August 3, 2013

Jurusan Bahasa Lampung di Perguruan Tinggi

Oleh Chairul Anwar

ADA sesuatu yang miris ketika saya berbincang-bincang dengan para guru bahasa Lampung di provinsi ini. Sampai sekarang mereka tak dapat menikmati program sertifikasi yang diadakan oleh pemerintah. Padahal, program sertifikasi tersebut diberikan untuk semua guru bidang studi, tanpa terkecuali.

Namun, faktanya, sampai hari ini guru bahasa Lampung tidak memperolehnya. Jika mereka ingin mendapatkan program kesejahteraan itu, mereka harus melakukan manipulasi dengan mengubah mata pelajaran yang mereka berikan selama ini. Jika tidak, mereka tidak akan pernah menikmati sertifikasi tersebut.


Mengapa hal itu bisa terjadi di alam demokrasi yang katanya menjunjung tinggi keadilan? Hal ini disebabkan karena para guru yang kini mengajar bahasa Lampung di sekolah-sekolah bukan berasal dari sarjana bahasa Lampung. Memang, dua perguruan tinggi negeri di Lampung, Unila dan IAIN, tidak membuka program S-1 bahasa Lampung.

Akibatnya, mereka yang sudah terlanjur menjadi guru bahasa Lampung tak bisa ikut menikmati kesejahteraan yang diberikan pemerintah melalui program sertifikasi tersebut dan ini menjadi masalah serius.
Saya sendiri tak habis pikir mengapa hal itu bisa terjadi. Di daerah-daerah lain, seperti Jawa Tengah dan Jawa Barat, hal itu tidak bermasalah. Guru mata pelajaran bahasa Jawa dan guru bahasa Sunda sama seperti guru bidang studi lain yang sama-sama menikmati program sertifikasi. Baik di Jawa Tengah maupun di Jawa Barat, terdapat beberapa perguruan tinggi yang membuka program strata satu untuk bahasa dan kebudayaan Jawa serta Sunda.

Sementara di Lampung tidak ada perguruan tinggi yang memiliki program S-1 bahasa dan budaya Lampung. Akibatnya, proses diskriminasi terhadap para guru bahasa Lampung terus berlangsung. Pemerintah hampir tidak memiliki perhatian mengenai masalah ini dan sekarang tidak tergerak untuk mengatasinya. Sementara perguruan tinggi yang ada di Lampung, sebut misalnya Unila dan IAIN, belum tergerak untuk membuka program S-1 pendidikan bahasa Lampung.

Saya kira jika Unila dan IAIN membuka program S-1 bahasa Lampung, peminatnya tidak kalah dengan program lain. Saya tak yakin jika alasannya bahwa orang tua murid dan siswa tidak tertarik dengan program bahasa Lampung. Jika pemerintah selama ini berani membuat mata pelajaran baru berupa bahasa Lampung di sekolah-sekolah, mengapa mereka tidak mengusulkan kepada dua perguruan tinggi tersebut untuk membuka program S-1 bahasa Lampung?

Agak aneh jika ada guru yang mengajarkan bahasa Lampung di sekolah-sekolah sementara mereka tidak pernah mengenyam pendidikan S-1 di bidangnya. Cara dan model semacam ini tidak dapat dipertahankan dan harus segera diatasi. Jika ada mata pelajaran bahasa Lampung, mesti juga ada tempat mereka menimba pengetahuan di perguruan tinggi provinsi ini. Jika tidak, ini akan terus menjadi masalah yang tak terpecahkan.
Ada tiga langkah yang mesti dipetimbangkan untuk mengatasi hal itu. Pertama, Pemerintah Provinsi Lampung, dalam hal ini gubernur Lampung, mesti membuat surat kepada Dinas Pendidikan Provinsi Lampung untuk merekomendasikan program ini. Perlu ada payung hukum yang jelas sehingga masalahnya dapat teratasi.

Kemudian, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung mesti menindaklanjuti surat keputusan gubernur dengan mengajak pimpinan perguruan tinggi seperti Unila dan IAIN membahas hal ini secara intensif. Di tingkat perguruan tinggi mesti ada dosen yang melakukan kajian sehingga program yang akan dilahirkan benar-benar menjawab permasalahan.

Sebagai contoh, baik di Unila maupun IAIN terdapat dosen yang cukup mumpuni untuk melakukan kajian yang serius mengenai kemungkinan dibukanya program baru pendidikan bahasa Lampung. Tenaga pengajar di dua perguruan tinggi ini memiliki kapasitas yang cukup untuk menjadikan jurusan bahasa Lampung kelak sebagai jurusan yang diminati oleh calon mahasiswa.

Sebagai langkah awal, perlu ada pertemuan antara para dosen pendidikan Unila dan dosen tarbiah IAIN untuk membahas masalah ini. Sebab, ini masalah pendiskriminasian secara sistematis akibat aturan-aturan yang tidak mempertimbangkan kenyataan di bawah, guru-guru yang selama ini bertanggung jawab di bidang bahasa Lampung sebagai bagian dari muatan lokal tak pernah mengenyem pendidikan S-1 di bidangnya.

Jika usul ini dapat terwujud, minimal kita telah mengatasi masalah diskriminatif yang berlarut-larut, yang mengganggu proses pendidikan itu sendiri. Tak satu pun teori pendidikan membenarkan proses diskriminasi berlangsung di lembaga pendidikan. Sama sekali tidak pantas membiarkan ratusan atau ribuan guru bahasa Lampung yang tidak memperoleh hak yang sama seperti guru bidang studi lainnya. n 
 
Chairul Anwar, Dosen Tarbiah IAIN Raden Intan, Mahasiswa S-3 UIN Yogyakarta

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 3 Agustus 2013

No comments:

Post a Comment