DARI namanya, Warsiem, sudah tertebak perempuan berjilbab ini suku Jawa. Fakta itu dikuatkan dengan logatnya saat berbicara. Namun, ia seperti terus "melawan" takdir. Setiap ada kesempatan pantas, ia berkomunikasi dengan bahasa Lampung. Tak heran jika kemudian Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) memberi dia adok (gelar) Raden Ayu Suaka.
Warsiem sudah 12 tahun mengabdi sebagai guru bahasa Lampung di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Alkautsar Bandar Lampung. Mak War, sebutan itu melekat karena disampirkan oleh anak didik kepadanya. Entah apa motivasinya, yang pasti, sapaan Mak (lazimnya orang Lampung menyebut ibu) menegaskan identitas kelampungannya. Sedangkan nama War (mungkin) adalah untuk mengaburkan atributnya. Sebab, agak sulit memercayai ada orang Lampung bernama Warsiem.
Selain soal nama, dialek Jawa yang melekat pada diri Warsiem juga menjadi susah untuk memercayai Warsiem adalah orang Lampung. Jika berbicara, logat Jawanya masih tersamar di setiap kata dan kalimat. Bahkan, saat ia nekat melantunkan sastra lisan semacam wawancan atau hahiwang.
Ya, terdengar agak berbeda saja dengan apabila syair-syair tua itu disenandungkan oleh orang Lampung asli. Tetapi, bukan Warsiem jika tidak nekat. Ia mengaku mencintai bahasa Lampung dengan sepenuh keinginan. Itu juga yang mengantarnya memilih Program Pendidikan Diploma Tiga Bahasa Lampung di FKIP Unila saat lulus SMA. "Saya adalah satu dari tiga mahasiswa D-3 Bahasa Lampung FKIP Unila yang bukan orang Lampung," kata dia pekan lalu.
Mak War menyadari takdirnya sebagai orang Jawa, diperkenalkan dan menggunakan bahasa Jawa bersama keluarga dan lingkungan membuat warna Jawanya amat dominan. Itu salah satu yang menyebabkan tak banyak bahasa yang bisa ia kuasai. Juga bahasa Lampung yang di tanah ini ia lahir. Penyebabnya, tak satu pun teman atau lawan bicaranya menggunakan bahasa Lampung.
Namun, keterbatasan akan kemampuan belajar bahasa Lampung tidak membuat ia tak berani belajar. Maka, saat lulus SMA dan melihat formasi program studi baru di Unila, yakni D-3 Bahasa Lampung, ia loncong saja mendaftar. Hasilnya, ia diterima. Tidak kenal dengan bahasa yang kemudian harus ia pelajari secara akademik memang sempat mengganggu keputusannya.
Satu keyakinan ia dapat dari salah seorang teman. "Pokokne, belajar bahasa, sai penting cawa gawoh bahasa sina. Induh benoh induh salah sai penting cawa Lappung," kata perempuan dengan tiga anak ini.
Selain terus menggasak berbahasa Lampung untuk ikut melestarikan salah satu tilas peradaban Lampung, Warsiem juga punya obsesi lain. Ia punya mimpi membuat tulisan aksara Lampung di dalam komputer. Alasannya, sebagai guru Bahasa Lampung, ia harus menulis buku dan lembar kerja siswa secara manual. Itu memberi ia kesulitan dan hasilnya juga kurang rapi. Dengan bantuan Rahmat, seorang mahasiswa Teknik Elektro Unila, mimpinya terwujud.
Dengan bimbingan Warsiem, Rahmat berhasil membuat aksara Lampung dalam bentuk digital dalam tempo dua tahun. "Ini belum dipatenkan karena Rahmat ingin menciptakan font lain agar tampilan aksara Lampungnya lebih beragam," kata dia.
Menurut Warsiem, Rahmat Hidayat adalah mahasiswa keempat yang diminta untuk merancang aksara Lampung. Tiga mahasiswa sebelumnya, juga dari Teknik Elektro Unila, belum sukses. Kini, akasara Lampung dalam bentuk digital dapat di-install di program Microsoft Office Word di komputer.
Judul programnya, Pelatihan Penulisan Aksara Daerah dengan Font Digital untuk Guru Muatan Lokal dalam rangka Melestarikan Aksara Lampung. "Program aksara Lampung itu sudah saya sebarkan di sekolah-sekolah yang ada di Lampung secara gratis," kata guru yang sejak 2005 menulis lembar kerja siswa dan direvisi tiap dua tahun sekali.
Ia berpesan agar orang Lampung jangan malu berbicara dengan bahasa Lampung. "Saya enggak peduli meski ada logat Jawa, pede aja. Biasanya di hadapan ribuan hadirin, saya selalu menyampaikan pantun.?
