March 25, 2012

[Perjalanan] Air Belerang Kaki Gunung Rajabasa

WAY BELERANG di kawasan Gunung Rajabasa Register 3, Lampung Selatan, masih alami. Sebab, tempat wisata itu belum dikelola secara maksimal.






Wisata alam Way Belerang yang berada dekat dengan Desa Kecapi dan Babulang, Kecamatan Kalianda, itu hingga kini masih dikelola para pemuda dua desa itu. Objek yang berada di Kecamatan Kalianda tersebut menyimpan panorama keindahan alam yang cukup menakjubkan.

Keasrian tempat wisata alam menambah daya tarik tersendiri. Apalagi, posisinya tidak jauh dari air terjun Way Kalam yang hanya beberapa meter saja. Way Belerang yang kerap disebut masyarakat Kalianda ada Way Belerang Simpur itu, berada di dekat perkebunan cokelat dan durian milik masyarakat setempat.

Untuk dapat mencapai Way Belarang Simpur, hanya dibutuhkan waktu 15 menit dengan menggunakan kendaraan sepeda motor atau mobil dari Kota Kalianda yang berjarak hanya 10 km. Apalagi, kini sarana infrastruktur, seperti jalan beraspal mulus dari Desa Kecapi, Kecamatan Kalianda, telah dibangun.

Bahkan, pada 2011 lalu, Kementerian Kehutanan RI melalui dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp4 miliar telah membangun jalan setapak (jalan lingkar, red) di Gunung Rajabasa Register 3 itu sepanjang 20 km.

Jalan masuk ke Way Belerang Simpur, dari Desa Kecapi hanya berjarak 4 km. Setelah itu, pengujung yang menggunakan kendaraan mobil bisa berjalan kaki untuk sampai Way Belerang Simpur karena akses jalan masuk hanya berupa jalan setapak yang telah dicor dengan lebar kurang lebih 1 meter. Jaraknya dari tempat parkir kurang lebih 1 km. Namun, jika pengujung memakai sepeda motor bisa langsung ke lokasi.

Way Belerang Simpur kini tidak hanya bisa dilewati dari Desa Kecapi. Sebab, kini dari daerah pesisir pantai Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan, pun juga sudah bisa dilalui, misalnya dari Sukaraja, Canti, dan Cuggung. Bahkan, akses jalan masuk menuju Way Belerang Simpur juga bisa melalui Desa Totoharjo, Kecamatan Bakauheni.

Begitu memasuki jalan setapak, para pengunjung langsung disuguhi panorama keindahan alam dan pepohonan besar. Bahkan, di bagian sisi kiri kita bisa melihat tanaman kakao milik masyarakat sekitar sehingga ketika melintasi jalan setapak pun pengunjung tidak akan merasakan kepanasan. Sebab, rindangnya daun dari pepohonan yang ada bisa menghalangi teriknya matahari.

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengatakan objek wisata alam di sekitar Way Belerang pun sangat cocok untuk tempat outbound, haiking, dan kamping. Oleh sebab itu, ke depan gagasan ini harus dimunculkan. Kalaupun anggaran dari Pemkab Lampung Selatan tidak cukup, Pemerintah Pusat nanti yang akan mendanainya.

“Kan sayang tempat objek wisata alam yang indah ini tidak dikelola dengan baik. Saya ingin di Kabupaten Lampung Selatan punya ciri khas tersendiri dari sektor pariwisata,” katanya, ketika melakukan kunjungan ke lokasi wisata Way Belerang Simpur di Desa Kecapi, Jumat (23-3).

Roni (30), warga Desa Kecapi, mengatakan objek wisata alam Way Belerang Simpur sudah lama ada. Namun, hingga kini belum dibangun Pemkab Lampung Selatan. Sebab, tempat pemandian itu masih alami karena hanya berupa kolam-kolam kecil yang dibuat oleh masyarakat.

Meskipun demikian, Way Belerang Simpur cukup banyak dikunjungi masyarakat, baik dari wilayah Lampung Selatan maupun daerah kabupaten lainnya.

“Pada hari libur atau Minggu, wisata Way Belerang Simpur banyak dikunjungi masyarakat. Tapi, kalau hari-hari biasa sepi. Bahkan, tidak sama sekali ada pengunjung yang datang,” ujar dia, Kamis (22-3), ketika ditemui pada lahan parkir, tepatnya di jalan masuk ke Way Belerang Simpur.

Roni mengatakan rata-rata pengunjung yang datang ke sini untuk berobat. Sebab, Way Belerang Simpur juga dipercaya bisa mengobati penyakit kulit, seperti panu dan kudis.

“Untuk biaya masuk ke wisata alam Way Belerang Simpur, pengunjung hanya diminta memberikan imbalan sukarela oleh para pemuda sebagai penjaga keamanan. Pengunjung yang menggunakan sepeda motor diminta biaya masuk Rp15 ribu. Sedangkan pengunjung yang menggunakan mobil diminta membayar Rp35 ribu. Karena, dari biaya masuk para pengunjung ke sini, kami juga setor ke desa,” katanya.

Demi menjaga kerukunan dan keamanan antardua desa, lanjut Roni, di wilayah Way Belerang Simpur tersebut telah diatur secara bergantian, yakni dua minggu untuk pemuda Desa Kecapi dan berikutnya adalah pemuda Desa Babulang.

“Untuk uang hasil menjaga keamanan pun pembagiannya telah disepakati, yakni 40% untuk para pemuda dan 60% untuk uang kas desa,” kata dia. (JUWANTORO/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 Maret 2012

Karna, Tersisih Lantaran Perbedaan

Oleh Abdurrahman Hakim


TEATER Satu mementaskan Kisah Lain Kurusetra atawa Karna Gugur karya Goenawan Mohamad. Adipati Karna yang disisihkan lantaran perbedaan kasta, warna darah, dan asal usulnya yang tak jelas.

Hari ke-16 perang Baratayuda di padang Kurusetra. Kedua seteru kembali bertemu dalam pertempuran hidup dan mati. Anak panah dan tombak beterbangan di udara. Mayat-mayat prajurit bergelimpangan.

Sebuah anak panah Arjuna melesat memburu sasarannya. Adipati Karna (diperankan Budi Laksana) tak dapat menghindarinya. Karna tahu ia akan kalah. Maka ia pun berkata dengan lantang di tengah medan pertempuran.

"Arjuna, aku tak bisa mengingat mantera itu. Mantera yang dapat menyelamatkan hidupku. Bramastra tak ada di tanganku. Maka, laksanakanlah tugasmu karena itulah jalan dharma bagimu," ujar Karna menyongsong kematiannya sendiri.

Arjuna (diperankan Gandi) berdiri sigap dengan pedang terhunus. Ia melangkah mendekat, bersiap melakukan satu tebasan mematikan. "Maafkan aku Karna," ucapnya dingin disertai satu kali ayunan pedang. Tubuh Karna terhempas ke tanah.

Sejurus kemudian, dalam deraian air mata, permaisuri Kunti (Ruth Marini) memeluk putra tertuanya yang tengah meregang nyawa itu. "Putraku, jika engkau mati maka tak ada lagi yang dapat mengisi kekosongan hatiku, namun kau telah pasrah," ucapnya lirih.

Karna menatap paras ibunya lekat-lekat. Tangannya perlahan berupaya menggapai wajah sang ibu. "Aku pun sungguh ingin mencintaimu, Ibu," ucapnya. Namun, gerak perlahan itu terhenti tiba-tiba. Alunan musik nan pilu kemudian mengambil peran mengharukan suasana pemanggungan.

Kemudian dari sisi kiri atas panggung, muncul sosok lelaki tua mengenakan jubah brahmana. Dialah Parasurama (Hendri Rosfelt), guru yang mengutuk muridnya sendiri-Karna. "itulah akhir hidup murid pendusta itu. Jika kulengkapi mantra itu, sejarah mungkin akan berbeda," ujarnya.

Demikianlah akhir dari lakon Kisah Lain Kurusetra atawa Karna Gugur karya Goenawan Mohammad yang dipentaskan Teater Satu sejak 20 hingga 23 Maret lalu di Taman Budaya Lampung (TBL). Kalau boleh dibilang, inilah kisah lain dari Kisah Lain Kurusetra.

Sutradara Iswadi Pratama berhasil mengadaptasi naskah yang mulanya terdiri dari empat monolog para tokohnya Radha, Resi Parasurama, Kunhti, dan Surtikanti, menjadi sebuah cerita utuh yang terbagi dalam 13 pengadegan para tokoh.

Momen-momen penting seperti halnya ketika Karna dinobatkan sebagai kesatria oleh Suyodana (Lutfan), bertemunya Karna dan Kunthi, serta gugurnya Karna di tengah tengah perang Baratayuda ditampilkan dengan pengadeganan yang utuh oleh sang sutradara.

Meskipun demikian, penonton tetap bisa menikmati keampuhan para aktor utama membawakan monolog. Hendri Rosfelt ketika memerankan Resi Parasurama pada adegan flashback mampu membantu kita menangkap citra para resi ketika itu dalam keluwesanya berolah peran.

Karna kembali ke padepokan menemui guru yang ia cintai. Namun, pengangkatannya sebagai kesatria memicu amarah sang guru yang menghakiminya sebagai pendusta. Sehingga terlontarlah kutuk yang menentukan itu. "Kau tak akan mampu merapal mantera yang dapat menyelamatkanmu dari kehidupanmu," serapah sangguru. Sumpah telah terucap. Karna pun undur diri.

Seisi gedung pertunjukan hening. Musik menjadi perangkat paling minim yang digunakan, walaupun tetap jadi unsur penting. Sementara, tata lampu menjadi pendukung utama menciptakan suasana "suram" pementasan Karna. Satu hari sebelum pertepuran yang menentukan hidupnya itu Karna berkirim surat pada ibu dan istrinya.

"Saya tidak tahu apa yang terjadi. Selalu saja ada pertempuran. Raja-raja menghendakinya." Mimik Radha sendu. Radha mengenang masa lalu. Sedari kecil, cita-cita Radheya paling besar adalah menjadi kesatria. "Menurutnya kesatria itu manusia sempurna. Lalu kita yang bukan kesatria ini makhluk apa," ujarnya terkekeh-kekeh.

