lain, lalu meleleh tertarik gravitasi mengikuti kontur tanah. Alur-alur terbentuk, kemudian membesar dan menjadi sungai.

Tanpa lelah, menempuh perjalanan puluhan kilometer membawa kerikil dan zat mineral lainnya, air jernih itu sampai ke Kali Ciarum, Desa Cipadang, Gedongtataan, Pesawaran. Alirannya membelah kebun karet milik PTP Nusantara 7 Unit Usaha Way Lima dan terus turun hingga Gedongtataan.

Tak jauh di belakang kompleks perkantoran perusahaan BUMN itu, air tergelar datar cukup jembar. Batu-batu kerikil berbentuk bulat, lonjong, tumpul berdiameter paling kecil hingga belasan sentimeter membentuk tanah lapang. Beberapa lokasi sudah ditumbuhi serut aneka gulma yang terus membulak. Namun, alur-alur sungai yang berkelit dari tetumbuhan itu tak henti mengantarkan perjalanan setitik air hingga hilir.

Kejernihan air yang menggenang luas memeluk batu-batu kecil itu membentuk gulutan-gulutan kecil dinamis mengikuti anatomi bebatuan. Beningnya air membuat batu-batu yang mengampar terlihat jelas dari atas.

Setiap akhir pekan atau hari Minggu, kali yang tak jauh di atasnya dipakai sebagai bumi perkemahan pramuka itu ramai dikunjungi warga. Selain muda-mudi warga sekitar Gedongtataan, Kedondong, Gadingrejo, Pringsewu, dan sekitarnya, pengunjung dari Bandar Lampung juga banyak.

“Di sini enak, adem. Cuacanya sejuk, pemandangannya juga alami, walaupun di bawah kebun karet. Kalinya aman untuk mandi dan bermain anak-anak. Kalau orang tua main ke sini sambil bermain bisa sambil refleksi. Jalan aja di sini selama satu jam, tubuh kita akan terasa lebih segar,” kata Yati, warga Bandar Lampung, pekan lalu.

Lokasi ini memang dalam penguasaan PTP Nusantara 7. Sebutan Sungai Ciarum karena lokasinya berdekatan dengan salah satu dusun di Desa Cipadang, Kecamatan Gedongtataan.

Untuk menuju tempat santai yang belum dikelola alias masih gratis ini, dari arah Gedongtataan harus melaju sekitar 5 kilometer ke arah Kedondong. Setelah melewati calon kantor Bupati Pesawaran, Anda akan bertemu dengan Desa Pampangan. Di persimpangan desa tersebut terdapat penunjuk arah menuju lokasi perkebunan PTPN 7 Unit Usaha Way Lima.

Masuk ke jalan tersebut, perjalanan sekitar 2 kilometer akan bertemu dengan kompleks perkantoran perusahaan negara yang mengusahakan karet itu.

Lokasi “taman refleksi” Ciarum ini berada di balik kompleks perkantoran PTPN 7. Oleh karena itu, untuk mengaksesnya, Anda boleh melewati pintu gerbang kompleks perkantoran perusahaan dan melewati pos penjagaan. Cukup mengangguk kepada satpam, orang boleh lewat dan segera mendapati pemandangan kali yang dipayungi pohon-pohon ambon besar-besar.

Meliuk sedikit, kompleks bumi perkemahan pramuka menyambut dengan gapura bambu sederhana. Di lapangan itu, tilas-tilas kegiatan pramuka dan pencinta alam masih terlihat. Ada tanda-tanda bekas acara penanaman pohon serentak dengan tajur-tajur yang menunggu aneka tanaman yang baru dibenamkan.

Terus masuk, tanah lapang yang secara alamiah dimanfaatkan untuk tempat parkir kendaraan sudah menunggu. Jika akhir pekan, kantong parkir itu banyak kendaraan. Ada warung gubuk sederhana yang tampaknya hanya dipakai untuk jualan siang hari ditunggu pedagang.

Jika musim buah, ada penjaja durian, duku, rambutan, alpukat, dugan, dan lainnya. “Durian di sini jatuhan, bukan peraman,” kata salah seorang pedagang.

Untuk lebih dekat dengan objeknya, mobil bisa bablas melewati jembatan besi yang dibangun dengan konstruksi besi rel yang dijajar rapi. Selepas itu, Anda akan dipayungi rimbunnya kebun karet hingga bisa parkir di bawahnya.

Tinggal turun, dengan telanjang kaki, kesegaran air jernih dan tonjolan-tonjolan batu-batu bulat akan memberi sensasi “panas-dingin” ke telapak kaki Anda. Anda bisa menyusuri alur sungai sampai ke atas, seolah akan menjemput mata air yang berasal dari pelukan gumuk besar Gunung Pesawaran yang dikonservasi. (SUDARMONO)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 26 Februari 2012

February 22, 2012

Belajar dari Bahasa Ibu

Oleh Imelda


BAHASA ibu merupakan salah satu bahasa yang dituturkan di Tengah Pulau Halmahera, Kabupaten Halmahera Barat. Saat ini boleh dikatakan bahasa ini punah karena hanya tinggal tiga orang sepuh lagi yang menuturkannya. Yang menjadi pertanyaan kemudian ialah, mengapa bahasa ibu bisa punah dan apa kontribusinya bagi masyarakat Lampung yang sejak beberapa tahun terakhir sibuk mengangkat tema Kepunahan Bahasa Lampung.

Bahasa ibu, di antara Bahasa Ternate, Melayu, dan Indonesia

Saat ini generasi muda orang ibu berbahasa Ternate dan Melayu Ternate. Beberapa di antara mereka yang mengalami masa pendidikan formal juga berbahasa Indonesia. Tampaknya, pergeseran bahasa masih akan terus berlangsung selama masyarakat itu masih ada dan berdinamika dengan lingkungannya.

Bahasa Ternate, Bahasa ‘Kolano’

Bahasa Ternate disebut juga bahasa kolano yang berarti raja. Ini merupakan bahasa resmi Kerajaan Ternate (Ibrahim, 2009). Penggunaan bahasa tersebut terjadi pada awal abad ke-13 ketika resmi menjadi kerajaan hal ini dilanjutkan ketika Ternate menjadi kesultanan di abad ke-16. Sejak saat itu islamisasi gencar dilakukan, dan orang ibu merupakan salah satu kelompok etnik beragama Islam yang mendapatkan pengaruhnya. Pengaruh keislaman sekaligus bahasa juga sampai karena di duga saat itu daerah ibu menjadi pusat perdagangan di Pulau Halmahera. Terbukti hingga kini sungai ibu menjadi jalur transporasi untuk keluar masuk pulau.

Bahasa Melayu: Dari Perdagangan hingga Kemerdekaan

Bahasa Melayu disebut juga bahasa perdagangan. Melalui bahasa ini para pedagang dari berbagai penjuru dunia saling berkomunikasi dan bertukar barang-barang dagangan. Ternate sebagai salah satu pusat perdagangan tidak lepas hubungannya dengan kehadiran bahasa Melayu ini. Ibu sebagai salah satu wilayah perdagangan di Ternate, tentu saja mendapakan pengaruhnya.

Penggunaan bahasa Melayu ini semakin marak digunakan, khususnya di wilayah Kesultanan Ternate sehingga melebur dengan bahasa Ternate dan akhirnya menjadi bahasa kreol Melayu baru yang disebut dengan Melayu-Ternate.

Pada masa kolonial, penggunaan bahasa ini dilanjutkan dan diperkuat dengan kebijakan bahasa. Belanda yang menguasai Ternate menulis catatan dan berkomunikasi dengan bahasa Melayu Tinggi. Konon kamus tertua bahasa Melayu berasal dari Tidore yang jaraknya beberapa km saja dari Pulau Ternate. Pengunaan bahasa Melayu ini juga dipakai untuk menyebarkan agama Kristen dan Islam. Bedanya pada pengajaran agama Islam digunakan huruf Jawi (Arab Melayu) dan agama Kristen menggunakan aksara latin.

Beranjak pada masa kini, bahasa Melayu diteruskan menjadi bahasa Indonesia. Kepulauan Maluku yang merupakan salah satu provinsi dan daerah ibu yang juga menjadi salah satu wilayahnya, mau tidak mau mendapatkan pengaruhnya. Pemerintah Indonesia memperkenalkan bahasa nasional ini dengan kebijakan mengajarkanya di sekolah dan dalam pemerintahan. Hal ini juga didukung media televisi dan koran yang menggunakan bahasa baku. Dengan demikian, secara otomatis anak-anak dan generasi muda Ibu dipaksa berbahasa Indonesia yang pada kenyataannya dalam proses merangsek ke dalam ranah-ranah bahasa lokal.