Kondisi bahasa Lampung saat ini, menurutnya, sangat miris. Selain mata pelajaran Bahasa Lampung tidak ada di kurikulum SMA, sebagian guru mata pelajaran Bahasa Lampung di SD adalah guru kelas, bukan spesifikasi bahasa Lampung. "Buat apa belajar Bahasa Lampung, kalau waktu SMA tidak dipakai," kata alumnus Magister STKIP PGRI Bandar Lampung ini. (DIAN WAHYU/M1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 16 Juni 2013
Warsiem |
Selain soal nama, dialek Jawa yang melekat pada diri Warsiem juga menjadi susah untuk memercayai Warsiem adalah orang Lampung. Jika berbicara, logat Jawanya masih tersamar di setiap kata dan kalimat. Bahkan, saat ia nekat melantunkan sastra lisan semacam wawancan atau hahiwang.
Ya, terdengar agak berbeda saja dengan apabila syair-syair tua itu disenandungkan oleh orang Lampung asli. Tetapi, bukan Warsiem jika tidak nekat. Ia mengaku mencintai bahasa Lampung dengan sepenuh keinginan. Itu juga yang mengantarnya memilih Program Pendidikan Diploma Tiga Bahasa Lampung di FKIP Unila saat lulus SMA. "Saya adalah satu dari tiga mahasiswa D-3 Bahasa Lampung FKIP Unila yang bukan orang Lampung," kata dia pekan lalu.
Mak War menyadari takdirnya sebagai orang Jawa, diperkenalkan dan menggunakan bahasa Jawa bersama keluarga dan lingkungan membuat warna Jawanya amat dominan. Itu salah satu yang menyebabkan tak banyak bahasa yang bisa ia kuasai. Juga bahasa Lampung yang di tanah ini ia lahir. Penyebabnya, tak satu pun teman atau lawan bicaranya menggunakan bahasa Lampung.
Namun, keterbatasan akan kemampuan belajar bahasa Lampung tidak membuat ia tak berani belajar. Maka, saat lulus SMA dan melihat formasi program studi baru di Unila, yakni D-3 Bahasa Lampung, ia loncong saja mendaftar. Hasilnya, ia diterima. Tidak kenal dengan bahasa yang kemudian harus ia pelajari secara akademik memang sempat mengganggu keputusannya.
Satu keyakinan ia dapat dari salah seorang teman. "Pokokne, belajar bahasa, sai penting cawa gawoh bahasa sina. Induh benoh induh salah sai penting cawa Lappung," kata perempuan dengan tiga anak ini.
Selain terus menggasak berbahasa Lampung untuk ikut melestarikan salah satu tilas peradaban Lampung, Warsiem juga punya obsesi lain. Ia punya mimpi membuat tulisan aksara Lampung di dalam komputer. Alasannya, sebagai guru Bahasa Lampung, ia harus menulis buku dan lembar kerja siswa secara manual. Itu memberi ia kesulitan dan hasilnya juga kurang rapi. Dengan bantuan Rahmat, seorang mahasiswa Teknik Elektro Unila, mimpinya terwujud.
Dengan bimbingan Warsiem, Rahmat berhasil membuat aksara Lampung dalam bentuk digital dalam tempo dua tahun. "Ini belum dipatenkan karena Rahmat ingin menciptakan font lain agar tampilan aksara Lampungnya lebih beragam," kata dia.
Menurut Warsiem, Rahmat Hidayat adalah mahasiswa keempat yang diminta untuk merancang aksara Lampung. Tiga mahasiswa sebelumnya, juga dari Teknik Elektro Unila, belum sukses. Kini, akasara Lampung dalam bentuk digital dapat di-install di program Microsoft Office Word di komputer.
Judul programnya, Pelatihan Penulisan Aksara Daerah dengan Font Digital untuk Guru Muatan Lokal dalam rangka Melestarikan Aksara Lampung. "Program aksara Lampung itu sudah saya sebarkan di sekolah-sekolah yang ada di Lampung secara gratis," kata guru yang sejak 2005 menulis lembar kerja siswa dan direvisi tiap dua tahun sekali.
Ia berpesan agar orang Lampung jangan malu berbicara dengan bahasa Lampung. "Saya enggak peduli meski ada logat Jawa, pede aja. Biasanya di hadapan ribuan hadirin, saya selalu menyampaikan pantun.?
Kondisi bahasa Lampung saat ini, menurutnya, sangat miris. Selain mata pelajaran Bahasa Lampung tidak ada di kurikulum SMA, sebagian guru mata pelajaran Bahasa Lampung di SD adalah guru kelas, bukan spesifikasi bahasa Lampung. "Buat apa belajar Bahasa Lampung, kalau waktu SMA tidak dipakai," kata alumnus Magister STKIP PGRI Bandar Lampung ini. (DIAN WAHYU/M1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 16 Juni 2013
No comments:
Post a Comment