November 29, 2012

Teater: KoBer Kembali Pentaskan 'Dayang Rindu'

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Komunitas Berkat Yakin (KoBer) kembali mementaskan “The Song of Dajang Rindoe” di Taman Budaya Propinsi Lampung, Sabtu & Minggu, 1-2 Desember 2012, pukul 14.00 WIB.

Sutradara Dayang Rindu, Ari Pahala Hutabarat mengatakan, melalui program Fasilitasi Kegiatan Kesenian dalam Negeri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia menggandeng Komunitas Berkat Yakin (KoBer) untuk menggelar pementasan teater di Provinsi Lampung.


November 25, 2012

Mamak Kenut, Refleksi Ketulusan dari Lokal

Oleh Selvi Diana Meilinda 


1353818133343707317
“lagi api guwaimu?”

“lagi ngebaca Mamak Kenut”

“api? Mamak Inut? Na, geguwai nunggu langkut da ano.”[i]

Dari warahan Among Ajjong (Nenek Kakek), sejak kecil saya sangat familiar dengan sosok imajiner bernama Mamak Inut yang mungkin sampai sekarang masih saja cepupput nunggu langkut (duduk melamun menunggu kerak nasi), sebuah istilah untuk hal yang tidak produktif.


[Lentera] Mandiri lewat Penerbitan Indie

PENERBITAN buku bisa menjadi bisnis yang cukup menjanjikan. Namun, bisnis ini tidak melulu soal untung rugi, ada tanggung jawab dalam memajukan dunia kepenulisan.

Beberapa anak muda mencoba mengambil peluang dalam bisnis penerbitan buku. Dengan mengusung bendera Indepth Publishing, mereka membantu para penulis-penulis di Lampung untuk bisa berkarya dengan menghasilkan buku.


[Fokus] Membina Kesenian Harus Kontinu

SASTRA lisan dan alat musik tradisional Lampung bisakah terkenal dan mendunia? Bila membandingkan dengan alat musik angklung yang sudah dikenal luas di dunia internasional, alat musik tradisional Lampung memang belum berkibar.

Pada awal 2012, memang sempat ada perhelatan memecahkan rekor Muri untuk kategori memainkan gamolan. Gamolan atau cetik, alat musik yang terbuat dari bambu ini coba diperkenalkan ke nasional dan mancanegara.


[Fokus] Mengenalkan Seni Tradisi Lampung

KESADARAN akan seni tradisi Lampung mulai ditumbuhkan kepada generasi muda. Ini harus mendapat dukungan kontinu, bukan sekadar menjelang event lomba.

Belasan pelajar SMPN 22 Bandar Lampung berlatih memainkan musik tradisional Lampung. Suara dari gamolan, talo balak, dan gambus lunik berpadu mengiringi tari. Di bagian lain ada siswa yang berpantun bahasa Lampung sebagai bagian dari pengiring tari.


[Fokus] Senjakala Sastra Lisan Lampung

BERBAGAI seni budaya Lampung mendapat apresiasi tinggi di luar. Namun, kita sang pemilik tidak memberi perhatian.

Humaidi Abbas menggendong Ilyas muncul di panggung dalam satu gedung pertemuan di Jakarta. Di hadapan mereka, duduk seniman-seniman dari berbagai negara yang sedang menghadiri acara sastra internasional.


November 23, 2012

Memahami Konflik Lampung dari Sisi Lain

Oleh Sudjarwo


BERDASARKAN hasil rekam jejak sejarah yang ada, ternyata di Provinsi Lampung sejak secara resmi program kolonisasi dikenalkan pada 1905, belum pernah ada kejadian konflik seperti halnya peristiwa Oktober 2012.

Peritiwa yang ada hanya bersifat individual, tidak sampai menyulut melibatkan banyak orang. Peristiwa itu sendiri dapat diselesaikan dengan kerangka adat yang memang ada ruang yang disediakan oleh para pemangku adat lampung.


November 22, 2012

Udo Z. Karzi Juara I Resensi Nasional

RAJABASA (Lampost): Udo Z. Karzi, wartawan Lampung Post, meraih juara pertama pada lomba resensi buku The Secret of Biography: Rahasia Menulis Biografi ala Ramadhan K.H. Lomba resensi buku ini sebagai upaya menyebarluaskan warisan pengetahuan dan pengalaman almarhum Ramadhan K.H. (wartawan, sastrawan, dan biograf) kepada masyarakat luas.

Penyelenggara Lembaga Studi Biografi Ramadhan K.H. Institute membuka kesempatan secara terbuka bagi pelajar, mahasiswa, wartawan, penulis, dan masyarakat umum untuk mengikuti lomba. Ketua Lembaga Studi Biografi Ramadhan K.H. Institute Zulfikar Fuad mengatakan pemenang lomba merupakan peserta dengan tulisan terbaik.


November 20, 2012

Buku Jurnalisme Damai Lampung Segera Terbit

ALIANSI Jurnalis Independen Bandarlampung dan Indepth Publishing berencana pada Desember 2012 menerbitkan buku berisi hasil liputan dan analisis konflik sosial serta perdamaian di Lampung Selatan dalam perspektif jurnalisme perdamaian (peace journalism).

Managing Director Indepth Publishing, Tri Purna Jaya di Bandarlampung, Senin, menjelaskan buku ini merupakan kumpulan liputan para jurnalis dan juga analisis dari akademisi terkait konflik dan perdamaian di Lampung Selatan.


November 19, 2012

Semua Etnis Harus Pahami Budaya Lampung

Oleh Andi Ahmad Sampurna Jaya


MENELISIK pecahnya konflik horizontal di Lampung akhir-akhir ini, sangat memprihatinkan kita semua. Apalagi konflik etnis hanya disebabkan kesalahpahaman belaka, bukan karena persoalan yang prinsip. Kondisi ini sangat mengganggu hubungan antarkekerabatan dan persaudaraan beda suku dan agama dalam koridor NKRI.

Kita semua sepakat apa pun suku dan agama, baik asli maupun pendatang, mengaku sebagai warga Lampung. Apalagi kita hidup dan berkeluarga, serta membangun ?Bumi Lada? dengan segala pengorbanan kita untuk meraih kesejahteraan dan kemakmuran bersama.


"Terasing di Negeri Sendiri" Siap Dibedah di Malaysia

BUKU "Terasing di Negeri Sendiri" edisi kedua karya Oki Hajiansyah Wahab, mahasiswa program master hukum dari Fakultas Hukum Universitas Lampung yang juga Pengurus Aliansi Jurnalis Independen Bandarlampung, siap diluncurkan sekaligus dibedah di Malaysia.

Menurut Managing Director Indepth Publishing, Tri Purna Jaya sebagai pihak penerbit buku yang menggambarkan perjuangan warga Moromoro di Mesuji, Lampung, untuk mendapatkan hak atas akses lahan dan konstitusional sebagai warga negara yang sah, di Bandarlampung, Senin, pihaknya berupaya terus mengembangkan jangkauan dan kerja sama dalam penerbitan dan distribusi buku tersebut hingga ke mancanegara.


November 18, 2012

[Perjalanan] Gedungmeneng, Uniknya Kampung Tua

KAMPUNG Gedungmeneng, Tulangbawang. Kampung tua di pinggir Way Tulangbawang ini dipercaya sebagai serpihan Kerajaan Tulangbawang.

Tidak ada lintasan darat lain untuk sampai ke kampung etnik ini, kecuali melewati jalan kebun tebu sejauh 52 kilometer dari Menggala. Untuk menuju kampung ini cukup menantang. Jalan tanah keras itu dikurung debu saat panas dan becek licin saat hujan.

November 11, 2012

Penghormatan kearifan lokal

Oleh Syahran Lubis

TULISAN ini saya buat ketika perdamaian telah diikrarkan oleh warga Lampung bersuku Bali dan non-Bali. Janji itu diharapkan mengakhiri pertikaian yang menewaskan 14 orang di Lampung Selatan, Lampung.

Keterangan waktu “ketika perdamaian telah diikrarkan” menjadi penting demi meminimalkan kemungkinan keliru makna atas apa yang saya tulis, yang mungkin terjadi jika permusuhan masih dikumandangkan.


Ketegangan antara Teks dan Keaktoran

Meskipun bukan hal baru, tetap saja timbul "rasa asing" menyaksikan pembacaan naskah drama (dramatic reading). Ini terjadi karena ketegangan antara teks dan keaktoran.

LAKON RUANG PUTIH. Pembacaan lakon Ruang Putih karya Rangga Riantiarno oleh Komunitas Berkat Yakin (Kober) dalam rangkaian Festival Pembacaan Naskah Lakon 2012 di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Universitas Lampung, Kamis (8-11). FOTO: ISTIMEWA

SELAMA dua hari, penonton menyaksikan pembacaan naskah lakon Perempuan dari Masa Lalu karya Roland Schimmelpfennig (Jerman) oleh Teater Gidag-Gidig (Solo) dalam dua kali kesempatan tampil, 8 dan 9 November; lalu Ruang Putih karya Rangga Riantiarno oleh Komunitas Komunitas Berkat Yakin (Kober), Kamis (8-11), dan Keluarga-Keluarga Bahagia karya Ann Lee (Malaysia) oleh Teater Satu.


[Buku] Ekspresi Religiositas Nelayan


Data Buku

Agama Nelayan, Pergumulan Islam dengan Budaya Lokal

Dr. Arifuddin Ismail

Pustaka Pelajar, Yogyakarta

I, Juni 2012

xvi+242 halaman,


LAUT bagi nelayan tidak hanya menyimpan rezeki yang melimpah, tetapi juga bahaya yang bisa mengancam keselamatan. Bagi mereka, laut juga dipercaya memiliki kekuatan gaib yang memberikan efek ganda kepada seorang nelayan. Rezeki yang melimpah di satu sisi, dan bahaya di sisi yang lain.

Kepercayaan nelayan terhadap adanya kekuatan gaib di laut didasari oleh cara mereka merefleksikan pengalaman empiriknya. Ketika terjadi nahas atau musibah di laut, atau ketika sebaliknya mendapat ikan yang banyak, peristiwa itu tidak dilihat dan ditempatkan sebagai peristiwa alam semesta, tetapi dimaknai sebagai adanya campur tangan makhluk-makhluk gaib di laut. Keyakinan inilah yang menjadi titik tolak pelaksanaan ritual bagi nelayan.


[Perjalanan] Menilik Kali Biru di Way Kambas

TAMAN Nasional Way Kambas (TNWK) memiliki keindahan alam yang luar biasa. Selain tempat Pusat Latihan Gajah (PLG), hutan alamnya yang perawan begitu menakjubkan.

Mungkin Anda sering memasuki kawasan Pusat Latihan Gajah (PLG), tempat latihan gajah-gajah jinak yang "dijual" sebagai pertunjukan rekreasi untuk melihat atraksi gajah. Namun, bagi Anda yang hobi melihat panorama keindahan hutan, Kali Biru, bantaran sungai liar yang berada di kawasan TNWK, adalah surga lain di dunia.


[Refleksi] Lampung (2)

Oleh Djadjat Sudradjat


ORANG-ORANG kuat selalu percaya pada potensi diri sendiri. Orang lemah bahkan tak percaya pada diri sendiri dan tak berani berharap. Orang optimistis percaya pada diri sendiri dan harapan. Karena itu terus menggali potensi diri, mempraktekkannya dalam laku hidup, dan tak jemu terus melafalkan doa. Sebab, harapan bisa jadi sugesti.

Hari depan Lampung seperti juga Indonesia, adalah bergantung pada mereka yang percaya pada harapan itu. Sebab, ia niscaya. Ia akan hadir. Kecuali kiamat benar-benar terjadi seperti ramalan suku Maya, kiamat bakal hadir di pengujung tahun ini, bolehlah kita mengubur harapan akan masa depan itu.


[Wawancara] Hartoyo: Petakan Wilayah Konflik

KERUSUHAN antarkampung di Lampung terus terjadi. Tragedi Lampung Selatan pada 27?29 Oktober lalu belum dingin, konflik di Lampung Tengah menyusul.

Catatan kerusuhan di Lampung yang lebih spesifik disebut kerusuhan antarkampung sangat panjang. Kerusuhan di Lampung Selatan menjadi yang terparah karena menyebabkan 12 orang meninggal, belasan orang luka, dan ratusan rumah dibakar.


November 9, 2012

Tokoh Adat Sepati Gelar Pesta Perdamaian Massal

KALIANDA -- Sejumlah tokoh adat dari Bali dan Lampung di Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung menyambut baik adanya pesta adat untuk perdamaian secara massal  untuk mempererat tali persaudaraan dan menghindari bentrokan terulang kembali.

"Kedamaian merupakan harga mati untuk kita semua oleh karena itu tidak ada tawar-menawar dan harus segera diwujudkan bersama," kata salah satu Tokoh Adat Lampung, Safrudin, di Desa Balinuraga, Waypanji, Lampung Selatan, Jumat.


