Oleh Meza Swastika
Ketika pentingnya kawasan konservasi harus dihadapkan urusan perut dan keserakahan pemodal, Bandar Lampung terancam bencana ekologis.
AIR minum di dalam botol bekas kemasan air mineral yang digantungkan di pinggang Maman (40) hampir tiris. Matahari yang menjemur batu-batu karst Bukit Camang, Tanjunggading, itu membuat udara panas dan mengeringkan tenggorokan. Namun, ia terus memahat, mencongkel, dan menggelindingkan bongkahan-bongkahan batu belah itu sebagai penyambung hidup diri dan keluarganya.
Tiga tenda yang dibuat sekenanya dari karung bekas yang diikat di dua batang kayu tak mampu menahan terik matahari siang itu, pekan lalu. Dari salah satu tenda, salah seorang rekan Maman setengah berteriak kepadanya, "Neraka lagi bocor! Panas banget.?
Sedari pagi, baru dua dump truck batu fondasi yang ia muat, tetapi Maman sudah kelelahan. Keringat yang membanjir di seluruh tubuh juga membasahi rokok kretek murahan yang diselipkan di telinga. Namun, ia tetap bekerja.
Sesekali matanya melirik ke pintu portal yang ada di bagian bawah. Tetapi ia tak melihat ada dump truck datang. Ia juga tak mendengar lamat-lamat suara berat mesin truk yang kepayahan menanjak jalan terjal menuju bukit itu.
Dengan upah Rp30 ribu sehari, Maman juga kerap merangkap sebagai keamanan di pintu-pintu portal untuk berjaga-jaga. "Kemarin ada wartawan yang moto-moto kami," ujarnya singut.
Ini adalah tahun kedelapan Maman bekerja sebagai penambang di Bukit Camang. Mantan tukang becak ini mengaku lebih ajeg bekerja sebagai penambang batu karena penghasilannya lebih tetap meski tak besar.
Selama menambang, ia mengaku pernah menemukan dan menangkap beberapa ekor monyet dan ular piton besar dan anakan burung elang di puncak bukit. "Monyetnya saya jual di Teluk, ular sama burung elangnya saya jual di Pasar Tengah.?
Ia tak peduli dengan bahaya yang mengancamnya, meski beberapa rekannya pernah tewas tertimbun longsoran.
Tinggal Dua Bukit
Kondisi Bukit Camang kini kian rusak parah akibat eksploitasi dengan menjadikan bukit karst itu sebagai lahan tambang batu fondasi. Keadaannya kini mungkin hanya tinggal 20 persen lagi.
Hendrawan, aktivis Walhi Lampung, menyebut Pemerintah Kota Bandar Lampung tak tahu arti kawasan konservasi. "Mereka menganggap itu bukan daerah resapan air karena bukit kapur. Ini kan aneh kalau bukan resapan air kenapa tanaman bisa tumbuh di bukit itu," ujar mantan direktur eksekutif Walhi Lampung ini.
Bukit-bukit di Bandar Lampung, ujarnya, kini masuk dalam klasifikasi rusak, rusak berat, dan alih fungsi lahan. Hanya tersisa dua bukit lagi yang masih masuk kategori rusak ringan, yakni Bukit Sulah dan Bukit Banten.
Meskipun kedua bukit ini masuk kategori sebagai hutan lindung, perlahan kondisinya makin tergerus permukiman warga. Termasuk kemungkinan eksploitasi tambang batu baru jika bukit-bukit yang lain sudah tak berproduksi. "Bisa saja kedua bukit ini akan menjadi intaian penambang batu setelah bukit-bukit yang lain habis dieksploitasi.?
Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1996 tentang Pengelolaan Lereng, Bukit, dan Gunung di Bandar Lampung serta revisi perda tersebut pada 2004 tentang rencana tata ruang Kota Bandar Lampung maupun keberadaan SK Wali Kota Bandar Lampung Nomor 13 Tahun 2009, tak ubahnya lembaran-lembaran kertas yang tak memiliki makna dan kekuatan hukum apa-apa.
