RAUT muka Sekretaris Kelurahan Negeri Olokgading, Tries K., langsung berubah merah saat diminta komentar soal desa cagar budaya Lampung, Rabu pekan lalu. Nada suaranya terlihat gugup. Dua kali ia membenarkan posisi kacamatanya.
Senyumnya seolah ingin menyembunyikan rasa malunya. Duduknya pun agak gelisah. Ia tergagap saat ditanya tentang sejarah Negeri Olokgading.
Ia juga berkali-kali meminta agar Lampung Post bertanya kepada lurah saja tentang daerah tempatnya bertugas itu. "Tanya lurah aja," katanya berusaha menutupi ketidaktahuannya tentang sejarah Kelurahan Negeri Olokgading.
Bahkan, ketika diminta sedikit saja menggambarkan keadaan Kelurahan Negeri Olokgading, Tries justru menjawab dengan alasan yang tak berhubungan dengan apa yang sedang ditanyakan. "Saya baru dua hari pulang diklat.?
Setahun lebih menjabat sebagai sekretaris Kelurahan Negeri Olokgading, Tries bahkan tak tahu di mana rumah kepala Marga Balak. Ia juga kebingungan ketika ditanya berapa luas wilayah kelurahan itu. Sembari berlalu, ia hanya berujar pendek. "Nanti saja, tunggu lurah.?
Kejadian seperti ini pernah dialami Robbie, pemandu wisata yang pernah membawa seorang peneliti asal Universitas Leiden, Belanda, ke kantor Kelurahan Negeri Olokgading. "Setiap ditanya, jawabannya enggak tahu. Ditanya sejarah Negeri Olokgading, jawabannya enggak tahu juga, turis yang bawa cuma bisa bengong.?
Ia bahkan sempat diprotes, bahkan dianggap tak layak menjadi pemandu oleh peneliti tersebut karena membawa ke pusat informasi yang salah. "Padahal, yang salah itu pemerintahnya, kenapa menempatkan pegawai yang bisanya cuma bilang enggak tahu dan tak mau belajar karakteristik wilayah tempatnya bertugas," kata Robbie kesal.
Apalagi, lanjutnya, Kelurahan Negeri Olokgading sudah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya. "Bagaimana mungkin mereka bisa tidak tahu?"
Andi Wijaya yang diberitahu soal ini hanya tertawa. Ia justru menyarankan agar langsung saja ke Lamban Balak jika ingin mendapat informasi tentang Marga Balak. "Ya itulah, karena kelurahan kan bukan dipilih oleh warga, jadi mereka tidak tahu wilayah tempat mereka bekerja.?
Sebagai kampung yang sudah ada sejak empat abad yang lalu, Negeri Olokgading yang ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya memang kalah terkenal jika dibandingkan dengan perumahan elite Citra Garden yang ada di kelurahan tersebut. "Coba tanya di mana Negeri Olokgading, pasti mereka bingung jawabnya. Tetapi kalau ditanya perumahan Citra Garden di mana, pasti bisa langsung dijawab,? kata dia.
Kelurahan Negeri Olokgading bahkan hanya dianggap sebagai daerah perlintasan biasa. Nyaris tak ada tanda-tanda yang menyatakan bahwa daerah ini adalah kawasan cagar budaya. Di sisi lain, masyarakat juga mulai terkesan berusaha melupakan kampung adat ini dengan mengubah bangunan-bangunan yang dulunya adalah rumah panggung dengan rumah-rumah yang bentuknya lebih modern. (M1) Meza Swastika
Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Oktober 2013
Senyumnya seolah ingin menyembunyikan rasa malunya. Duduknya pun agak gelisah. Ia tergagap saat ditanya tentang sejarah Negeri Olokgading.
Ia juga berkali-kali meminta agar Lampung Post bertanya kepada lurah saja tentang daerah tempatnya bertugas itu. "Tanya lurah aja," katanya berusaha menutupi ketidaktahuannya tentang sejarah Kelurahan Negeri Olokgading.
Bahkan, ketika diminta sedikit saja menggambarkan keadaan Kelurahan Negeri Olokgading, Tries justru menjawab dengan alasan yang tak berhubungan dengan apa yang sedang ditanyakan. "Saya baru dua hari pulang diklat.?
Setahun lebih menjabat sebagai sekretaris Kelurahan Negeri Olokgading, Tries bahkan tak tahu di mana rumah kepala Marga Balak. Ia juga kebingungan ketika ditanya berapa luas wilayah kelurahan itu. Sembari berlalu, ia hanya berujar pendek. "Nanti saja, tunggu lurah.?
Kejadian seperti ini pernah dialami Robbie, pemandu wisata yang pernah membawa seorang peneliti asal Universitas Leiden, Belanda, ke kantor Kelurahan Negeri Olokgading. "Setiap ditanya, jawabannya enggak tahu. Ditanya sejarah Negeri Olokgading, jawabannya enggak tahu juga, turis yang bawa cuma bisa bengong.?
Ia bahkan sempat diprotes, bahkan dianggap tak layak menjadi pemandu oleh peneliti tersebut karena membawa ke pusat informasi yang salah. "Padahal, yang salah itu pemerintahnya, kenapa menempatkan pegawai yang bisanya cuma bilang enggak tahu dan tak mau belajar karakteristik wilayah tempatnya bertugas," kata Robbie kesal.
Apalagi, lanjutnya, Kelurahan Negeri Olokgading sudah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya. "Bagaimana mungkin mereka bisa tidak tahu?"
Andi Wijaya yang diberitahu soal ini hanya tertawa. Ia justru menyarankan agar langsung saja ke Lamban Balak jika ingin mendapat informasi tentang Marga Balak. "Ya itulah, karena kelurahan kan bukan dipilih oleh warga, jadi mereka tidak tahu wilayah tempat mereka bekerja.?
Sebagai kampung yang sudah ada sejak empat abad yang lalu, Negeri Olokgading yang ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya memang kalah terkenal jika dibandingkan dengan perumahan elite Citra Garden yang ada di kelurahan tersebut. "Coba tanya di mana Negeri Olokgading, pasti mereka bingung jawabnya. Tetapi kalau ditanya perumahan Citra Garden di mana, pasti bisa langsung dijawab,? kata dia.
Kelurahan Negeri Olokgading bahkan hanya dianggap sebagai daerah perlintasan biasa. Nyaris tak ada tanda-tanda yang menyatakan bahwa daerah ini adalah kawasan cagar budaya. Di sisi lain, masyarakat juga mulai terkesan berusaha melupakan kampung adat ini dengan mengubah bangunan-bangunan yang dulunya adalah rumah panggung dengan rumah-rumah yang bentuknya lebih modern. (M1) Meza Swastika
Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Oktober 2013
No comments:
Post a Comment