Masihkan Malu Berbahasa Lampung?

Paparan mengenai berbagai aspek sejarah yang mempengaruhi perilaku berbahasa orang ibu memberikan gambaran bagaimana bahasa ini berproses menjadi punah, yaitu karena persaingan politik dan ekonomi di dukung kebijakan bahasa zaman Kolonial dan NKRI. Yang menjadi pertanyaan kemudian ialah apa yang terjadi dengan bahasa Lampung?

Saat ini perasaan malu sudah menjadi isu yang luas di kalangan generasi dewasa dan muda. Sehingga tidak mengherankan penelitian sikap berbahasa dari Asim Gunarwan, pada 90-an, menyimpulkan bahasa Lampung akan segera punah, tepatnya 75 tahun.

Perasaan malu ini, menurut peneliti, menjadi aspek psikologis yang cukup kuat yang menghalangi masyarakat sekaligus pemerintah dalam “menyehatkan” kembali bahasa Lampung. Tidak jarang kita dengar ada anak muda yang sehari-hari berbahasa Lampung di rumahnya dan ketika berjalan-jalan ke Kota Bandar Lampung mendadak amnesia dengan bahasanya. Padahal jelas-jelas logat berbahasa Melayu atau Indonesianya menyiratkan bahwa ia fasih berbahasa Lampung.

Di sisi lain, pemerintah daerah yang sibuk sekali membahas kebijakan bahasa Lampung ini lupa berkegiatan untuk mewujudkan cita-citanya. Padahal cita-cita yang dituliskan dalam berbagai kertas kerja itu perlu tindakan. Bagaimana bahasa Lampung mau eksis bila terhenti dalam kertas kerja. Di tambah lagi angan-angan Universitas Lampung cuma sampai mencetak guru bahasa Lampung. Alangkah pendeknya!

Coba jawab pertanyaan saya ini. Di mana lagi orang bisa belajar bahasa, sastra, dan kebudayaan Lampung selain di Provinsi Lampung? Seharusnya pengembangan bahasa dan kebudayaan ini yang menjadi sasaran, bukan urusan sebatas kerjaan yang ujung-ujungnya isi perut.

Barangkali saya apatis dengan Pemda Lampung, tetapi dengan sedikit harapan yang tersisa, di Hari Bahasa Ibu ini, saya ingin mengajak segenap masyarakat Lampung yang merasa dirinya bisa berbahasa Lampung untuk membuang jauh-jauh perasaan malu itu dan mulailah meluaskan penggunaan bahasa ini. Kik lain ram, sapa lagi sai aga nyelamatko?

Imelda, Peneliti etnolinguistik (PMB-LIPI) yang bekerja untuk bahasa terancam punah di Gamkonora, Halmahera Barat.

Sumber: Lampung Post, Rabu, 22 Februari 2012

February 21, 2012

Bahasa (dan Sastra) Lampung, Siapa Peduli

Oleh Kiky Rizkhi Aprillia


ANTARA tahun 1947-1971 Bangladesh masih menjadi bagian dari wilayah negara Pakistan. Pakistan sendiri adalah pecahan negara India. Pada awal pendiriannya, wilayah Pakistan terdiri atas dua wilayah besar yang tersekat wilayah negara India yang luas.

Sebelah barat dikenal dengan Pakistan Barat yang sekarang dikenal dengan Pakistan dan Pakistan Timur yang sekarang dikenal dengan nama Bangladesh. Pemerintah pusat berkedudukan di wilayah Pakistan Barat.

Pada tahun 1947, Pemerintah Pusat Pakistan menetapkan bahasa Urdu, yaitu bahasa yang digunakan masyarakat Pakistan Barat sebagai satu-satunya bahasa resmi. Kebijakan politik bahasa ini dianggap meminggirkan bahasa Bengali, sehingga menimbulkan aksi protes di wilayah Bangladesh (Pakistan Timur) yang mayoritas penduduknya berbahasa Bengali.

Masyarakat Bangladesh menuntut agar bahasa Bengali disejajarkan dengan bahasa Urdu sebagai bahasa resmi. Namun, keinginan masyarakat Bangladesh ini selalu diganjal oleh politisi Pakistan Barat karena dianggap sebagai penentangan nasionalisme Pakistan.

Penolakan Pemerintah Pusat Pakistan untuk mengakomodasi keinginan masyarakat Bangladesh menimbulkan berbagai aksi demonstrasi. Pada tanggal 21 Februari 1952, dalam sebuah demonstrasi besar di Kota Dhaka, beberapa mahasiswa Universitas Dhaka tewas ditembak aparat pemerintah.

Peristiwa ini membuat masyarakat Bangladesh semakin marah, sehingga menimbulkan ketegangan politik. Akhirnya, Pemerintah Pakistan mengakomodasi tuntutan masyarakat Bangladesh dengan menetapkan bahasa Bengali sebagai bahasa resmi sejajar dengan bahasa Urdu.

Setelah tahun 1952, pergerakan bahasa di Bangladesh di kemudian hari menjadi benih perpecahan negara Pakistan, walaupun keinginan masyarakat Bangladesh untuk menjadikan bahasa Bengali sebagai bahasa nasional sudah dipenuhi. Masyarakat Bangladesh bertekad memerderkakan diri dari negara Pakistan.

Oleh sebab itu, pada tahun 1971 rakyat Bangladesh mendirikan negara sendiri terpisah dari negara Pakistan dan mengukuhkan bahasa Bengali sebagai bahasa resmi Bangladesh. Sekarang, jika kita berada di Kota Dhaka, Bangladesh, kita dapat mengunjungi sebuah monumen yang disebut Monumen Hari Bahasa. Monumen ini dibangun untuk mengenang perjuangan masyarakat Bangladesh ketika berjuang memartabatkan bahasanya dan mengenang jasa beberapa mahasiswa yang menjadi "martir" dalam demonstrasi besar pada tanggal 21 Februari 1952.

Kegigihan rakyat Bangladesh untuk mempertahankan bahasanya adalah sumber inspirasi masyarakat dunia untuk lebih peduli terhadap bahasa ibu yang disimbolkan dengan peringatan Hari Bahasa Ibu.

Di Indonesia, gema Hari Bahasa Ibu kurang begitu terdengar karena tertungkup gema gonjang-ganjing politik. Selain itu, pemertahanan bahasa ibu baru sebatas wacana di kalangan akademik. Boleh dibilang, belum berwujud kesadaran kita semua. Padahal, untuk mempertahankan bahasa Ibu di negeri dengan beratus-ratus bahasa ini, kita tidak perlu menjadi "martir". Cukup mengajarkannya kepada anak cucu kita.

***

Senin, 20 Februari 2012, di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS), Universitas Negeri Semarang (Unnes), diselenggarakan apel pagi dengan menggunakan bahasa Jawa. Petugas apel mulai dari protokol, komandan, pembina, hingga pendoa, menggunakan bahasa Jawa. Terasa asing, beberapa peserta apel yang terdiri dari karyawan, dosen, dan pejabat fakultas pun menahan senyum.

"Dinten basa ibu dipunpengeti amargi kita sampun kuwatos, basa asli sampun boten dipunginakaken malih kaliyan generasi sangandhap kita. (Hari bahasa ibu diperingati karena kami khawatir, bahasa asli sudah tidak lagi digunakan oleh generasi di bawah kami)," ujar pembina apel yang Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Yusro Edy Nugroho (lihat laman Unnes, Senin, 20/2/12).

Ternyata, kegiatan ini dilakukan sebagai bentuk peringatan Hari Bahasa Ibu yang jatuh pada 21 Februari. Oleh sebab itu, tidak lain semua petugas apal pagi ini merupakan para dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa.

Lalu, di Bandung, Jawa Barat, sebanyak 250 mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Daerah, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, melakukan kampanye bahasa Sunda, Kamis, 16 Februari 2012.

Kegiatan ini dilakukan untuk sosialisasi peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional pada 21 Februari 2012. "Bahasa Sunda semakin jarang digunakan, penggunaannya makin berkurang di masyarakat. Padahal, di Indonesia menjadi bahasa terbanyak kedua setelah bahasa Jawa," ujar Pupuhu Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa Daerah, Diky Arliana, di sela-sela kampanye bahasa Sunda di kampus UPI, Jalan Setiabudi, Kota Bandung.