Iringan musik yang mengawang awang dalam adegan ini membantu penonton menyelami perasaan Radha yang penuh kerinduan akan putra satu satunya yang akan berperang. "Dulu para resi dan brahmana menampuknya menjadi murit. Kini Parasurama pun menampiknya. Ibu sudah pasrah Nak, akan jalan yang telah kau pilih," ujarnya lirih.

Suratnya kepada Surtikanti kian mengukuhkan alasannya untuk berperang. Bahkan dalam suratnya Karna bahagia menyambut pertempurannya esok. Inilah jalan yang telah ia pilih. Ia tak takut akan kutuk dan ramalan para penujum. "Jangan khawatir istriku. Jika harus mati kan kujemput kematian itu," tulis Karna.

Baginya manusia ditentukan karena ilmu dan kemampuan. Bukan karena kodrat yang disabdakan para dewa di kahyangan. Pada akhirnya di pengujung surat Karna berucap. "Seseorang ada karena tindakan, seseorang menjadi karena pilihan. Bukan karena ia selesai dirumuskan," ucap Karna dalam surat.

Keyakinan Karna tak goyah, bahkan ketika Kunthi mengungkap asal-usulnya. Kunthi mengatakan Karna adalah putranya yang terpaksa dibuang. Jika bertempur Karna akan terbunuh atau dibunuh oleh saudara-saudaranya sendiri. Karna terguncang, tetapi pilihannya mengenai masa depan telah pasti. "Hamba bukan anak yang hilang. Hamba anak yang dihilangkan," ujarnya sebelum pamit.

Adegan perang Bharatayuda oleh Iswadi sangat apik. Panggung minimalis dipenuhi kubik kubik, anak tangga dalam balutan warna kelabu yang mendominasi. Para serdadu dipersenjatai tombak, panah, dan pedang berupa sapu lidi yang mencirikan pementasan kontemporer. Namun, hal ini mampu menghasilkan desis suara, menghidupkan adegan perang.

Naskah garapan Goenawan Mohammad ini membuat perjalanan hidup Karna begitu mudah dicerna. Membuat penonton mengerti, Karna memilih tetap berada di pihak Kurawa karena punya alasan kuat, dan semua tergambar logis. Di luar itu, rangkaian kata yang dibuat Goenawan Mohammad ini terasa hidup, bermakna dalam, hingga akhirnya berkesan dan mampu menggetarkan.

Tema seputar persoalan jati diri, identitas dan pertentangan kelas juga cukup kuat menopang lakon yang berdurasi lebih dari dua jam tersebut. Tokoh Karna yang terampil dan mahir dalam memanah itu seolah terpaksa kalah dalam perang lantaran identitas yang ia sandang.

"Seperti halnya orang miskin di negeri ini, yang hilang kesempatan mengenyam pendidikan layak, bukan karena tak mampu secara akademik, melainkan terpaksa kalah karena faktor ekonomi," ujar Iswadi usai pementasan.

Abdurrahman Hakim, penikmat seni

Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 Maret 2012

March 21, 2012

Pentas Teater: Gugur Karna Tersebab Identitas yang Tak Terumus

BANDAR LAMPUNG—Falsafah hidup Adipati Karna dalam perang Kurusetra menjadi inti pertunjukan Teater Satu di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung (TBL) kemarin. Dalam pentas tiga hari, 20—22 Maret, lakon ini yang disajikan sarat pertentangan kelas.










Panggung sore kemarin, dipenuhi kubik-kubik, anak tangga dalam balutan warna kelabu yang mendominasi. Iswadi Pratama, sang sutradara, menerjemahkan Kisah Lain Kurusetra atawa Karna Gugur karya Goenawan Nohammad dalam konsep minimalis.

Dalam naskah asli, konsep pemanggungan gugurnya Karna ini sejatinya berisikan kumpulan monolog dari lima tokoh: Radha, Radheya atau Karna, Resi Parasurama, Kunthi, dan Surtikanti. Namun, Iswadi mencoba melengkapinya dengan menggambarkan momen-momen penting.

"Seseorang mengada, seseorang menjadi, dan dirumuskan adalah karena ilmu, kemampuan, serta tindak dan pilihannya. Bukan karena asal usulnya, bukan dari mana dia berasal," demikian pesan Karna, dalam suratnya kepada Surtikanti, istrinya.

Dikisahkan, Karna, seorang anak yang lahir dari hubungan Kunthi dengan seorang laki-laki asing. Namun, demi menjaga kemurnian silsilah, dia harus rela dibuang ke sungai dan akhirnya ditemukan Radha, istri kusir kereta, kaum Sudra.

Karna mencoba melawan takdir yang tak adil. Ia lahir dengan identitas yang tak bisa dirumuskan, dalam silsilah dan masa lalu yang tak jelas. Ia memilih bertempur dalam perang Kurusetra karena ia telah memilih untuk mengukuhkan jati dirinya, meski harus bertempur dengan adik-adiknya sendiri.

Seisi gedung pertunjukan hening. Alunan musik yang lirih menjadi perangkat paling minim yang digunakan, tapi tetap jadi unsur penting pertunjukan. Sementara itu, tata lampu menjadi pendukung utama menciptakan suasana suram dari pertunjukan yang kaya akan dialog kontemplatif para tokoh.

"Karya ini, tergolong sulit karena berisikan monolog para tokohnya. Saya khawatir hal ini membuat pononton bosan mengikuti kisahnya. Maka, momen-momen penting yang tak ada dalam naskah asli coba kami hidupkan dalam pementasan seperti momen pengukuhan Karna sebagai adipati," ujar Iswadi.

Namun, Budi Laksana yang memerankan tokoh Karna, Hendri Rosfel sebagai mahaguru Parasurama, Ruth Marini sebagai Kunthi, Desi Susanti sebagai Radha, dan Yeli Shinta Laras Utami sebagai Surikanti, berhasil memukau para penonton, meski pementasan berlangsung dalam tempo cukup lambat.

Di akhir cerita, di padang Kurusetra, dalam perang tanding dengan Arjuna itu, Karna kalah melawan kodratnya. Ia mati karena ia lahir dengan identitas yang sulit dirumuskan, tetapi oleh sang guru, ia ditunjuk dengan pasti sebagai kaum kesatria yang oleh sang guru dibenci. Karna pun berperang dalam kutuk dan mantera sang guru yang tak sempurna.

Tokoh Karna yang terampil dan mahir dalam memanah itu, seolah terpaksa kalah dalam perang lantaran identitas yang ia sandang. "Seperti halnya orang miskin di negeri ini, yang hilang kesempatan mengenyam pendidikan layak, bukan karena tak mampu secara akademik, tetapi terpaksa kalah karena faktor ekonomi," ujar Iswadi. (ABDUL GOFUR/U-2)

Sumber: Lampung Post, Rabu, 21 Maret 2012

March 20, 2012

Sastra: Dwi Fadhila Rebut Rycko Menoza Award

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pelajar SMAN 2 Kalianda Dwi Fadhila Rahma merebut Rycko Menoza Award dalam memperingati HUT ke-48 Provinsi Lampung. Dwi menang dalam lomba baca puisi yang ditujukan bagi siswa SMA se-Provinsi Lampung, di Plaza Lotus, Bandar Lampung, Sabtu (17-3).

Beberapa puisi yang ditentukan panitia untuk dibacakan oleh para peserta yaitu Karawang-Bekasi, Dialog Bukit Kamboja, Akar Pohon Tanah Airku, Mendongenglah buat Ind yang Berulang Tahun, dan Pahlawan Tak Dikenal.

Dewan juri yang terdiri dari Isbedy Stiawan Z.S., Iin Mutmainnah, dan Udo Z. Karzi juga menetapkan M. Rendra Saputra dari SMAN 1 Menggala meraih juara kedua dan juara ketiga diraih Meutia Martha Shabina dari SMAN 2 Bandar Lampung. Juara harapan pertama diraih oleh Windara Insan Mayo, sedangkan juara favorit yang ditentukan menurut hasil polling SMS yaitu Nadya Mariesta dari SMAN 3 Bandar Lampung. Para pemenang berhak atas tabanas dari Bank Lampung, sedangkan untuk juara favorit mendapatkan hadiah dari Axis.

Ketua Pelaksana Acara Syaiful Irba Tanpaka mengatakan penilaian dewan juri meliputi vokal, penghayatan, dan performance. "Ketepatan peserta lomba dalam mengucapkan kata per kata dalam puisi akan menyumbangkan poin yang cukup besar," kata dia.

Dalam sambutannya, Kepala Dinas Pendidikan Lampung Selatan Sulpakar yang hadir mewakili Bupati Lampung Selatan Rycko Menoza menjelaskan sulitnya menanamkan semangat patriotisme pada generasi muda saat ini. Arus globalisasi saat ini dapat menghanyutkan siswa dalam kebiasaan-kebiasaan yang justru bertentangan dengan nilai-nilai perjuangan bangsa.

"Semoga acara ini dapat menginspirasi siswa melalui ketokohan yang ada dalam puisi pahlawan itu," ujar dia. (MG4/D-2)

Sumber: Lampung Post, Selasa, 20 Maret 2012

March 19, 2012

Sastra: Puisi Menginspirasi Siswa

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Minat siswa terhadap puisi terus menurun. Padahal, melalui puisi siswa dapat mengekspresikan dirinya secara total. Untuk meningkatkan apresiasi dan minat sastra bagi siswa, Pondok Baca mengadakan lomba baca puisi pahlawan Rycko Menoza Award, di Plaza Lotus, Bandar Lampung, Sabtu (17-3).

Pesertannya siswa SMA se-Provinsi Lampung dan digelar dalam hari ulang tahun Provinsi Lampung.

Ketua Pelaksana Acara Syaiful Irba Tanpaka mengatakan sasaran acara ini untuk meningkatkan apresiasi generasi muda terhadap nilai-nilai juang pahlawan serta nasionalisme terhadap bangsa.

Panitia menentukan lima puisi yang akan dibacakan peserta, yaitu Karawang Bekasi, Dialog Bukit Kamboja, Akar Pohon Tanah Airku, Mendongenglah buat Indonesia yang Berulang Tahun, dan Pahlawan Tak Dikenal.