Seperti yang diakui Kepala BPLH Kota Bandar Lampung Rejab, meski keberadaan tambang-tambang galian C yang ada di kawasan perbukitan di Bandar Lampung adalah ilegal, tak pernah ada upaya untuk menertibkan apalagi bertindak tegas terhadap aktivitas penambangan ilegal tersebut.
"Kami sudah sering mengimbau warga untuk tidak mengeruk bukit, tetapi tak pernah diindahkan," kata Rejab.
Padahal, akibat aktivitas penambangan ilegal ini membuat kawasan-kawasan perbukitan di Bandar Lampung menjadi rawan longsor. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lampung Budiharto mengatakan kawasan perbukitan seperti Camang, Sukamenanti, dan Gunungsulah adalah kawasan bukit yang rawan longsor, terlebih di musim hujan.
Berkali-kali Walhi Lampung mengingatkan kawasan perbukitan di Bandar Lampung adalah kawasan hijau, kawasan konservasi, termasuk hutan lindung yang memiliki fungsi penting sebagai daerah tangkapan air (catchment area) untuk wilayah Bandar Lampung.
Karena itu, jika eksploitasi di kawasan itu terus-menerus dilakukan hanya untuk keuntungan sepihak, Kota Bandar Lampung hanya tinggal menunggu bencana ekologis yang pasti akan datang. "Bencana ekologis bahkan sudah mulai terlihat. Buktinya, musibah longsor yang kerap terjadi di kawasan perbukitan dan banjir setiap musim hujan karena daerah tangkapan air sudah tidak ada lagi," kata Hendrawan.
Kota Bandar Lampung minim ruang terbuka hijau, seperti amanat rencana tata ruang wilayah yang mensyaratkan memiliki minimal 30 persen. "Saat ini, luas ruang terbuka hijau hanya sekitar 11 persen saja. Itu pun ruang terbuka hijau yang ada di hutan kota Way Halim juga terancam dialihfungsikan.?
Tumpang tindihnya permasalahan kawasan perbukitan ini belakangan hanya menjadi semacam isu seksi pada ajang-ajang politik dan janji-janji para calon yang berebut kekuasaan. Di sisi lain, antarsatuan kerja hanya mencari aman dengan pernyataan-pernyataan tanpa makna. (M1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Oktober 2013
Ketika pentingnya kawasan konservasi harus dihadapkan urusan perut dan keserakahan pemodal, Bandar Lampung terancam bencana ekologis.
Bukit Kunyit yang hampir hilang. LAMPUNG POST/IKHSAN DNS |
Tiga tenda yang dibuat sekenanya dari karung bekas yang diikat di dua batang kayu tak mampu menahan terik matahari siang itu, pekan lalu. Dari salah satu tenda, salah seorang rekan Maman setengah berteriak kepadanya, "Neraka lagi bocor! Panas banget.?
Sedari pagi, baru dua dump truck batu fondasi yang ia muat, tetapi Maman sudah kelelahan. Keringat yang membanjir di seluruh tubuh juga membasahi rokok kretek murahan yang diselipkan di telinga. Namun, ia tetap bekerja.
Sesekali matanya melirik ke pintu portal yang ada di bagian bawah. Tetapi ia tak melihat ada dump truck datang. Ia juga tak mendengar lamat-lamat suara berat mesin truk yang kepayahan menanjak jalan terjal menuju bukit itu.
Dengan upah Rp30 ribu sehari, Maman juga kerap merangkap sebagai keamanan di pintu-pintu portal untuk berjaga-jaga. "Kemarin ada wartawan yang moto-moto kami," ujarnya singut.
Ini adalah tahun kedelapan Maman bekerja sebagai penambang di Bukit Camang. Mantan tukang becak ini mengaku lebih ajeg bekerja sebagai penambang batu karena penghasilannya lebih tetap meski tak besar.
Selama menambang, ia mengaku pernah menemukan dan menangkap beberapa ekor monyet dan ular piton besar dan anakan burung elang di puncak bukit. "Monyetnya saya jual di Teluk, ular sama burung elangnya saya jual di Pasar Tengah.?
Ia tak peduli dengan bahaya yang mengancamnya, meski beberapa rekannya pernah tewas tertimbun longsoran.