Dalam konteks ini, Jawa Barat memang luar biasa. Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat pun mengadakan seminar bahasa memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional tahun ini. Lalu, Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda menyelenggarakan lomba mengarang carpon, sajak, dan penulisan naskah drama Sunda. PPSS juga mengadakan “Saba Sastra" ke berbagai daerah dalam mendekatkan kembali sastra dan bahasa Sunda di kabupaten/kota di Jawa Barat.

***

Sekarang, kita kembali ke Bumi Ruwa Jurai. Adakah ulun Lampung tahu bahwa hari ini adalah Hari Bahasa Ibu Internasional? Eh ya, catatan FB Udo Z. Karzi tertanggal 14 Februari 2012 yang berjudul Hujan Sastra (Sastrawan) Lampung Memang Tidak Merata mengingatkan tentang adanya Hari Bahasa Ibu Internasional. Tapi, pertanyaan Udo dalam komentarnya — "Kira-kira apa yang bisa kita lakukan untuk menandai Hari Bahasa Ibu Internasional (21 Februari) sebagai upaya untuk tetap menyalakan semangat mengembangkan bahasa dan sastra Lampung?" — hanya berputar-putar di dunia maya. Tidak ada yang menyahut, tidak ada yang merespons, dan... jangan-jangan tidak ada yang peduli.

Yang baru saja terjadi... sebagaimana diberitakan, Lampung kembali gagal meraih hadiah Sastra Rancage 2012, adakah yang peduli? Bukankah pemberian hadiah Rancage untuk Lampung ini terkait erat dengan pembinaan, pelestarian, dan pengembangan bahasa dan sastra Lampung?

Saya hanya ingin bertanya-tanya ke mana ya para stakeholder bahasa Lampung seperti Universitas Lampung (Unila)—yang sekarang punya Pusat Pendidikan, Pelestarian, dan Pengembangan Bahasa Lampung (P3BL)—dan perguruan tinggi lainnya, pemerintah daerah, orang kaya dan berkuasa, dan ulun Lampung pada umumnya, yang katanya khawatir dengan nasib bahasa Lampung?

Tahun 1999 ketika pakar sosiolingustik Asim Gunarwan (alm.) mengatakan bahasa Lampung bisa punah dalam 3—4 generasi (75-100 tahun) jika tidak dipelihara. Tiga belas tahun berlalu, kegelisahan akan punahnya bahasa Lampung tetap menghantui ulun Lampung hingga kini. Tapi, kecemasan itu agaknya dipelihara karena—sesungguhnya—banyak pihak hanya berkeluh kesah tanpa berbuat apa-apa, tanpa melakukan apa-apa.

Bahasa dengan jumlah penutur sangat kecil cenderung punah layaknya kepunahan satu spesies binatang akibat kecilnya jumlah populasi dan kegagalan regenerasi. Syukurlah bahasa Lampung bukan tergolong dalam bahasa yang seperti itu. Berapa jumlah pasti penutur bahasa Lampung? Entahlah, ada yang bilang 1 juta ada yang bilang 2 juta. Kalau dengan jumlah penutur yang tergolong besar juga dibanding penutur bahasa daerah lain seperti itu, bahasa (dan sastra) Lampung masih juga memprihatinkan, pinjam istilah (alm.) Irfan Anshory: meliom ram (malu kita)! n

Kiky Rizkhi Aprillia
, guru, alumnus STKIP Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Selasa, 21 Februari 2012

UKMF ‘Natura’ Unila Gelar Lomba Cerpen

BANDAR LAMPUNG—Unit Kegiatan Mahasiswa Natura Fakultas MIPA Unila mengadakan lomba menulis cerita pendek (cerpen) tingkat nasional yang bertajuk Science for Our Live and Future. Lomba yang terbuka untuk umum ini dimaksudkan menjalin silaturahmi antarpenulis sekaligus sebagai ajang penyalur bakat menulis yang dimiliki masyarakat Indonesia.

Proses pengumpulan cerpen dilaksanakan secara online yang dapat dikirim melalui situs www.naturalpers.multiply.com mulai 8 Februari 2012 sampai 16 Maret 2012. Penjurian dilakukan pada 23 Maret 2012, kata panitia pelaksana kegiatan, Herman, beberapa waktu lalu. Lomba ini akan memperebutkan uang tunai, sertifikat, dan buku yang akan dikirimkan melalui jasa pengiriman barang ke masing-masing pemenang.

"Kami harap dengan adanya acara ini dapat menyalurkan bakat seluruh kalangan masyarakat Indonesia yang punya hobi menulis terutama cerpen," ujar Herman. (*/K-2)

Sumber: Lampung Post, Selasa, 21 Februari 2012

Budaya dan Wisata Lampung Bisa Dijual

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Lampung berpotensi mengunggulkan budaya dan wisata daerah untuk menunjukkan jati diri di tingkat nasional, meskipun harus dibenahi aksesibilitas untuk menunjang pengembangan potensi yang ada.

Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sapta Nirwanda mengatakan Lampung memiliki dua modal besar, yakni alam dan budaya yang menarik untuk diunggulkan.

Menurut dia, nuansa alam Lampung sangat bagus dan asri, begitu juga budaya Lampung yang menawan. Hal itu tentu dapat menarik minat wisatawan nusantara (wisman) untuk mengunjungi Lampung.

Dia menambahkan di samping Lampung banyak menyimpan potensi wisata, Kota Bandar Lampung juga banyak menyajikan berbagai macam jajanan kuliner khas Lampung yang banyak diburu para wisatawan.

"Wisata kuliner Lampung juga banyak diburu wisatawan. Namun, yang perlu dibenahi adalah aksesibilitas saja, baik darat, laut, maupun udara," kata dia, usai menghadiri pelantikan Wakil Ketua DPRD Bandar Lampung M.W. Heru Sambodo yang menggantikan Khairul Bakti di ruang sidang paripurna DPRD, Senin (20-2).

Dia menambahkan untuk menunjang pariwisata di Lampung, perlu ada penataan serta perbaikan infrastruktur, seperti sarana dan prasarana jalan dan pemandu wisatanya. Meskipun di sisi lain dia mengakui sarana-prasarana di Lampung cukup baik dibanding daerah lain.

Lampung telah memiliki beberapa persyaratan dasar untuk pengembangan wisata, yakni tersedianya hotel, taksi, maupun pemandu wisata yang mumpuni. "Sudah baik untuk sarana dan prasarananya jika dibanding dengan daerah lain, karena sarana wisata, seperti hotel dan lainnya sudah banyak. Tapi, untuk tour guide dan informasi pariwisata perlu diperbaiki," ujar dia.

Selain itu, kata Sapta, pengembangan tapis Lampung juga telah mengalami peningkatan yang cukup membanggakan. Sebagai putra daerah Lampung, dia akan mendorong busana tapis untuk masuk salah satu busana nusantara.

Bahkan, kini tapis menjadi satu corak busana yang dinanti penikmat busana pada Batik Fashion Week dan Jakarta Fashion Week. Dia juga bertekad membangun Provinsi Lampung terutama di bidang pariwisata agar nama Provinsi Lampung bisa dikenal baik di nusantara maupun mancanegara. (VER/K-2)

Sumber: Lampung Post, Selasa, 21 Februari 2012

February 19, 2012

[Buku] Sebuah Oasis Tentang Budaya Lampung

Judul : Piil Pesenggiri, Etos dan Semangat Kelampungan

Penulis : Christian Heru Cahyo Saputro

Penerbit : Jung Foundation Lampung Haritage dan Dinas Pendidikan

Lampung, Bandar Lampung

Cetakan : I, 2011

Tebal : x + 91 hlm.

APA yang terbayang ketika menyebut nama Lampung? Seorang teman yang sering berjalan ke daerah lain bercerita bagaimana Lampung itu identik dengan gajah, binatang buas, dan hutan belantara. Menyaksikan televisi betapa Bumi Ruwa Jurai "babak-belur" dengan berbagai cerita kejahatan. Betapa juga Lampung bertahun-tahun menjadi provinsi termiskin nomor dua se-Sumatera. Sebenarnya nomor satu kalau saja Nangroe Aceh Darussalam tidak terkena tsunami tahun.

Kopi Lampung yang terkenal hingga mancanegara hampir saja tinggal kenangan manakala harganya semakin terpuruk. Berbagai potensi agrobisnis Lampung seperti tenggelam oleh kabar-kabar buruk mengenai Lampung. Masih untung Lampung mempunyai seniman, sastrawan terutama, yang setidaknya bisa menyelamatkan citra Lampung dari sisi budaya.

