LAGU Lampung telah kehilangan pentasnya. Apresiasinya kurang, dukungan pemerintah nol, dan seniman saling jegal untuk keuntungan sesaat.
PERTUNJUKAN MUSIK LAMPUNG. Sejumlah seniman mendendangkan irama mengiringi sebuah lagu Lampung. |
Seperti kapal pecah di tengah laut dan penumpangnya
menyelamatkan diri masing-masing. Seperti itulah seniman Lampung,
Syaiful Anwar menyebut perkembangan lagu Lampung kini.
Salah satu perintis yang telah menciptakan ratusan lagu Lampung, termasuk Cangget Agung dan Sang Bumi Ruwa Jurai, ini mengaku harus berjuang sendiri. Itu karena pemerintah dan pihak lain tak mendukung mereka dalam berproses menciptakan lagu-lagu Lampung.
"Kami seniman. Kami sudah berbuat, tinggal menunggu niat pemerintah untuk membantu kami. Sekarang bukan lagi waktunya melestarikan lagu-lagu Lampung, tetapi bagaimana mengembangkannya," kata Syaiful Anwar ketika ditemui di rumahnya.
Masalah bukan hanya ketidakberpihakan pemerintah terhadap seni budaya Lampung itu saja. Antarseniman, lanjut Syaiful, juga sibuk berintrik dan saling jegal. "Ketika ada seniman yang sedang berusaha berkembang, bukannya didukung malah dijegal. Saya pun pernah merasakan ini, akhirnya sekarang saya jalan sendiri saja. Ini tanggung jawab saya sebagai orang Lampung.”
Padahal, kata Syaiful, para seniman lagu-lagu Lampung tak pernah berharap limpahan materi dari upaya mereka berproses melestarikan lagu-lagu Lampung. Termasuk menciptakan lagu-lagu Lampung dengan beragam aliran mulai dari klasik, pop, dangdut, hingga keroncong.
"Anda jangan berpikir kami ini bisa kaya atau sudah kaya dari membuat lagu-lagu Lampung. Kami hanya berharap bisa dihargai sebagai pencipta lagu saja sudah senang, meski pada kenyataannya banyak lagu-lagu kami dibajak. Jangankan ada royalti dari hak cipta, sekadar ucapan terima kasih saja tidak ada,” ujarnya.
Pemimpin Redaksi Siger TV, Rahmat Sudirman, memandang pentingnya reproduksi budaya. Di Siger TV, lanjutnya, sebagai televisi lokal memandang penting muatan-muatan lokal.
"Siger TV menerjemahkan budaya sebagai muatan lokalnya adalah lagu-lagu Lampung. Ini tanggung jawab kami sebagai lembaga penyiaran lokal dengan memberi ruang untuk mereproduksi budaya Lampung. Ikhtiarnya, agar terjadi interaksi dengan pemirsa dengan menyentuhnya, ada semacam dialog sehingga timbul kesadaran," kata Rahmat.
Setiap hari Siger TV intens menayangkan lagu-lagu Lampung melalui program Senandung Kham yang sudah ada sejak 2009. "Responsnya baik. Seniman-seniman tergerak untuk mengirim hasil karyanya ke kami.”
Saat ini Rahmat Sudirman tidak menganggap Lampung sedang mengalami krisis budaya. Hanya saja rasa akan kelampungan itu memang belum muncul. Karena itu, unit-unit reproduksi budaya harus banyak dan mengepung. Tugas itu menjadi salah satu kerja media massa karena mampu berkomunikasi langsung dengan masyarakatnya.
"Pemerintah harus benar-benar memfasilitasinya, sedang seniman bertanggung jawab kepada konten dari reproduksi itu,” kata dia.
Rahmat juga memandang pentingnya perguruan tinggi memberi ruang pada kebudayaan Lampung. Ia mencontohkan perguruan tinggi, seperti UGM di Yogyakarta, Universitas Udayana di Bali, Universitas Andalas, yang memiliki jurusan antropologi yang memunculkan mata kuliah etnografi budaya Lampung. "Agar ada kajian khusus, orang meneliti budaya karena budaya itu berbeda dan ada eksotisme sendiri sehingga orang tahu karakter masyarakat," kata dia.
Entus Alrafi, mantan ketua Komite Musik Dewan Kesenian Lampung, menyebut seni musik Lampung kurang promosi. "Kami ini cuma seniman, pekerja seni, jelas enggak punya uang untuk melakukan promosi itu sendirian.”
