Oleh Andry Saputra
SANGAT menarik membaca tulisan Darojat Gustian Syafaat berjudul Menyegarkan (Kembali) Rumusan Kelampungan (Lampung Post, 24 April 2013) dan tulisan Hardi Hamzah berjudul Obsesi Punahnya Lampung? (Lampung Post, 3 Mei 2013).
Dua tulisan yang membahas buku Feodalisme Modern Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan, karya Udo Z. Karzi (diterbitkan Indepth Publishing, April 2013), membuat saya merenung apakah kita sedang berada di penghujung kekuatan atau kelemahan.
Kalau kita berada penghujung kelemahan, bisa saja kita skeptis, tetapi penulis percaya, bahwa sebagai manusia yang visioner, hadirnya buku itu, sesungguhnya kita sedang berada di antara kelemahan dan kekuatan. Dan di balik kelemahan, pastinya kita mengharapkan muncul kekuatan. Dengan kata lain, ada nilai-nilai hikiki kebudayaan antara siklus kelemahan dan kekuatan.
Kembali ke buku Udo Z. Karzi, buku ini sebenar enak dibaca, karena diselipkan kata-kata yang rileks, sehingga memudahkan kita untuk memahami, apa maunya sang penulis. Namun, sayangnya, ketika kita membaca buku tentang hal-hal yang membahas masalah Lampung seringkali kita apriori.
Padahal, seharusnya kita bersemangat, dan memaknai kelampungan sebagai suatu terminologi dalam masyarakat yang multietnik di daerah ini. Lebih dari itu, juga sepatutnya sebagai orang Lampung kita tidak bersikap demikian.
Darojat Gustian Syafaat, lebih banyak melihat esensi sastra yang kita rindukan bersama, sehingga sastra Lampung mampu memainkan perannya, dan kegelisahannya lebih banyak terfokus kepada kebudayaan semata. Sedangkan Hardi Hamzah mencoba mengkaji tentang usaha-usaha Udo Z. Karzi untuk meembangun horizon baru bagi kelampungan secara komprehensif, dalam artian nilai-nilai praksis.
Saya lebih memandang buku ini sebagai buku yang mentransformasikan gonjang-ganjingnya orang Lampung di tengah ketidakmauan mereka untuk menggali secara serius dan baik apa itu nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat Lampung. Misalnya pada halaman 33--39.
Perdebatan ini. Seharusnya mengusung pilihan pilihan konkret, saya lebih melihat nyata-nyata Udo Z. Karzi ingin memandang dan memaknai atau lebih tepatnya meletakkan Lampung dalam lensa realitas, ketimbang lensa hitam di bawah bayang-bayang kekuatan budaya di luar Lampung yang semakin menafikan budaya lampung itu sendiri, sehingga Lampung tidak jadi mitos-mitos, yang secara ironi dilakukan oleh orang Lampung sendiri.
Justru di sinilah menariknya buku ini, meski kedua pembahas Hardi Hamzah dan Darojat Gustian Syafaat, “tidak mengerdilkan” proses yang diingini Udo Z. Karzi, saya pandang kedua penulis tersebut, belum mengkaji ulang bahwa buku ini, tidak hanya sekadar untuk menggebrak kebuntuan kaum intelektual Lampung saja, tetapi saya melihatnya, bagaimana buku yang renyah ini diperkenalkan, bahkan kalau mungkin diwajibkan bagi remaja SMU untuk membacanya.
Menurut hemat saya, selain persoalan yang dibahas tidak terbatas pada khazanah yang sulit, mengingat bahasanya yng terkadang rileks dan nyeleneh, lebih dari itu apabila buku ini disosialisasikan kepada remaja, maka remaja dapat terdorong atau lebih tepatnya, kita tarik untuk membawa mereka agar memahami, bahwa dalam masyarakat Lampung ada persoalan sustansial, dan hal ini mereka (remaja) memerlukannya agar terobosan budaya liberal tidak terlalu merampas jati diri mereka.
Kalau generasi muda Lampung atau generasi muda yang berada di Lampung, diperkenalkan pada buku ini, lebih jauh lagi mereka akan mengetahui, apa itu tradisi lisan Lampung yang terlupakan. Sebagaimana yang tertulis di halaman 71-75.