Sekarang kalau ada pertanyaan seperti apakah kebudayaan Lampung, rasanya memang sulit menjelaskan. Lampung, boleh dibilang, memang minim sosialisasi. Di tengah langkanya publikasi tentang budaya Lampung itu, maka kehadiran buku Piil Pesenggiri, Etos dan Semangat Kelampungan karya Christian Heru Cahyo Saputro ini seolah menjadi oasis bagi mereka yang haus informasi tentang budaya, kesenian, tradisi, dan kebiasaan orang Lampung.

Buku bunga rampai yang berisi 12 artikel (12 bab) dengan tema berbeda-beda ini dibuka dengan prinsip hidup ulun (orang) Lampung yang disebut piil pesenggiri. Meskipun dalam realitasnya sulit menemukan fakta apakah prinsip hidup ini benar-benar terejawantahkan, Christian Heru mengatakan piil pesenggiri ini sebagai cara hidup (way life). Artinya, setiap gerak dan langkah kehidupan ulun Lampung dalam kehidupan sehari-hari (hlm. 1).

Orang Lampung Pesisir menyebut piil pesenggiri itu adalah ghepot delom mufakat (prinsip persatuan), tetengah tetanggah (prinsip persamaan), bupudak waya (prinsip penghormatan), ghopghama delom beguai (prinsip kerja keras), dan bupiil bupesenggiri (prinsip bercita-cita dan keberhasilan). Sedangkan orang Lampung Pepadun menyebut piil pesenggiri terdiri dari: piil pesenggiri (prinsip kehormatan), juluk adek (prinsip keberhasilan), nemui nyimah (prinsip penghargaan), nengah nyappur (prinsip persamaan), dan sakai sambayan (prinsip kerja sama) (hlm. 2)

Menurut Christian Heru, suku Lampung tercatat sebagai salah satu suku bangsa yang memiliki peradaban tinggi. Bukti konkretnya adalah Lampung memiliki aksara sendiri (aksara Kaganga), Kitab Kuntara Raja Niti yang mengatur secara perinci tata adat, tradisi, arsitektur, serta adat istiadat yang bertahan dan bertumbum kembang.

Pada bab lain, Christian Heru berbicara tentang arsitektur Lampung. Rumah tradisional Lampung yang berbentuk panggung sarat simbol, filosofi, dan muatan kosmologi budaya Lampung (hlm. 7). Sayang, seiring perkembangan zaman, banyak rumah tradisional Lampung yang tergusur rumah modern. Namun, di beberapa tempat seperti Kampung Wana, Negeri Olok Gading, Kedamaian, Blambangan Pagar, Kenali, Menggala, dan Talangpadang, rumah tradisional ini masih dipertahankan masyarakat setempat.

Christian Heru juga berbicara tentang sastra lisan Lampung, di antaranya yang disebut dadi dengan maestronya, Masnuna (hlm. 17-22) dan warahan yang berada diambang kepunahan (hlm. 29-38). Lalu, cerita tentang kearifan lokal Lampung di daerah pesisir barat, Lampung Barat dalam mengelola dan melestarikan lingkungan sembari memetik hasilnya dengan budaya repong. Yang paling terkenal adalah repong damar (hlm. 45-52).

Ada juga pesta topeng rakyat di daerah Lampung Barat yang disebut sakuraan—di Lampung Selatan disebut tupping. Pesta sekura digelar setiap Idulfitri sebagai ungkapan syukur setelah menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan dan sebagai sarana silaturahmi, bahkan pencarian jodoh bagi kalangan muda-mudi (hlm. 53-58).

Lampung ternyata menyimpan tarian klasik yang ekspresif, yaitu tari melinting. Tari melinting merupakan tari adat tradisional Kagungan Keratuan Melinting yang diciptakan Ratu Melinting Pengeran Penembahan Mas yang ditampilkan pada acara Gawi Adat. Tari ini mengalami perjalanan yang lama sejak masuknya Islam ke Indonesia hingga kini mengalami pergeseran fungsi dari tari adat yang sakral menjadi tarian sekuler dan menghibur (hlm. 23).

Tradisi ulun Lampung lain yang juga dibahas dalam dalam buku ini adalah anjau muli (anjangsana bujang mengunjungi gadis di Sungkai), canggot bagha (acara bujang-gadis saat bulan purnama tiba), dan ngumbai lawok (tradisi bersih laut untuk tolak bala di pesisir Lampung).

Kalau boleh mengkritik, kelemahan buku ini—seperti hal-halnya buku-buku budaya Lampung lainnya—adalah ketiadaan sumber data, daftar pustaka, dan catatan kaki dalam setiap artikel. Ini penting bagi yang ingin mendalami lebih lanjut mengenai topik yang dibahas.

Terlepas dari kelemahan ini, buku ini cukup penting bagi yang ingin tahu mengenai adat istiadat, kesenian, dan kebiasaan ulun Lampung secara umum. n

Reni Permatasari
, praktisi pendidikan, tinggal di Bandar Lampung.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Februari 2012

February 14, 2012

Mungkinkah Lampung Seterkenal Bali?

Oleh Nely Merina



KONFLIK Sidomulyo antara suku Lampung dan Bali bisa menjadi tolok ukur bahwa ada kesenjangan antara yang populis dan yang kurang populis. Atau bahasa kasarnya antara si kaya dan si miskin.

Kita memang tak bisa menutup mata bahwa Bali lebih jauh populer dibandingkan Lampung sehingga wajar jika terjadi kecemburuan. Sampai saat ini Lampung masih terpuruk dengan peringkat provinsi termiskin kedua di Sumatera. Sedangkan Bali kini sudah melebarkan sayapnya hingga mancanegara. Bahkan lebih terkenal dibandingkan negaranya sendiri, yakni Indonesia.

Namun, Lampung tak boleh berkecil hati. Siapa bilang Lampung tak bisa terkenal seperti Bali, Lampung bisa jauh lebih terkenal, karena potensi Lampung amat beragam. Namun, kurang dioptimalkan dan banyak yang perlu dibenahi. Tak ada salahnya kita menyontek sistem Pulau Dewata itu untuk mengetahui apa yang menyebabkan Lampung masih belum dikenal, bahkan oleh provinsi tetangganya sendiri.

Potensi Lampung

Bali sangat terkenal dengan pariwisatanya. Pantainya yang indah menjadi daya tarik wisatawan lokal maupun mancanegara. Di Lampung, pantai pun cukup banyak dan tak kalah menarik. Sebut saja Pantai Mutun, Sebalang, Queen Artha, Kelapa Rapat, Pasir Putih, Kalianda Resort, Pantai Wartawan, Merak Belatung.

Jadi apa bedanya dengan pantai di Bali? Yang membedakan adalah perawatannya. Pantai di Lampung terkesan kotor karena terlalu banyak sampah di pinggir pantainya. Pantai di Lampung kebanyakan dikelola pihak swasta sehingga terkesan asal-asalan. Jika Pemerintah Lampung dapat berkerja sama dengan pihak swasta untuk perawatan pantai, penulis rasa pantai di Lampung akan sama indahnya dengan pantai di Bali.

Wisata Anak Gunung Krakatau yang sejarahnya telah mendunia pun bernasib sama. Pemprov Lampung seakan tak siap untuk memperkenalkan objek wisata itu kepada masyarakat. Terbukti minimnya keberadaan hotel yang representatif di daerah tersebut. Alhasil yang menikmati hasil dari promosi wisata adalah Provinsi Banten.

Begitu juga dengan Teluk Kiluan. Pesonanya yang indah ditambah pertunjukan lumba-lumba ternyata belum mampu membuat Lampung terkenal seperti Bali.

Hambatannya hanya satu, yaitu pada infrastruktur jalan yang rusak. Kini turis pun tahu bahwa banyak jalan yang rusak di Lampung (Lampung Post.com, edisi 6 Februari 2012)

Namun, Lampung tak perlu berkecil hati, karena Bumi Ruwa Jurai ini ternyata memiliki potensi pertanian yang luar biasa. Tak banyak orang yang mengetahui bahwa Lampung merupakan produsen gula pasir yang memasok 35% produksi nasional, produsen tapioka (60% produksi nasional), penghasil nanas kaleng (26% pemasok kebutuhan dunia), pengekspor udang ke AS dan Jepang (terbesar di Indonesia), penjual sapi terbesar ke Pulau Jawa. Lumbung padi nasional, serta penghasil utama jagung dan kopi nasional (Dermiyati, Guru Besar Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Lampung).