Dia mengatakan subjektivitas pembaca puisi akan berbeda dengan yang lainnya. Oleh sebab itu, ini merupakan tantangan bagi para peserta. Dengan interpretasi yang berbeda tersebut, pembaca dapat menangkap pesan moral yang ada dalam puisi.

Total peserta yang berjumlah 40 orang ini didominasi perempuan. Syaiful berpendapat, siswa laki-laki umumnya merasa canggung untuk mengeluarkan totalitas dalam berekspresi untuk membaca puisi.

“Dari beberapa lomba yang saya lihat, jika siswa perempuan dan laki-laki digabung dalam satu perlombaan yang sama, biasanya yang menang siswa perempuan. Sehingga guru-guru di sekolah akan mengirimkan siswa perempuan untuk lomba baca puisi,” ujar dia.

Dewan juri terdiri dari tiga orang yang berasal dari kalangan profesional. Beberapa hal yang dinilai yaitu teknik vokal yang meliputi artikulasi, intonasi, dan penghayatan. Selain itu performance yang meliputi kerapian dan gerak tubuh.

Tantangan bagi dewan juri adalah menentukan pemenang melalui subjektivitas yang akhirnya bisa diterima menjadi objektivitas bagi orang lain. “Yang pasti juri akan mengapresiasi peserta yang karismatik,” kata Syaiful.

Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Lampung Selatan Sulpakar, yang hadir mewakili Bupati Lampung Selatan Rycko Menoza, mengatakan generasi muda harus memiliki prinsip cinta Tanah Air dan menghargai jasa pahlawannya dalam menghadapi arus globalisasi saat ini. Salah satu caranya dengan keikutsertaan dalam lomba baca puisi pahlawan semacam ini.

Selain itu, ia mengatakan sulitnya menanamkan nilai-nilai patriotisme di kalangan siswa saat ini.

“Semoga acara ini dapat menginspirasi siswa melalui ketokohan yang ada dalam puisi pahlawan yang dibacakan,” ujar Sulpakar.

Dewan juri akan menentukan juara I, II, III dan juara harapan. Sedangkan untuk memilih juara favorit, masyarakat dapat memilih peserta favoritnya melalui SMS. Acara yang diikuti SMA dari tujuh kabupaten/kota se-Lampung ini merupakan hasil kerja sama Dewan Kesenian Lampung, Bank Lampung, Balai Pengembangan Teknologi Pendidikan, dan Axis. (MG4/S-3)

Sumber: Lampung Post, Senin, 19 Maret 2012

Dusta Akademis

Oleh Ali Murtadho


SUNGGUH saat ini kejujuran dalam ancaman serius. Kejujuran telah menjadi—meminjam ungkapan Goenawan Mohamad—sejenis makhluk yang harus dilindungi. Mungkin lebih terancam kelanjutan nasibnya ketimbang tokek dan ular sawah.

Argumen tersebut didasarkan pada fakta bahwa akhir-akhir ini kejujuran ilmiah ternodai merebaknya perilaku plagiarisme di dunia akademis.

Merujuk tulisan opini Zulkarnain Zubairi: Plagiarisme, Tragedi Pendidikan Kita (Lampung Post, 12 Maret 2012) disebutkan bahwa sebanyak 21 perguruan tinggi di Tanah Air tersandung praktek plagiarisme yang dilakukan sejumlah guru besar, termasuk salah satunya calon guru besar dari perguruan tinggi negeri ternama di Lampung (Lampung Post, 9—10 Maret 2012). Tindakan plagiat pada hakikatnya telah mencederai nilai-nilai pendidikan.

Virus Pendidikan

Aforisme "jalan pintas dianggap pantas" yang pernah dilontarkan salah satu produk rokok kretek dalam salah satu iklannya, yang pernah tayang di televisi beberapa tahun lalu, setidaknya bisa memvisualisasikan sekaligus menjadi satire atas kondisi tersebut.

Tindakan menerobos norma hukum dan etika mudah ditemui di masyarakat kita yang hanya mementingkan tampilan kulit luar pendidikan. Inilah cermin sebuah kondisi masyarakat yang terjebak pragmatisme.

Dusta akademis dengan melakukan tindak plagiarisme tak ubahnya virus yang selalu menggerogoti sendi-sendi pendidikan nasional. Padahal, pendidikan sejatinya mengajarkan nilai-nilai adiluhung. Tetapi, dengan adanya tindakan penjiplakan tersebut, kondisi pendidikan di negeri ini akan semakin jauh dari martabat dan kesuciannya.

Semangat bertarung untuk menjalani proses pendidikan yang benar berikut tantangan-tantangannya sepertinya kian menipis. Masyarakat lebih cenderung mengutamakan hasil dan ujung-ujungnya—meminjam istilah Koentjaraningrat—mentalitas menerabas dijadikan pilihan.

Dalam tinjauan Belinda Rosalina, sejarah plagiarisme berasal dari istilah plagium, yang artinya penculikan anak atau budak. Istilah ini kemudian dipakai Mancus Valerius Martialis untuk menyindir seorang penyair bernama Fedentinus, bahwa ia telah melakukan plagiat atas syair-syairnya. Pasemon Mancus Valerius Martialis ini sangat memesona, karena telah mengisyaratkan posisi ciptaan sesungguhnya menjadi "anak kandung" penciptanya. Oleh sebab itu, tidak dibenarkan mencurinya.

Bahkan, Eddy Damian (2009) memiliki beberapa catatan historis mengenai istilah plagiarisme. Istilah ini asalnya dari bahasa Latin plagiarus yang secara harfiah berarti penculik (kidnapper). Dapat pula istilah ini diartikan mensenover (perampok manusia) atau zielverkoper (penjual nyawa manusia).

Sedangkan istilah yang paling mendekati makna yang dikenal saat ini yaitu pendapat Fockema Andreael yakni letterdievery (pencurian tulisan atau pencurian ciptaan yang dilindungi hak cipta).

Secara akademis, plagiarisme merupakan tindakan menjiplak ide, gagasan, atau karya orang lain untuk diakui sebagai karya sendiri, atau menggunakan karya orang lain tanpa menyebutkan sumbernya. Artinya, tindakan plagiarisme sesungguhnya telah melawan kejujuran intelektual.

Gelar Akademik

Sikap serta tindakan seperti tampak pada paparan tersebut sepertinya sudah mewabah pada mentalitas hampir sebagian besar—untuk tidak mengatakan keseluruhan—masyarakat akademik kita. Sudah menjadi rahasia umum, yang tidak tertutup rapi, semakin menjamurnya agen-agen pembuatan skripsi, tesis, ataupun disertasi order atau pesanan. Bahkan, pangsa pasar pembuatan karya tulis ilmiah pesanan ini tampak semakin terbuka.

Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mewajibkan seluruh pendidik di negeri ini menyandang gelar sarjana. Ini kemudian menjadikan masyarakat terjangkiti sindrom megalomania: semangat pantang tidak tampil hebat, kemudian sekuat tenaga mengejar sederetan gelar akademik hanya untuk prestise.

Tindakan plagiarisme sesungguhnya mengandung kesalahan ganda, yakni melanggar hukum sekaligus mencederai etika. Pada aras ini, menarik untuk mengafirmasi tesis yang diajukan Henry Soelistyo (2011), kondisi tersebut dapat disebabkan beberapa faktor. Pertama, karena lemahnya aspek etika akademik. Kedua, penegakan hukum tindakan plagiarisme yang belum serius. Ketiga, lemahnya mekanisme penyaringan orisinalitas dari sebuah karya.

Oleh sebab itu, untuk mewujudkan kultur akademik yang bermoral dan berintegritas, diperlukan sebuah langkah yang penting dan mendesak untuk menetapkan kebijakan yang jelas dan sikap yang tegas terhadap tindak plagiarisme.

Media Massa

Menurut Henry Soelistyo, ini berarti harus ada kebijakan yang jelas, apakah tindak plagiarisme hanya diperlakukan sebagai pelanggaran etika akademik ataukah dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Jika hanya dikategorikan sebagai pelanggaran etika, sanksi yang dijatuhkan hanya akan berkisar pada sanksi administratif. Selebihnya, hanya sanksi moral yang berwujud celaan dan kecaman.

Akan tetapi, seberapa keras dan seberapa tajam celaan itu bergantung pada peran pers dan media massa. Sebab, hanya di wilayah itu sanksi sosial dan moral dapat berjalan efektif.

Pada sisi lain, yang tidak kalah penting ialah bagaimana mematikan epidemi plagiarisme ini di jaringan kehidupan kampus dan masyarakat. Meminjam ungkapan Armada Riyanto dalam salah satu tulisannya, Kutuk Plagiarisme, Lalu...?, plagiarisme merupakan tindakan pencurian kreativitas intelektual.

Untuk itu, perlu diterapkan sanksi hukum yang tepat dan terukur terhadap plagiarisme. Hal ini dimaksudkan agar integritas dan kredibilitas budaya akademik di negeri ini menjadi baik. Terbebas dari hasutan "monster" plagiarisme yang antietika, mematikan kreativitas, dan menghancurkan kejujuran.

Ali Murtadho, Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan Lampung

Sumber: Lampung Post, Senin, 19 Maret 2012

March 18, 2012

[Inspirasi] Wayang Bahasa Lampung Sumarlan

TERTANTANG dari satu pertanyaan, “Bisakah bahasa wayang diganti dengan bahasa Lampung?”, Sumarlan mengawali “kekurangkerjaannya”.

“Hung wilaheng sekaring bawono......, hung.....” Suluk sebagai pembuka pertunjukan wayang kulit itu mengalun lirih dengan nada basso. Tak heran, sebab intonasi hampir seluruh bahasa Jawa memang lembut.

Bayangkan jika karakter dialek orang Lampung yang cenderung tinggi bahkan agak “ngeden”—maaf, melantunkan ayat-ayat wayang. Lebih membuat penasaran lagi, dialog-dialog antarwayang itu menggunakan bahasa Lampung. Nah, itulah yang dilakukan Sumarlan (42). Ah, api ceritane niku, Lan? Nyo, caro?

Sumarlan menjadi fenomenal dengan “kelakuannya” mengganti bahasa Jawa dengan bahasa Lampung untuk memainkan lakon wayang yang ia mainkan. “Awalnya saya cuma iseng. Lalu, ingin mencoba. Ternyata memang sangat sulit, tetapi akhirnya bisa,” kata dia di Baradatu, Way Kanan, pekan lalu.

