KETIKA ketertarikan akan seni tradisi hilang dan beralih pada seni modern, maka hilanglah identitas budaya lokal. Itu artinya tidak ada lagi yang bisa dibanggakan.
Humaidi Abbas pernah menampilkan sastra lisan di hadapan para seniman dan sastrawan dunia di Jakarta pada 2009. Saat itu sedang berlangsung pertemuan kesenian yang dihadiri banyak seniman dari berbagai negara.
Pria 56 tahun itu berduet dengan salah seorang seniman tradisi asal Lampung lain. Sambil memainkan gambus lunik atau gambus kecil, Humaidi berbalas pantun dan berdendang dalam bahasa Lampung. Lampung Sai Batin dan Pepadun sama-sama ditampilkan lewat keseniannya.
Malam itu seni tradisi Lampung menjadi pusat perhatian dan magnet tersendiri. Di atas panggung yang minimalis, Humaidi menampilkan budaya Lampung pada puncak kebesarannya.
Penampilan yang kurang dari setengah jam itu mampu menghipnosis semua penonton untuk berdiri dan memberikan tepuk tangan meriah. Hampir semua penonton melakukan standing applaus.
?Begitulah kuatnya pengaruh seni tradisi. Orang yang memiliki kemampuan dalam memainkan kesenian tradisional lebih dihargai dan lebih diberikan tempat,? kata Humaidi bangga.
Menurutnya, orang asing lebih menguasai kesenian modern, misalnya musik, bermain gitar, atau drum. Alat musik itu dari sana. Jika orang Lampung belajar dan mahir musik mereka akan dianggap biasa saja dan tidak akan melebihi mereka.
Justru ketika seni tradisi yang memang lahir dan berkembang di Indonesia bisa dimainakan dengan baik, orang akan menilai identitas kesenian Lampung yang kuat dan tidak semua bisa memainkannya.
Humaidi lahir dan besar di Kedondong, Kabupaten Pesawaran. Keseniannya mulai tumbuh dari lingkungan sekitar. Dia belajar seni tradisi, seperti wawancan, warahan, dan bubandung. Awalnya sastra lisan memang dipakai dalam acara-acara adat dan perlahan-lahan pun dikuasainya.
Namun, kemampuan memainkan gambus lunik baru dilakukan ketika umurnya 41 tahun. Ada kebutuhan untuk pementasan teater yang membuatnya perlu menguasai gambus lunik. Dia pun belajar dari para pemain yang sudah lebuh dahulu mahir, seperti Usman dan Imron.
Saat itu, dia rutin mendengarkan kaset berisi permainan gambus lunik. Kemudian belajar menyetel gambus supaya pas dan tidak sumbang. Hanya dalam waktu beberapa minggu, Humaidi pun sudah mahir memainkan gambus dan siap ampil dalam berbagai acara Teater Satu atau pada pembukaan Festival Krakatau.
Kini, makin banyak seniman tradisi yang usianya makin tua. Beberapa sudah meninggal. Humaidi pun sudah memikirkan regenerasi. Dia sudah memiliki para penerus yang mulai muncul dan tampil dengan sastra lisan dan gambus lunik.
?Saya selalu menekankan anak-anak yang belajar seni tradisi untuk bangga dan percaya diri dengan kesenian yang dimiliki. Orang justru lebih kagum dengan seni tradisi,? kata dia.
Di Kedondong pun, PNS Taman Budaya Lampung ini membuat sanggar kecil dan mengajar anak-anak sekolah untuk bisa memainkan gambus, rebana, dan pandai melantunkan sastra tutur Lampung. Meskipun hanya ada delapan pelajar yang mau belajar, Humaidi sudah senang karena masih ada remaja yang peduli pada seni tradisi.
?Kami latihan tiga kali dalam seminggu. Biasanya setelah pulang sekolah,? kata pria yang akrab disapa Memed ini.
Setiap daerah di Lampung punya istilah sendiri untuk menyebut sastra turut. Pada Lampung pesisir atau Sai Batin dikenal dengan nama wawancan, bubandung, muwaya, dan hahedok. Sedangkan bagi Lampung Pepadun dikenal dengan istilah ringget, ngadiyo, dan pisaan.
Meskipun nama berbeda, penggunaannya hampir sama, untuk pengantar dalam acara-acara adat, untuk menyampaikan informasi dan pengumuman, atau untuk bercerita.
Pada usia tua dan sebentar lagi akan pensiun dari karier PNS-nya, Humaidi masih rutin menghadiri temu seni tradisi tingkat nasional dan tampil membawakan sastra lisan dengan iringan gambus lunik. Dia pun menjadi salah satu pemain di Teater Satu yang dikomandoi Iswadi Pratama.