Ketua DPD Irman Gusman dalam seminar Revitalisasi Pertanian dan Perkebunan Lampung pun mengakui Lampung memiliki potensi pertanian yang luar biasa sehingga tidak menutup kemungkinan bila nanti Lampung bisa dinobatkan sebagai Provinsi Pertanian (Lampung Post, edisi 7 Februari 2012).

Kerajinan Tapis

Kerajinan khas Lampung, tapis, juga sudah dilirik Dosen Seni Universitas of Michgan Amerika Serikat Mary Lousie Toton. Ia menerbitkan buku yang berjudul Wearing Wealth Styling Identity Tapis from Lampung, South Sumatera Indonesia, yang pernah dipamerkan di Hood Museum of Amerika.

Hal ini membuktikan kebudayaan Lampung pun bisa menarik peneliti luar negeri. Berarti sebenarnya Lampung memiliki potensi yang sama seperti Bali, tapi belum terpublikasi. Atau bisa dikatakan Lampung ibarat mutiara yang terpendam di lautan dalam. Dan kemungkinan suatu saat Lampung bisa ditemukan oleh penyelam, yaitu wisatawan, dan bisa lebih terkenal dari Bali.

Namun, untuk mencapai semua itu banyak yang harus dibenahi Pemprov Lampung. Sebaiknya pemerintah menyontek Bali yang bisa menyinergikan antara pertanian dan pariwisata. Karena di balik tempat wisata yang indah, terdapat sistem pertanian yang baik. Dan kini hasil pertanian Lampung telah melimpah, tak ada salahnya produk-produk pertanian itu kita jadikan pemikat untuk menarik minat wisatawan. Misalnya menjadikan sentra pertanian sebagai tempat wisata. Kemudian hasilnya diolah untuk memperbaiki infrastruktur jalan yang rusak sehingga tak ada alasan jalan rusak bagi wisatawan yang berkunjung ke Lampung.

Nely Merina, Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Pemimpin Redaksi UKPM Teknokra Unila

Sumber: Lampung Post, Selasa, 14 Februari 2012

February 12, 2012

[Inspirasi] Sutanto, Dorong Pelukis Muda

PASAR Seni Enggal terlihat ramai pekan lalu. Berbagai pondok sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang beramain musik atau hanya sekadar ngobrol. Salah satu pondok yang cukup ramai adalah pondok pelukis Sutanto.



Dalam pondok bertumpuk lukisan karya Sutanto. Ada lukisan impresionis, realis, dan campuran keduanya yang memadukan kesan dan kenyataan.

Meskipun sempit, beberapa pemuda begitu asik menggoreskan kuas di atas kanvas. Sutanto memperhatikan dan kadang memberikan arahan. “Melukis itu mudah, asal tahu caranya,” kata dia memulai pembicaraan.

Pondok lukis Sutanto selalu dipenuhi anak-anak yang mau belajar. Dia selalu berbagi ilmu dan pengalaman melukis. Pemuda-pemuda di Pasar Seni begitu dekat dengan Sutanto. Kesan tidak kaku dan mudah bersahabat membuat Sutanto menjadi sahabat sekaligus bapak bagi pemuda yang biasa nongkrong di Pasar Seni. Mereka memanggil ayah satu anak ini dengan sebutan “pak de”. Sore itu pria kelahiran Salatiga 61 tahun lalu ini ditemani istri tercinta, Rini Rostifa. Rini, kata Sutanto, menjadi manajernya.

Rinilah yang melayani orang yang mau membeli lukisan. Istrinya jugalah yang menjelaskan lukisan-lukisan karya Sutanto kepada calon pembeli dan para kolektor. Rini membekali diri dengan pengetahuan tentang lukisan dengan membaca majalah-majalah seni yang sudah dibeli suami.

Pemuda yang ingin melukis di Pondok Sutanto tidak perlu memikirkan peralatan. Semua alat lukis di pondoknya lengkap. Jenis cat air pun banyak. Dia merelakan alat dan cat airnya dipakai untuk orang yang mau belajar.

Sutanto sangat ringan dalam berbagi ilmu, terutama berbagi ilmu untuk anak-anak muda yang mau belajar. Bila ada teknik melukis dengan alat dan bahan baru, dia langsung tularkan kepada pemuda di Pasar Seni.

Dia ingin agar pelukis muda bisa muncul. Perlu ada regenerasi supaya pelukis-pelukis yang lebih muda hadir dan berani tampil.

Dia pun menemukan ide melukis dengan ampas kopi. Melukis juga tidak melulu dengan kuas. Kini dia menggunakan cara melukis dengan pisau palet untuk menghasilkan lukisan yang hidup. Lukisan impresionis bisa didapat menggunakan pisau palet ini.

“Lukisan impresionis yang dihasilkan berupa harimau. Impresionis menimbulkan kesan yang jelas. Orang tidak perlu melihat dengan teliti dan lama untuk mengetahui isi lukisan. Cukup dengan melihat sekilas, orang akan tahu lukisan apa itu,” ujarnya.

Baru-baru ini ada teknik melukis baru dengan bahan yang murah, tapi harga jualnya bisa sangat mahal. Teknik baru itu menghasilkan lukisan realis yang begitu hidup. Namun, jika dilihat lebih dekat ada retak-retak seperti tanah kering di musim kemarau. “Ide lukisan itu saya buat sendiri, ternyata bahannya sangat murah. Anak-anak pun sudah saya kasih tahu supaya mereka belajar dan bisa membuat lukisan yang mahal,” katanya.

Dalam mencari ide lukisan-lukisan baru, Sutanto kerap membaca dan melihat lukisan karya pelukis luar negeri di majalah-majalah. Dalam majalah tidak disebutkan cara membuat dan bahan yang digunakan. Dia pun mencari cara sendiri untuk menghasilkan lukisan serupa.

Melukis dengan ampas kopi pun sudah mulai marak dikembangkan. Sutanto bisa disebut sebagai pelukis pertama yang mengembangkan metode ini.

Lampung sebagai penghasil kopi terbesar di Indonesia menjadi inspirasi untuk membuat lukisan ampas kopi. “Melukis tidak harus menggunakan bahan mahal. Pakai ampas kopi yang murah juga bisa diolah menjadi lukisan mahal,” katanya.

Bahkan, lukisan ampas kopi karya Sutanto ada yang dibeli orang dekat Ibu Any Yudhoyono. Saat ini beberapa kolektor menunggu dan meminta dia untuk membuat lukisan ampas kopi lagi.

Bagi kalangan kolektor dan penikmat lukisan, karya Sutanto sudah banyak dikenal dan ditunggu. Tidak hanya kolektor dalam negeri, beberapa kolektor luar negeri seperti Singapura dan Australia juga mengoleksi karya Sutanto. Malahan, ada seorang kolektor yang hanya mengoleksi karya-karya Sutanto, bukan pelukis lain. “Saya beri tahu ke kolektor supaya mengoleksi juga karya pelukis yang lain agar koleksi lukisan beragam,” ujar dia.

Pria yang pernah menempuh pendidikan tinggi di Universitas Satyawacana ini juga membuka kelas lukis di rumahnya, di Kelurahan Sumurbatu. Kebanyakan yang belajar melukis adalah anak SMP dan SMA. Jumlah peserta dibatasi hanya beberapa karena kondisi rumah yang sempit.

Kelas melukis dibuat dengan kurikulum yang dirancang sendiri oleh Sutanto. Kelas ini tidak gratis, siswa dikenakan biaya yang digunakan untuk membali peralatan melukis. Siswa tidak hanya dari Lampung, ada yang dari Jakarta dan Aceh.

Kemampuan melukis Sutanto bukan didapat dari pendidikan formal. Dia murni belajar sendiri dengan mengamati lukisan para maestro, seperti Basuki Abdullah. Dia mengamai bagaimana para pelukis hebat membuat karya dan Sutanto pun mencobanya. “Ilmu melukis saya dapat dari mencuri dan mengamati.”

Dia pun mempersilakan pelukis-pelukis muda untuk mencuri ilmunya. Saat awal belajar melukis, tidak langsung dengan kuas dan cat. Keterbatasan dana membuatnya harus melukis dengan areng dan aspal.

Saat itu, komik-komik luar juga menjadi referensi dalam melukis. Setelah merasa mampu, dia pun memutuskan untuk menjalani hidup sebagai pelukis.