Kuatnya keinginan itu sesungguhnya dari berita soal wayang yang sudah mendunia. Seni wayang Jawa yang sudah merakyat sudah banyak yang melakonkan dalam bahasa Inggris, Jepang, Italia, Prancis, dan lainnya. “Jadi, mengapa tidak bisa pakai bahasa Lampung,” ujarnya.

Dengan modal motivasi, Sumarlan mencoba untuk membidani pertujukan seni wayang berbahasa Lampung. Dalam sebuah kesempatan, ia tampil perdana di Rumah Inspirasi Blambangan Umpu, awal Maret 2012, dengan menggunakan bahasa Lampung.

Bapak dua putri warga Kampung Tiuh Balak Pasar, Baradatu, Way Kanan, menuturkan wayang adalah seni pertunjukan yang telah berusia lebih dari setengah milenium. Karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi yang indah serta sangat berharga kini telah mendunia di beberapa negara, seperti Jepang, India, dan Belanda.

Kecintaannya serta rasa turut bertanggung jawab melestarikan budaya bangsa, maka dirinya mencoba memberikan warna tersendiri dengan menampilkan pertunjukan wayang menggunakan bahasa Lampung.

“Waktu itu, Pak Bustami Zainudin masih menjabat wakil bupati. Dia pernah bertanya sama saya, bisa enggak bahasa wayang diganti dengan bahasa Lampung?” kata dia menirukan.

Meskipun pertanyaan itu hanya dijawab dengan senyum, menjadi pikiran suami Dian Harning Suprapti ini. Ia merasa tertantang untuk berkarya dengan mencoba. Lalu, berlatih dan terus berlatih memainkan wayang dengan menggunakan bahasa Lampung. “Awalnya sulit sekali,” kata dia.

Menurutnya, pakem bahasa wayang menggunakan bahasa tinggi (kromo inggil) yang diubah menjadi sajak yang indah. Sementara, bahasa Lampung bukanlah merupakan sesuatu bagian yang asing bagi sang dalang. Bahkan, lingkungan warga pribumi itu telah menyatu menjadi bagian dari kehidupannya selama sebelas tahun bertugas sebagai seorang guru di Kecamatan Pakuanratu, Way Kanan.

Seiring dengan perkembanganya dan secara bertahap dengan sejumlah perbaikan, pertunjukan seni wayang dengan menggunakan bahasa Lampung sudah dapat disuguhkan. Dalam pertunjukan perdana itu, baru sebatas 60% menggunakan bahasa Lampung. “Saya gunakan bahasa Lampung baru sebatas dialog antartokoh-tokoh wayang saja,” kata dia.

Kepala SDN Tiuh Balak Pasar ini mengakui masih kesulitan dalam babak bagian suluk (deskripsi pembuka). Dalam babak itu sangat sulit mendiskripsikan keadaan umum cerita perwayangan. Di sisi lain, dia harus mengubah karakter suara, berganti intonasi, mengeluarkan guyonan, dan bahkan menyanyi.

Untuk menghidupkan suasana, iringan musik gamelan yang disajikan dalam sebuah pementasan, juga dikolaborasi dengan musik gitar tunggal melantunkan lagu Lampung. Gamelan dan gitar tunggal dimainkan secara bergantian.

“Waktu pementasan di Rumah Inspirasi, saya melakonkan judul Semar Boyong,” kata Sumarlan.

Dalam pergelaran perdana itu, kata dia, dihadiri Bupati Way kanan Bustami Zainudin, Kepala Dinas Pendidikan Gino Vanolie, serta hampir seluruh pejabat utama kabupaten setempat. Bahkan, dia mendapat dukungan, koreksi, dan saran untuk menampilkan sebuah pertunjukan wayang dengan bahasa Lampung dengan lebih sempurna.

Koreksi dan saran tersebut, kata dia, baginya sangat positif. Sebab, dengan semakin banyaknya masuk dan saran akan membuat dirinya lebih giat berlatih dalam mencapai kesempurnaan menyuguhkan wayang dengan berbahasa Lampung. “Dengan mendalang bahasa Lampung ini, belum berarti saya sudah mampu,” katanya.

Pria kelahiran Pacitan, Jawa Timur, 14 Oktober 1969 itu mengungkapkan dunia perwayangan yang digelutinya baru sekitar lebih kurang lima tahun. Kegiatan itu beranjak dari kondisi wilayah Kabupaten Way Kanan yang sepi dan sunyi dari aktivitas hiburan rakyat. Sementara keberadaan Sanggar Mukti Budoyo Radio Rapansa sangat berdekatan dengan rumah tinggalnya.

Suara gamelan yang acap terdengar di belakang rumahnya membuat Sumarlan semakin tertarik dalam seni budaya perwayangan. “Awalnya saya coba-coba memainkan wayang, sambil mendengarkan cerita pewayangan,” katanya. (MAT SALEH/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 Maret 2012

[Perjalanan] Kisah Penguasa Danau Suoh

SUOH menjadi nama yang fenomenal di Lampung. Daerah dengan ketinggian 1.200 dpl (dari permukaan laut) di wilayah Lampung Barat ini menyebarkan pesona keindahan alam luar biasa. Namun, untuk mencapainya, membutuhkan perjuangan yang luar biasa.

Salah satu objek yang luar biasa itu adalah sumber panas bumi di Suoh. Lokasi ini dijaga oleh pemuda kampung. Tempat spektakuler ini ramai dikunjungi pada hari libur dan Lebaran. Mereka memasang kayu-kayu pembatas area yang tidak boleh diinjak.

“Kalau lubang-lubang kecil seperti ini diinjak akan menyembur air panas, kaki bisa melepuh,” kata Alkodri, pemuda kampung yang sering memandu para pengunjung.

Dia menceritakan suatu saat ada pengunjung yang melepuh tubuhnya karena melanggar batas yang sudah dipasang. “Sudah dikasih tahu agar jangan mendekat ke sana, tapi dia tidak mau mendengar. Akhirnya tercebur ke air panas itu, ya melepuh,” kata Kodri.

Untungnya, pemuda itu sempat ditolong dan ditarik warga setempat. “Tapi saya tidak tahu bagaimana nasibnya sekarang,” kata dia.

Di lokasi ini ada satu tempat yang menjadi favorit pasangan memadu cinta, yaitu hutan konservasi di belakang sumber air panas. Saat memasuki hutan, di salah satu pohon terdapat papan yang bertuliskan kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Banyak bekas manusia di sini, mulai dari ukiran nama di dahan-dahan pohon sampai sampah makanan yang menumpuk.
Lokasi panas bumi ini ternyata tidak hanya di bagian depan saja. Di belakang hutan TNBBS itu juga terdapat kawah dengan air yang menggelegak. Bahkan danau kecil yang ada di samping lokasi itu berasap. “Ini masih luas ke belakang Mbak, di balik hutan sama ada sungai air panas yang bisa digunakan untuk mandi. Saya sering mengantar pengunjung ke sana,” ujar Alkodri.

Sebagian besar lokasi panas bumi sudah kami sambangi. Jarum jam menunjukkan pukul 15.00, kami tak ingin menyia-nyiakan waktu. Saat ditawarkan mandi di Danau Lebar kami langsung menyambutnya dengan gembira. Jalan setapak tanah kembali kami susuri.

Saya dan Pak Emed sampai duluan di bukit atas danau, menyusul rombongan yang lain. Saat saya melangkah turun, Pak Emed melarang saya. “Sebentar Mbak, saya lihat dulu, biasanya penguasa danau keluar sore-sore begini,” ujarnya.

“Oh, iya Pak,” jawab saya.

Terlintas mitos tentang makhluk gaib penunggu danau.

“Memangnya penguasa danaunya itu apa, Pak?” tanya saya penasaran.
“Buaya,” katanya.

“Buaya beneran apa jadi-jadian,” kejar saya. “Buaya benaran, Mbak,” kata Pak Emed.

Srrrr, nyali saya langsung menciut. Apalagi, kata Pak Emed, dia sering melihat buaya-buaya itu berdiam di pinggir danau pada sore hari.

Pak Emed mengisahkan dulu Danau Lebar ini menjadi tempat favorit nelayan mencari ikan. Dalam satu hari nelayan bisa menangkap 5 kuintal ikan jenis gabus, nila, betok, udang, dan kepor (sejenis ikan tawas). Warga pinggir danau serta para pengunjung juga suka berenang di danau. Namun, danau ini mendadak sepi sejak buaya-buaya di danau bekas rawa ini sering muncul ke permukaan. Apalagi, dua warga sudah menjadi korban.

“Pernah ada yang mancing di tengah danau, tiba-tiba menghilang, perahunya ditemukan dalam keadaan terbalik,” kisah Pak Emed.

Cerita ini bukan bualan belaka, warga sering menemukan telur buaya di dalam tanah pinggiran danau. Bahkan, beberapa warga mengambil telur itu untuk ditetaskan.

“Mau telur buaya, Mbak? Kalau masih ada sih, kemarin ada yang dapat 20 butir, dia mau netasin telur itu, tapi enggak netas-netas,” kata Pak Emed.

“Hehe, enggak lah, buat apa, Pak,” ujar saya.
Setelah mengamati pinggir danau dari kejauhan, saya, Ikhsan, dan Pak Emed turun ke bibir danau. Sementara rombongan yang lain memilih duduk di atas bukit menikmati pemandangan danau dari kejauhan.
Sesampainya di bawah, Pak Emed memapas semak yang tumbuh subur di pinggiran danau.

“Udah Pak, di sini aja,” ujar saya khawatir.

Kami masih berbincang tentang Danau Lebar ini sambil menunggu Ikhsan selesai mengambil beberapa angle foto. Kresek…semak berbunyi seolah ada hewan melata yang berjalan. Ups, saya kaget, ternyata hanya seekor kadal yang keluar dari semak-semak.
“Saya pikir buaya,” ujar saya spontan.
Ikhsan dan Pak Emed tertawa melihat muka saya yang pucat pasi.

“Cuma kadal Mbak, kalau buaya kan malah seru, kita ambil fotonya,” ujar Ikhsan berkelakar.

Sekitar 10 menit, kami berlalu dari bibir danau itu.

