JEJAK Tionghoa di Bandar Lampung sengat terasa saat melewati kawasan Telukbetung. Tidak hanya banyaknya warga Tinghoa yang bermukim, juga peninggalan-peninggalan kebudayaan China yang masih terawat.
Setidaknya ada dua bangunan penting di Telukbetung Selatan yang menjadi saksi bisu bagaimana orang Tionghoa dahulu membangun permukiman di Bandar Lampung. Wihara Thai Hin Bio dan Kelenteng atau tempat kremasi Yayasan Meta Sarana merupakan dua bangunan kuno yang sudah berusia ratusan tahun.
Kedua bangunan ini memang menggambarkan arsitektur China kuno dengan bentuk atap segi tiga, ornamen naga, dan tulisan China pada tiang-tiang, serta warga merah menyala.
Wihara Thai Hin Bio dibangun pada kisaran 1896 atau hanya berselang 13 tahun dari bencana alam meletusnya Gunung Krakatau. Awalnya wihara yang berdiri di Jalan Ikan Kakap, Telukbetung Selatan, ini bernama Kuan Im Thiang. Nama Kuan Im berasal dari patung Dewi Kuan Im yang berhasil diselamatkan saat bencana letusan Gunung Krakatau.
Wihara tersebut mendapatkan izin dari pemerintah Belanda tahun 1989. Jalan di depan wihara kemudian dinamakan Jalan Kelenteng. Makin lama jumlah pengunjung wihara makin ramai sehinga dilakukan perluasan bangunan. Perluasan pertama yang tidak diketahui waktunya itulah yang menjadi dasar penggatian nama menjadi Thai Hin Bio.
Pengurus wihara, Wirya, mengatakan bentuk bangunan wihara terjaga keasliannya. Tidak ada yang dirubah, bagian atap, tiang, ornamen naga, dan tulisan China tetap dipertahankan. Penambahan yang dilakukan hanya pada bagian tembok yang dikeramik.
Sementara itu kelenteng, tempat kremasi dan sembahyang untuk para leluhur, di Jalan Ikan Bawal, diperkirakan dibangun tahun 1894. Hal itu dibuktikan dengan catatan singkat yang sudah dibuat secara turun-temurun. Catatan singkat itu dibingkai dan ditempel di dinding. Kelenteng ini kemudian menjadi tempat Yayasan Meta Sarana.
Bangunan yang juga berarsitektur China klasik itu awalnya dinamakan Fa Tse Che yang didirikan beberapa orang marga Khek yang tinggal di Telukbetung Selatan. Awalnya, bangunan itu hanya dipakai untuk sembahyang dan sebagai tempat tinggal sementara orang-orang Tionghoa yang merantau di Bandar Lampung.
Warga Tionghoa bermarha Khek, Alesius Bunawan, menerangka ketika masih zaman penjajahan Belanda, orang-orang dari China yang merantau ke Bandar Lampung datang melalui Pelabuhan Panjang. Mereka datang ingin mengembangkan usaha. ?Adanya Fa Tse Che itulah yang kemudian dijadikan tempat tinggal sementara. Tidak hanya orang Khek, tapi juga ada suku Hokian, Konghu, dan Coucu.?
Dari kelenteng itulah kemudian orang Tionghoa menyebar ke berbagai daerah di Lampung, misalnya Kotabumi. Menurut Alesius, sebelum zaman Belanda, orang China sudah banyak yang datang ke Lampung, tepatnya di Menggala dan Krui. Saat itu kedua daerah menjadi pelabuhan yang banyak dikunjungi pedagang, termasuk dari China.
Keberadaan Fa Tse Che sangat penting bagi keberadaan warga Tionghoa kala itu. Banyak nenek moyang orang Tionghoa yang datang dan menetap, kemudian hidup dan melahirkan keturunan di Lampung.
Untuk mengenang para leluhur yang sudah lebih dahulu datang, di kelenteng itu dipasang papan-papan nama orang-orang terdahulu yang masih ada hubungan keluarga. Kepercayaan orang Tionghoa untuk menghormati leluhur itulah yang kemudian menjadi tradisi berupa memanjatkan doa di depan nama leluhur dan datang ke permakaman Lempasing, tiap bulan ke-4 dan ke-7 setiap tahunnya.
?Orang Tionghoa sangat menghormati dan berbakti pada lelulur. Hal itulah yang dibuktikan dengan selalu mendoakan dan sembahyang di depan nama-nama leluhur,? kata pria 62 tahun ini.
Wihara dan kelenteng menjadi warisan sejarah yang harus dilestarikan. Beberapa pelajar asing pernah datang ke Wihara Thai Hin Bio untuk mempelajari sejarah China di Lampung. Para pelajar itu datang dari Jerman, Kanada, dan Prancis.
Wirya menjelaskan belum ada pernyataan resmi dari pemerintah tentang keberadaan wihara yang menjadi warisan sejarah yang perlu dilestarikan. Padahal, wihara ini bisa menjadi objek wisata sejarah. ?Memang sudah ada orang dari Dinas Pariwisata yang datang, tapi baru sebatas mengecek sejarah wihara,? kata dia.