Namun, menjadi pelukis memang tidak mudah. Saat pembelian lukisan sepi, dia pun sempat beralih menjadi pelukis dengan menggunakan air brush atau cat semprot untuk keperluan pemasangan iklan. Pembuatan reklame out door sempat menjadi palariannya untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Selama tujuh tahun, Sutanto meninggalkan dunianya sebagai pelukis, dan lebih menekuni pembuatan reklame. Menurutnya, saat itu billboard masih dibuar secara manual dengan tangan. Beberapa perusahaan besar, seperti Coca-Cola dan Djarum sempat mengontraknya untuk membuat iklan di beberapa daerah. “Saya menjadi orang pertama yang memopulerkan melukis billboard. Saat menukuni dunia iklan, tujuh tahun saya tidak pernah melukis, bahkan istri pun sempat ragu bahwa saya bisa melukis,” katanya.

Profesi sebagai pembuat reklame luar ruanganlah yang membawanya hingga ke Lampung. Tahun 1990, Sutanto pindah ke Lampung karena ada tugas membuat reklame.

Dunia rekalame air brush pun digeser dengan reklame digital. Pemasang iklan pun memilih billboard digital yang lebih praktis. Dari perjalanan hidup yang sudah dilalui, Sutanto menegaskan kemampuan melukis tidak akan membuat orang kesulitan mencari uang. Banyak hal yang bisa dikerjakan. Dengan melukis jugalah ia bisa menyekolahkan anaknya dan adik iparnya hingga sarjana.

Di usia yang sudah tua, Sutanto masih menyimpan kegusaran tentang regenerasi pelukis di Lampung. Belum banyak pelukis muda yang muncul. Menurutnya, jumlah pelukis di Lampung lebih banyak dibandingkan pelukis di daerah lain di Sumatera. Namun, dari sisi produktivitas
karya, Lampung masih ketinggalan. Jarang sekali pameran lukisan di Lampung.

Pendidikan seni lukis harus mulai digiatkan. Dewan Kesenian Lampung (DKL) harus lebih banyak menggelar workshop. “Harus workshop,
workshop , dan workshop,” kata dia.

Sutanto mengatakan pendidikan seni di sekolah masih terlalu umum dan itu pun hanya satu kali dalam seminggu. Guru seni rupa tidak ada di sekolah. Pelajaran seni kurang mendapatkan tempat di sekolah.

Anak-anak didik hanya mengasah kecerdasaan otak untuk hal yang bersifat eksak, sementara kecerdasan rasa tidak pernah diasah. Hal inilah yang membuat orang suka korupsi karena kecerdasan rasa tidak pernah diajarkan. Pendidikan hanya mengajarkan kecerdasaan pada satu bagian otak, sehingga kecerdasan anak didik menjadi tidak seimbang. (PADLI RAMDAN/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Februari 2012

February 9, 2012

Aksara Lampung serta Bahasanya*

DARI semua aksara Surat Ulu (aksara Kaganga), aksara Lampung lain sendiri. Aksara ini telah dibahas oleh Prof. Karel Frederik Holle, Tabel van Oud en Nieuw Indische Alphabetten (Batavia, 1882), dan walau selintas disinggung juga oleh Prof. Johannes Gijsbertus de Casparis, Indonesian Palaeography: A History of Writing in Indonesia (Leiden, 1975). Prof. K.F.Holle berpendapat, cuma sedikit suku-suku di Nusantara yang memiliki aksara sendiri, dan sebagian besar suku-suku tidak memiliki aksara, dan baru mengenal aksara setelah menerima Islam, yaitu huruf Arab-Melayu.

Aksara Lampung terdiri dari dua puluh huruf: ka–ga–nga–pa–ba–ma–ta–da–na–ca–ja–nya–ya–a –la–ra–sa–wa–ha–gha. Aksara Lampung ditulis dan dibaca dari kiri ke kanan. Aksara ini terdiri dari huruf induk, anak huruf, anak huruf ganda dan gugus konsonan, juga terdapat lambang, angka, dan tanda baca.

Bentuk, nama, dan urutan huruf induk bisa dilihat pada tabel di bawah.

Bentuk tulisan yang masih berlaku di daerah Lampung pada dasarnya berasal dari aksara Pallawa, India Selatan, yang diperkirakan masuk ke Pulau Sumatra semasa kejayaan Kerajaan Sriwijaya. Macam-macam tulisannya fonetik berjenis suku kata yang merupakan huruf hidup seperti dalam aksara Arab, dengan menggunakan penanda fathah di baris atas dan kasrah di baris bawah, tetapi tidak memakai penanda dammah di baris depan melainkan di belakang. Masing-masing tanda memunyai nama tersendiri. Dengan begitu, aksara Lampung dipengaruhi dua unsur, yakni aksara Pallawa dan huruf Arab.

Aksara Lampung memiliki banyak kesamaan dengan aksara Batak, Bugis, dan Sunda Kuno. Tetapi bukan berarti yang satu meniru yang lain, melainkan aksara-aksara tersebut memang bersaudara, sama-sama diturunkan dari aksara India. Persis sama halnya dengan aksara Latin dan aksara Rusia yang sama-sama diturunkan dari aksara Yunani, yang pada mulanya berasal dari aksara Phoenisia. Jadi di dunia ini tidak ada aksara yang murni, sebab pembauran antarbudaya di muka bumi berlangsung sepanjang masa.

Berikut contoh naskah aksara Lampung dari kulit kayu lipat.

Karya-karya ilmiah tentang bahasa dan aksara Lampung semuanya memakai “r” untuk menuliskan huruf atau fonem ke-16 aksara Lampung. Gelar (adok) dan nama tempat harus dituliskan dengan ejaan r, meski dibaca mendekati bunyi kh, misalnya Pangiran Raja Purba, Batin Sempurna Jaya, Radin Surya Marga, Minak Perbasa, Kimas Putera, Marga Pertiwi. Penulisan “radu rua rani mak ratong” merupakan ejaan baku, sedangkan penulisan “khadu khua khani mak khatong” tidaklah baku.

Sementara itu, penelitian ilmiah tentang bahasa dan aksara Lampung dipelopori oleh Prof. Dr. Herman Neubronner van der Tuuk melalui artikel “Een Vergelijkende Woordenlijst van Lampongsche Tongvallen” dalam jurnal ilmiah Tijdschrift Bataviaasch Genootschap (TBG), volume 17, 1869, hal. 569-575, serta artikel “Het Lampongsch en Zijne Tongvallen”, dalam TBG, volume 18, 1872, hal. 118-156, kemudian diikuti oleh penelitian Prof. Dr. Charles Adrian van Ophuijsen melalui artikel “Lampongsche Dwerghertverhalen” dalam jurnal Bijdragen Koninklijk Instituut (BKI), volume 46, 1896, hal. 109-142. Juga Dr. Oscar Louis Helfrich pada 1891 menerbitkan kamus Lampongsch-Hollandsche Woordenlijst. Lalu ada tesis Ph.D. dari Dale Franklin Walker pada Universitas Cornell, Amerika Serikat, yang berjudul A Grammar of the Lampung Language (1973).

Menurut Prof. C.A. van Ophuijsen, bahasa Lampung tergolong bahasa tua dalam rumpun Melayu-Austronesia, sebab masih banyak melestarikan kosakata Austronesia purba, seperti: apui, bah, balak, bingi, buok, heni, hirung, hulu, ina, ipon, iwa, luh, pedom, pira, pitu, telu, tuha, tutung, siwa, walu, dsb. Prof. H.N. van der Tuuk meneliti kekerabatan bahasa Lampung dengan bahasa-bahasa Nusantara lainnya. Bahasa Lampung dan bahasa Sunda memiliki kata awi (bambu), bahasa Lampung dan bahasa Sumbawa memiliki kata punti (pisang), bahasa Lampung dan bahasa Batak memiliki kata bulung (daun). Hal ini membuktikan bahwa bahasa-bahasa Nusantara memang satu rumpun, yaitu rumpun Austronesia yang meliputi kawasan dari Madagaskar sampai pulau-pulau di Pasifik.

Kepustakaan

McGlynn, John H. dkk. 2002. Indonesian Heritage 10 (Bahasa dan Sastra). Jakarta: Buku Antar Bangsa.