Rektor Unila Ingatkan Dosen Hindari Plagiarisme

REKTOR Universitas Lampung Prof Dr Ir Sugeng P Harianto MS mengapresiasi peluncuran 40 buku karya akademisi Fakultas Hukum, dan mengajak dosen perguruan tinggi itu untuk menulis tetapi harus menghindari plagiarisme.

"Plagiarisme itu ialah kuburan bagi akademisi yang harus dicegah jangan sampai dilakukan, serta harus diberantas," kata Sugeng, di ruang sidang Fakultas Hukum Unila, di Bandarlampung, Jumat.


November 7, 2012

DKL Programkan Sastrawan ke Sekolah

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung (DKL) akan menunjuk sastrawan untuk mengunjungi sekolah di beberapa kota/kabupaten di Provinsi Lampung, mulai pertengahan November 2012.

Kegiatan bertajuk Sastrawan Mengunjungi Sekolah ini dimaksudkan memperkenalkan para pelajar kepada sastrawan nasional asal Lampung. "Pertemuan itu akan diisi diskusi, workshop, dan pembacaan karya sastra oleh sastrawan," kata Arman A.Z., pelaksana kegiatan ini.

Arman menjelaskan kali ini DKL menjemput bola dengan menghadirkan sastrawan ke sekolah-sekolah di kota/kabupaten di Provinsi Lampung. "Program untuk tahun ini, kota/kabupaten yang kami kunjungi adalah Metro, Lampung Timur, Pesawaran, dan Lampung Utara," ujar cerpenis asal Lampung ini.

Sementara itu, Ketua Komite Sastra DKL Ari Pahala Hutabarat menambahkan selama ini pihaknya mengundang pelajar ataupun guru ke Bandar Lampung. Namun, kurang direspons dengan alasasan kesibukan pengajaran ataupun karena ulangan.

"Sekarang DKL yang jemput bola. Kami akan mengundang sastrawan untuk mengunjungi sekolah-sekolah yang bisa bekerja sama. Untuk sementara kami jadwalkan tiga wilayah karena terkendala anggaran," ujar Ari yang juga direktur Artistik Komunitas Berkat Yakin (Kober).

Di Kabupaten Pesawaran, ujar Ari Pahala Hutabarat, dijadwalkan selain memberikan apresiasi kepada pelajar, juga kepada guru-guru di sana. Lalu di Metro akan bekerja sama dengan Dewan Kesenian Metro dan Lampung Timur.

"Di Lampung Utara, kemungkinan akan bekerja sama dengan DKLU dan acara dipusatkan di STKIP Muhammadiyah Kotabumi, karena perguruan tinggi ini memang peduli dengan kegiatan sastra."

Ketua Bidang I (Teater dan Sastra) DKL Isbedy Stiawan Z.S. mengatakan Komite Sastra DKL tahun ini sebelumnya mengirim dua sastrawan ke Temu Sastrawan MPU di Yogyakarta, bekerja sama dengan Forum Lingkar Pena menggelar Traveling Literary dengan mendatangkan Gola Gong di Umitra, dan terakhir sastrawan mengunjungi sekolah ini.

"Kalau tahun-tahun sebelumnya, Komite Sastra menerbitkan buku sastra para sastrawan Lampung, seperti buku puisi Agit Yogi Subandi, Arya Winanda, dan kumpulan cerpen Alexander G.B., serta buku apresiasi karya Ari Pahala Hutabarat. Tahun berikutnya menerbitkan antologi cerpen dari cerpenis Lampung," kata Isbedy. (UZK/S-2)

Sumber: Lampung Post, Rabu, 7 November 2012

Memandang Konflik dari Sudut Kemanusiaan

Oleh Dedy Mawardi


"KAMI hanya melihat hilir mudiknya pejabat negeri ini di depan desa kami. Kami hanya melihat begitu pedulinya pejabat negeri itu terhadap saudara-saudara kami di sana, kami tidak pernah merasakan semua itu kepada kami. Padahal, yang berkonflik itu adalah kami warga Agom, Kecamatan Kalianda, dengan warga Balinuraga, Kecamatan Way Panji. Kami ini sama-sama 'korban', tetapi mengapa kami diperlakukan beda."

"Kami tak pernah ditanya oleh pejabat negeri itu, tak pernah pula diajak bicara dan berunding. Kami tidak menghendaki warga Balinuraga yang bersuku Bali itu keluar dari daerah ini. Kami tidak tahu siapa yang berunding di atas sana. Karena kami tak pernah ditanya, tak pernah diajak, dan kami tak pernah mendelegasikan suara kami kepada mereka yang berunding. Jika hasil perundingan itu tak terjaga seperti yang sudah-sudah. Siapa yang akan menjadi korban. Apakah yang berunding itu atau kami warga Agom."

"Kami tak pernah melihat konflik kemarin itu adalah konflik antara Lampung dan Bali atau konflik karena adanya kesenjangan sosial. Konflik kemarin itu adalah konflik antarkampung yang dipicu oleh ulah arogan oknum pemuda bersuku Bali yang sering membuat resah para warga yang bertetanggaan dengan mereka."

Kalimat di atas merupakan catatan saya ketika bertemu dengan tokoh warga Agom di Kalianda kemarin (Sabtu, 2 November 2012). Dari dialog kemarin, banyak hal dan fakta yang tak pernah diungkap dan ditangkap oleh pejabat negeri ini dan media massa. Karena banyak hak dan fakta yang tak tersingkap, sangat dipahami jika masyarakat luas memiliki pandangan dan penilaian atas konflik itu yang berbeda dengan warga Agom maupun Balinuraga sendiri.

Salah satunya soal pemicu konflik itu sendiri. Masyarakat luas menilai bahwa konflik itu adalah konflik berbau SARA (Lampung vs Bali). Faktanya, konflik itu tak ada hubungannya dengan soal suku. Tak ada pula hubungannya dengan kesenjangan sosial. Faktanya, ketika konfik pecah pada Senin, banyak warga Agom, terutama anak-anak dan perempuan, yang mengungsi dan banyak pula peristiwa haru ketika warga Agom harus ikut menyelamatkan warga Balinuraga dari amuk massa.

Jika kita berkehendak untuk menyelesaikan konflik, menurut saya, takkan selesai jika hanya berdiskusi atau ribut berunding-berunding saja tanpa bertanya dengan hati kepada pemilik konflik yang sesungguhnya. Apa yang dikehendaki oleh para pemilik konflik itu sesungguhnya? Nyatanya pemilik konflik, yakni warga Agom dan warga Balinuraga, tak menghendaki konflik itu terulang kembali. Kedua warga Lampung asal suku Lampung dan Bali ingin menyudahi konflik ini dan kembali hidup bertetangga dengan baik dan damai. Karena memang mereka sudah puluhan tahun hidup bertetangga. Lantas apa solusi yang dikehendaki oleh kedua warga Lampung yang berkonflik itu? Jawaban dua warga Lampung ini sangat sederhana, yakni "ingin damai" dan "ingin memulihkan keadaan menjadi semula kembali".

Sejujurnya saya agak terhenyak dengan jawaban dari kedua warga Lampung yang berkonflik itu. Nyatanya kehendak pemilik konflik itu sangat berbeda dengan ingar-bingarnya ulasan, pendapat dan upaya yang dibicarakan banyak pihak dan terekspos oleh media massa secara luas selama ini. Jika kehendak para pemilik konflik seperti itu, sangat tidak mungkin jurus ?berunding? yang tengah diupayakan pemerintah daerah saat harus diselesaikan secepatnya. Apalagi jika pihak yang berunding versi pemerintah daerah itu juga tidak melibatkan secara langsung kedua warga Lampung yang sedang berkonflik itu. Sangat riskan karena perundingan-perundingan yang sebelumnya tak menjadi pegangan kedua pihak untuk mengatur perilaku sosial warganya. Penyebabnya adalah karena perundingan sebelumnya itu tak melibatkan mereka yang berkonflik dan perundingan itu tak mampu menyelesaikan persoalan ?kemanusiaan? dari salah satu pihak.

Persoalan ?kemanusiaan? seperti pemulihan kejiwaan, pemulihan trauma dan perasaan diperlakukan sama dalam proses pemulihan merupakan elemen penting yang musti diselesaikan terlebih dahulu. Maka sangat naĂŻf jika solusi konflik yang terjadi di Lampung Selatan itu dilakukan dengan cara mempercepat perundingan. Dengan itu juga perlu mendapat perhatian penting. Seharusnya semua pihak tidak berpikir pragmatis seperti itu. Mengapa tak pernah mau belajar dari peristiwa sebelumnya?

Menurut saya, konflik di Lampung Selatan itu diselesaikan dengan cara rekonsiliasi dengan melibatkan mediator. Rekonsiliasi itu sebagai ?good idea? dari proses, sedangkan mediator adalah pihak yang independen yang akan memediasi. Sedangkan para pihak yang akan duduk dalam proses rekonsiliasi itu adalah warga Agom, warga Balinuraga, keluarga para korban dan pemerintah daerah. Dengan pilihan metode penyelesaian konflik semacam ini, upaya yang harus dilakukan di awal pekerjaan adalah memulihkan rasa ?kemanusiaan? dari kedua belah pihak. Mungkin salah satunya adalah menghilangkan rasa ?diperlakukan tidak sama? di dalam perasaan warga Agom. Demikian pula sebaliknya.

Tahap berikutnya adalah pemulihan ?kejiwaan? yang dialami oleh warga Agom dan warga Balinuraga, khususnya terhadap anak-anak dan kaum perempuan. Kemudian tahap pemulihan secara materiil dan terakhir adalah menjaga proses pemulihan agar sesuai dengan kesepakatan. Di sini peran pemerintah daerah harus bermain dengan tetap bersikap independen dan mengayomi semua warga serta secara terus menerus melakukan komunikasi dan pendekatan kepada warga.

Maka, di sini sangat diperlukan pemimpin dan pejabat yang punya tipikal seperti "Jokowi". Jika tidak, proses rekonsiliasi yang sudah berjalan akan hancur kembali dengan sikap pemimpin dan pejabatnya sendiri.

Pertanyaan penutupnya, siapa yang bisa bertindak sebagai mediator dalam proses rekonsiliasi ini. Jawaban saya adalah seorang Jusuf Kalla atau lembaga sekelas Komnas HAM.

Semoga tulisan ini menjadi inspirasi untuk terciptanya "Damai Lampungku".

Dedy Mawardi, Praktisi hukum, tinggal di Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Rabu, 7 November 2012

November 6, 2012

Perdamaian Berbasis Akar Rumput

Oleh Oki Hajiansyah Wahab

KEDUA belah pihak yang bertikai sepakat berdamai, demikian petikan berita dari sebuah media online. Sebuah hal melegakan bagi semua pihak, kesepakatan berdamai meskipun tidak otomatis membahagiakan semua pihak setidaknya dapat menurunkan tensi ketegangan dari pihak-pihak yang bertikai. Ini merupakan langkah awal menuju pembangunan perdamaian yang genuine. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa perdamaian tidak semata-mata bergantung pada persepakatan tapi sebuah proses.

Penulis menekankan kata genuine dengan merujuk kepada keterlibatan masyarakat di level akar rumput dalam proses perdamaian. Pengalaman dari berbagai konflik mengajarkan kita bahwa perdamaian di level elite tidak serta merta menjamin proses berdamaian berjalan langgeng. Konflik di Lamsel menunjukkan bahwa perspektif pemerintah dalam penanganan konflik masih bersifat reaktif dan parsial. Akibatnya pemerintah kembali menjadi "pemadam kebakaran". Lebih jauh, penanganan persoalan pascakonflik yang tidak tuntas acap menjadi permasalahan baru yang dapat meningkatkan eskalasi konflik di masa mendatang.

Wertheim, seorang sosiolog dalam bukunnya Elite dan Massa telah mengingatkan kita tentang perlakuan elite terhadap rakyat. Sadar atau tak sadar para elite sering mengabaikan dan menyingkirkan keberadaan rakyat di level akar rumput. Para elite secara sadar maupun tak sadar serig menganggap rakyat dan kaum yang paling miskin dianggap sebagai ?orang biasa yang tak perlu dianggap penting dan massa rakyat yang bodoh dan tak tahu apa-apa?. Karenanya, Wertheim mengingatkan pentingnya untuk mengkaji dan memahami massa rakyat dengan cara yang empatik dan partisipasitoris.

Problem terbesar yang sering muncul dalam penanganan konflik adalah sering penanganan konflik dilakukan sebagai tindakan reaktif, bukan antisipatif. Hal yang kurang mendapat perhatian adalah penanganan pascakonflik dan pembangunan perdamaian yang terintegrasi dengan pembangunan mekanisme antisipasi. Kita kurang menaruh perhatian pada proses rekonsiliasi, pembangunan kepercayaan, dan pembangunan perspektif bersama di masa depan. Akibatnya konflik dengan mudah terulang.

