Data Buku Akting Berdasarkan Sistem Stanislavski, Sebuah Pengantar Iswadi Pratama dan Ari Pahala Hutabarat Dewan Kesenian Lampung. I, Desember, 2012. 164 hlm. |
Cintai seni dalam dirimu,
bukan dirimu di dalam seni.
-Stanislavski (hal. 1)
ITULAH kalimat pembuka buku Akting Berdasarkan Sistem Stanislavski, Sebuah Pengantar yang diterbitkan Komite Teater, Dewan Kesenian Lampung (DKL), Desember 2012.
Buku ini wajib dibaca oleh pelaku teater dalam kelompok akademis dan nonakademis, dalam kelompok teater kampus dan nonkampus, dalam kelompok teater pelajar dan nonpelajar. Yang terang, buku ini adalah bacaan wajib bagi seluruh pelaku teater di Lampung bahkan Tanah Air.
Harus diakui bahwa dunia teater modern Indonesia tumbuh berkat pengaruh dramawan Rusia, Constantin Stanislavski, tanpa sedikit pun bermaskud mengesampingkan dan mengecilkan tokoh moncer, seperti Grotowski, Bertold Brecht, W.S. Rendra, Nano Riantiarno, Putu wijaya, dan sederet tokoh moncer lain yang tak mungkin disebut satu per satu.
Nama Stanislavski tidak lagi asing bagi para pelaku teater di Lampung pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Dalam lakon-lakon, khususnya realis, metode dan sistemnya kerap digunajadikan pedoman proses bedah/analisis naskah dan fase rehearsal.
Maka, dalam rangka memperkaya referensi (bacaan) teater, dua sutradara Lampung, Iswadi Pratama (Teater Satu Lampung) dan Ari Pahala Hutabarat (Teater Komunitas Berkat Yakin) menyarikan metode dan sistem Stanislavski ke dalam sebuah buku. Harapannya, ?Akting? berdasar sistem Stanislavski ini bisa dipelajari pelaku teater?wabilkhusus para aktor?dengan lebih ?duduk?, khusyuk, dan ?tumakninah?. Berharap juga, dengan hadirnya buku ini, aktor tidak sekadar unjuk ekspresi, tapi juga mengetahui, mengerti, memahami, dan menyelam-dalami peran yang (sedang atau akan) dimainkan. Sehingganya aktor tak lagi jadi ?robot? bentukan sutradara?
Buku ini, sekali lagi, diperuntukkan siapa pun yang berminat mempelajari akting, termasuk bagi siapa pun (para pelaku teater khususnya) yang sudah memiliki buku Persiapan Seorang Aktor terjemahan Asrul Sani (cetakan pertama, 1980 oleh Dewan Kesenian Jakarta) dan Membangun Tokoh terjemahan B. Verry Handayani, Dina Octaviani, Tri Wahyuni (cetakan pertama, 2008 oleh Teater Garasi). Semoga buku ini menjadi pelengkap sekaligus penggenap bagi dua buku yang disebut atas.
Ada 8 poin ?besar? yang dibahas dalam buku ini. 1. Akting Berdasarkan Sistem Stanislavski (hlm. 1). 2. Tentang Tiga Serangkai Pemusik (hal. 27). 3. Panggung Pertama: Kerja Pikiran (hlm. 33). 4. Panggung Kedua: Kerja Emosi (hal. 59). 5. Panggung Ketiga: Menuju Laku Fisik (hlm. 93). 6. Menubuhkan Laku Fisik (hal. 117). 7. Analisa Aktif (hlm.135). 8. Epilog: Upaya Mencari Akting yang Benar dan Adab Keaktoran (hlm.143).
Kerja Keaktoran
Tapi dalam buku ini?karena ?Akting? menjadi kata kunci?maka banyak membahas soal kerja keaktoran. Ada tiga kerja yang dibahas dalam buku ini. Pertama: kerja aktor yang berpusat pada pikiran (thinking centre). Kedua: kerja aktor yang berpusat pada emosi (emotion centre), dan ketiga: kerja aktor yang berpusat pada aktivitas fisik (physical centre). Keseluruhan sistem Stanislavski memang dibangun dari tiga jenis kerja keaktoran itu. Dibangun dari tiga serangkai pemusik ini:
Panggung Pertama: Kerja Pikiran (thinking centre)
Di tempat di mana emosi (rasa) terlalu berlimpah, maka pikiran akan padam. Sebaliknya, setiap kali pikiran menjadi terlalu dominan, maka rasa akan susut hilang. Sering kali kita menemukan fakta bahwa ada sebagian seniman menganggap bahwa kerja seni adalah kerja dengan rasa; jiwa; hati. Pandangan ini sama sekali tidak salah, kecuali mereka benar-benar mengabaikan kerja si ?perusuh? yang bernama pikiran.
