Oleh M. Yamin Panca Setia
Judul: Merajut Jurnalisme Damai di Lampung
Penyunting: Budisantoso Budiman dan Oyos Saroso HN
Penerbit: AJI Bandar Lampung dan Indepth Publishing
Cetakan: I, Desember 2012
Tebal: xxi + 201 hlm.
MEDIA massa ibarat pedang bermata dua. Satu sisi menjadi senjata pembunuh lantaran informasi yang disebarkan mengandung kebencian. Di sisi lain, media hadir sebagai juru damai karena menebar toleransi.
DESA Balinuraga, Lampung Selatan, bak neraka. Api menghanguskan ratusan rumah penghuninya. Darah dan air mata pun mengalir akibat amarah dan kebencian bernuansa suku meletup di sana.
Mereka yang tak berdosa terpaksa kehilangan harta, bahkan nyawa. Bentrokan antarwarga yang terjadi tanggal 28-29 Oktober 2012 lalu juga memaksa ribuan warga mengungsi ke tempat yang aman.
Mereka yang umumnya keturunan suku Bali itu meninggalkan desanya, menghindari kemarahan massa. Di Sekolah Polisi Negara (SPN), Kemiling, Bandar Lampung, yang menjadi tempat pengungsian, mereka nampak trauma. Total pengungsi di sana mencapai 1.703 jiwa.
Bentrokan antarwarga juga menyebabkan jatuhnya korban dari desa tetangga yang merupakan keturunan Lampung. Empat orang di antaranya warga Kecamatan Kalianda, tewas akibat bentrokan dengan warga Balinuraga yang terjadi Minggu, 28 Oktober 2012.
Bias informasi yang disuguhkan media massa dan provokasi yang disampaikan dari mulut ke mulut, maupun lewat pesan-pesan elektronik, makin membakar amarah massa. Sentimen komunal terhadap suku Bali di Balinuraga tiba-tiba membuncah‘‘meski sebelumnya sudah kerap terdengar dari suara-suara kebencian di sana. Warga Balinuraga dianggap warga desa tetangga, sering melakukan serangan.
Provokasi yang tak terbendung itu kemudian memicu pertikaian lebih mengerikan. Esoknya, 29 Oktober 2012, terjadi bentrok yang menelan korban 10 orang warga Desa Balinuaraga. 166 unit rumah di Desa Balinuraga dan Desa Sidoreno dan dua gedung sekolah hangus terbakar.
Bentrokan antarwarga menggoreskan luka di Balinuraga. Kohesifitas sosial berubah menjadi kebrutalan sosial. Pluralisme dan toleransi dalam kemajemukan yang menjadi karakteristik masyarakat di sana dicederai oleh laku barbar dan pola pikir yang berbau etnis. Pemerintah pusat dan daerah serta aparat keamanan, banjir kecaman lantaran gagal memediasi dan menyelesaikan persoalan lewat cara-cara yang beradab. Sementara media yang diharapkan menjadi instrumen penebar informasi perdamaian, abai memainkan peran sebagai mediator.
Buku bertajuk Merajut Jurnalisme Damai di Lampung yang diprakarsai Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung yang didukung Indepth Publishing ini, mengurai fakta kelam tentang kerusuhan sosial di Balinuraga. Dan, tak sekadar fakta, buku ini juga mengeksplorasi pemikiran mendalam dari para akademisi dan budayawan tentang akar masalah yang terjadi di Balinuraga.
Dari prespektif jurnalisme, para penulis yang berlatar belakang sebagai wartawan mempreteli dosa media yang turut andil membakar amarah massa. Informasi bias yang disuguhkan media kepada masyarakat, turut mematik emosi. Berangkat dari persoalan itu, para wartawan yang menjadi penulis buku ini menekankan pentingnya menerapkan jurnalisme damai (peace journalism) saat meliput peristiwa konflik sosial.
Mengutip tulisan Ketua AJI Indonesia Eko Maryadi, media massa dalam wilayah konflik ibarat pedang bermata dua. Satu sisi menjadi senjata pembunuh yang mengerikan lantaran informasi yang disebarkan mengandung kebencian. Di sisi lain, media hadir sebagai juru damai lewat pesan-pesan toleransi, proporsional, akurat, dan berimbang dalam pemberitaan.