Peran Akar Rumput

Proses rekonsiliasi adalah upaya membangun dan memperbaiki komunikasi serta memaksimalkan sikap saling memahami. Proses komunikasi dan mediasi yang efektif dibutuhkan untuk melakukan transformasi konflik pada level elite dan akar rumput. Pembangunan perdamaian yang genuine sesungguhnya dilakukan di semua tingkat masyarakat dan melibatkan orang-orang yang hidupnya dipengaruhi oleh konflik (Marshall 2000:4).

Hakikat dari rekonsiliasi adalah inisiatif secara sukarela pihak-pihak yang terlibat dalam konflik untuk mengakui pertangung jawaban mereka dan kesalahannya. Membangun dialog adalah salah satu cara untuk mengerti dan memahami pihak lain lebih dalam. Proses pembangunan perdamaian berbasis komunitas dan keadilan restoratif (community-based restorative justice processess) perlu dikembangkan dalam konteks pembangunan perdamaian yang berkelanjutan.

Ichsan Malik, seorang pakar perdamaian dan penulis buku Bakubae: Gerakan dari Akar Rumput untuk Penghentian Kekerasan di Maluku mempromosikan dialog sebagai upaya mentransformasi konflik di level akar rumput. Lewat buku ini, Ichsan menjelaskan pengalaman masyarakat di berbagai wilayah konflik yang secara swadaya berupaya sekuat tenaga untuk kembali merajut perdamaian di wilayah pascakonflik. Dengan sumber daya dan keterbatasan yang dimiliki, mereka tak henti untuk menyumbangkan pikiran, tenaga, maupun materi dalam proses pembangunan perdamaian.

Ichsan memberikan contoh upaya dan peran masyarakat akar rumput di Desa Malei Lage, Poso, yang komposisi agama masyarakatnya berimbang antara muslim dan kristen. Mereka membangun ?Perjanjian Malei?, yakni kesepakatan bersama untuk tidak terlibat dalam konflik di Poso saat itu disertai dengan upaya menghalau siapa pun yang masuk dari luar desa mereka untuk memprovokasi ataupun melakukan penyerangan.

Lalu, di mana peran pemerintah? Dalam konteks ini pemerintah memosisikan diri sebagai fasilitator proses-proses perdamaian yang digagas masyarakat akar rumput. Proses semacam ini tentu saja hanya dapat dibangun dengan program-program konkret yang melibatkan kedua belah pihak. Lewat proses ini perdamaian tidak hanya menjadi sesuatu yang bernilai simbolik tapi terinternalisasi dalam kehidupan sosial. Dalam konteks inilah pemerintah memberikan effort, berdiri sebagai fasilitator sekaligus supporter atas inisiatif yang berkembang di akar rumput.

Apakah ini hal yang abstrak? cerita sukses pembangunan perdamaian berbasis komunitas sebenarnya dapat ditemukan diberbagai tempat di muka bumi. Ichsan, misalnya, menggambarkan mekanisme pertemuan rutin, pembentukan tim kerja bersama dan pembangunan pasar rekonsiliasi sebagai media pertemuan antarkomunitas. Di Filipina Selatan, misalnya, peran dan concern pemerintah setempat sebagai fasilitator dilakukan dengan mendukung pekan maupun karnaval perdamaian, memberikan bantuan pada kelompok masyarakat yang terdiri dari berbagai unsur masyarakat yang notabene awalnya berkonflik.

Kombinasi inisiasi masyarakat di level akar rumput dan intervensi pemerintah menjadi pembelajaran berharga dalam mengelola konflik. Mendorong proses perdamaian di tingkat komunitas maupun akar rumput dengan mekanisme yang efektif dan kontekstual dengan komunitas adalah langkah yang strategis dalam upaya pembangunan perdamaian. Proses perdamaian di tingkat akar rumput ini sekaligus menjadi media pembelajaran bagi masyarakat untuk mengelola konflik sekaligus membangun sistem penanganan dini dan tindakan antisipatif lainnya dalam mencegah meletupnya konflik di masa yang akan datang.

Kita menyadari bahwa mekanisme partisipasi yang mengacu pada media-media yang build in dalam keseharian masyarakat?misalnya yang terwujud dalam seni, agama, budaya, dan lain-lain?belumlah terkelola dengan baik. Kita harus senantiasa optimistis bahwa tingkat keragaman etnis dan agama dan peran akar rumput yang ada di di Lampung merupakan sumber kekuatan untuk pembangunan perdamaian.

Oki Hajiansyah Wahab, Alumnus Mindanao Peace Building Instititute

Sumber: Lampung Post, Selasa, 6 November 2012

Komunikasi Sosial Solusi Konflik Lamsel

Oleh Khomsahrial Romli

KONFLIK antarwarga di Indonesia tampaknya tak kunjung berakhir. Setelah kita dikejutkan dengan konflik antarwarga Sunni-Syiah di Dusun Nangkemang, Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Madura, yang terjadi pada 29 Agustus 2012, kita kembali harus terenyah. Belasan nyawa melayang sia-sia lantaran konflik antara warga Desa Balinuraga dan Desa Kalianda, Lampung Selatan. Konflik yang terjadi pada Minggu-Senin (28?29 Oktober 2012) menelan korban jiwa hingga 12 orang dan ribuan warga diungsikan. Konflik yang terjadi disejumlah tempat di Indonesia karena tersumbatnya tingkat komunikasi. Dan munculnya konflik karena adanya klaim kebenaran masinga-masing pihak. Konflik tidak selalu melahirkan kekerasan, ada di antaranya yang dapat selesai tanpa kekerasan. Biasanya konflik yang berujung dengan kekerasan akan menjadi perilaku anarki yang dapat disertai amuk massa.

Konflik yang terjadi di Lampung Selatan lebih bersifat kultural karena ketidakmampuan/ketidakberdayaan pribadi dalam menghadapi dinamika masyarakat, serta bersifat struktural yang disebabkan gesekan kepentingan kelompok tertentu. Dan konflik-konflik itu terjadi karena kurangnya komunikasi, sosialisasi. Apabila dioptimalkan dari sisi komunikasi dan sosialisasi, kemungkinan tidak sampai terjadi konflik terbuka. Hanya konflik yang bersifat perbedaan pendapat.

Kalau kita lihat, potensi konflik bisa berasal dari masyarakat itu sendiri, maraknya praktek demokrasi yang keliru, persepsi masa depan yang yang skeptis, pendidikan politik masyarakat yang invalid, dan krisis ekonomi berkepanjangan. Hal lain yang menjadi pemicunya karena terjadinya krisis pendidikan baik konseptual maupun praktek, kepercayaan melemah terhadap pejabat publik dan aparatur negara, serta merebaknya pandangan hidup masyarakat yang semakin hedonistis dan materialistis.

Sehingga setiap manusia adalah individu yang unik, artinya setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal dalam lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik, karena dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya, sedikit-banyaknya akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendidirian kelompoknya.

Permasalahan-permasalahan tersebut di atas dalam komunitas masyarakat perlu mendapatkan perhatian oleh sistem sosial yang ada, terutama hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial yang bersifat menunjang kehidupan masyarakat. Implementasi yang paling penting adalah pembangunan nonfisik adalah pemahaman tentang pentingnya ?komunikasi? dan cara ?berinteraksi? antara masyarakat dan intitusi terkait sehingga akan terjadi kesejahteraan yangdiharapkan.

Melalui komunikasi sosial, inovasi-inovasi dapat diakomodasi oleh pihak-pihak terkait yang bersentuhan langsung dengan kehidupan sosial, baik itu kelompok masyarakat, organisasi, institusi pemerintah, maupun institusi lain (lembaga-lembaga sekolah) yang dapat mengambil bagian dalam mengatasi setiap permasalahan sosial di masyarakat, ke depan akan terwujud ke keamanan dan kenyamanan bersama.

Dalam kaitannya bentrokan yang terjadi di masyarakat Lampung Selatan di atas guna menghilangkan, mengurangi kemungkinan rasa dendam dan emosional yang memengaruhi mereka dan berlanjut pada aksi penyerangan, perlu adanya komunikasi secara optimal bersama aparat keamanan setempat dengan melibatkan tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda kedua pihak. Menciptakan komunikasi yang baik sehingga timbul interaksi sosial yang dapat merealisasikan tujuan yang sama dalam masyarakat serta berguna untuk mewujudkan pembangunan dalam segala aspek kehidupan. Sehingga dapat disimpulkan konflik Lampung Selatan memberikan isyarat yang jelas bahwa ada sesuatu yang kurang beres dalam hubungan antaretnik selama ini di Lampung Selatan.

Kenyataannya, konflik sudah meledak dan bahkan terjadi berulang. Hal ini tentu tak bisa dibiarkan terus berlanjut dan/atau didiamkan begitu saja tanpa penyelesaian yang konkret dan adil. Dalam kasus konflik di Lampung Selatan, sampai saat ini belum optimal kebijakan konkret pemerintah daerah untuk menuntaskannya. Hal ini mengisyaratkan betapa masalah konflik akan mengancam kerukunan sosial. Tulisan ini mencoba menawarkan pola-pola solusi praksis dan bersifat segera dalam menangani konflik di Lampung Selatan, antara lain: Pertama, penyelesaiannya diserahkan untuk ditangani lembaga independen yang beranggotakan tokoh-tokoh dari kedua etnik serta kalangan intelektual dan tokoh-tokoh kredibel dari pemerintahan, yang difasilitasi sepenuhnya oleh pemerintah daerah. Lembaga ini diberi kewenangan untuk menemukan kesepakatan-kesepakatan dari pihak-pihak yang bertikai dan kemudian mengantarkan para pihak ke titik rekonsiliasi yang memungkinkan menata mereka kembali keharmonisan sosial dalam ketenangan dan rasa aman yang terjamin.

Kedua, siapa pun yang diindikasikan kuat sebagai aktor-aktor intelektual di balik kerusuhan Lampung Selatan, baik dari kalangan kedua pihak yang konflik, harus ditangkap dan dibawa ke pengadilan, supremasi hukum harus ditegakkan atas mereka.

Ketiga, pemerintah daerah harus membantu atas kerusakan rumah tempat tinggal mereka yang rusak. Keempat, pemerintah daerah bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat melakukan sosialisasi dan kampanye terus-menerus dalam berbagai bentuk tentang kenyataan Lampung Selatan sebagai penduduk yang majemuk berikut pentingnya hidup berdampingan secara damai serta keutamaan menyelesaikan konflik tanpa kekerasan di dalam masyarakat. Tak kalah pentingnya, berupaya menghapus kesan negatif atau streotif antara kedua belah pihak yang ada selama ini.

Hal itu sebagai upaya untuk melakukan rekonstralasi dalam hubungan anatara kedua pihak yang bertikai, yang diharapkan semua pihak dapat belajar dari pengalaman sekaligus mampu merakit hubungan sosial secara damai kendati dalam seribu satu macam perbedaan.

Khomsahrial Romli, Guru besar, Wakil Rektor Bidang Akademik UBL

Sumber: Lampung Post, Selasa, 6 November 2012

Bangsa Modern Bila Gemar Membaca

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Indonesia bertekad menjadi bangsa modern. Dikatakan sebagai bangsa modern bila penduduknya literate, yaitu gemar membaca dan menulis.

"Modern tidaknya bangsa bergantung dengan penduduknya yang literate. Karena itu bila ingin menjadi bangsa modern, pemerintah harus membudayakan membaca pada masyarakat," kata sastrawan Indonesia, Agus R. Sarjono, saat memberikan Kuliah Kesusastraan Bandingan XVI Majelis Sastra Asia Tenggara di Auditorium Perpustakaan Universitas Lampung, Senin (5-11).

Selain Agus, hadir pula pembicara dari Malaysia, yaitu Prof. Sohaimi Abdul Aziz. Kegiatan ini diikuti mahasiswa, dosen, dan sastrawan.

Agus menilai masyarakat Indonesia masih tribal belum menjadikan kegiatan membaca sebagai kebutuhan. "Pembantu rumah tangga, koki restoran sampai pedagang mengerjakan profesinya masing-masing, persamaan di antara mereka adalah sama-sama membutuhkan makan. Seharusnya membaca juga dipandang sama halnya dengan makan yang merupakan kebutuhan pokok manusia," ujar Agus.

Untuk memajukan bangsa, solusi yang ditawarkan Agus adalah diperbanyak jumlah perpustakaan, baik di kota sampai pelosok desa. Perpustakaan harus diisi dengan beragam buku menarik untuk memancing minat baca masyarakat.

Sastrawan itu menjelaskan ada beberapa negara Islam yang tadinya maju, kini hancur dan sulit untuk bangkit kembali karena perpustakaan di negara tersebut dibakar. Sebaliknya, jika ingin menghancurkan negara-negara maju, seperti Amerika dan Inggris, hancurkan perpustakaannya dan larang penduduknya untuk membaca. Maka, pada sepuluh tahun kemudian negara itu bisa hancur.

"Pada dasarnya setiap orang suka membaca," kata dia. Untuk menjadi bangsa yang maju, Indonesia tidak cukup hanya mengandalkan lisan, tapi juga tulisan.