Di daerah ini ada tiga danau yang terbentuk sejak musibah gempa Liwa 1994, selain Danau Lebar, ada Danau Minyak dan Danau Asam. Danau Asam lah yang sekarang menjadi lokasi favorit untuk mandi dan berenang. Di danau ini, kami pun menceburkan diri. Pijakan kaki di tanah dasar danau membuat air cepat keruh. Brrrr, dingin juga mandi di danau pada sore hari.

Danau Asam menjadi ujung perjalanan sore hari itu. Kami kembali ke rumah warga tempat menginap semalam. Sesampai di rumah, kami disambut dengan menu satai ayam kampung. Hmmm, nikmat! Lelah, lapar, tuntas sudah! (RINDA MULYANI/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 Maret 2012

[Perjalanan] Menembus Kabut Suoh, Lampung Barat

KEPULAN asap tebal yang membubung tinggi dari sumber air panas Suoh, Lampung Barat, menjadi pesona khas dari atas Dusun Sukamarga. Keindahan ini tidak sendiri, bertemankan hamparan sawah, danau, dan pegunungan ilalang.

Pemandangan paling indah di Suoh dinikmati saat menjelang fajar. Ketika semua orang masih meringkuk dalam selimut dan mentari bersiap keluar dari peraduan. Panorama indah ini menjadi oasis di tengah gegap gempita masalah yang tak kunjung usai.

Satu tim Lampung Post yang terdiri dari Rinda, Kosim, dan Ikhsan melakukan perjalanan pekan lalu. Mereka didampingi Ahim, Padli, Bintar, dan Ali yang merupakan masyarakat sekitar.

Untuk menikmati pemandangan ini, kami menempuh perjalanan yang memacu adrenalin pada Sabtu (10-3) dini hari. Ada dua jalur yang bisa dipilih, yaitu jalur Sekincau—Suoh dan Kotaagung—Suoh. Namun, kami memilih jalur Kotaagung—Suoh karena jalannya sudah lebih baik dibandingkan jalur Sekincau.

Jalur ini memang tidak separah dulu, tetapi tetap mendebarkan. Jalan tanah merah dengan tanjakan, turunan, dan tikungan tajam membuat mobil beberapa kali terperosok lumpur basah. Memasuki Pekon Gunungdoh, kiri-kanan jalan gelap, tidak telihat rumah warga, rerimbunan pepohonan membuat bulu kuduk merinding.

Sempat terlintas apakah ada makhluk mistis yang akan menyapa kami? Ternyata di kegelapan hutan, hanya seekor induk babi bersama enam anaknya yang menampakkan diri. Keasyikan mereka mencari makan terganggu oleh lampu mobil. Keluarga babi ini langsung kocar-kacir masuk kebun kopi di seberang jalan.

Dua titik rawan, Rajabasa dan Gunungdoh, Tanggamus, juga kami lewati dengan penuh ketegangan. Tak pelak, saat pulang di siang hari berikutnya, kami dipalak preman setempat.

Kami sampai di puncak Suoh, Dusun Sukamarga, tepat sekitar pukul 05.00. Perjalanan melelahkan ini akhirnya terbayarkan. Dari badan pegunungan Cibitung ini, panorama Suoh memberi energi positif. Kepulan asap sumber air panas ibarat tungku jarangan besar yang sedang menanak air. Asap tebal tak henti-hentinya membubung tinggi ke udara.

Air panas Suoh ini merupakan sumber panas bumi terbesar di Lampung. Beberapa tahun terakhir sumber panas bumi ini mulai dilirik investor. Pemerintah Lampung ingin mengembangkan gas bumi menjadi sumber tenaga listrik.

Kami penasaran, apakah di keramikan, begitu masyarakat sekitar menyebutnya, sudah ada yang berubah? Masyarakat menyebut keramikan karena tanah yang disirami air belerang itu mengeras dan berwarna kuning seperti keramik.

Bahkan daun-daun, dahan, dan serangga yang jatuh di sana berubah menjadi karang-karang putih. Seperti formalin, kandungan air di lokasi ini bisa mengawetkan makhluk mati yang jatuh di sekitarnya.

Kami memutuskan mengunjungi lokasi menggunakan ojek khusus. Ojek ini menggunakan sok khusus sehingga mampu melewati jalan licin, tanjakan, dan turunan tajam.

Dari perkampungan penduduk, kami berkendara sekitar satu jam. Ada empat sepeda motor yang bergerak menuju lokasi. Kami diantar oleh Pak Emed, warga setempat. Sebenarnya jarak lokasi tidak terlalu jauh, tapi jalan buruk membuat waktu tempuh menjadi lama. “Maaf ini Mbak, jalannya buruk, motornya ya cuma gini,” kata Pak Emed yang memboncengkan saya. Mungkin dia agak risi karena jalan sepeda motor kerap membuat tubuh tergoncang hebat.

“Enggak apa-apa Pak, sudah biasa,” ujar saya singkat membayangkan setiap hari naik sepeda motor butut berangkat kerja. Tidak jauh beda, setiap melewati jalan berlubang atau polisi tidur, badan saya bergoncang dengan kuat.

Perjalanan menggunakan sepeda motor harus berakhir di persawahan. Selanjutnya kami berjalan kaki sekitar 2 kilometer menyusuri pematang sawah. Dari sini bau belerang mulai menyengat. Berhektare-hektare sawah yang ditanami padi masih hijau. Tanah vulkanik merupakan berkah bagi masyarakat Sukamarga. Tanaman tumbuh sangat subur.

“Kok belum ada yang dibangun ya Pak? Kan katanya mau dijadikan sumber listrik?” Tanya saya kepada Pak Emed. Padahal, saya membayangkan di sekitar sumber panas bumi ini sudah ada patok-patok atau fondasi bangunan.

“Belumlah Mbak, mereka kan baru survei aja ke sini,” kata Pak Emed. Pantas saja, enam tahun lalu saya ke sini, tidak ada yang berubah, kecuali daerah keramikan-nya yang semakin luas. (RINDA MULYANI/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 Maret 2012

March 16, 2012

Pondok Baca Gelar Lomba Baca Puisi

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pondok Baca sebagai satu komunitas untuk meningkatkan apresiasi dan gemar membaca menggelar lomba membaca puisi. Kali ini lomba bertajuk Lomba Baca Puisi Pahlawan Rycko Menoza Awards untuk pelajar SMA se-Provinsi Lampung.

Ketua Pelaksana Syaiful Irba Tanpaka mengatakan lomba yang digelar untuk memeriahkan HUT Provinsi Lampung 2012 ini mengambil tema Kepahlawanan. "Tujuannya, meningkatkan apresiasi generasi muda terhadap nilai-nilai patriotisme dan nasionalisme."

Permintaan pengiriman peserta telah disampaikan kepada kepala-kepala sekolah di Bandar Lampung maupun kabupaten/kota lainnya.

Mengenai konteks memperebutkan trofi Rycko Menoza Awards, Syaiful menuturkan karena sebagai tokoh muda, Rycko mencatat raihan prestasi yang memiliki keteladanan bagi generasi setelahnya, baik sebagai ketua Pemuda Pancasila maupun ketua KNPI Lampung.

Bupati Lampung Selatan Rycko juga memiliki apresiasi dan kepedulian terhadap pengembangan seni budaya daerah dan semangat kebangsaan untuk mempertahankan NKRI sebagai harga mati.

Lomba digelar tanggal 17—18 Maret 2012 di Plaza Lotus, Bandar Lampung. Setiap juara akan mendapatkan hadiah uang Rp1 juta (juara I), Rp750 ribu (juara II), Rp500 ribu (juara III), dan Rp250 ribu untuk juara harapan I sampai harapan III.

Sementara untuk juara favorit dipilih berdasarkan SMS dengan hadiah dari Axis. Pendaftaran dibuka sejak 16 Februari sampai 16 Maret 2012, di Sekretariat Pondok Baca, Kompleks Pasar Seni, Jalan Sriwijaya Enggal, Bandar Lampung. Persyaratannya, pelajar SMA, membawa surat keterangan dari kepala sekolah, dan membawa kartu tanda pelajar yang masih berlaku.

Selain itu, membayar biaya pendaftaran sebesar Rp50 ribu dan mendapatkan kartu perdana Axis. Pendaftaran juga dapat dilakukan secara online dengan men-donwload formulir di www.syaifulirba.blogspot.com atau hubungi 08127919446.

Materi puisi yang disediakan panitia yaitu Kerawang Bekasi (Chairil Anwar), Dialog Bukit Kamboja (D. Zawawi Imron), Akar Pohon Tanah Airku (Dorotea Rosa Herliani), Pahlawan Tak Dikenal (Toto Sudarto Bachtiar), dan Dongenglah Buat Ind (Isbedy Stiawan Z.S.). (ZUL/K-2)

Sumber: Lampung Post, Jumat, 16 Maret 2012

March 12, 2012

Plagiarisme, Tragedi Pendidikan Kita

Oleh Udo Z. Karzi



SEORANG calon guru besar Univesitas Lampung (Unila)— sebelumnya disebutkan dua, tetapi kemudian diralat hanya satu—diindikasikan melakukan plagiat (Lampung Post, 9-10 Maret 2012). Sungguh ini tragedi yang memalukan dalam tradisi akademik perguruan tinggi. Wajar saja kalau Rektor Unila Sugeng P. Harianto mengatakan akan bertindak tegas terhadap calon guru besar yang terbukti menyontek karya ilmiah orang lain: dibatalkan menjadi guru besar!

Peristiwa ini belum lama berselang dari kehebohan plagiat tiga dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Ketiganya, nama mereka tidak disebutkan, tepergok menyontek naskah untuk promosi menjadi guru besar. Berdasar keputusan senat UPI, meskipun tidak dipecat, ketiga dosen diberi sanksi penurunan pangkat dan jabatan serta pembatalan promosi guru besar mereka.

Kalau melihat kasus-kasus tersebut, agaknya plagiarisme sebenarnya seperti puncak gunung es yang semakin lama semakin terbuka boroknya. Nyaris semua perguruan tinggi terkait dengan plagiat guru besarnya. Lihat saja daftar 21 perguruan tinggi yang disebut Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tersangkut praktek plagiarisme oleh (calon) guru besar: Unhas, Unand, UI, Unibraw, dan Unila. Berikutnya, Universitas Jambi, Unpad, Universitas Mataram, UNS, Unsamrat, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Universitas Udayana, dan USU. Lalu, Unipatti, Universitas Negeri Gorontalo, Unimed, Universitas Negeri Makassar, UPI, Universitas Negeri Surabaya, ITS, dan IPDN.