Tinggal Dua Bukit
Kondisi Bukit Camang kini kian rusak parah akibat eksploitasi dengan menjadikan bukit karst itu sebagai lahan tambang batu fondasi. Keadaannya kini mungkin hanya tinggal 20 persen lagi.
Hendrawan, aktivis Walhi Lampung, menyebut Pemerintah Kota Bandar Lampung tak tahu arti kawasan konservasi. "Mereka menganggap itu bukan daerah resapan air karena bukit kapur. Ini kan aneh kalau bukan resapan air kenapa tanaman bisa tumbuh di bukit itu," ujar mantan direktur eksekutif Walhi Lampung ini.
Bukit-bukit di Bandar Lampung, ujarnya, kini masuk dalam klasifikasi rusak, rusak berat, dan alih fungsi lahan. Hanya tersisa dua bukit lagi yang masih masuk kategori rusak ringan, yakni Bukit Sulah dan Bukit Banten.
Meskipun kedua bukit ini masuk kategori sebagai hutan lindung, perlahan kondisinya makin tergerus permukiman warga. Termasuk kemungkinan eksploitasi tambang batu baru jika bukit-bukit yang lain sudah tak berproduksi. "Bisa saja kedua bukit ini akan menjadi intaian penambang batu setelah bukit-bukit yang lain habis dieksploitasi.?
Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1996 tentang Pengelolaan Lereng, Bukit, dan Gunung di Bandar Lampung serta revisi perda tersebut pada 2004 tentang rencana tata ruang Kota Bandar Lampung maupun keberadaan SK Wali Kota Bandar Lampung Nomor 13 Tahun 2009, tak ubahnya lembaran-lembaran kertas yang tak memiliki makna dan kekuatan hukum apa-apa.
Seperti yang diakui Kepala BPLH Kota Bandar Lampung Rejab, meski keberadaan tambang-tambang galian C yang ada di kawasan perbukitan di Bandar Lampung adalah ilegal, tak pernah ada upaya untuk menertibkan apalagi bertindak tegas terhadap aktivitas penambangan ilegal tersebut.
"Kami sudah sering mengimbau warga untuk tidak mengeruk bukit, tetapi tak pernah diindahkan," kata Rejab.
Padahal, akibat aktivitas penambangan ilegal ini membuat kawasan-kawasan perbukitan di Bandar Lampung menjadi rawan longsor. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lampung Budiharto mengatakan kawasan perbukitan seperti Camang, Sukamenanti, dan Gunungsulah adalah kawasan bukit yang rawan longsor, terlebih di musim hujan.
Berkali-kali Walhi Lampung mengingatkan kawasan perbukitan di Bandar Lampung adalah kawasan hijau, kawasan konservasi, termasuk hutan lindung yang memiliki fungsi penting sebagai daerah tangkapan air (catchment area) untuk wilayah Bandar Lampung.
Karena itu, jika eksploitasi di kawasan itu terus-menerus dilakukan hanya untuk keuntungan sepihak, Kota Bandar Lampung hanya tinggal menunggu bencana ekologis yang pasti akan datang. "Bencana ekologis bahkan sudah mulai terlihat. Buktinya, musibah longsor yang kerap terjadi di kawasan perbukitan dan banjir setiap musim hujan karena daerah tangkapan air sudah tidak ada lagi," kata Hendrawan.
Kota Bandar Lampung minim ruang terbuka hijau, seperti amanat rencana tata ruang wilayah yang mensyaratkan memiliki minimal 30 persen. "Saat ini, luas ruang terbuka hijau hanya sekitar 11 persen saja. Itu pun ruang terbuka hijau yang ada di hutan kota Way Halim juga terancam dialihfungsikan.?
Tumpang tindihnya permasalahan kawasan perbukitan ini belakangan hanya menjadi semacam isu seksi pada ajang-ajang politik dan janji-janji para calon yang berebut kekuasaan. Di sisi lain, antarsatuan kerja hanya mencari aman dengan pernyataan-pernyataan tanpa makna. (M1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Oktober 2013
No comments:
Post a Comment