Ia menilai sastra di Indonesia masih lebih unggul dibanding sastra di Malaysia, tapi sastrawan Indonesia mendapatkan perhatian paling kecil dari pemerintah ketimbang negara lain. Agus menyebutkan sastrawan Indonesia telah menghasilkan ratusan ribu karya sastra, salah satu yang terbanyak adalah puisi.

Menurut dia, Lampung sangat kondusif untuk perkembangan sastra, terlihat dari banyaknya sastrawan yang lahir dari Lampung, seperi Ari Pahala dan Isbedy Stiawan. "Lampung punya iklim yang bagus untuk tumbuhnya kesusastraan," kata dosen Universitas Muhammad Fuad.

Sai Bumi Ruwa Jurai memiliki budaya yang kuat, yang bisa mendorong kemajuan sastra di Lampung.

Ia mencontohkan tema yang sering dipakai oleh sastrawan dalam membuat karya adalah cinta. Dalam sastra perbandingan, cinta yang menjadi tema pada karya dulu dan kini bisa dikaji karena pasti memiliki intepretasi yang berbeda, demikian juga cinta di Indonesia dengan negara lain.

Acara tersebut digelar oleh Majelis Sastra Asia Tenggara yang beranggotakan Malaysia, Indonesia, Brunei Darusalam, dan Singapura.

Kegiatan berlangsung selama 10 hari yang diselenggarakan di empat negara, yakni Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. Pertemuan membahas berbagai karya sastra, sastra bandingan, yakni kajian mengenai gejala sastra, dalam mata kuliah biasanya dilakukan perbandingan karya sastra di suatu negara dengan negara lain. Sastra perbandingan dilakukan untuk melengkapi dan menambah wawasan sastrawan serta masyarakat yang peduli terhadap perkembangan sastra. (MG4/S-1)

Sumber: Lampung Post, Selasa, 6 November 2012

November 5, 2012

[Buras] Dialektika Solusi Persaingan!

Oleh H. Bambang Eka Wijaya


"PERADABAN berkembang dalam proses tak henti persaingan (konflik) tesis dan antitesis untuk mencapai solusi, sintesis! Dalam proses dialektika, sintesis kembali jadi tesis yang diuji lagi oleh antitesis dan seterusnya!" ujar Umar.

"Dialektika solusi konflik itu berlangsung nyaris dalam semua bidang kehidupan?jadi tak hanya dalam ilmu?mulai persaingan produk dalam bisnis sampai persaingan kepentingan antarpribadi maupun kelompok sosial!"

"Dialektika persaingan dinamis pada produk seluler!" timpal Umar. "Orang belum paham mengoperasikan HP yang baru dibeli, sudah keluar iklan model HP lebih baru lagi!"

"Sebaliknya, lamban dalam pemberantasan korupsi!" tukas Umar.

"Dalam kasus simulator, KPK (tesis) menghadapi antitesis dari polisi?yang mengusut sendiri kasus itu dan menarik 20 penyidik Polri dari KPK! Lalu muncul sintesis dari Presiden SBY, Polri agar menyerahkan semua kasus simulator ke KPK! Tapi, sintesis Presiden itu segera jadi tesis, muncul antitesis dari Polri! Yakni, memperlambat penyerahan kasus simulator, mengancam penyidik yang tak memenuhi panggilan, dan gugatan perdata atas KPK! Sementara janji Presiden dalam solusinya akan membuat aturan penempatan penyidik ke KPK tak kunjung keluar, sisa lima penyidik yang menanti SK Presiden itu tak mampu bertahan hingga harus mundur dari KPK! Akibatnya, KPK jadi kian lemah kehabisan penyidik andal, dan itu berarti kemunduran!"

"Lewat proses dialektika solusi persaingan, kita bisa melihat apakah dalam konteks peradaban suatu kasus membawa masyarakat mengalami kemajuan atau kemunduran, seperti contoh kasus persaingan (kekuasaan) KPK versus Polri itu!" timpal Amir.

"Sedangkan untuk kasus konflik massa di Way Panji, Lamsel, tesis dan antitesisnya bergesekan sudah lama, sehingga gesekan itu menjadi titik api menghanguskan puluhan rumah Januari 2012! Sintesisnya?bantuan Pemkab pada korban?konon malah menyulut kecemburuan yang menyeret Pemkab dijadikan bagian dari tesis (masalah) sampai muncul aksi perobohan simbol kekuasaan?patung dekat kantor Pemda!"

"Solusi perdamaian di lapangan bola Kalianda juga tak tuntas, ada kelompok tak setuju!" tegas Umar. "Untuk itu, sintesis solusi konflik beneran harus diwujudkan kali ini, sebagai dasar dialektika solusi persaingan dalam mengelola konflik ke masa depan!"

Sumber: Lampung Post, Senin, 5 November 2012

Teater Gidag-Gidig Pentaskan 'Perempuan dari Masa Lalu'

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Teater Gidag-Gidig Solo akan melakukan pembacaan naskah lakon Perempuan dari Masa Lalu karya Roland Schimmelpfennig (Jerman) di Kampus Universitas Lampung Unila, Gedongmeneng, Bandar Lampung, 8?9 November.

Menurut Pemimpin Umum Teater Satu, Iswadi Pratama, pentas ini merupakan rangkaian penyelenggaraan Festival Pembacaan Naskah Lakon (Indonesia Dramatic Reading Festival/IDRF) 2012.

Sebelum di Bandar Lampung, IDRF 2012 yang mengambil tema Memperkarakan Realisme ini dilaksanakan di Yogyakarta (22-24 Oktober), Semarang (30-31 Oktober), dan Bandung (5-6 November).

Selain Teater Gidag-Gidig, tampil juga Komunitas Berkat Yakin (Kober) dengan Ruang Putih karya Rangga Buana, pada 8 Oktober, dan Teater Satu dengan lakon Keluarga-Keluarga Bahagia karya Ann Lee (Malaysia).

"Indonesia Dramatic Reading Festival (IDRF) adalah festival pembacaan naskah-naskah lakon berbahasa Indonesia, sebagai upaya mengenalkan naskah-naskah lakon berbahasa Indonesia kepada publik yang lebih luas," kata Iswadi dalam rilisnya yang diterima Lampung Post, Minggu (4-11).

Menurut Iswadi, IDRF adalah festival bagi para penulis naskah lakon Indonesia dan merupakan ajang untuk bertemu, berdiskusi, dan mengenalkan naskah lakon terbarunya. IDRF juga bisa dijadikan jembatan antara penulis nakah dan sutradara maupun kelompok teater. Pada tahun ketiga ini, IDRF mengundang beberapa penulis lakon Indonesia di antaranya adalah Helvy Tiana Rosa, Ibed Surgana Yuga, dan Rangga Riantiarno.

Dalam pelaksanaannya, IDRF juga menghadirkan terjemahan naskah-naskah lakon asing sebagai pembanding bagi naskah-naskah lakon peserta. Hal ini dimaksudkan mengkaitkan para penulis naskah lakon Indonesia dengan para penulis dari berbagai negara yang lain, dan diharapkan tercipta jaringan yang lebih luas antarpenulis naskah lakon.

Tahun ini untuk penulis dari Asia IDRF mengundang Huzir Sulaiman (Singapura) dan Ann Lee (Malaysia) untuk mengikuti IDRF 2012. Sebagaimana tahun sebelumnya, IDRF juga menghadirkan naskah-naskah terjemahan dari Eropa yakni dari Jerman (Perempuan dari Masa Lalu-Roland Schimmelpfennig) dan Prancis (Roberto Zucco-Bernard-Marie Koltès). (UZK/S-2)

Sumber: Lampung Post, Senin, 5 November 2012

Birokrasi Pemda untuk Pluralitas Lampung

Oleh Siti Nurbaya

IISTILAH kemajemukan (pluralitas) akrab terdengar dalam tataran politik, idealisasi, strategi, dan sesuatu yang bersifat sangat sensitif, terutama di Lampung dengan simbol Sang Bumi Ruwa Jurai. Namun, istilah ini sangat jarang diekpslorasi pada tataran operasional dan prosedural birokrasi pemerintahan. Belakangan, di era otonomi daerah, pengelolaan kohesi sosial dalam pluralitas tersebut menjadi salah satu indikator belum bagusnya implementasi otonomi daerah di Indonesia. Alasannya, konsensus politik desentralisasi dengan dilandasi kemajemukan bangsa dan daerah pada akhirnya menjadi faktor utama yang mendorong implementasi otonomi daerah secara kenyataan berkembang sendiri-sendiri menurut ciri dan karakter daerah, sehingga pemerintah nasional (dibaca: Pemerintah Pusat) menjadi "keteter".

Turun naik proses harmoni dan disharmoni saat ini sedang berlangsung di tengah-tengah masyarakat, terutama belakangan ini mencuat secara nasional, kejadian di Lampung. Pada masa lalu nilai-nilai pluralis dirangkum dalam Wawasan Nusantara, yang mengakomodas pluralitas. Wawasan Nusantara berkembang ketika itu sebagai alat dalam dialog antarmasyarakat untuk saling menyadari dan memahami kultur masing-masing.

Sekarang sudah sangat dirasakan indikasi kebutuhan untuk membangun kepercayaan berkaitan dengan masalah-masalah yang muncul terkait pluralisme. Misalnya dengan menyediakan ruang dialog antaretnis, sehingga pluralitas bisa dipahami dan dapat memperpendek ruang dan jarak pemaknaan antarsuku-suku bangsa golongan atau elemen-elemen yang bersifat plural di Indonesia.

Konsep Pluralitas

Per definisi, pluralitas adalah nilai-nilai yang meghargai perbedaan dan mendorong kerja sama bersama berdasar kesetaraan. Di dalamnya terkandung dialog untuk membangun hubungan antarunsur dengan latar belakang yang berbeda, termasuk juga adanya kerja sama untuk mencapai tujuan yang searah (Endy M. Basyuni, 2007). Pluralis menurut ilmu-ilmu sosial berarti kerangka interaksi yang menunjukkan adanya sikap saling menghargai, toleransi satu sama lain dan saling hadir bersama secara produktif dan berlangsung tanpa konflik atau terjadi asimilasi. Sementara itu, menurut Azyumardi Azra (mengutip Furnivall, 1944), bahwa masyarakat plural adalah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih unsur-unsur atau tatanan-tatanan sosial yang hidup berdampingan, tetapi tidak bercampur dan menyatu dalam satu unit politik tunggal. Teori ini berkaitan dengan realitas sosial politik Eropa yang relatif homogen, tetapi sangat diwarnai chauvinisme etnis, rasial, agama, dan gender. Definisi lain menurut Aung San Suu Kyi, (1991) bahwa pluralitas, tepatnya berkembang karena adanya perbedaan kultur yang penting bagi bangsa dan rakyat yang berbeda untuk sepakat akan hal-hal mendasar, yaitu nilai-nilai kemanusiaan yang direfleksikan sebagai faktor pemersatu. Kata pluralis muncul dalam kondisi atau peristiwa, termasuk di antaranya peristiwa sensitif seperti terkait dengan agama, suku, gender, hak asasi manusia dan budaya.

Secara lebih spesifik isu pluralis di Indonesia sering terkait dengan isu agama, gender, hak asasi manusia, masyarakat hukum adat, isu putra daerah, dan gejala pemilahan sosial sebagai konsekuensi kebijakan pemerintah nasional (pusat). Dengan demikian, sesungguhnya pemerintah (daerah) dan jajaran birokrasi, perlu secara cermat melihat persoalan yang timbul terkait dengan pluralitas tersebut dan mengembangkan kerangka konseptualnya yang relevan. Pada perspektif birokrasi, pluralitas adalah filosofi demokrasi keterwakilan dalam roda pengambilan keputusan di mana kelompok atau golongan menikmati aktivitasnya, legitimasinya, dan pengaruhnya dalam merumuskan kebijakan publik.

Implikasi utama kebijakan terkait pluralitas di antaranya: Pertama, harus ada keseimbangan dalam distribusi kekuasaan. Kedua, adanya semangat kompetisi dan partisipasi di antara kelompok yang terorganisasi dengan baik (bukan individual) yang hadir dalam sistem sosial yang ada. Dan ketiga, harus ada penilaian tentang kondisi plural untuk menghindari dominasi elite yang dapat mengganggu nilai keterwakilan. (Mazziotti D.F., Journal of the American Institute of Planners, 1974)

Permasalahan dan Gejala Gangguan Kohesi Sosial
Ada beberapa hal yang relevan dalam persoalan pluralitas yang dapat dianalisis dalam perspektif birokrasi. Pertama, persoalan agama dan syariah, yang kerap muncul berupa pengaturan dengan peraturan daerah. Dalam hal ini, bagi birokrasi, yang perlu menjadi pertimbangan serius adalah prinsip dalam konsep keseimbangan bagi semua pihak.

Kedua, persoalan yang mengarah pada pornografi. Birokrasi harus dapat menilainya dengan prinsip keseimbangan penghargaan kepada keberadaan dan norma-norma dalam masing-masing unsur masyarakat.

