Data Buku: Kearifan Lokal dalam Pembangunan Daerah Agus Mardihartono Indepth Publishing, Bandar Lampung I, September 2013 xvii + 141 hlm. |
TULANGBAWANG adalah salah satu kerajaan tua di Indonesia. Catatan China kuno menyebutkan pada abad IV seorang peziarah agama Buddha, Fa-Hien, pernah singgah di kerajaan yang makmur dan berjaya, To-Lang P?o-Hwang (Tulangbawang) di pedalaman Chryse (Pulau Emas Sumatera). Pemebentukan Kabupaten Tulangbawang diawali dari rencana sesepuh dan tokoh masyarakat bersama pemerintah sejak 1972 untuk mengembangkan Provinsi Lampung menjadi 10 kabupaten/kota. Akhirnya, Kabupaten Tulangbawang lahir dan diresmikannya Menteri Dalam Negeri (Mendagri) pada 20 Maret 1997.
Buku ini memberikan banyak pengetahuan bagaimana sebuah kearifan lokal bisa dioptimalkan bagi kemajuan daerah. Kearifan lokal hendaknya dijadikan dasar untuk mengambil kebijakan pembangunan pada level lokal di bidang kesehatan, pertanian, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam, dan kegiatan masyarakat perdesaan. Pembangunan yang tepat tidak pernah akan menghilangkan adat istiadat maupun kearifan lokal suatu daerah.
Penduduk Kabupaten Tulangbawang sendiri secara garis besar dapat dikelompokkan dalam masyarakat adat Lampung (masyarakat asli Lampung-Megoupak) dan kelompok pendatang. Keberadaan kelompok ini telah membentuk suatu pertalian adat dan budaya yang menjadi budaya yang memjadi suatu akulturasi budaya.
Agus Mardihartono, penulis buku ini, berusaha menjelaskan pengambilan kebijakan dan implementasinnya dalam proses pembangunan di Tulangbawang. Implementasi program pembangunan yang menerapkan strategi pemberdayaan masyarakat dengan mengedepankan kearifan lokal merupakan suatu konsekuensi dari pergeseraan paradigma pembangunan nasional. Paradigma ini mengarah pada tercapainya upaya pembangunan yang terpusat pada manusia (people centered development).
Tujuan yang hendak dicapai dari optimalisasi nilai-nilai kearifan lokal adalah untuk pengentasan kemiskinan, percepatan pembangunan sebagai bagian dari integal prinsip-prinsip ekonomi yang diwujudkan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab serta proposional dengan menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat perataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman potensi masyarakat.
Bagaimana kearifan lokal dapat dijadikan formula dalam sebuah rancangan pembangunan yang benar-benar dibutuhkan segenap lapisan masyarakat di daerah. Pelaksanaan desentralisasi melalui kebijakan-kebijakan otonomi daerah dalam pemerintahan yang demokratis. Proses penyusunan peraturan daerah dan kebijakan-kebijakan pembangunan daerah dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat sehingga aspirasi masyarakat bisa didengar, dan diakomodasikan dalam kebijakan pembangunan. Dengan demikian, kebijakan yang diambil oleh pemerintah diharapkan lebih berpihak kepada masyarakat.
Hakikat otonomi daerah adalah mendekatkan unsur daerah atau kearifan masyarakat lokal dengan pemerintah sebagai dasar untuk pengmbilan kebijakan pada level lokal di bidang kesehatan, pertanian, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam, dan kegiatan masyarakat perdesaan. Pembangunan yang tepat tidak akan pernah menghilangkan adat istiadat maupun kearifan lokal suatu daerah. Apabila sebuah proses pembangunan mengesampingkan adat istiadat dan kearifan lokal, hampir dapat dipastikan bahwa bangsa maupun daerah tersebut akan kehilangan jati dirinya.
Beberapa pendekatan telah coba dilakukan pemerintah daerah dalam upaya menjaring masuknya (input) dalam upaya pemberdayaan dalam masyarakat. Berdayanya masyarakat menjadi unsur dasar yang memungkinkan mereka bertahan dan bahkan mengembangkan diri dalam mencapai tujuan hidupnya. Pemberdayaan yang mampu mendorong, memotivasi, dan mengakibatkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya, serta upaya untuk mengembangkannya.