Anshory, Irfan. 2009. “Bahasa dan Aksara Lampung” dalamhttp://irfananshory.blogspot.com/2009/12/bahasa-dan-aksara-lampung.html

http://rejang-lebong.blogspot.com/2009/04/history-of-rencong-script.html

http://edukasi.kompasiana.com/2009/12/30/mengenal-tulisan-kagana/


* Dikutip dari Surat Ulu (Aksara Kaganga): Aksara Rencong, Aksara Kerinci, dan Aksara Lampung oleh Tim Wacana Nusantara dalam http://wacananusantara.org, 27 Februari 2010

February 3, 2012

Runtutan Sejarah Budaya Lampung Dimulai

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Sejarah Paksi Pak Sekala Berak bersumber dari kebudayaan suku Tumi di Gunung Pesagi. Keempat paksi yang ada, yakni Buay Nyerupa, Buay Blunguh, Buay Bejalan, dan Buay Pernong, bersifat otonom dan independen, serta saling menghormati dan tidak saling menguasai antarsatu dan lainnya.

Demikian kesimpulan dari seminar dan dialog Sejarah Budaya Lampung bertema Paksi Pak Sekala Berak, menguak jejak muasal dan menguntai sinergi mengawal adat budaya Lampung di kampus FKIP Unila, Kamis (2-2).
Dalam seminar itu disimpulkan kebudayaan Paksi Pak Sekala Berak bermula dari kebudayan suku Tumi di Gunung Pesagi, tetapi teori membutuhkan kajian ilmiah yang lebih mendalam.

Upaya menguak sejarah utuh Paksi Pak Sekala Berak mutlak dilakukan, dan upaya tersebut harus dilakukan secara objektif serta tidak menghilangkan runtutan sejarah secara utuh.
"Sejarah ini harus ditulis secara utuh. Harus diakui asal muasal Paksi Pak Sekala Berak berasal dari suku Tumi yang telah ada terlebih dahulu dengan kebudayaan animisme dan dinamisme," kata Anshori Djausal, pembicara dalam dialog tersebut.

I Wayan Mustika sebagai salah satu peneliti yang intens meriset Sekala Berak menuturkan menguak asal muasal sejarah masyarakat Lampung, termasuk sejarah Paksi Pak Sekala Berak, harus dilakukan secara utuh dan menyeluruh.

Penulisan sejarah juga harus bernilai objektif, tidak menghilangkan unsur-unsur tertentu serta berpegang pada metode penulisan sejarah yang cermat dan akurat berdasarkan bukti-bukti dan referensi sejarah yang ada.

Seminar ini dibuka langsung Rektor Universitas Lampung Sugeng P. Harianto dengan menghadirkan empat tokoh sebagai pembicara utama, yakni Salman Alfarsi dari Buay Nyerupa, Yanuar Fermansyah dari Buay Belunguh, Wirda D. Puspanegara dari Buay Bejalan di Way, dan Erlina Rupaidah dari Buay Pernong.

Dalam sambutannya, Rektor menyatakan miris rasanya jika kita yang lahir, hidup, tinggal, dan mencari nafkah di bumi Lampung tidak mengetahui sejarah asal usulnya daerahnya, serta tidak mengakui bahwa dia merupakan bagian dari masyarakat Lampung.

Dialog juga menghadirkan Ali Imron selaku antropolog Unila, Hendri Susanto selaku sejarawan Unila, Abdul Sani selaku sosiolog Unila, dan I Wayan Mustika selaku peneliti kebudayaan yang telah menghabiskan tujuh tahun hidupnya untuk meriset kebudayaan masyarakat Lampung. (MG1/S-2)

Sumber: Lampung Post, Jumat, 3 Februari 2012

February 2, 2012

HUT KE-44 FKIP: Jejak Adat Budaya Lampungm Diseminarkan

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Geografi keratuan atau persekutuan adat di Pemanggilan yang meliputi wilayah Dataran Tinggi Sekala Brak (Ranau dan Lereng Gunung Pesagi) sampai kini masih diakui sebagai tempat asal suku Lampung.

Wilayah ini dikenal dengan sebutan Keratuan Paksi Pak Sekala Brak karena di dalamnya terdapat empat keratuan atau persekutuan adat yang saling independen, yaitu Keratuan Buay Pernong, Keratuan Buay Belunguh, Keratuan Bejalan Di Way, dan Keratuan Buay Nyerupa.

Namun, sejauh ini bagaimana asal serajah keberadaan keratuan dan bukti apa saja (senjata pusaka, benda pusaka, plakat, maupun tambo) belum diketahui secara detail.

Sehubungan dengan itu, Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unila bekerja sama dengan Pemprov Lampung menggelar Seminar dan Dialog Sejarah dan Budaya Lampung dengan tema Paksi Pak Sekala Beghak.

Seminar dalam rangka hari jadi ke-44 FKIP Unila tersebut mengambil subtema Menapak jejak muasal dan menguntai sinergi mengawal adat budaya Lampung. Seminar akan dilaksanakan hari ini (2-2) di aula FKIP dan dibuka Asisten III Bidang Kesra Rellyani. Juga hadir Rektor Unila Sugeng P. Harianto.

Dekan FKIP Unila Bujang Rahman mengatakan Seminar dan Dialog Budaya Lampung ini akan menghadirkan keturunan langsung dari Kerajaan Sekala Brak yakni dari Keratuan Buay Pernong, Keratuan Buay Belunguh, Keratuan Bejalan Di Way, dan Keratuan Buay Nyerupa.

Seminar yang akan dimoderatori Mirzali (tokoh adat Lampung Barat) itu juga menghadirkan pembahas ahli Abdul Sani (budayawan Lampung), Ali Imron (antropolog Lampung), Hendru Susanto (sejarawan Unila), dan Wayan Mustika.

Bujang mengatakan seminar dan dialog Budaya Lampung ini diagendakan enam kali secara bertahap dan berkesinambungan. Diharapkan, dapat diperoleh rangkaian sejarah jejak asal dan untaian sinergi secara keseluruhan dari enam kelompok geografis keratuan suku Lampung dalam rangka mengawal adat budaya Lampung sehingga mampu tetap eksis melintasi perjalanan zaman.

Juga dibahas bagaimana bentuk nyata sinergi yang dapat dan telah dilakukan antara Keratuan Buay Pernong, Keratuan Buay Belunguh, Keratuan Bejalan Di Way, dan Keratuan Buay Nyerupa dalam mengawal adat budaya Lampung? Apa saja hambatan-hambatan yang muncul dalam proses sinergi serta bagaimana mengatasinya?

Nantinya hasil seminar ini dapat dijadikan sumbangan dokumentasi sejarah kebudayaan lokal Lampung yang diharapkan memperkaya khazanah dokumentasi sejarah kebudayaan pada tingkat nasional. (TRI/S-2)

Sumber: Lampung Post, Kamis, -2 Februari 2012

Multikulturalisme Lampung

Oleh Asarpin


PARA pendiri Republik ini dapat dijadikan cermin mencerahkan dalam konteks multikulturalisme. Dewasa ini isu multikulturalisme cukup hangat dibicarakan, baik di level internasional, nasional, atau lokal (provinsi).

Di Lampung ada beberapa kali pertemuan dan seminar membahas multikulturalisme dalam hubungannya dengan kebudayaan. Beberapa perguruan tinggi, terutama Unila dan IAIN, pernah mengadakan diskusi dengan tema serupa. Harian lokal juga beberapa kali menurunkan opini soal ini.

Dengan bukti semacam itu, mungkinkah kita pantas berbicara tentang Lampung sebagai cermin multikulturalisme? Tak mudah menjawab pertanyaan itu. Sebagai provinsi plural dari segi etnik, agama, bahasa, budaya, dan sebagainya, sepintas Lampung dapat dijadikan model multikulturalisme yang penuh simpatik. Tak ada konflik besar akibat perbedaan di Lampung.

Kalaupun ada konflik, skalanya amat kecil dan penyebab utamanya bukan karena ketidaksiapan mengelola perbedaan. Konflik lebih sering dipicu soal ekonomi (walaupun kita tak sepenuhnya mengambinghitamkan faktor ekonomi terus-menerus).

Lampung ibarat Indonesia kecil. Ia dapat menjadi ikon bagi relasi antaragama, antaretnik, antarbudaya, dan relasi lainnya. Tapi, kalau menyebut Lampung sebagai cermin multikulturalisme, mungkin amat berat atau hanya akan jadi beban pemikiran saja.

Kalau memang mau bercermin, saya mengusulkan kita bercermin kepada para pendiri Republik ini yang telah menanamkan tonggak penting multikulturalisme. Hasilnya, kita memiliki falsafah negara yang amat mulia, semboyan, dan ideologi yang tangguh.