Ketiga, persoalan masyarakat hukum adat, masyarakat yang mempunyai kebersamaan yang kuat. Artinya, manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, mempunyai corak magis religius yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia. Pada tahap lanjut, masalah masyarakat hukum adat dikaitkan dengan pluralitas juga akan mengena pada persoalan hak asasi manusia dan hak atas akses pada sumberdaya alam. Seperti diketahui, salah satu ciri masyarakat hukum adat ialah melekat pada sumber daya lahan (tanah), air, dan hutan.

Keempat, dan ini yang mungkin sebetulnya merupakan masalah yang sungguh-sungguh masalah, tanpa disadari berkembang, yaitu masalah kesenjangan yang semakin lebar di tengah masyarakat, akibat dari format kebijakan pemerintah (daerah) yang kurang tepat sasaran, juga, misalnya akibat mata pencaharian dikaitkan dengan format kultur.

Pada kasus Lampung, sebab keempat ini patut dipercaya dan diwaspadai. Sebab, apabila kita telusuri secara mendalam pada wilayah-wilayah pertanian dan pelosok desa, berbagai kebijakan pemerintah dan berhasil diterapkan serta membangun masyarakat. Namun, di sisi lain juga membentang kesenjangan horizontal. Misalnya, ada perbedaan cara dalam bercocok tanam dikaitkan dengan faktor budaya, yang sebetulnya sudah berasimilasi sekitar seratus tahun untuk Lampung, mengingat program transmigrasi pemerintah telah dimulai antara tahun 1905-1922.

Kelima, dalam konteks lantaran pergesekan itu karena interaksi antargenerasi muda, maka faktor keselarasan dinamika antarmasyarakat pemuda disertai fasilitas di desa atau di wilayah yang dimiliki. Di sana bisa juga menjadi persoalan. Dalam upaya bersama membangun dinamika generasi muda di waktu yang lalu, organisasi kemasyarakatan pemuda, antara lain Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) dan KNPI Lampung, melakukan analisis dan pendekatan lapangan dna bekerja bersama-sama membangun dinamika bersama seperti dengan menanam jagung bersama (di kecamatan Jabung bersama AMPI Lampun Tengah) dan menanam penghijauan dengan pohon duren di pelosok desa di Kecamatan Palas, atau membangun kelompok orkes remaja di Kecamatan Padangcermin bersama AMPI Lampung Selatan, serta memangun kelompok marching band sekolah (bersama AMPI Kota Bandar Lampung). Begitu juga upaya-upaya pekan olahraga dan seni desa (Porseni Desa), sampai ke Bahuga dan Pesisir Selatan. Fakta-fakta dan pola pembinaan demikian tidak bisa berhenti, apalagi dalam situasi yang semakin dinamis saat ini. Namun, tentu saja sudah membutuhkan penyesuaian format, mengingat bahwa remaja dan generasi muda saat ini memiliki milieu dan instrumen dan fasilitas abad modern, seperti blog, Tweeter, Facebook, linked-link, Tag, dll. Harus ada pola interaksi bersama masyarakat dengan modifikasi upaya dinamisasi generasi muda selanjutnya.

Dari keseluruhan persoalan tersebut, sangat jelas juga bahwa yang hadir ialah persoalan gangguan kohesi sosial. Kohesi didefinisikan sebagai ikatan antara molekul dalam satu unsur. Dalam kehidupan bermasyarakat, kohesi sosial diartikan sebagai pertautan dan ikatan bersama masyarakat dalam satu bangsa, dalam hal ini Bangsa Indonesia. Kita mengalami indikasi gangguan kohesi sosial akibat kondisi situasi politik juga sebagai konsekuensi dari beberapa kebijakan. Cukup signifikan kita lihat sejak awal reformasi, bahwa telah terjadi gangguan kohesi sosial yang berkembang di berbagai daerah. Gesekan sosial tersebut juga dapat terjadi akibat format operasional budaya yang tidak sesuai dengan indikasi persaingan dalam akses terhadap sumber-sumber perekonomian.

Terjadi pula indikasi perkelahian massal antarpenduduk kampung karena persoalan kebijakan pemerintah, misalnya terkait pemilihan kepala daerah (pilkada), pemekaran wilayah, industri, kawasan hutan, tempat pembuangan akhir sampah, pencemaran dan juga akibat kebijakan yang mengandung ekses lanjut seperti timbulnya ?kecemburuan? sosial dalam masyarakat baik antarkelompok atau antarindividu.

Peran Birokrasi Pemda

Pemerintah Daerah mempunyai peran sangat penting untuk sama-sama menjaga spirit kohesi sosial di antara bangsa Indonesia dan tentu saja dalam menjaga hubungan nasional dan daerah sesuai dengan fungsi dan tujuan konstitusi, UUD 1945. Dengan kata lain, misalnya pejabat pemerintah (daerah) harus tidak asal mudah meneriakkan otonomi khusus hanya atas alasan mereka tidak sama dengan wilayah lain yang ada di Indonesia; tetapi harus dengan pertimbangan sangat matang dari segala aspek dan dengan justifikasi yang benar dan arif. Peran kebijakan pemerintah juga menjadi sangat penting dalam memunculkan ataupun menghilangkan konflik, baik aktual maupun potensial. Selain itu perlunya pengembangan dialog, misalnya dialog lintas etnis, atau dibukanya pos-pos pengaduan.

Komunikasi aparat/Muspida atau sekarang disebut Forum Komunikasi Pimpinan Daerah dan tokoh dengan masyarakat sangat penting. Forum-forum komunikasi seperti forum ulama-umarah atau forum komunikasi lingkungan, lembaga kebudayaan dan lain-lain merupakan instrumen penting. Secara keseluruhan, penting pula bagi aparat untuk melihat kembali format pengambilan keputusan dengan basis kemasyarakatan dan dengan prinsip-prinsip: prosedural, fleksibilitas dan akuntabilitas. (Linder, S.H. dan Peters B.G., 1991). Elemen lebih perinci dalam ketiga prinsip tersebut meliputi kepentingan invidual kelompok dan asosiasi (untuk fleksibilitas), serta secara prosedural dengan elemen pengawasan dan sistem hukum (yudisial) serta prinsip akuntabilitas dengan elemen yang meliputi aktualisasi pemerintah baik pemerintah daerah maupun nasional. Sesuai dengan fungsinya dalam pemerintahan, maka menjadi sangat penting bagi pemerintah sebagai inisiator dalam rule making untuk senantiasa melakukan inovasi kebijakan serta menjaga kebijakan yang dihasilkan. Perumusan kebijakan harus didasarkan pada kaidah-kaidah pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan yang tepat, sehingga tidak akan terjadi bias, baik bias dalam instrumen ataupun bias dalam hal aktor. Kembali di sini jajaran birokrasi mendapatkan tantangan kerja.

Di samping kebjakan, tentu saja agenda-agenda operasional yang sedang dibutuhkan di tengah masyarakat, apalagi dikaitkan dengan "semakin kerasnya" tantangan kehidupan masyarakat yang direfleksikan antara lain dengan daya beli, kesempatan kerja, akses pendidikan, kesehatan dll, begitupun akses generasi muda untuk dapat menyalurkan pola-pola dinamikanya. Terlalu besar risiko yang dihadapi dalam hal birokrat gagal mempersiapkan kebijakan yang tepat bagi para pejabat politis dan para politisi untuk memutuskan dalam kaitan pluralitas. Bangkitlah jajaran birokrat Lampung untuk Sang Bumi Rua Jurai kita tercinta.

Siti Nurbaya, Sekjen Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI)

Sumber: Lampung Post, Senin, 5 November 2012

Tragedi di ‘Tanah Harapan’: Konflik dan Kekerasan di Lamsel

Oleh Bartoven Vivit Nurdin

LAMPUNG memiliki julukan sebagai tanah harapan. Julukan tanah harapan diberikan penduduk yang datang ke Lampung sejak kolonisasi dan transmigrasi. Itu artinya Lampung sebagai tanah harapan bagi kehidupan yang harmoni. Namun, beberapa waktu belakangan ini kita semua, khususnya di Lampung, terperangah dengan rangkaian konflik di Lampung Selatan. Kalau kebanyakan orang menyebutnya sebagai sebuah konflik, saya lebih setuju untuk menyebutnya sebagai kekerasan.

Dari pandangan teori sosial, konflik adalah indikator perubahan. Oleh karena itu, wajar adanya terjadi dalam suatu masyarakat, baik masyarakat yang homogen maupun pada masyarakat yang heterogen, seperti Lampung. Sebagai indikator perubahan, konflik memiliki makna dalam dinamika dan perubahan masyarakat. Apalagi masyarakat sekarang ini adalah masyarakat tanpa batas (bourdeless society) yang tidak terikat oleh batas-batas administratif. Ditambah sekarang kecepatan inovasi teknologi mulai dari komputer, internet, sampai alat komunikasi canggih, kita temukan sampai di pelosok desa. Tegasnya, konflik diperlukan oleh suatu masyarakat untuk dinamika yang seharusnya berdampak pada kemajuan suatu masyarakat

Namun, yang menjadi masalah adalah ketika konflik menjadi kekerasan, sebagaimana halnya di Lampung Selatan. Banyak orang bertanya pada para pakar, apa akar dari konflik di Lampung Selatan. Saya mencermati hal ini tidak perlu dijawab, karena jawabannya akan sangat rumit dan tidak sesederhana pertanyaannya. Karena di balik akar ada akar-akar lainnya yang rumit dan semrawut untuk dijawab. Yang jelas kita tidak perlu mencari akar konflik, karena konflik adalah bagian dari dinamika masyarakat. Yang perlu kita pertanyakan adalah bagaimana konflik itu tidak berhujung kekerasan. Artinya, pencegahan terhadap terjadinya kekerasan tersebut. Ini yang kita tidak pernah lakukan selama ini. Saya tidak ingin menyalahkan satu pihak, karena semuanya adalah kesalahan ?holisitik? (menyeluruh) sehingga semua elemen dan pihak bertanggung jawab atas hal ini.

Untuk mengkaji hal tersebut, saya ingin melihat Lampung dalam perjalanan sejarah. Lampung adalah wilayah tujuan kolonisasi dan transmigrasi yang bisa dikatakan sukses. Ini artinya Lampung harmonis untuk orang-orang yang datang ke sini, tidak salah kalau orang banyak mengatakan bahwa Lampung adalah tanah harapan. Bermacam suku, agama, dan latar belakang lainnya datang ke Lampung, tanpa pernah terdengar persoalan kekerasan yang serius dan mengemuka. Artinya, masyarakat Lampung di Lampung Selatan sudah berabad-abad hidup dalam keharmonisan dan berdampingan dengan berbagai macam bentuk perbedaan. Kekerasan muncul seakan sebagai suatu prediksi yang tidak terduga sebelumnya baik oleh para pakar konflik, pemerintah daerah, pemuka masyarakat, pemuka adat dan elemen masyarakat lainnya.

Kenapa baru sekarang terjadi kekerasan yang fatal? Sebab, masyarakat dahulu berbeda dengan masyarakat sekarang. Dahulu, ketika kolonisasi dan transmigrasi datang di Lampung, masyarakat hidup berkelompok-kelompok dan tidak bersinggungan secara ekonomi, karena yang datang tentu bertujuan mengubah hidup dengan fokus pada mengelola lahan dan tanah yang ada. Bahkan tidak sedikit transmigran yang datang ikut bekerja di ladang-ladang milik penduduk asli dengan mendirikan umbul-umbul. Bahkan penduduk asli pun dengan senang hati mengangkatnya menjadi saudara dan bahkan memberikan lahannya untuk digarap. Friksi tidak terjadi karena keduanya saling memberi dan tidak menggangu mata pencaharian masing-masing. Penduduk asli dengan kebun dan transmigran dengan pertanian lahan basah.

Perlu kita cermati, etnik Lampung adalah etnik yang terbuka terhadap pendatang. Sejarah mencatat bahwa bagaimana etnik menjadikan orang yang datang sebagai saudara, sungguh suatu kearifan lokal dan modal sosial yang luar biasa. Hal ini lah salah satu faktor Lampung menjadi daerah tujuan transmigrasi yang berhasil. Etnik Lampung dahulunya memiliki tanah yang luas-luas, dan penduduk yang datang bekerja banyak yang bekerja di lahan-lahan tersebut, kemudian saling bekerja sama dan diangkat menjadi saudara.

Namun, nilai-nilai ini sekarang sudah pudar, ketika interaksi sosial masyarakat sudah berubah. Kearifan lokal dan modal sosial juga memudar. Ditambah lagi pencapaian kesetaraan ekonomi dan sosial yang sudah hampir sama. Sementara itu, identitas semakin kuat, tapi keadaan sudah berubah, dan kebudayaan sudah luntur. Hubungan keduanya menjadi tidak seimbang. Sehingga hal-hal sepele membangkitkan emosi dan menjadikan karakter manusia yang tidak ?sehat?. Bahkan isu-isu sensitif pun dijadikan argumentasi untuk dimanipulasi dalam pembenaran akan tindak kekerasan, misalnya isu etnik dan agama.