Dalam konteks ini, penyelenggaraan pemerintah, pembangunan dan pelayanan publik tidak semata-mata didasarkan pada pemerintah, tetapi dituntut adanya keterlibatan seluruh elemen, baik internal birokrasi maupun masyarakat dan pihak swasta. Sebab, kearifan lokal itu mengajak seluruh elemen, terutama masyarakat untuk aktif ikut mengawasi pelaksanaan pembangunan, dan pembuatan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Riko Andreas, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Oktober 2013
Buku ini memberikan banyak pengetahuan bagaimana sebuah kearifan lokal bisa dioptimalkan bagi kemajuan daerah. Kearifan lokal hendaknya dijadikan dasar untuk mengambil kebijakan pembangunan pada level lokal di bidang kesehatan, pertanian, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam, dan kegiatan masyarakat perdesaan. Pembangunan yang tepat tidak pernah akan menghilangkan adat istiadat maupun kearifan lokal suatu daerah.
Penduduk Kabupaten Tulangbawang sendiri secara garis besar dapat dikelompokkan dalam masyarakat adat Lampung (masyarakat asli Lampung-Megoupak) dan kelompok pendatang. Keberadaan kelompok ini telah membentuk suatu pertalian adat dan budaya yang menjadi budaya yang memjadi suatu akulturasi budaya.
Agus Mardihartono, penulis buku ini, berusaha menjelaskan pengambilan kebijakan dan implementasinnya dalam proses pembangunan di Tulangbawang. Implementasi program pembangunan yang menerapkan strategi pemberdayaan masyarakat dengan mengedepankan kearifan lokal merupakan suatu konsekuensi dari pergeseraan paradigma pembangunan nasional. Paradigma ini mengarah pada tercapainya upaya pembangunan yang terpusat pada manusia (people centered development).
Tujuan yang hendak dicapai dari optimalisasi nilai-nilai kearifan lokal adalah untuk pengentasan kemiskinan, percepatan pembangunan sebagai bagian dari integal prinsip-prinsip ekonomi yang diwujudkan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab serta proposional dengan menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat perataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman potensi masyarakat.
Bagaimana kearifan lokal dapat dijadikan formula dalam sebuah rancangan pembangunan yang benar-benar dibutuhkan segenap lapisan masyarakat di daerah. Pelaksanaan desentralisasi melalui kebijakan-kebijakan otonomi daerah dalam pemerintahan yang demokratis. Proses penyusunan peraturan daerah dan kebijakan-kebijakan pembangunan daerah dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat sehingga aspirasi masyarakat bisa didengar, dan diakomodasikan dalam kebijakan pembangunan. Dengan demikian, kebijakan yang diambil oleh pemerintah diharapkan lebih berpihak kepada masyarakat.
Hakikat otonomi daerah adalah mendekatkan unsur daerah atau kearifan masyarakat lokal dengan pemerintah sebagai dasar untuk pengmbilan kebijakan pada level lokal di bidang kesehatan, pertanian, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam, dan kegiatan masyarakat perdesaan. Pembangunan yang tepat tidak akan pernah menghilangkan adat istiadat maupun kearifan lokal suatu daerah. Apabila sebuah proses pembangunan mengesampingkan adat istiadat dan kearifan lokal, hampir dapat dipastikan bahwa bangsa maupun daerah tersebut akan kehilangan jati dirinya.
Beberapa pendekatan telah coba dilakukan pemerintah daerah dalam upaya menjaring masuknya (input) dalam upaya pemberdayaan dalam masyarakat. Berdayanya masyarakat menjadi unsur dasar yang memungkinkan mereka bertahan dan bahkan mengembangkan diri dalam mencapai tujuan hidupnya. Pemberdayaan yang mampu mendorong, memotivasi, dan mengakibatkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya, serta upaya untuk mengembangkannya.
Dalam konteks ini, penyelenggaraan pemerintah, pembangunan dan pelayanan publik tidak semata-mata didasarkan pada pemerintah, tetapi dituntut adanya keterlibatan seluruh elemen, baik internal birokrasi maupun masyarakat dan pihak swasta. Sebab, kearifan lokal itu mengajak seluruh elemen, terutama masyarakat untuk aktif ikut mengawasi pelaksanaan pembangunan, dan pembuatan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Riko Andreas, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Oktober 2013
No comments:
Post a Comment