Dengan bercermin ke latar sejarah berdirinya republik ini, kita memang menyadari betul realitas kemajemukan Indonesia sebagai cermin pendidikan dan kebudayaan. Sudah saatnya membumikan pendidikan multikultur. Bukan sekadar multikultur, melainkan multikultur dalam konteks pembebasan.

Begitu juga soal kebudayaan. Tak mudah membumikan kebudayaan multikultur sekalipun dasar-dasar bernegara sudah menunjukkan semangat merangkul keragaman tanpa meleburnya menjadi keseragaman.

Proses Penyeragaman

Semboyan Republik kita memang cukup tegas, tapi apalah artinya jika tidak dihayati dan diamalkan. Bhinneka Tunggal Ika memang semboyan yang siap menyongsong keharmonisan hidup berdampingan dalam bingkai perbedaan. Namun, untuk apa punya semboyan indah kalau keseragaman dan proses penyeragaman terus kita paksakan lewat lembaga pendidikan dan kebudayaan?

Dalam keseharian sering terjadi kesenjangan antara semboyan dan falsafah negara dengan laku hidup kita sebagai bangsa multikultur. Di hari-hari ini begitu mudah bangsa ini kita marah. Begitu mudah kita terpancing untuk berkelahi hanya karena perbedaan. Begitu cepat emosi kita membara hanya karena tersinggung.

Sekalipun demikian, kalau ada yang bertanya apakah pendidikan multikultural mampu menjawab problem kita sebagai bangsa ke depan? Saya akan menjawab “ya”. Sebab, terlepas dari masih rapuhnya wacana pendidikan multikultural itu sendiri, saya kira sudah saatnya kita untuk terus berusaha mewujudkannya dalam kehidupan nyata, mulai dari rumah tangga hingga sekolah dan perguruan tinggi.

Memang, dengan pendidikan dan kebudayaan multikultur tidak serta-merta konflik akibat perbedaan agama, suku, aliran dan keyakinan, dapat kita sumbat sepenuhnya, namun minimal dapat kita tekan sekecil mungkin. Kita mesti menemukan jawaban bersama tentang pendidikan multikultural yang dapat menjawab kesenjangan antara harapan dan kenyataan.

Selanjutnya, sebagai pendidik mampukah kita menerapkan gagasan multikulturalisme kepada peserta didik? Tujuannya tak hanya meyakinkan mereka untuk mengakui perbedaan, tapi menjadikan perbedaan sebagai rahmat bagi semesta alam?

Artikel ini mencoba mengolaborasi lebih jauh tentang pendidikan multikultural dan bagaimana penerapannya dalam lembaga pendidikan, terutama lembaga pendidikan yang berbasis keislaman.

Pendidikan multikultural mengakui adanya keragaman kultural, etnik, dan bahasa suatu bangsa. Di Indonesia, sebagai contoh, muncul serangkaian konsep tentang pendidikan Islam yang toleran dan pluralis, mulai dari gagasan Islam inklusif sampai dengan gagasan Islam pluralis yang merupakan cikal-bakal lahirnya konsep pendidikan Islam multikultural.

Paham multikulturalisme, secara etimologis, digunakan secara semarak pada tahun 1950-an di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary istilah "multiculturalism" merupakan deviasi dari kata "multicultural". Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times, yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat "multicultural dan multilingual".

Tanpa Perbedaan

Pendidikan multikultural lahir sebagai tanggapan terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah. Secara luas pendidikan multikultural mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial, dan agama.

Namun, menurut saya, kalau kita bicara soal pendidikan multikultural, kita mesti mengambil satu fokus yang disiapkan secara sungguh-sungguh. Mengenai fokus pendidikan multikultural, fokusnya tidak lagi mesti selalu diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama, dan kultural domain atau yang dominan.

Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream.

Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap yang bukan cuma peduli dan mau mengerti perbedaan budaya serta pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas. Tetapi, lebih jauh dari itu, kita mesti siap untuk terus-menerus memperjuangkannya dari berbagai tantangan dan upaya penyempitan terhadap makna dan aplikasi dari pendidikan multikultural itu sendiri. Baik yang sengaja dilakukan oleh negara lewat dinas-dinas tertentu, atau oleh lembaga tertentu, maupun oleh kelengahan kita semua.

Asarpin, Esais dan pembaca sastra

Sumber: Lampung Post, Selasa, 17 Januari 2012

February 1, 2012

Lampung Gagal Raih Hadiah Sastra Rancage 2012

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Tahun ini Hadiah Sastra Rancage kembali lepas dari pelukan sastrawan Lampung. Hal itu karena Irfan Anshory yang mensponsori hadiah untuk bahasa Lampung dan selama ini menjadi juri meninggal tahun lalu dan belum ada penggantinya.

Padahal, tahun lalu ada dua buku bahasa Lampung yang terbit, yakni Raden Intan II karya Rudi Suhaimi Kalianda dan Warahan Radin Jambat suntingan karangan Iwan Nurdaya Djafar. Namun, kedua buku yang terbit tahun 2011 itu bukan karya sastra baru sehingga tidak mendapat Hadiah Rancagé.

"Hadiah Sastra Rancage tahun 2012 tidak diberikan untuk Lampung," demikian keputusan Hadiah Sastra Rancage 2012 yang ditandatangani Ketua Dewan Pembina Yayasan Kebudayaan Rancage, Ajip Rosidi yang diterima Lampung Post, Selasa (31-1).

Hadiah Sastra Rancage diberikan kepada sastrawan yang menulis karya sastra Sunda, Jawa, Bali, dan Lampung. Hawe Setiawan dari Yayasan Kebudayaan Rancage mengatakan, sudah 24 tahun Hadiah Sastra Rancagé diberikan setiap tahun.

Di samping Hadiah Sastra Rancagé untuk sastra Sunda sejak 1994, hadiah Rancagé untuk sastra Jawa sejak 1997 juga sastra Bali, sejak 2008 diberikan untuk sastra dalam bahasa Lampung. Kecuali untuk bahasa Lampung yang kadang-kadang tidak diberikan karena tidak ada buku yang terbit pada tahun bersangkutan. Hadiah Sastra Rancagé untuk bahasa Sunda, Jawa, dan Bali selama ini secara tetap diberikan setiap tahun.

Hadiah Sastra Rancagé 2012 untuk bahasa Sunda diberikan kepada Acep Zamzam Noor dengan kumpulan sajaknya, Paguneman terbitan Nuansa Cendekia (Bandung).

Sedangkan yang terpilih memperoléh Rancage buat jasa dalam bahasa Sunda ialah Etti R.S., "Etti pernah mendapat Hadiah Sastra Rancagé untuk kumpulan sajak Maung Bayangan (1995) dan untuk Serat Panineungan (2009). Di samping menulis sajak, Etti juga menulis guguritan yang sering dijadikan tembang dalam tembang Sunda Cianjuran," kata Hawe.

Hadiah Sastra Rancagé 2012 untuk karya dalam bahasa Jawa, kata Hawe, diraih Yusuf Susilo Hartono dengan kumpulan puisi Ombak Wengi yang diterbitan Elmatera, Jakarta.

Untuk jasa diberikan kepada Sucipto Hadi Purnomo. Di samping menjadi dosen di Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang, Sucipto juga menjadi redaktur tabloid Yunior Suara Merdéka dan membina rubrik budaya Sang Pamomong, yaitu lembar khusus bahasa Jawa.

Rancage 2012 untuk karya dalam bahasa Bali diberikan kepada Meték Bintang (Menghitung Bintang) karya Komang Adnyana yang diterbitan Jnana Aksara Bali. Sedangkan Rancagé 2012 untuk jasa dalam mengembangkan bahasa dan sastra Bali diberikan kepada I Made Sugianto.

Sedang Hadiah Samsudi 2012 untuk bacaan kanak-kanak dalam bahasa Sunda diberikan kepada Tatang Setiadi atas karyanya yang berjudul Asal-Usul Hayam Pelung jeung Dongéng-dongéng Cianjur Lianna yang diterbitan Kiblat Buku Utama, Bandung.

"Penyerahan Hadiah Sastra Rancagé 2012 dan Hadiah Samsudi 2012 akan dilaksanakan dalam suatu upacara khusus di tempat dan pada waktu yang ditetapkan kemudian," kata Hawe Setiawan. (MG5/S-3)

Sumber: Lampung Post, Rabu, 1 Februari 2012