Jika mencermati latar belakang konflik antarwarga di Balinuraga, sebenarnya bukan semata-mata bersifat etnis. Namun, berawal dari konflik personal yang menyisahkan api dalam sekam. Masalah yang tidak cepat terselesaikan lewat jalur dialogis, kemudian disesaki provokasi hingga membius emosi komunal untuk melakukan tindakan anarki.
Awalnya, hanya persoalan sepele. Bentrokan bermula ketika dua gadis asal Desa Agom yang mengendarai sepeda motor digoda pemuda Desa Balinuraga hingga terjatuh dan mengalami luka. Entah darimana sumbernya? Tiba-tiba menyebar isu yang mengabarkan kedua gadis itu dilecehkan secara seksual. Media pun lebih cenderung mengurai fakta-fakta kekerasan. Tanpa menawarkan solusi, mendamaikan warga.
Lewat buku ini, para penulis mendorong media massa lebih peka terhadap implikasi sosial akibat pemberitaan, dengan mengedepankan perspektif jurnalisme damai. Pesan-pesan damai penting untuk disuguhkan ke tengah masyarakat yang tengah dililit konflik. Lewat pesan dan informasi damai, akan terbentuk opini dan persepsi masyarakat jika konflik yang berubah menjadi kekerasan, hanya menyisahkan malapetaka.
Di masyarakat Indonesia yang majemuk, kekerasan komunal kerap meletup. Konflik makin brutal tatkala media tak memainkan peran sebagai juru damai. Konflik bernuasa suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) seperti yang terjadi di Ambon, Poso, dan Kalimantan, tidak terlepas dari kegagalan media mewujudkan perdamaian. Bahkan, media dituding menjadi alat untuk memprovokasi masyarakat yang tengah bertikai agar terus larut dalam pertikaian.
Jurnalisme damai pada dasarnya mengajak wartawan menampilkan suguhan berita positif saat meliput peristiwa konflik hingga bermuara pada perdamaian. Namun, seringkali model pemberitaan tersebut diabaikan lantaran media lebih menyukai pemberitaan yang menampilkan darah dan air mata karena lebih menarik masyarakat untuk membacanya. Jurnalisme damai pun tidak dapat diaktualisasikan wartawan karena manajemen redaksi lebih memihak kepada kepentingan kelompok dan tidak independen.
Buku ini makin kaya kajian intelektualitas karena disuplai pemikiran akademisi dan budayawan‘‘yang mengeksplorasi pemikirannya baik dari aspek sosial, hukum, politik dan budaya. Meredam konflik tidak cukup sekadar himbauan, arahan, dan bantuan rehabilitasi saja. Perlu pendekatan sosial, penegak hukum dan keamanan, serta model intervensi yang tepat dengan melihat realitas objektif yang menjadi akar masalah konflik.
Secara sosiologis, percekcokan yang kemudian berubah menjadi kekerasan yang menghancurkan Balinuraga akibat tidak berperannya institusi sosial dalam melakukan kontrol sosial (social control). Disharmoni sosial dibiarkan dan terus meluas. Dendam yang tak diredam, mengalami ekskalasi sehingga berujung anarki. Asumsi tersebut bisa jadi benar, karena sebelumnya, konflik antarwarga Balinuraga dengan warga kampung lainnya sering terjadi.
Konflik akibat perbedaan etnis sebenarnya dapat dicegah jika ada upaya mengikis distrosi dalam proses sosial dan relasi antarkelompok. Distrosi itu berupa gesekan yang terjadi antarindividu yang sulit dicegah lantaran perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan tidak berfungsinya pemangku kepentingan. Pranata sosial yang diharapkan memainkan peran sebagai kontrol sosial pun mengalami disfungsi.
Karenanya, para penulis di buku ini umumnya berpesan kepada pemerintah dan para pihak terkait, bahwa kerukunan antaretnis tidak cukup hanya dilakukan lewat perbaikan rumah atau fasilitas umum yang hancur saja. Tidak cukup juga sekadar pembauran maupun adaptasi sosial. Namun, harus dengan cara komprehensif dengan mencermati realitas objektif dan mengindentifikasi disfungsi struktur sosial guna mengidentifikasi akar masalahnya.