Tragedi Memalukan

Kasus plagiarisme (penjiplakan karangan) oleh guru besar merupakan tamparan bagi dunia pendidikan Indonesia. Jangankan oleh guru besar yang menjadi anutan tertinggi di dunia pendidikan, tindakan plagiarisme merupakan hal terlarang dan terkutuk dalam dunia kreatif (tulis-menulis misalnya). Lampung Post, misalnya, segera saja memasukkan ke daftar blacklist begitu seorang penulis diketahui melakukan plagiasi. Hal ini tak bisa ditawar karena orisinalitas dan kejujuran menjadi unsur terpenting dalam jagad intelektualitas.

Betapa gegernya ketika diketahui artikel Banyu Perwita, seorang dosen di Universitas Katolik Parahyangan, Jawa Barat, berjudul RI's defense tranformation yang diterbitkan di The Jakarta Post, 14 Juni 2009, ternyata hasil plagiat karya Richard A. Bitzinger yang berjudul Defense Transformasion and The Asia Pacific: Implication for regional Millitaries, yang diterbitkan di Asia-Pacific Center for The Security Studies Volume 3—No.7, Oktober 2004.

Sebelum 2000, betapa populernya Ipong S. Azhar sebagai kolumnis di berbagai media. Namun, kasus plagiarisme disertasinya menghancurkan semuanya dalam sekejap. Senat Universitas Gadjah Mada (UGM) akhirnya membatalkan gelar doktor Ipong S. Azhar. Disertasi Ipong ini mulai menjadi masalah setelah diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Radikalisme Petani Masa Orde Baru: Kasus Sengketa Tanah Jenggawah pada pertengahan 1999. Mochammad Nurhasim, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terkejut setelah membaca bab demi bab buku itu, karena isinya sama dengan skripsinya. Ia lalu menulis surat ke Senat UGM, sekaligus mengirim salinan skripsinya. Ia juga membuat surat terbuka ke berbagai media massa. Intinya, ia menuduh Ipong melakukan plagiat dan mendesak supaya gelar doktor kolumnis itu dicabut. Dan, keputusan final telah dijatuhkan pada 25 Maret 2000 dalam Forum Rapat Senat UGM yang dipimpin Ichlasul Amal, rektor UGM, dan dihadiri 102 anggota senat. Gelar doktornya dibatalkan.

Jalan Pintas

Dalam ilmu pengetahuan terdapat aspek-aspek etika yang kalau diterapkan dapat membentuk pribadi-pribadi yang jujur, disiplin, bertanggung jawab, dan sportif. Dengan mengetahui aspek etika dalam sains, dan mengajarkannya kepada peserta didik dapat membantu membentuk kepribadian. Bukankah mempelajari ilmu pengetahuan merupakan sebuah upaya untuk keluar dari ketidaktahuan, kebingungan, dan ketersesatan pikiran dan sebagai bentuk dari pencarian dari kebenaran? Sementara perguruan tinggi –terlebih guru besar—jelas merupakan institusi penting yang menjunjung tinggi tradisi akademik, budaya intelektualitas? Bukankah tradisi akademik dan budaya intelektual itu senantiasa berpegang teguh pada nilai-nilai kejujuran dan kebenaran?

Dalam satu dasawarsa terakhir ini, kita telah babak belur oleh beberapa kasus korupsi yang yang melanda negeri ini. Dan, kini kita pun menyaksikan betapa telah terjadi pula pembohongan publik dan korupsi intelektual dari kalangan perguruan tinggi. Padahal, perguruan tinggi selama ini masih dipandang sebagai institusi yang paling berkompeten saat berbicara soal kebenaran yang tercermin dari ilmu pengetahuan yang digeluti, tradisi intelektual yang dijalankan sivitas akademika, dan semangat membela nilai-nilai obyektivitas yang memancar dari kampus.

Penipuan saintifik (scientific fraud), yaitu usaha untuk memanipulasi fakta atau menerbitkan hasil kerja orang lain secara sengaja jelas merusak nilai-nilai objektivitas. Ilmuwan yang objektif dan melaporkan hasil pengamatan secara lengkap dan jujur tentu akan menghasilkan sains yang ideal. Selain itu, bermanfaat bagi masyarakat bila hasil penelitiannya (karya ilmiahnya) diimplementasikan.

Tapi, apa yang hendak dikatakan jika akademisi tanpa rasa malu dan mengambil jalan pintas mengaku karya ilmiah orang lain sebagai karya sendiri? Apa lacur ilmuwan jika lebih suka memalsukan karya ilmiah ketimbang melakukan riset dengan benar, jujur, dan objektif. Sebuah tragedi tak berdarah yang memukul peradaban sebuah bangsa ke titik nadir, saya kira. n

Udo Z. Karzi, tukang tulis

Sumber: Lampung Post, Senin, 12 Maret 2012

Disparbud Kosongkan Pasar Seni

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kota Bandar Lampung memberi tenggat sampai Minggu (11-3) agar penghuni Pasar Seni Enggal mengosongkan lokasi, sehingga Pemkot dapat segera melakukan renovasi.

"Jika sampai Senin (hari ini) mereka tidak juga mengosongkan pondokan Pasar Seni, terpaksa kami meminta Pol. PP untuk mengosongkannya. Rehabilitasi akan kami lakukan demi penggiat seni yang selama ini sudah membuat karya yang nyata," kata Kadis Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bandar Lampung M. Harun kemarin.

Menurut Harun, anggaran yang diberikan Dewan untuk kegiatan seni adalah berbasis kinerja. Artinya, apa yang telah dihasilkan dari pengelolaan Pasar Seni ialah untuk pembangunan daerah. "Kalau tidak ada hasilnya, Dewan tidak akan menyetujui anggaran yang kami minta."

Untuk itu, setelah renovasi dilakukan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan akan menswastanisasikan pengelolaan Pasar Seni Enggal agar ada pendapatan asli daerah (PAD) yang didapat.

Namun, kata Harun, pihaknya tetap melakukan pembinaan kepada penggiat seni di Bandar Lampung yang selama ini sudah memberikan karyanya. Misalnya, memberikan 30%—40% atau 10 dari 27 pondokan di Pasar Seni untuk kegiatan seni secara cuma-cuma.

"Dalam pengelolaan Pasar Seni, bukan hanya karya yang dihasilkan. Kami juga mengeluarkan dana lebih dari Rp30 juta/bulan untuk listrik, air, dan fasilitas lainnya. Saat kami minta, mereka (oknum penggiat seni) tidak mampu," kata Harun.

Selain merenovasi pondokan Pasar Seni, pihaknya juga akan membangun gerbang Pasar Seni yang berciri khas Lampung, agar ketika para wisatawan datang ke Bandar Lampung mereka langsung mengetahui kalau Pasar Seni Enggal adalah pusat informasi wisata, budaya, dan kesenian Lampung.

Dukung Renovasi

Sementara itu, dua penggiat seni senior Lampung, Isbedy Setiawan Z.S. dan Syaiful Irbatanpaka, mendukung langkah Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Bandar Lampung merevitalisasi Pasar Seni Enggal.

"Saya sudah lama berkoar agar segera dilakukan penataan Pasar Seni Enggal, tapi selama ini saya kurang mendapat dukungan. Kadang usulan saya berbenturan dengan kebijakan lain," kata Isbedy yang ditemui di Pasar Seni Enggal, Sabtu (10-2).

Menurut Isbedy, dia banyak menulis tentang sejarah Pasar Seni Enggal. Tujuan dari didirikannya pasar seni agar di Bandar Lampung ada pusat seni, budaya, dan wisata, serta merangkul semua penggiat seni. "Saya setuju dengan penataan ini. Toh, semua demi kepentingan pegiat seni juga."

Sedangkan Syaiful Irba Tanpaka menginginkan Pasar Seni Enggal seperti Pasar Citra di Banjarmasin, Pasar Klewer di Jakarta, dan Pasar Malioboro di Yogyakarta.

"Bukan seperti saat ini, dibilang pasar seni, tapi banyak orang malu ke pasar seni. Saya sangat mendukung langkah Dinas Pariwisata dan Kebudayaan untuk merevitalisasi pasar ini," kata dia. (KIM/K-1)

Sumber: Lampung Post, Senin, 12 Maret 2012

Sulaman Usus: Karya Aan Ibrahim Dipakai Miss Universe

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Busana khas Lampung, sulaman usus, kini mulai dikenal di tingkat nasional dan internasional. Sehingga, hasil karya putra-putri terbaik Provinsi Lampung (Aan Ibrahim dan Rahayu) mendapat penghargaan dari Museum Tekstil Indonesia sebagai salah satu warisan budaya Nusantara yang harus dilestarikan.

"Ini penghargaan yang sangat surprise bagi Bandar Lampung. Terlebih, sulaman usus yang dihasilkan perajin adalah binaan Dekranasda Kota Bandar Lampung," kata Ketua Dekranasda Kota Bandar Lampung Eva Dwiana Herman H.N. kemarin.

Sulaman usus rancangan Aan Ibrahim sebenarnya sudah lama dikenal. Bahkan, Putri Indonesia tahun 2006 Agni Pratistha memakai baju sulaman usus karya Aan Ibrahim saat menerima mahkota putri kecantikan itu.

Yang lebih membanggakan, Miss Universe 2006 dari Poerto Riko, Zulyka Rivera, juga mengenakan busana yang sama saat menyematkan mahkota kepada pemenang Putri Indonesia saat itu.

"Prestasi ini yang harus kita pertahankan agar ke depan sulaman usus dan tapis Lampung menjadi pakaian wajib di ajang nasional apa pun. Bila perlu, kita terus promosi ke tingkat dunia," kata Eva.