Pria yang hanya lulusan SMA ini berharap seni tradisi, musik dan sastra lisan, tidak cepat punah dan masih terus terpelihara sebagai identitas dan karakter orang Lampung. (PADLI RAMDAN/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 6 Januari 2013
Humaidi Abbas pernah menampilkan sastra lisan di hadapan para seniman dan sastrawan dunia di Jakarta pada 2009. Saat itu sedang berlangsung pertemuan kesenian yang dihadiri banyak seniman dari berbagai negara.
Pria 56 tahun itu berduet dengan salah seorang seniman tradisi asal Lampung lain. Sambil memainkan gambus lunik atau gambus kecil, Humaidi berbalas pantun dan berdendang dalam bahasa Lampung. Lampung Sai Batin dan Pepadun sama-sama ditampilkan lewat keseniannya.
Malam itu seni tradisi Lampung menjadi pusat perhatian dan magnet tersendiri. Di atas panggung yang minimalis, Humaidi menampilkan budaya Lampung pada puncak kebesarannya.
Penampilan yang kurang dari setengah jam itu mampu menghipnosis semua penonton untuk berdiri dan memberikan tepuk tangan meriah. Hampir semua penonton melakukan standing applaus.
?Begitulah kuatnya pengaruh seni tradisi. Orang yang memiliki kemampuan dalam memainkan kesenian tradisional lebih dihargai dan lebih diberikan tempat,? kata Humaidi bangga.
Menurutnya, orang asing lebih menguasai kesenian modern, misalnya musik, bermain gitar, atau drum. Alat musik itu dari sana. Jika orang Lampung belajar dan mahir musik mereka akan dianggap biasa saja dan tidak akan melebihi mereka.
Justru ketika seni tradisi yang memang lahir dan berkembang di Indonesia bisa dimainakan dengan baik, orang akan menilai identitas kesenian Lampung yang kuat dan tidak semua bisa memainkannya.
Humaidi lahir dan besar di Kedondong, Kabupaten Pesawaran. Keseniannya mulai tumbuh dari lingkungan sekitar. Dia belajar seni tradisi, seperti wawancan, warahan, dan bubandung. Awalnya sastra lisan memang dipakai dalam acara-acara adat dan perlahan-lahan pun dikuasainya.
Namun, kemampuan memainkan gambus lunik baru dilakukan ketika umurnya 41 tahun. Ada kebutuhan untuk pementasan teater yang membuatnya perlu menguasai gambus lunik. Dia pun belajar dari para pemain yang sudah lebuh dahulu mahir, seperti Usman dan Imron.
Saat itu, dia rutin mendengarkan kaset berisi permainan gambus lunik. Kemudian belajar menyetel gambus supaya pas dan tidak sumbang. Hanya dalam waktu beberapa minggu, Humaidi pun sudah mahir memainkan gambus dan siap ampil dalam berbagai acara Teater Satu atau pada pembukaan Festival Krakatau.
Kini, makin banyak seniman tradisi yang usianya makin tua. Beberapa sudah meninggal. Humaidi pun sudah memikirkan regenerasi. Dia sudah memiliki para penerus yang mulai muncul dan tampil dengan sastra lisan dan gambus lunik.
?Saya selalu menekankan anak-anak yang belajar seni tradisi untuk bangga dan percaya diri dengan kesenian yang dimiliki. Orang justru lebih kagum dengan seni tradisi,? kata dia.
Di Kedondong pun, PNS Taman Budaya Lampung ini membuat sanggar kecil dan mengajar anak-anak sekolah untuk bisa memainkan gambus, rebana, dan pandai melantunkan sastra tutur Lampung. Meskipun hanya ada delapan pelajar yang mau belajar, Humaidi sudah senang karena masih ada remaja yang peduli pada seni tradisi.
?Kami latihan tiga kali dalam seminggu. Biasanya setelah pulang sekolah,? kata pria yang akrab disapa Memed ini.
Setiap daerah di Lampung punya istilah sendiri untuk menyebut sastra turut. Pada Lampung pesisir atau Sai Batin dikenal dengan nama wawancan, bubandung, muwaya, dan hahedok. Sedangkan bagi Lampung Pepadun dikenal dengan istilah ringget, ngadiyo, dan pisaan.
Meskipun nama berbeda, penggunaannya hampir sama, untuk pengantar dalam acara-acara adat, untuk menyampaikan informasi dan pengumuman, atau untuk bercerita.
Pada usia tua dan sebentar lagi akan pensiun dari karier PNS-nya, Humaidi masih rutin menghadiri temu seni tradisi tingkat nasional dan tampil membawakan sastra lisan dengan iringan gambus lunik. Dia pun menjadi salah satu pemain di Teater Satu yang dikomandoi Iswadi Pratama.
Pria yang hanya lulusan SMA ini berharap seni tradisi, musik dan sastra lisan, tidak cepat punah dan masih terus terpelihara sebagai identitas dan karakter orang Lampung. (PADLI RAMDAN/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 6 Januari 2013
No comments:
Post a Comment