Yang penting dipahami, kita tidak lagi hidup di masa lalu di mana penduduk asli dan transmigran hidup berdampingan, tapi Lampung masa kini adalah masyarakat tanpa batas (bourdeless society) yang sudah tercipta akulturasi, asimilasi bahkan amalgamasi. Masing-masing memiliki identitas kuat, tapi tidak diriingi dengan kuatnya budaya dan nilai-nilai kehidupan yang harmoni, ditambah lagi dengan kehidupan sosial-ekonomi yang hampir setara dan bahkan sering berkompetisi. Sehingga budaya tidak mampu mengontrol identitas, bahkan ketika identitas tersebut dijadikan isu, akhirnya malah berujung kekerasan tidak bisa dihindari lagi.

Untuk menghadapi perubahan dan dinamika masyarakat ini, tentu jurus lama tidak bisa dipakai dalam nuansa baru. Artinya, pendekatan lama tidak bisa dipakai dalam masyarakat yang tengah berubah. Pemerintah, misalnya, tidak bisa melihat masyarakat Lampung sebagaimana masyarakat Lampung dahulunya ketika zaman Belanda atau zaman sesudah kemerdekan, sehingga program-program antisipasi konflik dan kekerasan haruslah menggunakan pendekatan terkini yang sesuai dengan keadaan masyarakat saat ini. Pemimpin saat ini harus mengubah pedekatan terhadap masyarakat dengan memahami keberagaman masyarakat yang berdinamika dan terus berubah.

Pemerintah dalam hal ini harus memaksimalkan peranan tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh agama dalam setiap tatanan kehidupan bermasyarakat, yang biasanya hanya dimaksimalkan ketika akan pilkada. Negara harus mengakui pentingnya peranan ?masyarakat adat?, negara tidak bisa meminggirkan peranan tokoh adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat, seperti negara telah meminggirkan hak-hak adat dan lokal masyarakat. Padahal, ini adalah kearifan lokal dan modal sosial yang perlu terus diberdayakan dan dipelihara. Ini disebabkan banyak kasus kekerasan di Tanah Air yang semuanya diselesaikan oleh adat. Sementara kehidupan adat dan budaya lokal selama ini dalam posisi termarginalkan.

Terakhir, agenda-agenda untuk mengatasi salah satu bencana sosial ini sepertinya masih belum serius dilakukan pemerintah, terutama pemerintah daerah, karena ada anggapan urusan begini adalah semata urusan pihak keamanan. Selama ini kita lalai dalam memprioritaskan agenda pencegahan kerusuhan dan kekerasan. Kalau sudah begini baru disadari betapa pentingnya agenda dan program pencegahan konflik. Satu hal yang mendesak dilakukan adalah perlunya memperkuat modal sosial, yakni dengan pemetaan konflik berbasiskan culture area (Peta dengan batas-batas budaya dan etnik) dan kearifan lokal di Lampung. Pemetaan culture area berbasiskan kearifan lokal untuk deteksi konflik dan kekerasan merupakan pemetaan penting dalam pencegahan konflik di Lampung. Kearifan lokal di Lampung merupakan modal sosial yang penting dalam pencegahan konflik.

Bartoven Vivit Nurdin, Dosen Jurusan Sosiologi FISIP Unila

Sumber: Lampung Post, Senin, 5 November 2012

November 4, 2012

[Buku] Tradisi Lisan Orang Lampung

Judul: Mamak Kenut, Orang Lampung Punya Celoteh

Penulis: Udo Z. Karzi

Penerbit: Indepth Publishing, Bandar Lampung

Cetakan: I, Juni 2012

Tebal: xxii + 226 hlm

ISBN: 978-602-18479-0-9



"Tolong ambilkan dan berikan padaku semangat yang tercampak di semak-semak," Mat Puhit bersajak.

Mamak Kenut tertawa berderai. "Mat, Mat... puasa ya puasa. Jangan lantas jadi ngawur begitu."

ITU adalah paragraf pertama dari judul Semangat halaman 66 dalam buku Mamak Kenut, Orang Lampung Punya Celoteh,  yang merupakan kumpulan tulisan Udo Z Karzi di koran Lampung Post dalam kolom Nuansa.

Membaca buku setebal 226 halaman dengan 101 tulisan ini, kita seperti tengah menikmati sebuah sketsa bagaimana Mamak Kenut dkk memandang, membicarakan, mengguyoni, menertawakan, menyindir,  atau mendiskusikan “sok serius” pelbagai masalah mulai dari politik, budaya, sosial, keagamaan, ekonomi, olahraga, hingga kehidupan sehari-hari. Sebagian besar, tema yang ditulis Udo adalah merupakan cerminan apa yang terjadi (aktual), baik di daerahnya (Lampung) maupun di negeri ini (Indonesia). Maklum, sebagai wartawan di Lampung Post, Udo tentu bersentuhan langsung dengan pelbagai berita, sehingga sebagian besar itulah yang menjadi tema tulisannya.

Gaya tulisan Udo yang ringan, santai, namun sebenarnya cukup sublim, menjadikan setiap tulisannya cukup enak dimamah. Latar belakang Udo sebagai sastrawan– penyair, cerpenis, penerima Hadiah Sastra Rancage 2008, barangkali memudahkan ia “memainkan” kata-kata sehingga ia tidak merasa terbebani harus menulis sebuah kolom yang berat, penuh kontemplasi, atau dengan sederet referensi dari buku-buku dan kutipan-kutipan dari mulut orang Barat.

Seperti judul bukunya; Orang Lampung Punya Celoteh, setiap tulisan kolom ini seperti merefleksikan bagaimana orang Lampung memandang atau menanggapi suatu isu. Karenanya, dalam setiap tulisan Udo, tak hanya ada tokoh (utama) Mamak Kenut --dalam bahasa Lampung, Mamak sebutan untuk paman atau om namun belum kawin-- yang digambarkan sebagai sosok muda yang kadang konyol namun juga kerap membawa solusi, juga ada beberapa temannya seperti Mak Puhit, Minan Tunja, dan Pithagiras. Juga sesekali muncul Udien (wartawan), Radin Mak Iwoh (birokrat), dan Paman Takur (politisi pengusaha kotor).

Udo yang pernah menjadi wartawan di Borneo News, Pangkalan Bun (2006-2009) ini dalam setiap tulisan kolomnya tidak pernah berupaya menggurui. Malah, terkadang lebih mirip merupakan potongan-potongan cerita – karena sebagian besar banyak ditulis dalam bentuk dialog antar tokoh di dalamnya. Kerap juga nakal, terkadang bijak, dan penuh imajinasi—salah satunya seperti pada tulisan dengan judul Kereta Api, Nyut..., Nyut..., Nyut... Dalam tulisan ini, tokoh Mamak Kenut dkk mengimajinasikan kereta api bisa terbang bagai pesawat dan bisa berlayar seperti kapal hingga menjelajahi dunia.

Sementara dalam kata pengantarnya, Djadjat Sudradjat (Wakil Pemimpin Umum Lampung Post) menyebutkan, tulisan Udo terasa kental dengan tradisi lisan (orality tradition) Lampung. Bahkan, katanya, hal itu bisa langsung dikenali dengan pemakaian nama lokal, juga seringnya menggunakan ungkapan dan istilah Lampung.  Jadi, memang jelas ada upaya Udo untuk mengangkat tradisi lisan Lampung yang pernah hidup dan berkembang dalam kehidupan masa kini.

Endorsment Binhad Nurrohmat, penyair, di awal buku ini juga menarik disimak; Mamak Kenut adalah jelmaan King of Rumpi yang gampang tergoda nafsu untuk mencereweti urusan politik, olahraga, dangdut, hingga korupsi lewat gaya slebor kampung Negarabatin.  Sesungguhnya Mamak Kenut “dipintarkan” oleh kenyataan yang bodoh dan “dicerdaskan” oleh kondisi yang bebal.  Mamak Kenut adalah miniatur manusia bangsa ini yang dihujani kenyataan abnormal, sehingga nalar kian berdaya, tetapi tak becus membereskan apa pun selain menggerutu.

Akhirnya, lewat buku ini masyarakat di luar Lampung sedikit banyak bisa membaca bagaimana tradisi lisan orang Lampung—yang telah diupayakan Udo lewat Mamak Kenut.  “Mamak Kenut ini semacam Paman Gembul,” canda Udo kepadaku ketika kami bertemu di acara Temu Redaktur Kebudayaan Se-Indonesia beberapa waktu lalu, sembari berjanji memberi buku ini—yang kemudian dikirimkannya lewat pos ke Banjarbaru. (sandi firly)

Sumber: Tepi Langit, Media Kalimantan, Minggu, 4 November 2012

[Lentera] Dunia Kepenulisan bagi Ida Raihan

Oleh Kuswinarto


DARI sekian banyak jumlah tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia di Hong Kong yang antusias menggeluti dunia kepenulisan, tiga di antaranya berasal dari Lampung, yakni Nining Indarti, Liza Liztyanna (Haruka Azary), dan Ida Raihan.

Ida Raihan, yang menggeluti dunia kepenulisan baru setelah bergabung dengan Forum Lingkar Pena (FLP) Hong Kong pada 2007, sejauh ini paling produktif dibanding Nining Indarti dan Liza Liztyanna. Liza Liztyanna masih terus berproses, tetapi Nining Indarti sudah tidak terdengar beritanya.

Hingga Oktober 2012, sudah ada 12 buku (sastra dan nonsastra) yang memuat karya Ida Raihan. Satu di antaranya adalah karya tunggalnya, yakni novel Cintaku di Negeri Jackie Chan (2012).

Sebelas buku lainnya adalah kumpulan novelet Aura Biru Langit Hongkong (2010), Emak2 Fesbuker Mencari Cinta (2010), CrazMo (2010), kumpulan cerpen Penjajah di Rumahku (2010), TKW Menulis (2010), Cinta Monyet Never Forget (2010), Masihkah Kau Mencintaiku (2010), Surat Berdarah untuk Presiden (2010), Menggapai Mimpi (2010), Mengejar Jodoh (2011), dan antologi puisi Serpihan Keping Kehidupan (2012).

Karya-karya Ida Raihan berupa cerita bersambung, cerpen, puisi, kisah sejati, dan artikel juga menghiasi media massa berbahasa Indonesia di Hong Kong dan Taiwan.

Dia juga berprestasi di ajang lomba kepenulisan. Sebuah cerpennya juara dua lomba menulis cerpen yang diadakan oleh Alif Al-Khairiyah Study dan Pro U Media. Sebuah esainya meraih juara harapan dalam lomba menulis esai yang diselenggarakan oleh FLP Hong Kong.

Saat berbincang dengan saya belum lama ini, Ida mengabarkan bahwa saat ini dirinya sedang berusaha menyelesaikan sebuah novel dan sebuah kisah mirip memoar.

Islami

Ida Raihan lahir pada 13 Juni 1982 di Desa Malamandar, Kecamatan Sangunratu, Lampung Tengah, tetapi dibesarkan di Desa Pagarjaya, Kecamatan Lambukibang, Tulangbawang, Lampung Utara.

Anak ke-3 dari 8 bersaudara dari pasangan Kardiman (ayah) dan Suwarti (ibu) ini menjadi TKW di Hong Kong selama 6 tahun. Ia berangkat ke Hong Kong pada April 2004 dan kembali ke Indonesia pada Oktober 2010. Kini, ia bekerja di Jakarta, tetapi keluarganya tetap di Lampung.

Di dalam keluarga sederhana?orang tuanya tergolong keluarga tidak mampu dan punya anak banyak?Ida sejak kecil dididik orang tuanya dalam kehidupan yang taat kepada agamanya, Islam. Dulu ada pemberontakan batin pada Ida karena sikap ketat orang tuanya. Namun, belakangan Ida mengaku bersyukur dan berterima kasih kepada orang tuanya yang mendidiknya secara Islami.

Didikan orang tua itu sangat mewarnai padangan dan pilihan jalan hidup Ida. Selain memperjuangkan masa depan dirinya, kepergiannya dulu ke Hong Kong sebagai TKW pun dimaksudkan sebagai bakti kepada orang tuanya.

Di Hong Kong, waktu-waktu di luar pekerjaan pun dihabiskan dengan berbagai aktivitas yang berwarna Islam. Dia bergabung dengan beberapa organisasi. Mula-mula ia bergabung dengan Majelis Muslimah Mei Foo di Kowloon. Lalu, ia pun bergabung dengan Ulil Albab?organisasi yang bertujuan menyatukan organisasi TKW. Ida juga menjadi volunteer di Dompet Dhuafa Hong Kong.

Semangat untuk berdakwah sangat kuat pada diri Ida Raihan. Lewat organisasi yang sudah dimasuki, ia hanya bisa berdakwah secara lisan dan itu bagi Ida belum lengkap. Ia bertekad untuk bisa juga berdakwah lewat tulisan. Karena itu, ia bergabung FLP Hong Kong. Tak hanya itu. Ia juga bergabung dengan sebuah tabloid berbahasa Indonesia di Hong Kong sebagai kontributor.