Di sisi lain, ia juga melihat musik Lampung cenderung tak memiliki konsep yang jelas dan cenderung hanya mengikuti tren aliran. "Lagi musim house music, lagu Lampung dibikin house music. Begitu terus sampai akhirnya kelelahan sendiri dan akhirnya cuma jadi keping-keping bajakan saja, seperti tidak punya martabat.” (MEZA SWASTIKA/DIAN WAHYU/M1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 September 2013
Salah satu perintis yang telah menciptakan ratusan lagu Lampung, termasuk Cangget Agung dan Sang Bumi Ruwa Jurai, ini mengaku harus berjuang sendiri. Itu karena pemerintah dan pihak lain tak mendukung mereka dalam berproses menciptakan lagu-lagu Lampung.
"Kami seniman. Kami sudah berbuat, tinggal menunggu niat pemerintah untuk membantu kami. Sekarang bukan lagi waktunya melestarikan lagu-lagu Lampung, tetapi bagaimana mengembangkannya," kata Syaiful Anwar ketika ditemui di rumahnya.
Masalah bukan hanya ketidakberpihakan pemerintah terhadap seni budaya Lampung itu saja. Antarseniman, lanjut Syaiful, juga sibuk berintrik dan saling jegal. "Ketika ada seniman yang sedang berusaha berkembang, bukannya didukung malah dijegal. Saya pun pernah merasakan ini, akhirnya sekarang saya jalan sendiri saja. Ini tanggung jawab saya sebagai orang Lampung.”
Padahal, kata Syaiful, para seniman lagu-lagu Lampung tak pernah berharap limpahan materi dari upaya mereka berproses melestarikan lagu-lagu Lampung. Termasuk menciptakan lagu-lagu Lampung dengan beragam aliran mulai dari klasik, pop, dangdut, hingga keroncong.
"Anda jangan berpikir kami ini bisa kaya atau sudah kaya dari membuat lagu-lagu Lampung. Kami hanya berharap bisa dihargai sebagai pencipta lagu saja sudah senang, meski pada kenyataannya banyak lagu-lagu kami dibajak. Jangankan ada royalti dari hak cipta, sekadar ucapan terima kasih saja tidak ada,” ujarnya.
Pemimpin Redaksi Siger TV, Rahmat Sudirman, memandang pentingnya reproduksi budaya. Di Siger TV, lanjutnya, sebagai televisi lokal memandang penting muatan-muatan lokal.
"Siger TV menerjemahkan budaya sebagai muatan lokalnya adalah lagu-lagu Lampung. Ini tanggung jawab kami sebagai lembaga penyiaran lokal dengan memberi ruang untuk mereproduksi budaya Lampung. Ikhtiarnya, agar terjadi interaksi dengan pemirsa dengan menyentuhnya, ada semacam dialog sehingga timbul kesadaran," kata Rahmat.
Setiap hari Siger TV intens menayangkan lagu-lagu Lampung melalui program Senandung Kham yang sudah ada sejak 2009. "Responsnya baik. Seniman-seniman tergerak untuk mengirim hasil karyanya ke kami.”
Saat ini Rahmat Sudirman tidak menganggap Lampung sedang mengalami krisis budaya. Hanya saja rasa akan kelampungan itu memang belum muncul. Karena itu, unit-unit reproduksi budaya harus banyak dan mengepung. Tugas itu menjadi salah satu kerja media massa karena mampu berkomunikasi langsung dengan masyarakatnya.
"Pemerintah harus benar-benar memfasilitasinya, sedang seniman bertanggung jawab kepada konten dari reproduksi itu,” kata dia.
Rahmat juga memandang pentingnya perguruan tinggi memberi ruang pada kebudayaan Lampung. Ia mencontohkan perguruan tinggi, seperti UGM di Yogyakarta, Universitas Udayana di Bali, Universitas Andalas, yang memiliki jurusan antropologi yang memunculkan mata kuliah etnografi budaya Lampung. "Agar ada kajian khusus, orang meneliti budaya karena budaya itu berbeda dan ada eksotisme sendiri sehingga orang tahu karakter masyarakat," kata dia.
Entus Alrafi, mantan ketua Komite Musik Dewan Kesenian Lampung, menyebut seni musik Lampung kurang promosi. "Kami ini cuma seniman, pekerja seni, jelas enggak punya uang untuk melakukan promosi itu sendirian.”
Di sisi lain, ia juga melihat musik Lampung cenderung tak memiliki konsep yang jelas dan cenderung hanya mengikuti tren aliran. "Lagi musim house music, lagu Lampung dibikin house music. Begitu terus sampai akhirnya kelelahan sendiri dan akhirnya cuma jadi keping-keping bajakan saja, seperti tidak punya martabat.” (MEZA SWASTIKA/DIAN WAHYU/M1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 September 2013
No comments:
Post a Comment