Emosi (perasaan) di dalam karya seni harus diwujudkan secara cermat dan proporsional. Untuk itu, seorang seniman mebutuhkan metode, teknik, analisis, dan penguasaan data bagi karyanya. Semua itu adalah kerja pikiran. Jadi bisa dibayangkan sebuah ekspresi seni yang tidak dilandasi kerja pikiran pada dasarnya bukanlah seni, ia hanya suatu ekspresi atau ?gejala? kejiwaan belaka. (hal. 33)
Ada beberapa poin dan fase penting yang ditulis-jabarkan dalam kerja yang berpusat pada pikiran (thinking centre) ini: Analisa Round the Table (hal 34), Given Circumstance: Situasi Terberi (hal 36), Satuan dan Sasaran (hal. 38), Subteks (hal. 45), Super-Objektif (hal. 47), dan Imajinasi (hal. 53).
Panggung Kedua: Kerja Emosi (emotion centre)
Pada bagian ini banyak menyajikan beberapa metode yang melandasi kerja aktor yang berpusat pada emosi (emotional centre). Harus dikatakan bahwa pembagian ini hanya bertujuan memilah wilayah kerja kreatif (internal) aktor. Dengan kata lain, dalam praktiknya semua bentuk kerja kreatif aktor baik yang berpusat pada pikiran, perasaan, maupun tubuhnya akan terjadi serempak dan saling melengkapi satu sama lain.
Ada delapan metode penting yang dibahas dalam kerja emosi. Pertama: Ingatan Emosi (hal. 60), Konsentrasi (hal. 64), Konsentrasi (hal. 72), Communion; Alur Interaksi Batin (hal. 80), Adaptasi (hal. 82), Rasa Keyakinan dan Kebenaran (hal. 84), Alur yang Tak Terputus (hal. 87), Situasi Kreatif Batin (hal. 89).
Panggung Ketiga: Menuju Laku Fisik.
Aspek fisikal menjadi hal yang penting bagi sistem Stanislavski. Pada fase ini ia justru mengarahkan perhatiannya pada Laku Fisik aktor. Semua nilai spiritual dan batiniah yang sudah ditempa aktor dengan tanpa lelah tidak akan mungkin bisa dijelmakan ke dalam karakter yang diperankannya apabila aspek lahiriah (fisikal) aktor tidak memadai untuk mewadahi dan mengekspresikannya. (Hal. 93) Lima poin penting yang ditulis-jabarkan dalam panggung ketiga ini antara lain: Relaksasi (hal.94), Keliatan Gerak (hal. 98), Tempo Ritme Dalam Gerak (hal. 103), Wicara (hal.107), Menubuhkan Tokoh (hal. 113)
Metode Laku Fisik (hal. 117) juga menjadi poin yang sangat penting. Kenapa sangat penting? Karena merupakan tahap lanjutan, tahap eksekusi bagi tiga ranah kerja keaktoran ini: Pikiran, Emosi dan Aktifitas Fisik. Dan untuk lebih jelasnya, bagaimana mengaplikasikan tiga ranah kerja keaktoran itu, maka ada baiknya para pelaku teater membeli dan membacanya sendiri.
Saya akan mengutip pengantar dari dua penulis buku ini, Iswadi Pratama dan Ari Pahala Hutabarat;
"Mudah-mudahan dengan segala kekurangan dan keterbatasan yang kami miliki, buku Pengantar Akting Berdasarkan Sistem Stanislavski ini bisa memiliki andil dalam mengurangi ?keserbasamaran? pengetahuan dan keterampilan kita mengenai seni peran di Indonesia. Sekali lagi?tentulah secara keilmuan buku ini masih banyak sekali mengandung kekurangan dan kelemahan. Karena itu kami berharap?semoga kekurangan dan kelemahan di buku ini akan memrovokasi sekian banyak ahli teater di Republik Indonesia tercinta untuk menuliskan dan menerbitkan pula gagasan-gagasan teater atau akting yang mereka (anggap) kuasai sehingga teater di Indonesia tak hanya berkubang dalam budaya lisan atau gosip di ranah yang sesungguhnya layak didekati dengan ilmu dan bukan dengan prasangka."