Hari-hari Ida di Hong Kong dengan demikian menjadi sangat padat. Itu masih ditambah dengan berbagai kajian keislaman yang dia ikuti secara online untuk meningkatkan wawasan keislaman.

Fokus Menulis

Dunia kepenulisan sangat penting bagi Ida Raihan. ?Ida ingin tetap fokus untuk menulis. Dan tetap eksis sebagai Ida Raihan yang penulis, membagikan ide kepada masyarakat,? ujar Ida Raihan kepada saya suatu ketika.

Jika setelah pulang dari Hong Kong ia lebih memilih bertahan di Jakarta. Di sana ia merasa lebih mudah berinteraksi dengan komunitas penulis. Kalau pulang ke desanya di Lampung Utara, Ida tidak yakin bisa tetap menulis. ?Di kampung saya itu internet juga sulit. Bisa-bisa tulis-menulis Ida berhenti total dah!? ujarnya.

Karakter Islam

Secara kualitas, karya-karya Ida Raihan memperlihatkan kemajuan demi kemajuan. Cerpennya yang terbit di luar negeri, seperti Ketika Rasa itu Hadir (Berita Indonesia, 2009), Lorong MTR (Holiday, 2009), dan Buah Keegoisan (Apakabar, 2009) memperlihatkan teknik bercerita yang cukup matang.

Karakter Islam sangat kuat dalam karya-karya sastra yang dihasilkan Ida, terutama dalam novel Cintaku di Negeri Jackie Chan. Antara lain lewat tokoh utama Azura?tokoh ini ?potret? penulisnya (menurut pengakuan Ida Raihan kepada saya), dapat diselami pandangan-pandangan Islami tentang poligami, jodoh, pernikahan, pacaran, dan calon suami/istri yang ideal. Juga tentang janji, Amrozi dkk., dan konflik Israel-Palestina.

Dalam novel yang juga memperlihatkan betapa besarnya rasa cinta Ida terhadap Tanah Airnya?Indonesia?ini, Ida Raihan juga memberi sanggahan terhadap beberapa hal, di antaranya terhadap orang-orang yang memandang TKW itu rendah dan hina. Ida juga menyanggah pendapat bahwa menjadi TKW itu haram karena keluar rumah tanpa mahram. Hal lain yang disanggah Ida dalam novel ini, misalnya pendapat bahwa muslim(mah) tidak seharusnya bekerja pada nonmuslim.

Sanggahan-sanggahan ini menjadi semacam esai yang cukup menarik dan mencerahkan karena juga didukung dengan referansi dari dunia ke-Islaman.

Karya-karya Ida Raihan bernilai didaktik-religius. Secara sadar, Ida memang menulis dengan arah yang jelas. Dalam buku TKW Menulis (Leutika, 2010) yang ditulisnya bersama Bayu Insani, (mantan) TKW Hong Kong asal Kebumen, Jawa Tengah, Ida Raihan antara lain menulis, ?Saya mempunyai tujuan dengan terjun ke dunia tulis-menulis, sesuai sabda Nabi, ?Sampaikanlah walau satu ayat.? Berpegang dari hadis tersebut, saya ingin menyampaikan kepada khalayak ramai tentang apa yang mampu saya lakukan, apa yang saya punya, dan apa yang saya dapat, melalui tulisan. Juga, berbagi kisah, berbagi cerita, berbagi bahagia, dan sebisa mungkin menebar hikmah. Semoga. (hlm. 159).?

Di bagian lain buku itu, Ida Raihan menulis, ?Saya ingin bisa mengajak teman-teman menuju kebaikan. Saya ingin berdakwah melalui tulisan. Saya ingin menghibur dengan tulisan. Saya ingin ada yang bermanfaat bagi pembaca dari tulisan-tulisan saya. Intinya adalah pembaca tercerahkan dengan apa yang telah saya goreskan pada lembar-lembar kertas yang masih sangat terbatas ini (hlm. 163). Saya ingin menulis. Saya ingin berdakwah lewat tulisan (hlm. 169).?

Bukan main semangat juang perempuan muda ini, yang setelah ditilik pendidikan formalnya, ternyata hanya tamat sekolah dasar.

Kuswinarto, esais, tinggal di Kediri, Jawa Timur

Sumber: Lampung Post, Minggu, 4 November 2012

[Refleksi] Lampung (1)

Oleh Djadjat Sudradjat

"Hidup adalah seni menarik kesimpulan yang memadai dari premis-premis yang tidak memadai." (Samuel Butler, pengarang Inggris)

"RUMAH terbuka" atau "rumah bersama". Atau adakah amsal yang lain, yang lebih tepat, untuk disematkan kepada Lampung? Realitasnya bumi ini tak pernah menolak para "tamunya". Ia menerima belaka siapa saja untuk menjadi penghuni bersama. Yang asli dan yang pendatang diluluhkan dalam rumah itu. Sai Bumi Ruwa Jurai.

Juga Lampung Selatan yang kini tengah "dijadikan etalase kekerasan" dengan "Tragedi Way Panji", 28-29 Oktober pekan silam. Mari kita lihat bukti nyata rumah bersama itu di kabupaten paling selatan Provinsi Lampung itu. Dari penduduk sekitar 1 juta jiwa itu etnis Lampung hanya 11,9%. Betapa ia membuka pintu selebar-lebarnya untuk para pendatang yang kemudian menjadi mayoritas. Tetapi, adakah pula yang mayoritas lantas menancapkan dominasi yang diekspresikan dengan laku loba? Laku jumawa?

Komposisi itu: etnis Jawa 61,02%, Sunda 13,29%, Banten 3,68%, Palembang 2,89%, Bali 1,62%, Minangkabau 0,84%, Ogan 0,82%, Semendo 0,46%, dan etnis lainnya 3,48%. Dari angka ini betapa Lampung sesungguhnya tanah harapan yang tak punya problem penerimaan pendatang. Bukankah Lampung menjadi ikhwal transmigrasi di negeri ini, 40 tahun sebelum Republik Indonesia berdiri?

Etnis Bali, seperti etnis-etnis pendatang, juga tersebar di seluruh kabupaten di Lampung. Tapi, di tempat lain kita tak pernah mendengar ada kekerasan komunal yang melibatkan etnis Bali dengan etnis lain. Karena itu kita penting meletakkan ?Tragedi Way Panji? yang memilukan itu sebagai kasus. Ia memang bernuansa SARA. Tapi, tak bisa lantas diambil kesimpulan sebagai konflik etnis Bali versus etnis Lampung. Terlebih lagi 20 ribuan warga dari Desa Agom, Kecamatan Kalianda, yang menggeruduk Desa Balinuraga, Kecamatan Way Panji, sangat mungkin tak sepenuhnya etnis Lampung. Sudah bercampur rupa-rupa etnis.

Memang mencermati kekerasan itu ada gelora amarah yang tak tertahankan di situ, di "palagan" Way Panji. Penyerbuan di hari pertama, empat penyerbu menjadi jasad. Penyerbuan kedua 10 orang warga Balinuraga mati. Ratusan rumah dibakar. Para penghuninya yang panik menyelamatkan diri, tak tahu ke mana harus pergi.

Menurut banyak akademikus, konflik Way Panji menjadi contoh yang kian menguatkan rapuhnya ikatan sosial sesama warga bangsa, tak dihayatinya kebhinnekaan, longgarnya tenunan keindonesiaan. Tarikan kesimpulan seperti ini bisa benar juga bisa kurang pas. Memang konflik komunal seperti ini kini menjadi realitas di banyak tempat di negeri ini. Tetapi, dalam kasus Lampung Selatan, tarikan itu mungkin juga bisa berlebihan.

Tragedi Way Panji memang tak bisa tidak akhirnya menjadi panggung terbuka. Stigma buruk terhadap Lampung tak bisa dihindari, terlebih lagi setelah kasus Mesuji dan beberapa kali kerusuhan di Lampung Selatan pada tahun ini. Inilah tahun penuh ujian bagi Lampung Selatan, bagi Bupati Rycko Menoza, yang juga putra Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P.

Kekerasan massa di Way Panji yang sifatnya spontan itu, kemudian memang menjadi panggung banyak pihak. Tetapi, ini memang tidak bisa dihindari. Ini bisa terjadi di mana pun. Bukankah di alam ketika politik menjadi panglima, kita tak bisa menghindar dari kepentingan itu? Berbagai ?tokoh? datang silih berganti. Ada yang berbicara objektif, ada yang dipelintir menurut kepentingan politiknya.

"Kami sedih ketika melihat dan mendengar di televisi-televisi Jakarta tokoh-tokoh politik itu bicara seenaknya. Mereka tahu terlalu sedikit tetapi berbicara terlalu banyak. Mereka bicara tak memikirkan bagaimana orang-orang di sini yang mengalami, melihat sendiri, dan berupaya sekuat mungkin mencegahnya," kata seorang perwira pertama yang sejak awal kerusuhan berupaya membendung massa di Balinuraga.

Ia pun menejelaskan jika TNI dan polisi berbuat tegas dan keras seperti yang diharapkan para politisi di Jakarta itu, yang terjadi adalah tentara melawan rakyat. ?Sungguh tidak mudah melawan massa yang datang penuh amarah. Salah sedikit saja bisa fatal. Mereka tidak takut apa pun. Terlebih jumlahnya puluhan ribu,? katanya lagi.

Sebenarnya, kata sang perwira itu, sebelum para politisi, para sosiolog, dan banyak pihak berbicara dengan tarikan-tarikan macam-macam, penyebab konflik itu sesuatu yang sesungguhnya ?sederhana?. Soal pelecehan gadis dari Desa Agom oleh para pemuda Desa Balinuraga, sungguh bisa dicegah agar tak menjadi destruksi yang mengerikan. Sebab, semarah apa pun, jika ada komunikasi dan persuasi jalan tengah, semua bisa diatasi. Memang seperti kita tahu, Bupati Rycko di hari Minggu pergi untuk sebuah acara di Jatinangor, Jawa Barat. Rycko telah meminta maaf atas semua ini.

Selain itu, kerap sebuah konflik diselesaikan dengan perdamaian secara formal. Tetapi, dalam hidup keseharian kesepakatan itu tak ada yang merawat. Tak ada yang menjadi ?pembimbing? agar kesepakatan itu tak bersimpang jalan. Juga tak ada yang menjadi pengadil yang objektif. Yang dipercaya oleh mereka yang berseteru. Akar konflik itu, seperti juga kanker yang telah dioperasi tetapi akar-akarnya masih kuat menancap dan pasti bertumbuh.

Yang juga menjadi kian berat konflik komunal juga kerap tak tuntas penanganan hukumnya. Ini memang menjadi pilihan yang tidak mudah bagi aparat, terutama polisi. Ada banyak kasus, setiap ada penegakan hukum, massa kerap brutal menuntut pembebasan. Negara memang tak boleh menyerah terhadap pelanggar hukum, tetapi dalam banyak kasus konflik komunal, polisi kerap dihadapkan pada situasi sulit.

Saya melihat kekerasan di Way Panji adalah ujian. Ujian bagi sesama penduduk, bagi para tokoh/elite, aparat keamanan, penegak hukum, dan kita semua. Apa pun rumitnya persoalan negara punya segalanya untuk menyelesaikannya. Negara harus mampu ?menarik kesimpulan yang memadai dari premis-premis yang tidak memadai,? seperti saya kutip di awal. Negara harus bisa. Sebab, ia punya segalanya.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 4 November 2012

[Buras] Keindonesiaan Kita pun Diuji!

Oleh H. Bambang Eka Wijaya


"BENTROK fisik antaretnis yang menewaskan belasan orang di Lampung Selatan pekan lalu, seperti yang meruyak di berbagai daerah, jadi ujian bagi keindonesiaan kita!" ujar Umar. "Keindonesiaan itu identitas bangsa yang berciri Bhinneka Tunggal Ika! Identitas itu mengaktual sebagai karakter dalam kehidupan sehari-hari warga, mengekspresikan semangat Sumpah Pemuda?satu nusa, satu bangsa, satu bahasa?dan Proklamasi Kemerdekaan?bersatu dalam wilayah kedaulatan Republik Indonesia yang berasas Pancasila!"

"Rumusanmu tentang keindonesiaan terlalu formalistik!" sela Amir. "Bahasa sederhananya, keindonesiaan itu sikap yang merasa nyaman di tengah lingkungan yang serbabeda secara sosial dan kultural dari dirinya! Seberapa besar merasa terusik dan tak nyaman oleh perbedaan itu, sebesar itu pula penurunan kadar keindonesiaan! Apalagi ketika ia telah sampai pada kesimpulan harus menghabisi yang beda dari dirinya, bisa jadi sudah habis pula kadar keindonesiaan pada dirinya! Sebab, prularisme (kebhinnekaan) itu realitas absolut!"