Konflik di Balinuraga terjadi akibat lemahnya komitmen terhadap nilai akibat tidak berjalannya internalisasi. Dalam masyarakat Lampung, ada nilai yang menjadi falsafah hidup yang mengajarkan pentingnya menjaga harmoni sosial. Dalam kitab Kuntara Raja Niti disebutkan Nemui Nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi serta ramah menerima tamu), Nengah Nyampur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis) atau Sakai Sambaian (gotong-royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya).
Warga Bali juga menjadikan Tri Hita Karana sebagai nilai yang mengajarkan keseimbangan hidup antara manusia dengan manusia, manusia dengan Sang Pencipta, dan manusia dengan lingkungannya. Falsafah itu menjadi acuan bagi warga Bali dalam menjalankan aktivitas kesehariannya dengan menempatkan tiga aspek spiritual (parhyangan), manusia (pawongan), dan fisik (palemahan). Masyarakat Bali juga diajarkan oleh para leluhurnya untuk mengedepankan kerendahan hati dan tidak sombong.
Namun, konseptualisasi nilai-nilai yang diwarisi para leluhur itu hanya mengawang-awang di atas langit‘‘menghadapi persoalan antara das sollen dan das sein‘‘antara yang diidealkan, berbeda dengan kenyataan di lapangan. Dalam konteks ini, penulis umumnya sepakat pentingnya peran dari tokoh masyarakat, tokoh pemuda, maupun institusi sosial dalam membumikan nilai lewat internalisasi yang harus dilakukan secara terus menerus.
Penting pula partisipasi warga sebagai proses aktif yang menjembatani dialog antarwarga. Partisipasi menuntun warga saling membantu secara aktif dalam upaya berswadaya, berkerja sama dalam mengatasi masalah bersama. Partisipasi jangan sebatas slogan tanpa mengandung makna sesungguhnya (cosmetic label).
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 3 Februari 2013
Judul: Merajut Jurnalisme Damai di Lampung
Penyunting: Budisantoso Budiman dan Oyos Saroso HN
Penerbit: AJI Bandar Lampung dan Indepth Publishing
Cetakan: I, Desember 2012
Tebal: xxi + 201 hlm.
MEDIA massa ibarat pedang bermata dua. Satu sisi menjadi senjata pembunuh lantaran informasi yang disebarkan mengandung kebencian. Di sisi lain, media hadir sebagai juru damai karena menebar toleransi.
DESA Balinuraga, Lampung Selatan, bak neraka. Api menghanguskan ratusan rumah penghuninya. Darah dan air mata pun mengalir akibat amarah dan kebencian bernuansa suku meletup di sana.
Mereka yang tak berdosa terpaksa kehilangan harta, bahkan nyawa. Bentrokan antarwarga yang terjadi tanggal 28-29 Oktober 2012 lalu juga memaksa ribuan warga mengungsi ke tempat yang aman.
Mereka yang umumnya keturunan suku Bali itu meninggalkan desanya, menghindari kemarahan massa. Di Sekolah Polisi Negara (SPN), Kemiling, Bandar Lampung, yang menjadi tempat pengungsian, mereka nampak trauma. Total pengungsi di sana mencapai 1.703 jiwa.
Bentrokan antarwarga juga menyebabkan jatuhnya korban dari desa tetangga yang merupakan keturunan Lampung. Empat orang di antaranya warga Kecamatan Kalianda, tewas akibat bentrokan dengan warga Balinuraga yang terjadi Minggu, 28 Oktober 2012.
Bias informasi yang disuguhkan media massa dan provokasi yang disampaikan dari mulut ke mulut, maupun lewat pesan-pesan elektronik, makin membakar amarah massa. Sentimen komunal terhadap suku Bali di Balinuraga tiba-tiba membuncah‘‘meski sebelumnya sudah kerap terdengar dari suara-suara kebencian di sana. Warga Balinuraga dianggap warga desa tetangga, sering melakukan serangan.