Semoga, sekali lagi, buku ini mampu mengubah perspektif pelaku teater yang tadinya masih menganggap akting sebagai "mitos", menjadi pelaku teater yang berperspektif pada "kebenaran" artistik. Demikianlah.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 8 September 2013
bukan dirimu di dalam seni.
-Stanislavski (hal. 1)
ITULAH kalimat pembuka buku Akting Berdasarkan Sistem Stanislavski, Sebuah Pengantar yang diterbitkan Komite Teater, Dewan Kesenian Lampung (DKL), Desember 2012.
Buku ini wajib dibaca oleh pelaku teater dalam kelompok akademis dan nonakademis, dalam kelompok teater kampus dan nonkampus, dalam kelompok teater pelajar dan nonpelajar. Yang terang, buku ini adalah bacaan wajib bagi seluruh pelaku teater di Lampung bahkan Tanah Air.
Harus diakui bahwa dunia teater modern Indonesia tumbuh berkat pengaruh dramawan Rusia, Constantin Stanislavski, tanpa sedikit pun bermaskud mengesampingkan dan mengecilkan tokoh moncer, seperti Grotowski, Bertold Brecht, W.S. Rendra, Nano Riantiarno, Putu wijaya, dan sederet tokoh moncer lain yang tak mungkin disebut satu per satu.
Nama Stanislavski tidak lagi asing bagi para pelaku teater di Lampung pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Dalam lakon-lakon, khususnya realis, metode dan sistemnya kerap digunajadikan pedoman proses bedah/analisis naskah dan fase rehearsal.
Maka, dalam rangka memperkaya referensi (bacaan) teater, dua sutradara Lampung, Iswadi Pratama (Teater Satu Lampung) dan Ari Pahala Hutabarat (Teater Komunitas Berkat Yakin) menyarikan metode dan sistem Stanislavski ke dalam sebuah buku. Harapannya, ?Akting? berdasar sistem Stanislavski ini bisa dipelajari pelaku teater?wabilkhusus para aktor?dengan lebih ?duduk?, khusyuk, dan ?tumakninah?. Berharap juga, dengan hadirnya buku ini, aktor tidak sekadar unjuk ekspresi, tapi juga mengetahui, mengerti, memahami, dan menyelam-dalami peran yang (sedang atau akan) dimainkan. Sehingganya aktor tak lagi jadi ?robot? bentukan sutradara?
Buku ini, sekali lagi, diperuntukkan siapa pun yang berminat mempelajari akting, termasuk bagi siapa pun (para pelaku teater khususnya) yang sudah memiliki buku Persiapan Seorang Aktor terjemahan Asrul Sani (cetakan pertama, 1980 oleh Dewan Kesenian Jakarta) dan Membangun Tokoh terjemahan B. Verry Handayani, Dina Octaviani, Tri Wahyuni (cetakan pertama, 2008 oleh Teater Garasi). Semoga buku ini menjadi pelengkap sekaligus penggenap bagi dua buku yang disebut atas.
Ada 8 poin ?besar? yang dibahas dalam buku ini. 1. Akting Berdasarkan Sistem Stanislavski (hlm. 1). 2. Tentang Tiga Serangkai Pemusik (hal. 27). 3. Panggung Pertama: Kerja Pikiran (hlm. 33). 4. Panggung Kedua: Kerja Emosi (hal. 59). 5. Panggung Ketiga: Menuju Laku Fisik (hlm. 93). 6. Menubuhkan Laku Fisik (hal. 117). 7. Analisa Aktif (hlm.135). 8. Epilog: Upaya Mencari Akting yang Benar dan Adab Keaktoran (hlm.143).
Kerja Keaktoran
Tapi dalam buku ini?karena ?Akting? menjadi kata kunci?maka banyak membahas soal kerja keaktoran. Ada tiga kerja yang dibahas dalam buku ini. Pertama: kerja aktor yang berpusat pada pikiran (thinking centre). Kedua: kerja aktor yang berpusat pada emosi (emotion centre), dan ketiga: kerja aktor yang berpusat pada aktivitas fisik (physical centre). Keseluruhan sistem Stanislavski memang dibangun dari tiga jenis kerja keaktoran itu. Dibangun dari tiga serangkai pemusik ini:
Panggung Pertama: Kerja Pikiran (thinking centre)
Di tempat di mana emosi (rasa) terlalu berlimpah, maka pikiran akan padam. Sebaliknya, setiap kali pikiran menjadi terlalu dominan, maka rasa akan susut hilang. Sering kali kita menemukan fakta bahwa ada sebagian seniman menganggap bahwa kerja seni adalah kerja dengan rasa; jiwa; hati. Pandangan ini sama sekali tidak salah, kecuali mereka benar-benar mengabaikan kerja si ?perusuh? yang bernama pikiran.