Lebih jauh lagi, saya melihat, bahwa kesunggguhan penulis buku ini tidak hanya berada di atas pola pola kemauan keras semata, tetapi lebih jauh lagi, buku ini mempolakan kita untuk menapaki kuatnya historical, geopolitik dan struktur demografi yang tidak tertata dalam masyarakat Lampung yang sangat terbuka, bahkan dijuluki “Indonesia mini”.
Mengapa saya katakan demikian, karena pilihan bahasa buku yang metodologis, dan kemudian di ujung penulisannya agak nyeleneh, kiranya Udo Z.Karzi dengan satu kata kunci ingin mengarahkan kita, seriuslah membahas Lampung, tetapi juga rileks, dan sebaliknya rilekslah membahas berbagai problematika Lampung, tetapi kita pun wajib serius, sehingga nantinya dapat ditemukan dan dirumuskan titik temu keharmonisan. Dengan bahasa sederhana, Udo Z. Karzi, ingin membatasi atau lebih tepatnya menggawangi dan menghimpun serpihan-serpihan yang tercecer dari nilai-nilai kelampungan tidak hanya sekadar mempetakannya dalam kegiatan sampingan.
Pada akhirnya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Setidaknya buku ini telah mampu membuka horison kita semua, bahwa masih banyak harus digali dan dikaji sektor sektor Lampung. Yang semestinya kita mengantisipasi kegemasan (greget)-nya Udo Z. Karzi dalam karya-karya sebelumnya. Udo Z. Karzi terus-menerus konsisten terhadap kelampungan dalam bentuk puisi, menulis buku, menggali potensi kesejarahan Lampung dengan mengangkat keseluruhan dari dimensi yang digemaskan olehnya. Udo telah telah mencontohkan karya-karyanya, seperti Mak Dawah Mak Dibingi (2007), Mamak Kenut (2012), dll.
Singkat kata, Udo Z. Karzi telah menaruh suatu beranda yang amat penting dan patut diisi serta diduduki dengan karya-karya gemilang oleh anak bangsa lainnya, khususnya kaum muda (remaja). n
Andry Saputra, peminat masalah sosial budaya, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 11 Mei 2013
SANGAT menarik membaca tulisan Darojat Gustian Syafaat berjudul Menyegarkan (Kembali) Rumusan Kelampungan (Lampung Post, 24 April 2013) dan tulisan Hardi Hamzah berjudul Obsesi Punahnya Lampung? (Lampung Post, 3 Mei 2013).
Dua tulisan yang membahas buku Feodalisme Modern Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan, karya Udo Z. Karzi (diterbitkan Indepth Publishing, April 2013), membuat saya merenung apakah kita sedang berada di penghujung kekuatan atau kelemahan.
Kalau kita berada penghujung kelemahan, bisa saja kita skeptis, tetapi penulis percaya, bahwa sebagai manusia yang visioner, hadirnya buku itu, sesungguhnya kita sedang berada di antara kelemahan dan kekuatan. Dan di balik kelemahan, pastinya kita mengharapkan muncul kekuatan. Dengan kata lain, ada nilai-nilai hikiki kebudayaan antara siklus kelemahan dan kekuatan.
Kembali ke buku Udo Z. Karzi, buku ini sebenar enak dibaca, karena diselipkan kata-kata yang rileks, sehingga memudahkan kita untuk memahami, apa maunya sang penulis. Namun, sayangnya, ketika kita membaca buku tentang hal-hal yang membahas masalah Lampung seringkali kita apriori.
Padahal, seharusnya kita bersemangat, dan memaknai kelampungan sebagai suatu terminologi dalam masyarakat yang multietnik di daerah ini. Lebih dari itu, juga sepatutnya sebagai orang Lampung kita tidak bersikap demikian.
Darojat Gustian Syafaat, lebih banyak melihat esensi sastra yang kita rindukan bersama, sehingga sastra Lampung mampu memainkan perannya, dan kegelisahannya lebih banyak terfokus kepada kebudayaan semata. Sedangkan Hardi Hamzah mencoba mengkaji tentang usaha-usaha Udo Z. Karzi untuk meembangun horizon baru bagi kelampungan secara komprehensif, dalam artian nilai-nilai praksis.