Menurut dia, sebenarnya tidak hanya sulaman usus yang masuk Museum Tekstil Indonesia, tapi juga ada tapis yang lebih dulu sudah dikenal banyak orang, baik nasional maupun internasional. "Tapi, kita patut bangga, hasil kerja keras Dekranasda mempromosikan sulaman usus ke tingkat nasional dan internasional kini membuahkan hasil," ujar dia. (VER/K-2)

Sumber: Lampung Post, Senin, 12 Maret 2012

March 11, 2012

[Perjalanan] Sepanjang 27,01 Km Teluk Lampung

HAWA lautan Teluk Lampung tidak terlalu panas, cukup cerah. Matahari nyaman bersembunyi dalam dekapan awan. Suasana seperti itu sangat asyik untuk menelusuri pesisir Bandar Lampung.






Dengan perahu kecil bertenaga 16 pk, perjalanan mengelilingi pesisir Bandar Lampung dimulai dari daerah Kecamatan Panjang, tepatnya di dekat kilang milik Pertamina. Sebanyak 15 wartawan dan beberapa aktivis NGO lingkungan, Mitra Bentala, dan beberapa anak buah kapal naik dalam satu kapal suatu siang pekan lalu.

Saat naik dari kapal pemandangan yang menjadi pusat perhatian berupa sampah-sampah yang mengambang di pantai. Air pantai pun agak
kehitaman.

Mengelilngi pesisir Bandar Lampung ini bukan agenda wisata. Hanya menyaksikan kebersihan pantai. Pemkot Bandar Lampung memang belum menjadikan berkeliling pesisir menjadi kegiatan wisata.

Bandar Lampung memiliki hamparan pesisir yang cukup panjang. Membentang dari Lempasing hingga Srengsem yang panjangnya 27,01 km. Teluk Lampung yang berada di Kota Tapis Berseri dikenal dengan bentang alam yang indah karena dikeliling bukit. Pemandangan ini sangat terlihat ketika berada di atas kapal.

Perbukitan mengelilingi pesisir. Sayang, bukit yang menjadi mitigasi alam ini dihancurkan oleh manusia. Seperti yang terlihat di Bukit Kunyit yang hampir sebagian sudah hancur. Bukti di pinggir pantai bisa menjadi pelindung bila terjadi tsunami.

”Sudah lama para aktivis lingkungan menolak penghentian penambangan batu di Bukit Kunyit, tapi terus saja jalan sampai sekarang,” kata aktivis Mitra Bentala, Supriyanto.

Sebetulnya, pesisir Bandar Lampung lebih bagus ketimbang Pantai Losari, Makassar. Hal ini diakui pada saat pengkajian water front city (WFC) Bandar Lampung oleh beberapa ahli. Keunggulan pesisir Bandar Lampung adalah bukit-bukit yang menjulang tinggi bak penjaga pantai.

Topografi pesisir pun sangat unik karena bentuknya menyerupai tapal kuda, atau seperti pantai yang berbentuk huruf ”U”. Topografi pantai ini tidak ditemukan di daerah lain.

Saat berada di perairan wilayah Panjang, banyak sekali kapal-kapal besar yang bersandar. Perahu kami pun harus berlayar tepat di samping kapal-kapal raksasa yang sedang berlabuh.

Menurut salah satu ABK, banyaknya kapal di perairan Panjang karena menunggu giliran untuk berlabuh di Pelabuhan Panjang. Kapal besar ini terkadang menunggu berhari-hari untuk bisa masuk ke pelabuhan. ”Kapal itu lagi pada ngetem sebelum masuk ke Pelabuhan Pelindo,” kata dia.

Perjalanan lewat laut begitu dekat dengan kilang Pertamina dan Pelabuhan Panjang. Kita dapat menyaksikan langsung bagaimana aktivitas pelabuhan internasional ini. Alat-alat pelabuhan, seperti jib crane, untuk mengangkat peti kemas dari kapal, begitu dekat.

Pemandangan berlanjut dengan melihat perkampungan nelayan tradisional, seperti Pulau Pasaran, Keteguhan, dan Bumi Waras. Kapal-kapal nelayan berbaris bersandar di pantai. Rumah-rumah yang berdiri di atas pantai masih banyak terlihat. Sampah menumpuk menjadi pelengkap dan simbol keberadaan daerah nelayan.

Aktivis Mitra Bentala, Mashabi, menuturkan sampai pesisir sudah mulai berkurang melalui program bersih pantai yang dilakukan gabungan LSM lingkungan dengan Pemkot. Ribuan karung sampah berhasil diangkut dari pantai.

Sampah juga masih terlihat di jalur yang kapal kami lalui. Sampah plastik mengambang dan membentuk pola garis melingkar-lingkar. Sampah ini seperti berbaris rapi dari pinggir pantai hingga beberapa ratus meter ke tengah laut.

Sampah inilah yang membuat kapal macet beberapa kali. ”Sampah menyangkut di baling-baling kapal,” kata seorang ABK. Dia pun langsung turun dan menyelam untuk membersihkan sampah di baling-baling.
Banyaknya sampah ini membuat ABK harus beberapa kali menyelam dan membersihkan baling-baling dari sampah. ABK yang lain pun harus mengengkol untuk menghidupkan kapal kembali.

Sampah inilah yang terasa mengganggu perjalanan. Naik kapal dari Panjang ke Lempasing memerlukan waktu hingga satu jam lebih.

Pemandangan yang tidak kalah mewah adalah pulau-pulai kecil yang ada di sekitar Teluk Lampung. Pulau yang sangat jelas dan dekat adalah Pulau Kubur. Pulau kecil yang tidak berpenghuni ini memang menjadi daerah wisata dari pesisir Bandar Lampung.
Tempat wisata lain yang dilalui adalah Pantai Puri Gading dan Pantai Duta Wisata. Kedua pantai ini memang berdekatan. Pondok-pondok

sekitar pantai berjajar rapi. Beberapa pondok ditempati oleh pengunjung pantai yang sedang bersantai.

Teluk Lampung masih menyimpan populasi tumbuhan mangrove. Letaknya di dekat Pantai Puri Gading. Namun, belum ada upaya pelestarian mangrove oleh Pemkot Bandar Lampung.

Pantai dengan panjar mencapai 27 km ini ternyata tidak ramah lagi bagi nelayan dan orang yang suka memancing. Sepanjang perjalanan, kami menemukan hanya ada dua kapal nelayan kecil yang sedang memancing.
Teluk Lampung hampir tidak memiliki ikan karena rusaknya ekosistem pantai. Nelayan di pesisir Bandar Lampung harus berlayar hingga puluhan kilometer dari Teluk Lampung untuk mencari ikan.

Perjalanan kembali ke Panjang sudah hampir sore, pukul 14.00 lebih. Rasa lapar memang tidak bisa dikompromikan. Beruntung salah satu warga di Panjang Selatan, Rini, sudah menyiapkan. Nasi panas, ikan asin, tempe goreng, sayur asam, dan aneka lalapan. Suasana siang yang lumayan panas menambah selera makan. Bahkan, seorang wartawan radio menambah nasi hingga tiga kali.
Ikan asin yang disuguhkan begitu mantap. Tapi yang pasti ikan itu bukan dari Teluk Lampung. (PADLI RAMDAN/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 11 Maret 2012 06:16

March 10, 2012

Pustaka: Gubernur Luncurkan Dua Buku Sekaligus

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Dua buku terkait Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. diluncurkan di Hotel Novotel, Bandar Lampung, Sabtu (17-3) malam.

Kedua buku yang ditulis wartawan Lampung Post Hesma Eryani tersebut berjudul Inspirator Tanpa Kultus: Biografi Sjachroedin Z.P. dan Lampung Kemarin, Hari Ini, dan Esok: Refleksi 8 Tahun Pemerintahan Sjachroedin Z.P.

Selain undangan umum, dia juga mengundang sejumlah rekan-rekannya sesama mantan polisi, antara lain 25 berpangkat jenderal purnawirawan dan 25 purnawirawan perwira menengah.

Menurut Sjachroedin, penulisan biografi semata merekam jejak perjalanan hidupnya mulai dari masa kanak-kanak hingga hari ini. Catatan ini diharap menjadi dokumentasi, apalagi pada kenyataannya sulit mencari dokumentasi dari Gubernur Lampung sebelumnya. "Mudah-mudahan buku ini memberi manfaat dan mampu menginspirasi para pembaca."

Sedangkan buku Lampung Kemarin, Hari Ini, dan Esok selain menggambarkan perjalanan pemerintahan selama 8 tahun, juga menjaring berbagai pendapat masyarakat atas pelaksanaan pembangunan maupun yang akan datang.

"Pendapat dan pandangan masyarakat akan menjadi masukan bagi saya dan jajaran dalam menjalankan pemerintahan, termasuk di sisa dua tahun pemerintahan saya. Jadi, tak ada niat ria atau maksud menyombongkan diri," kata Gubernur.

Menurut Hesma, penulisan buku biografi menghabiskan waktu hampir 9 bulan. Selain melakukan diskusi dengan banyak pihak, dia juga melakukan riset, khususnya riset pustaka dan wawancara dengan narasumber terkait. Hesma juga mengikuti dan merekam berbagai kegiatan Sjachroedin, baik di Lampung, luar Lampung, dan luar negeri.

"Meskipun subjektivitas saya sangat mungkin masuk, tapi saya berupaya menggunakan pendekatan secara profesional."

Menurut Hesma, banyak sisi positif dari buku ini. Rekam jejak seorang Sjachroedin sangat layak dijadikan referensi bagi siapa saja. "Beliau memiliki sikap moral yang jelas. Karakternya sangat kuat. Itu sesuatu yang sangat jarang dimiliki para pemimpin."

Buku ini juga mengungkapkan sisi filosofis atas berbagai keputusan penting dalam kebijakannya sebagai gubernur. Selain itu, terungkap banyak peran penting Sjachroedin dalam perjalanannya di negara ini, khususnya ketika negara dalam situasi genting lantaran Presiden Gus Dur akan mengeluarkan Dekrit Presiden yang berakhir dengan tergulingnya Gus Dur dari kursi presiden RI.

"Saya kira itu catatan penting dalam sejarah republik ini dan layak diketahui banyak orang termasuk generasi mendatang," kata Hesma.