Emosi (perasaan) di dalam karya seni harus diwujudkan secara cermat dan proporsional. Untuk itu, seorang seniman mebutuhkan metode, teknik, analisis, dan penguasaan data bagi karyanya. Semua itu adalah kerja pikiran. Jadi bisa dibayangkan sebuah ekspresi seni yang tidak dilandasi kerja pikiran pada dasarnya bukanlah seni, ia hanya suatu ekspresi atau ?gejala? kejiwaan belaka. (hal. 33)
Ada beberapa poin dan fase penting yang ditulis-jabarkan dalam kerja yang berpusat pada pikiran (thinking centre) ini: Analisa Round the Table (hal 34), Given Circumstance: Situasi Terberi (hal 36), Satuan dan Sasaran (hal. 38), Subteks (hal. 45), Super-Objektif (hal. 47), dan Imajinasi (hal. 53).
Panggung Kedua: Kerja Emosi (emotion centre)
Pada bagian ini banyak menyajikan beberapa metode yang melandasi kerja aktor yang berpusat pada emosi (emotional centre). Harus dikatakan bahwa pembagian ini hanya bertujuan memilah wilayah kerja kreatif (internal) aktor. Dengan kata lain, dalam praktiknya semua bentuk kerja kreatif aktor baik yang berpusat pada pikiran, perasaan, maupun tubuhnya akan terjadi serempak dan saling melengkapi satu sama lain.
Ada delapan metode penting yang dibahas dalam kerja emosi. Pertama: Ingatan Emosi (hal. 60), Konsentrasi (hal. 64), Konsentrasi (hal. 72), Communion; Alur Interaksi Batin (hal. 80), Adaptasi (hal. 82), Rasa Keyakinan dan Kebenaran (hal. 84), Alur yang Tak Terputus (hal. 87), Situasi Kreatif Batin (hal. 89).
Panggung Ketiga: Menuju Laku Fisik.
Aspek fisikal menjadi hal yang penting bagi sistem Stanislavski. Pada fase ini ia justru mengarahkan perhatiannya pada Laku Fisik aktor. Semua nilai spiritual dan batiniah yang sudah ditempa aktor dengan tanpa lelah tidak akan mungkin bisa dijelmakan ke dalam karakter yang diperankannya apabila aspek lahiriah (fisikal) aktor tidak memadai untuk mewadahi dan mengekspresikannya. (Hal. 93) Lima poin penting yang ditulis-jabarkan dalam panggung ketiga ini antara lain: Relaksasi (hal.94), Keliatan Gerak (hal. 98), Tempo Ritme Dalam Gerak (hal. 103), Wicara (hal.107), Menubuhkan Tokoh (hal. 113)
Metode Laku Fisik (hal. 117) juga menjadi poin yang sangat penting. Kenapa sangat penting? Karena merupakan tahap lanjutan, tahap eksekusi bagi tiga ranah kerja keaktoran ini: Pikiran, Emosi dan Aktifitas Fisik. Dan untuk lebih jelasnya, bagaimana mengaplikasikan tiga ranah kerja keaktoran itu, maka ada baiknya para pelaku teater membeli dan membacanya sendiri.
Saya akan mengutip pengantar dari dua penulis buku ini, Iswadi Pratama dan Ari Pahala Hutabarat;
"Mudah-mudahan dengan segala kekurangan dan keterbatasan yang kami miliki, buku Pengantar Akting Berdasarkan Sistem Stanislavski ini bisa memiliki andil dalam mengurangi ?keserbasamaran? pengetahuan dan keterampilan kita mengenai seni peran di Indonesia. Sekali lagi?tentulah secara keilmuan buku ini masih banyak sekali mengandung kekurangan dan kelemahan. Karena itu kami berharap?semoga kekurangan dan kelemahan di buku ini akan memrovokasi sekian banyak ahli teater di Republik Indonesia tercinta untuk menuliskan dan menerbitkan pula gagasan-gagasan teater atau akting yang mereka (anggap) kuasai sehingga teater di Indonesia tak hanya berkubang dalam budaya lisan atau gosip di ranah yang sesungguhnya layak didekati dengan ilmu dan bukan dengan prasangka."
Semoga, sekali lagi, buku ini mampu mengubah perspektif pelaku teater yang tadinya masih menganggap akting sebagai "mitos", menjadi pelaku teater yang berperspektif pada "kebenaran" artistik. Demikianlah.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 8 September 2013
No comments:
Post a Comment