Alesius pun mendukung jika memang kelenteng atau tempat kremasi di Meta Sarana dijadikan sebagai warisan sejarah yang harus dilestarikan oleh pemerintah. Selama ini warga Tionghoa yang mengurusi kelenteng itu sengaja menjaga arsitektur kunonya. (PADLI RAMDAN/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 3 Maret 2013
Setidaknya ada dua bangunan penting di Telukbetung Selatan yang menjadi saksi bisu bagaimana orang Tionghoa dahulu membangun permukiman di Bandar Lampung. Wihara Thai Hin Bio dan Kelenteng atau tempat kremasi Yayasan Meta Sarana merupakan dua bangunan kuno yang sudah berusia ratusan tahun.
Kedua bangunan ini memang menggambarkan arsitektur China kuno dengan bentuk atap segi tiga, ornamen naga, dan tulisan China pada tiang-tiang, serta warga merah menyala.
Wihara Thai Hin Bio dibangun pada kisaran 1896 atau hanya berselang 13 tahun dari bencana alam meletusnya Gunung Krakatau. Awalnya wihara yang berdiri di Jalan Ikan Kakap, Telukbetung Selatan, ini bernama Kuan Im Thiang. Nama Kuan Im berasal dari patung Dewi Kuan Im yang berhasil diselamatkan saat bencana letusan Gunung Krakatau.
Wihara tersebut mendapatkan izin dari pemerintah Belanda tahun 1989. Jalan di depan wihara kemudian dinamakan Jalan Kelenteng. Makin lama jumlah pengunjung wihara makin ramai sehinga dilakukan perluasan bangunan. Perluasan pertama yang tidak diketahui waktunya itulah yang menjadi dasar penggatian nama menjadi Thai Hin Bio.
Pengurus wihara, Wirya, mengatakan bentuk bangunan wihara terjaga keasliannya. Tidak ada yang dirubah, bagian atap, tiang, ornamen naga, dan tulisan China tetap dipertahankan. Penambahan yang dilakukan hanya pada bagian tembok yang dikeramik.
Sementara itu kelenteng, tempat kremasi dan sembahyang untuk para leluhur, di Jalan Ikan Bawal, diperkirakan dibangun tahun 1894. Hal itu dibuktikan dengan catatan singkat yang sudah dibuat secara turun-temurun. Catatan singkat itu dibingkai dan ditempel di dinding. Kelenteng ini kemudian menjadi tempat Yayasan Meta Sarana.
Bangunan yang juga berarsitektur China klasik itu awalnya dinamakan Fa Tse Che yang didirikan beberapa orang marga Khek yang tinggal di Telukbetung Selatan. Awalnya, bangunan itu hanya dipakai untuk sembahyang dan sebagai tempat tinggal sementara orang-orang Tionghoa yang merantau di Bandar Lampung.
Warga Tionghoa bermarha Khek, Alesius Bunawan, menerangka ketika masih zaman penjajahan Belanda, orang-orang dari China yang merantau ke Bandar Lampung datang melalui Pelabuhan Panjang. Mereka datang ingin mengembangkan usaha. ?Adanya Fa Tse Che itulah yang kemudian dijadikan tempat tinggal sementara. Tidak hanya orang Khek, tapi juga ada suku Hokian, Konghu, dan Coucu.?
Dari kelenteng itulah kemudian orang Tionghoa menyebar ke berbagai daerah di Lampung, misalnya Kotabumi. Menurut Alesius, sebelum zaman Belanda, orang China sudah banyak yang datang ke Lampung, tepatnya di Menggala dan Krui. Saat itu kedua daerah menjadi pelabuhan yang banyak dikunjungi pedagang, termasuk dari China.
Keberadaan Fa Tse Che sangat penting bagi keberadaan warga Tionghoa kala itu. Banyak nenek moyang orang Tionghoa yang datang dan menetap, kemudian hidup dan melahirkan keturunan di Lampung.
Untuk mengenang para leluhur yang sudah lebih dahulu datang, di kelenteng itu dipasang papan-papan nama orang-orang terdahulu yang masih ada hubungan keluarga. Kepercayaan orang Tionghoa untuk menghormati leluhur itulah yang kemudian menjadi tradisi berupa memanjatkan doa di depan nama leluhur dan datang ke permakaman Lempasing, tiap bulan ke-4 dan ke-7 setiap tahunnya.
?Orang Tionghoa sangat menghormati dan berbakti pada lelulur. Hal itulah yang dibuktikan dengan selalu mendoakan dan sembahyang di depan nama-nama leluhur,? kata pria 62 tahun ini.
Wihara dan kelenteng menjadi warisan sejarah yang harus dilestarikan. Beberapa pelajar asing pernah datang ke Wihara Thai Hin Bio untuk mempelajari sejarah China di Lampung. Para pelajar itu datang dari Jerman, Kanada, dan Prancis.
Wirya menjelaskan belum ada pernyataan resmi dari pemerintah tentang keberadaan wihara yang menjadi warisan sejarah yang perlu dilestarikan. Padahal, wihara ini bisa menjadi objek wisata sejarah. ?Memang sudah ada orang dari Dinas Pariwisata yang datang, tapi baru sebatas mengecek sejarah wihara,? kata dia.
Alesius pun mendukung jika memang kelenteng atau tempat kremasi di Meta Sarana dijadikan sebagai warisan sejarah yang harus dilestarikan oleh pemerintah. Selama ini warga Tionghoa yang mengurusi kelenteng itu sengaja menjaga arsitektur kunonya. (PADLI RAMDAN/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 3 Maret 2013
No comments:
Post a Comment