Selain dua buku ini, pada tahun lalu Hesma juga menulis buku Jejak Langkah Si Anak Desa; Biografi Prof. Ir. H Machmud Hasjim, M.M.E. (mantan Rektor Unsri) dan menulis teks buku Profil Investasi Lampung. (KIM/K-1)

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 10 Maret 2012

Patung ZAP: Gubernur Tak Mau Kalah dengan Orang Tuanya

KALIANDA (Lampost): Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. menyatakan akan membuka akses jalur penerbangan Lampung—luar negeri melalui Bandara Radin Inten II pada 2012 ini. Dia tidak mau kalah dengan apa yang telah diperbuat mantan Gubernur Lampung yang juga orang tuanya, Zainal Abidin Pagaralam (ZAP) berjuang untuk memajukan Lampung.

Pernyataan itu dikatakan Gubernur saat meresmikan patung ZAP di jalur dua, persisnya depan jalan lintas Sumatera (Jalinsum), Jumat (9-3) malam. "Beliau (ZAP, red), telah memprakarsai pembangunan Pelabuhan Bakauheni, Bandara Radin Inten II, Unila, dan Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek (RSUDAM) Bandar Lampung. Kini saya juga telah berbuat untuk Lampung. Karena, kini orang bisa melihat dengan berdirinya Menara Siger sebagai ikon Lampung yang ada di Bakauheni," ujarnya.

Menurut Sjachroedin, masyarakat Lampung tidak boleh melupakan sejarah. Patung Zainal Abidin Pagaralam dibangun bukan untuk diagung-agungkan, melainkan bukti kepedulian pemerintah terhadap jasa-jasanya yang telah membangun Lampung hingga seperti saat ini.

Selain itu, kata Sjachroedin, pembangunan patung Zainal Abidin Pagaralam bukan karena kebetulan cucunya Rycko Menoza S.Z.P. sebagai Bupati Lampung Selatan dan anaknya Sjachroedin Z.P. sebagai Gubernur Lampung. Namun, ini kehendak Tuhan.

"Jadi, kita tidak boleh melupakan sejarah dan jasa-jasa ZAP. Untuk membuktikan adanya sejarah perjuangan ZAP, kini masih ada saksi hidupnya. Silakan boleh ditanya kepada sahabat beliau, yakni Zahidin Muchtar, warga Kalianda," kata dia.

Gubernur berharap patung ini dapat memberikan semangat kita ke depan untuk membangun Lampung, khususnya Kabupaten Lampung Selatan. "Atas berdirinya patung ZAP ini, saya mengucapkan terima kasih kepada para tokoh masyarakat, anggota DPRD, dan para pejabat di Kabupaten Lamsel yang telah ikut membantu berdirinya patung ZAP ini. Selain itu, saya juga berterima kasih kepada tim penulis buku sejarah ZAP," kata Gubernur.

Pemantauan Lampung Post, suasana peresmian patung Zainal Abidin Pagaralam cukup meriah. Apalagi, acara itu dipandu pembawa acara artis Ibu Kota Anya Dwinov.

Acara juga dimeriahkan dengan penampilan tarian khas Lampung asal Sanggar Tari Beringinraya binaan Ketua Penggerak PKK Lamsel Pitka R. Menoza dan penampilan siswi SDN 1 Way Urang yang membacakan puisi tentang perjuangan anak negeri, yang telah menjadikan Lampung bisa maju seperti saat ini. (TOR/U-2)

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 10 Maret 2012

March 8, 2012

Seniman Dukung Renovasi Pasar Seni Enggal

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pelaku seni di Pasar Seni, Enggal, Bandar Lampung, mendukung rencana Pemkot Bandar Lampung yang akan merevitalisasi pusat kesenian itu. Menariknya, penataan tersebut adalah kebijakan yang telah ditunggu-tunggu para seniman.

Seperti diketahui, Pemkot akan melakukan penataan dan penertiban penghuni pondokan di Pasar Seni. Renovasi Pasar Seni Enggal akan mulai dilakukan pada 10 Maret.

Pembenahan yang diproyeksikan untuk mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD) sekaligus lebih menghidupkan pusat kesenian dan UMKM di kawasan tersebut.

Langkah penataan itu mendapatkan sambutan positif dari pelaku seni penghuni Pasar Seni Enggal. Meskipun di satu sisi mereka meminta kepastian Pemkot jika renovasi sudah dilakukan.

Menurut Rudi, pelaku seni musik, pihaknya mendukung rencana Pemkot dengan sepenuh hati. Dia mengatakan kebijakan Pemkot yang ingin merenovasi dan menertibkan penghuni Pasar Seni adalah kebijakan yang ditunggu-tunggu seniman.

"Mengapa kami menunggu kebijakan seperti ini, karena kami pun ingin memajukan Pasar Seni. Sekaligus memajukan kesenian di Kota Bandar Lampung yang selama ini mati suri," kata dia, Rabu (7-3).

Rudi menegaskan kebijakan Pemkot harus didukung sebab penataan Pasar Seni merupakan salah satu terobosan atau perubahan demi perbaikan kesenian ke depan. Mengingat, jika Pasar Seni ramai, pelaku seni juga akan mendapatkan keuntungan.

Ia berharap sebelum Pemkot melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata menata pasar seni, pihaknya bersama para seniman yang menghuni Pasar Seni turut diperhatikan.

"Ke depan kami akan ditempatkan di mana, apakah kami masih diperbolehkan menghuni pondokan Pasar Seni. Semuanya harus jelas sehingga kami sebagai seniman bisa terus berkarya tanpa ada rasa khawatir," kata dia. (VER/K-2)

Sumber: Lampung Post, Kamis, 8 Maret 2012

March 7, 2012

Pameran Kain Tradisional Lampung di Museum Tekstil

Oleh Raditya Helabumi Jayakarna & Robert Adhi Ksp


JAKARTA, KOMPAS.com - Beragam kain tradisional Lampung dipamerkan dalam "Pameran Wastra Lampung: Warisan Budaya Melintas Zaman" di Museum Tekstil Jakarta, Rabu (7/3/2012).



Pameran Kain Tradisonal Lampung di Museum Tekstil (Raditya Helabumi Jayakarta/KOMPAS)

Pameran yang digelar atas kerjasama Museum Tekstil Jakarta dan Himpunan Perajin Kain Tapis Lampung dan Lampung Sai ini untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kain tradisional Lampung.

Saat pembukaan pameran juga dimeriahkan dengan peragaan busana kombinasi kreasi kain tapis lampung dan ulam usus.

Tapis merupakan kain berbentuk selongsong yang dikenakan wanita Lampung yang ditenun dengan lajur lajur berwarna sepanjang kain. Pameran ini akan berlangsung hingga 14 Maret 2012.

Sumber: Oase, Kompas.com, Rabu, 7 Maret 2012
|

March 5, 2012

200 Bahasa Daerah Terancam Punah

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak warisan budaya, termasuk bahasa daerah. Lebih dari 750 bahasa daerah berada di Indonesia, tapi sekitar 200 bahasa terancam punah karena penuturnya tidak lebih dari 500 orang.

Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unila Bujang Rahman mengatakan hal itu pada pembukaan lokakarya Penelitian dan Penulisan Akademik di Aula K FKIP Unila, Sabtu (3-3). Hadir dalam acara tersebut Ketua Masyarakat Lingusitik Indonesia (MLI) Pusat Faizah Sari, Wakil Ketua MLI Rindu Parulian, dan Tim MLI Pusat Bambang Kaswanti.

Selain untuk mengadakan workshop, kedatangan Tim MLI Pusat ke Unila untuk membicarakan penyelenggaraan Kongres Internasional MLI yang akan diadakan di Unila pada 2014 mendatang. “Unila akan menjadi tuan rumah acara bertaraf internasional yang diadakan setiap 2 tahun ini,” kata ketua MLI Lampung Cucu Sutarsyah.

Workshop yang dihadiri dosen, mahasiswa, dan peneliti ini bertujuan mengembangkan kualitas penelitian bahasa dan keterampilan menulis akademik untuk publikasi ilmiah. “Pelatihan ini adalah upaya mendukung peneliti lokal dan meningkatkan keterampilan menulis para peneliti,” ujar Cucu.

Menurut Bambang, dalam lokakarya ini peserta diajar mengolah data sampai menjadi karya ilmiah, sehingga dapat mengangkat hal menarik dari penelitian yang dibuatnya. “Saat ini banyak peneliti yang mengalami kesulitan mengolah data, padahal mereka sudah memiliki cukup data,” kata Bambang.

Terkait dengan Indonesia yang memiliki beragam bahasa daerah, Bambang menilai hal ini sebagai tantangan untuk dapat melestarikan kekayaan budaya tersebut. Usaha melestarikan bahasa dapat dilakukan melalui penelitian bahasa.

“Saya mendapat informasi bahwa bahasa Lampung merupakan salah satu bahasa yang terancam punah.” Menurutnya, banyak potensi yang dapat dimanfaatkan masyarakat Indonesia untuk melestarikan bahasa daerahnya, salah satunya melalui kawin campur.

Suami-istri yang menikah dan berasal dari suku berbeda memiliki potensi melestarikan bahasa daerahnya lebih besar dengan mengajarkan bahasa daerah masing-masing kepada anak. “Misalnya, ayahnya Batak dan ibunya Manado, ayah dan ibu dapat mengajarkan kedua bahasa tersebut kepada anak mereka,” ujar dia.

Sayangnya, keluarga yang kawin campur justru lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia untuk bercakap-cakap kepada anaknya, padahal bahasa Indonesia pasti akan dimengerti anak melalui pergaulan sehari-harinya.

Menurutnya, anak yang diajari banyak bahasa justru akan memiliki kecerdasan yang lebih tinggi dibanding anak yang hanya diajarkan satu bahasa, terutama usia sebelum sekolah. Pasalnya, masa tersebut merupakan masa emas bagi seorang anak sehingga orang tua dapat memanfaatkan masa ini untuk mengajar banyak bahasa kepada anak, termasuk bahasa daerah.

Terkait dengan Kongres Internasional MLI, Ketua MLI Faziah menjelaskan kongres ini akan dihadiri peneliti linguistik baik dari seluruh Indonesia maupun dari berbagai negara seperti Amerika Serikat, Australia, dan negara lain dari Asia Tenggara.

Terdapat sidang pleno dan paralel yang di dalamnya membahas berbagai hasil penelitian linguistik. Hasil kongres tersebut dimasukkan Jurnal Linguistik Indonesia yang terbit 2 kali setahun dan sudah memiliki versi online. (MG4/S-3)

Sumber: Lampung Post, Senin, 5 Maret 2012