Saya lebih memandang buku ini sebagai buku yang mentransformasikan gonjang-ganjingnya orang Lampung di tengah ketidakmauan mereka untuk menggali secara serius dan baik apa itu nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat Lampung. Misalnya pada halaman 33--39.
Perdebatan ini. Seharusnya mengusung pilihan pilihan konkret, saya lebih melihat nyata-nyata Udo Z. Karzi ingin memandang dan memaknai atau lebih tepatnya meletakkan Lampung dalam lensa realitas, ketimbang lensa hitam di bawah bayang-bayang kekuatan budaya di luar Lampung yang semakin menafikan budaya lampung itu sendiri, sehingga Lampung tidak jadi mitos-mitos, yang secara ironi dilakukan oleh orang Lampung sendiri.
Justru di sinilah menariknya buku ini, meski kedua pembahas Hardi Hamzah dan Darojat Gustian Syafaat, “tidak mengerdilkan” proses yang diingini Udo Z. Karzi, saya pandang kedua penulis tersebut, belum mengkaji ulang bahwa buku ini, tidak hanya sekadar untuk menggebrak kebuntuan kaum intelektual Lampung saja, tetapi saya melihatnya, bagaimana buku yang renyah ini diperkenalkan, bahkan kalau mungkin diwajibkan bagi remaja SMU untuk membacanya.
Menurut hemat saya, selain persoalan yang dibahas tidak terbatas pada khazanah yang sulit, mengingat bahasanya yng terkadang rileks dan nyeleneh, lebih dari itu apabila buku ini disosialisasikan kepada remaja, maka remaja dapat terdorong atau lebih tepatnya, kita tarik untuk membawa mereka agar memahami, bahwa dalam masyarakat Lampung ada persoalan sustansial, dan hal ini mereka (remaja) memerlukannya agar terobosan budaya liberal tidak terlalu merampas jati diri mereka.
Kalau generasi muda Lampung atau generasi muda yang berada di Lampung, diperkenalkan pada buku ini, lebih jauh lagi mereka akan mengetahui, apa itu tradisi lisan Lampung yang terlupakan. Sebagaimana yang tertulis di halaman 71-75.
Lebih jauh lagi, saya melihat, bahwa kesunggguhan penulis buku ini tidak hanya berada di atas pola pola kemauan keras semata, tetapi lebih jauh lagi, buku ini mempolakan kita untuk menapaki kuatnya historical, geopolitik dan struktur demografi yang tidak tertata dalam masyarakat Lampung yang sangat terbuka, bahkan dijuluki “Indonesia mini”.
Mengapa saya katakan demikian, karena pilihan bahasa buku yang metodologis, dan kemudian di ujung penulisannya agak nyeleneh, kiranya Udo Z.Karzi dengan satu kata kunci ingin mengarahkan kita, seriuslah membahas Lampung, tetapi juga rileks, dan sebaliknya rilekslah membahas berbagai problematika Lampung, tetapi kita pun wajib serius, sehingga nantinya dapat ditemukan dan dirumuskan titik temu keharmonisan. Dengan bahasa sederhana, Udo Z. Karzi, ingin membatasi atau lebih tepatnya menggawangi dan menghimpun serpihan-serpihan yang tercecer dari nilai-nilai kelampungan tidak hanya sekadar mempetakannya dalam kegiatan sampingan.
Pada akhirnya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Setidaknya buku ini telah mampu membuka horison kita semua, bahwa masih banyak harus digali dan dikaji sektor sektor Lampung. Yang semestinya kita mengantisipasi kegemasan (greget)-nya Udo Z. Karzi dalam karya-karya sebelumnya. Udo Z. Karzi terus-menerus konsisten terhadap kelampungan dalam bentuk puisi, menulis buku, menggali potensi kesejarahan Lampung dengan mengangkat keseluruhan dari dimensi yang digemaskan olehnya. Udo telah telah mencontohkan karya-karyanya, seperti Mak Dawah Mak Dibingi (2007), Mamak Kenut (2012), dll.
Singkat kata, Udo Z. Karzi telah menaruh suatu beranda yang amat penting dan patut diisi serta diduduki dengan karya-karya gemilang oleh anak bangsa lainnya, khususnya kaum muda (remaja). n
Andry Saputra, peminat masalah sosial budaya, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 11 Mei 2013
No comments:
Post a Comment