Provokasi yang tak terbendung itu kemudian memicu pertikaian lebih mengerikan. Esoknya, 29 Oktober 2012, terjadi bentrok yang menelan korban 10 orang warga Desa Balinuaraga. 166 unit rumah di Desa Balinuraga dan Desa Sidoreno dan dua gedung sekolah hangus terbakar.
Bentrokan antarwarga menggoreskan luka di Balinuraga. Kohesifitas sosial berubah menjadi kebrutalan sosial. Pluralisme dan toleransi dalam kemajemukan yang menjadi karakteristik masyarakat di sana dicederai oleh laku barbar dan pola pikir yang berbau etnis. Pemerintah pusat dan daerah serta aparat keamanan, banjir kecaman lantaran gagal memediasi dan menyelesaikan persoalan lewat cara-cara yang beradab. Sementara media yang diharapkan menjadi instrumen penebar informasi perdamaian, abai memainkan peran sebagai mediator.
Buku bertajuk Merajut Jurnalisme Damai di Lampung yang diprakarsai Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung yang didukung Indepth Publishing ini, mengurai fakta kelam tentang kerusuhan sosial di Balinuraga. Dan, tak sekadar fakta, buku ini juga mengeksplorasi pemikiran mendalam dari para akademisi dan budayawan tentang akar masalah yang terjadi di Balinuraga.
Dari prespektif jurnalisme, para penulis yang berlatar belakang sebagai wartawan mempreteli dosa media yang turut andil membakar amarah massa. Informasi bias yang disuguhkan media kepada masyarakat, turut mematik emosi. Berangkat dari persoalan itu, para wartawan yang menjadi penulis buku ini menekankan pentingnya menerapkan jurnalisme damai (peace journalism) saat meliput peristiwa konflik sosial.
Mengutip tulisan Ketua AJI Indonesia Eko Maryadi, media massa dalam wilayah konflik ibarat pedang bermata dua. Satu sisi menjadi senjata pembunuh yang mengerikan lantaran informasi yang disebarkan mengandung kebencian. Di sisi lain, media hadir sebagai juru damai lewat pesan-pesan toleransi, proporsional, akurat, dan berimbang dalam pemberitaan.
Jika mencermati latar belakang konflik antarwarga di Balinuraga, sebenarnya bukan semata-mata bersifat etnis. Namun, berawal dari konflik personal yang menyisahkan api dalam sekam. Masalah yang tidak cepat terselesaikan lewat jalur dialogis, kemudian disesaki provokasi hingga membius emosi komunal untuk melakukan tindakan anarki.
Awalnya, hanya persoalan sepele. Bentrokan bermula ketika dua gadis asal Desa Agom yang mengendarai sepeda motor digoda pemuda Desa Balinuraga hingga terjatuh dan mengalami luka. Entah darimana sumbernya? Tiba-tiba menyebar isu yang mengabarkan kedua gadis itu dilecehkan secara seksual. Media pun lebih cenderung mengurai fakta-fakta kekerasan. Tanpa menawarkan solusi, mendamaikan warga.
Lewat buku ini, para penulis mendorong media massa lebih peka terhadap implikasi sosial akibat pemberitaan, dengan mengedepankan perspektif jurnalisme damai. Pesan-pesan damai penting untuk disuguhkan ke tengah masyarakat yang tengah dililit konflik. Lewat pesan dan informasi damai, akan terbentuk opini dan persepsi masyarakat jika konflik yang berubah menjadi kekerasan, hanya menyisahkan malapetaka.
Di masyarakat Indonesia yang majemuk, kekerasan komunal kerap meletup. Konflik makin brutal tatkala media tak memainkan peran sebagai juru damai. Konflik bernuasa suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) seperti yang terjadi di Ambon, Poso, dan Kalimantan, tidak terlepas dari kegagalan media mewujudkan perdamaian. Bahkan, media dituding menjadi alat untuk memprovokasi masyarakat yang tengah bertikai agar terus larut dalam pertikaian.