"Rumusan begitu terlalu sederhana pula, bisa disimplifikasi?harus serbabeda melulu!" tegas Umar. "Perlu dilengkapi pemahaman tentang kebersamaan dan persamaan dalam berbagai dimensinya sebagai ikatan dasar mencapai harmoni hidup berbangsa! Ketika ikatan dasar itu longgar, bukan saja tak mencapai harmoni, melainkan malah jadi permusuhan, keindonesiaan kita keluar rel!"

"Tapi masalah keindonesiaan kita tak sebatas makna dan penghayatannya sebagai nilai-nilai pribadi warga itu!" tukas Amir. "Tapi justru ketika implementasinya dalam kehidupan bersama mengalami disharmoni antarunsur yang berbeda, pengelolaan konflik di atas kebersamaan itu yang tidak optimal, baik secara politik maupun hukum! Akibatnya konflik tidak mengalir dalam dialektika solusi persaingan menjadi proses pendewasaan kebersamaan dalam perbedaan, tapi malah menjadi bara permusuhan!"

"Jadi, keindonesiaan hangus akibat proses dialektika solusi persaingan secara politik dan hukum macet!" tegas Umar. "Setiap konflik muncul, bukan penanganan cepat, tepat, dan adil hadir memberi solusi, tapi keraguan lalu pembiaran! Ini menasional, menghanguskan keindonesiaan warga bukan karena salah tingkah, melainkan karena salah urus!"

Sumber: Lampung Post, Minggu, 4 November 2012

November 1, 2012

[Buras] Karisma Elite dan Massa!

Oleh H. Bambang Eka Wijaya

"AMUK (belasan ribu orang) massa yang kalap hingga tak bisa diatasi ribuan polisi dan tentara menunjukkan orisinal dan murninya aksi kekerasan itu sebagai pelampiasan amarah warga sendiri, terlepas dari arahan maupun kepentingan elite!" ujar Umar. "Tudingan di balik kerusuhan itu ada elite bermain demi tujuan politik, bisa keliru! Karena, pengerah utama massa hari itu (29-10) adalah emosi mereka sendiri, yang tersulut oleh pemakaman rekan mereka yang menjadi korban bentrokan hari sebelumnya!"

"Terlepasnya amuk massa itu dari arahan dan kepentingan elite, bukan berarti adanya kesenjangan elite dan massa!" timpal Amir. "Dari peristiwa itu mungkin yang bisa dipastikan terkait relasi elite-massa adalah, tak hadirnya di lapangan hari itu elite berkarisma yang mampu menghentikan langkah maju massa!"

"Saat emosi membara itu, memang hanya karisma ulung pemimpin yang bisa memadamkan!" tegas Umar. "Tapi tak ada elite sekelas itu yang hadir di lapangan, hingga tak ada yang bisa menghentikan gerak massa hari itu!"

"Lantas ke mana elite berkarisma hari itu?" sela Amir.

"Mungkin justru di tempat yang semestinya!" tegas Umar. "Karena posisi elite berkarisma belakangan agak terganggu oleh elite pragmatis, di antaranya elite politik, yang sibuk mendekati rakyat saat butuh dukungan untuk meraih kursi eksekutif atau legislatif! Di belakang elite politik itu ada pula 'elite sembako', yang posisinya di antara elite politik dan massa! Buah tangan elite sembako dinanti oleh massa, paket sembako yang memang mereka butuhkan! Sebagai imbalannya, massa menaati arahan si elite untuk pilihan dalam setiap pemilu nasional/daerah!"

"Jadi konflik yang terjadi juga tak terlepas dari terganggunya peran elite karisma oleh elite pragmatis!" timpal Amir. "Dalam prakteknya, ketika ada gejolak massa, seolah-olah elite pragmatis mampu mengatasi, tapi saat konflik meledak ternyata malah tak kelihatan batang hidungnya! Padahal, elite karisma telanjur menjaga jarak agar tak terkesan 'ngerusuhi' hubungan elite pragmatis dengan massa!"

"Berarti salah satu hal penting untuk penyelesaian konflik, menempatkan kembali posisi elite karisma pada proporsinya?tak lagi dikesampingkan oleh hubungan elite pragmatis dan massa yang bersifat transaksional itu!" tegas Umar. "Masalahnya, massa sendiri menerima pengaruh elite pragmatis sebatas arahan pilihan saat pemilu, tidak untuk yang lain! Massa memberi sesuai transaksi, apa yang dibeli elite pragmatis! Sehingga, ketika elite pragmatis coba menghentikan langkahnya dalam konflik tertentu, massa tak peduli! Itu memang otoritas elite karisma!"

Sumber: Lampung Post, Kamis, 1 November 2012 

[Inspirasi] Terbang ke Jakarta Berkat Tulisan

UMUMNYA warga Desa Indraloka, Tulangbawang Barat, keluar dari desanya dengan naik pesawat untuk bekerja menjadi TKI ke luar negeri.

Namun, kali ini, Sriyani (11), siswi kelas VI di SDN 04 Indraloka II, Tulangbawang Barat, naik pesawat bukan untuk menjadi TKI, melainkan bertemu Presiden RI dan puluhan anak lainnya.

Ya, Sriyani yang biasa dipanggil Ani akan terbang ke Jakarta menjadi salah satu dari 36 delegasi anak-anak yang akan berpartisipasi dalam Konferensi Anak Indonesia yang diselenggarakan majalah Bobo tahun ini.

Ardi Wilda, pengajar muda III Tulangbawang Barat, yang ikut membimbing Ani, kepada Lampung Post mengatakan Ani lolos setelah ikut seleksi penulisan anak yang digelar salah satu majalah.

Konferensi tersebut akan berlangsung 4?9 November 2012. Puncak acara konferensi tersebut digelar pada 7 November yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Konferensi Anak Indonesia ini memberikan kesempatan kepada anak-anak, pendidik, dan pejabat pemerintahan memperluas pengetahuan mereka dengan mendengarkan pendapat orang lain mengenai isu-isu yang diperbincangkan. Konferensi ini juga sebagai ajang bertemunya anak-anak dari berbagai provinsi di Indonesia.

Lolosnya Ani mengikuti ke Konfrensi Anak Indonesia ini membuat keluarga kaget, haru, dan bangga.

"Di desa ini, mungkin kami tidak diperhitungkan oleh tetangga, karena kami keluarga besar dan miskin. Tapi, prestasi Ani ini mungkin bisa mengubah pandangan tetangga kepada kami," kata Sujilah, ibu Ani yang memiliki sembilan anak ini.

Sekarang orang tua lain mengatakan kepada anak-anak mereka untuk mencontoh Ani. "Ani jadi panutan bagi anak-anak lain, saya bangga," ujar ibunda Ani.

"Enam anak saya yang pertama gagal sekolahnya, tapi saya punya harapan besar bagi Ani dan adik-adiknya. Tuhan tidak pernah tidur. Dia melihat apa yang anak saya telah perjuangkan," ujar Sujilah.

Butuh Perjuangan

Ani yang dikenal sebagai bocah pendiam ini pun bersuara. "Saya ingin membuktikan kepada keluarga saya, teman-teman, dan semua orang di desa ini bahwa kita bisa pergi ke Jakarta karena prestasi," kata Ani.

Menurut Ardi, proses seleksi konferensi anak ini bukanlah hal yang mudah. Ani berjuang mennyampaikan ide dan menuliskan perjalanan sehari-harinya ke sekolah dalam sebuah esai sepanjang dua halaman.

Esai yang ditulis Ani dalam bahasa Indonesia. Hal tersebut merupakan tantangan tersendiri karena kebiasaan keseharian Ani menggunakan bahasa Jawa, tapi tekad Ani untuk belajar menulis sangat tinggi. Di luar sekolah, ia rela berjalan 3 kilometer demi belajar menulis kepada sang guru.

Akhirnya, perjuangannya terbayar. Ani berhasil menuliskan perjalanannya ke sekolah dan secara halus membuka mata pembacanya mengenai kehidupan di desanya.


Menikmati Matahari dengan Berjalan Kaki

Dalam esai yang dibuat Ani tersebut menggambarkan kesehariannya.

"Namaku Sriyani. Aku adalah anak ketujuh dari sembilan bersaudara. Rumahku dikelilingi hutan karet yang telah menjadi pendapatan utama bagi masyarakat di desaku. Tapi ayahku bekerja di kebun sayuran.

Kebun tersebut terletak dekat sungai sehingga bisa mendapatkan banyak air setiap hari. Rumah saya terletak dekat pintu masuk hutan dan terjauh dari sekolah sehingga harus berangkat dari rumah pukul 06.00 agar bisa mencapai sekolah sebelum bel berbunyi pukul 07.30.

Aku pergi ke sekolah dengan adikku, Dina. Dia sekarang di kelas IV. Tapi Dina sakit. Banyak teman-teman Ani pergi ke sekolah dengan sepeda motor. Tapi Ani mengerti bahwa dia terlalu kecil untuk mengendarai sepeda motor sendiri. Ini benar-benar berbahaya. Aku memilih untuk berjalan. Dengan berjalan, aku bisa merasakan hangatnya sinar matahari dan merasa lebih sehat.

Jalan dari rumah ke sekolah rusak dan berbatu-batu. Ketika hujan, jalannya benar-benar licin dan berlumpur, dan bila kering, jalannya sangat berdebu.

Sepanjang jalan ke sekolah aku melewati hutan, perkebunan, dan sungai. Ku dengar kicau burung dan kupu-kupu berwarna-warni. Terkadang ku berpikir bahwa kupu-kupu yang berwarna-warni tersebut mirip dengan masyarakat Indonesia yang juga berwarna-warni, mewakili begitu banyak agama dan suku.

Aku berharap suatu hari memiliki sepeda dengan dua kursi sehingga dapat pergi ke sekolah naik sepeda bersama-sama dengan adiknya, Dina. Itu sepenggal esai yang ditulis Sriyani. (SRI AGUSTINA/S-2)

Sumber: Lampung Post, Kamis, 1 November 2012 

Megou Pak Beri Gelar Ryamizard Ryacudu

MENGGALA (Lampost): Lembaga adat Megou Pak Tulangbawang memberikan gelar kehormatan kepada Jenderal (Purn.) Ryamizard Ryacudu, yaitu Stan Raja Perkasa Sakti.

Pemberian gelar adat dilaksanakan di Sesat Agung, Tulangbawang, Rabu (31-10), yang dihadiri antara lain Wakil Bupati Tulangbawang Agus Mardihartono, Kapolres Tulangbawang AKBP Shobarmen, Dandim 0416 Letkol Yana Sujana.

Selain itu, juga hadir Ketua Lembaga Adat Megou Pak Tulangbawang (LAM-TB) Wan Mauli B. Sanggem gelar Tuan Rajou Tehang dan para kepala marga-marga yang ada di Tulangbawang.

Dalam sambutannya, Ryamizard mengungkapkan terima kasih kepada LAM-TB atas pemberian gelar tersebut. Ia berharap pemberian gelar adat itu bisa makin menjalin persatuan, baik sesama suku maupun pendatang.

Ketua LAM-TB Wan Mauli mengatakan pemberian gelar kepada Ryamizard Ryacudu merupakan salah satu upaya menjalin hubungan silaturahmi. "Pengukuhan ini tidak ada unsur-unsur politik. Ini bentuk masyarakat Say Bumi Nengah Nyapur Tulangbawang bisa menerima bangsa dan suku lain untuk sama-sama membangun Lampung, khususnya Kabupaten Tulangbawang," ujar dia.

Hati-hati

Menanggapi pemberian gelar adat tersebut, Wakil Sekretaris Gerakan Pemuda Nusantara Lampung Resmen Kadapi mengingatkan mantan kepala staf Angkatan Darat itu berhati-hati agar tidak dimanfaatkan segelintir orang yang ingin mencari keuntungan ekonomi dan politik, sehubungan dengan penobatannya sebagai tokoh adat Megou Pak di Tulangbawang.

"Saya agak cemas bila Pak Jenderal Ryamizard menjadi kendaraan orang-orang tidak bertanggung jawab yang mencoba mencari kekuatan dari tokoh nasional itu," kata Resmen Kadapi di Jakarta, Rabu (31-10).

Megou Pak adalah marga adat di Tulangbawang yang memayungi beberapa klan atau subsuku yang dipimpin beberapa tokoh adat setempat. Belakangan, Megou Pak terpecah dua, masing-masing dipimpin Wan Mauli dan Berlian Tihang.

Perpecahan ini terjadi akibat kepentingan yang berbeda, khususnya dalam menyikapi tanah ulayat yang sekarang dijadikan areal perkebunan oleh perusahaan besar, seperti perusahaan tebu, karet, kelapa sawit, hingga singkong.

Sebagian tokoh Megou Pak menginginkan kembalinya tanah ulayat yang mereka anggap dikuasai perusahaan perkebunan secara ilegal, sebagian tokoh lagi menentang gugatan terhadap tanah ulayat itu. (ATA/ANT/R-3)

Sumber: Lampung Post, Kamis, 1 November 2012