Jurnalisme damai pada dasarnya mengajak wartawan menampilkan suguhan berita positif saat meliput peristiwa konflik hingga bermuara pada perdamaian. Namun, seringkali model pemberitaan tersebut diabaikan lantaran media lebih menyukai pemberitaan yang menampilkan darah dan air mata karena lebih menarik masyarakat untuk membacanya. Jurnalisme damai pun tidak dapat diaktualisasikan wartawan karena manajemen redaksi lebih memihak kepada kepentingan kelompok dan tidak independen.
Buku ini makin kaya kajian intelektualitas karena disuplai pemikiran akademisi dan budayawan‘‘yang mengeksplorasi pemikirannya baik dari aspek sosial, hukum, politik dan budaya. Meredam konflik tidak cukup sekadar himbauan, arahan, dan bantuan rehabilitasi saja. Perlu pendekatan sosial, penegak hukum dan keamanan, serta model intervensi yang tepat dengan melihat realitas objektif yang menjadi akar masalah konflik.
Secara sosiologis, percekcokan yang kemudian berubah menjadi kekerasan yang menghancurkan Balinuraga akibat tidak berperannya institusi sosial dalam melakukan kontrol sosial (social control). Disharmoni sosial dibiarkan dan terus meluas. Dendam yang tak diredam, mengalami ekskalasi sehingga berujung anarki. Asumsi tersebut bisa jadi benar, karena sebelumnya, konflik antarwarga Balinuraga dengan warga kampung lainnya sering terjadi.
Konflik akibat perbedaan etnis sebenarnya dapat dicegah jika ada upaya mengikis distrosi dalam proses sosial dan relasi antarkelompok. Distrosi itu berupa gesekan yang terjadi antarindividu yang sulit dicegah lantaran perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan tidak berfungsinya pemangku kepentingan. Pranata sosial yang diharapkan memainkan peran sebagai kontrol sosial pun mengalami disfungsi.
Karenanya, para penulis di buku ini umumnya berpesan kepada pemerintah dan para pihak terkait, bahwa kerukunan antaretnis tidak cukup hanya dilakukan lewat perbaikan rumah atau fasilitas umum yang hancur saja. Tidak cukup juga sekadar pembauran maupun adaptasi sosial. Namun, harus dengan cara komprehensif dengan mencermati realitas objektif dan mengindentifikasi disfungsi struktur sosial guna mengidentifikasi akar masalahnya.
Konflik di Balinuraga terjadi akibat lemahnya komitmen terhadap nilai akibat tidak berjalannya internalisasi. Dalam masyarakat Lampung, ada nilai yang menjadi falsafah hidup yang mengajarkan pentingnya menjaga harmoni sosial. Dalam kitab Kuntara Raja Niti disebutkan Nemui Nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi serta ramah menerima tamu), Nengah Nyampur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis) atau Sakai Sambaian (gotong-royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya).
Warga Bali juga menjadikan Tri Hita Karana sebagai nilai yang mengajarkan keseimbangan hidup antara manusia dengan manusia, manusia dengan Sang Pencipta, dan manusia dengan lingkungannya. Falsafah itu menjadi acuan bagi warga Bali dalam menjalankan aktivitas kesehariannya dengan menempatkan tiga aspek spiritual (parhyangan), manusia (pawongan), dan fisik (palemahan). Masyarakat Bali juga diajarkan oleh para leluhurnya untuk mengedepankan kerendahan hati dan tidak sombong.
Namun, konseptualisasi nilai-nilai yang diwarisi para leluhur itu hanya mengawang-awang di atas langit‘‘menghadapi persoalan antara das sollen dan das sein‘‘antara yang diidealkan, berbeda dengan kenyataan di lapangan. Dalam konteks ini, penulis umumnya sepakat pentingnya peran dari tokoh masyarakat, tokoh pemuda, maupun institusi sosial dalam membumikan nilai lewat internalisasi yang harus dilakukan secara terus menerus.
Penting pula partisipasi warga sebagai proses aktif yang menjembatani dialog antarwarga. Partisipasi menuntun warga saling membantu secara aktif dalam upaya berswadaya, berkerja sama dalam mengatasi masalah bersama. Partisipasi jangan sebatas slogan tanpa mengandung makna sesungguhnya (cosmetic label).
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 3 Februari 2013
No comments:
Post a Comment