Oleh Dian Wahyu Kusuma
DIAM-DIAM, Elly Dharmawanti, perempuan setengah baya itu, memendam tanya melihat aktivitas warga di suatu bilangan di Kecamatan Batubrak, Lampung Barat. Satu jurang terjal di balik rerimbun pepohonan yang terkesan angker itu menjadi perhatiannya. Maklum, lokasi itu sering ia lewati saat ia mendapat tugas sebagai fasilitator kecamatan suatu program nasional pemberdayaan masyarakat.
Satu hal yang menarik perhatiannya adalah ketika begitu banyak wanita-wanita muda yang dengan berani memilih jurang itu sebagai tempat mandi. Ya, di dasar jurang itu memang terdapat mata air yang jernih, tak pernah kering, dan sangat menyegarkan.
Dari berbagai sumber, wanita kelahiran Pesisir Selatan, Pesisir Barat, 2 Februari 1975 itu mendapat jawaban atas pertanyaannya. Ada mitos yang dipercaya, kalau kita mandi di pancoran pitu (pancuran tujuh), tempat itu, maka akan tumbuh menjadi gadis cantik. Kisahnya, pancuran itu dulunya dijadikan tempat mandi kerajaan Sekala Brak.
Tiap sore hari, di pancoran pitu, itu ramai dengan banyak muda-mudi, lelaki perempuan, mandi di pancuran pitu itu. Letak pancurannya menjorok ke dalam seperti jurang. Meski jauh penduduk kini sudah dibangun undakan agar warga bisa dengan mudah mengakses untuk mandi di air pancuran itu.
Elly Dharmawanti yang mendapat tugas di Pesisir Selatan sebagai fasilitator itu melihat interaksi masyarakat yang unik itu. Daya khayalnya mengelana. Kemudian ia wujudkan menjadi bahan baku cerita tentang kepercayaan warga di Krui.
Cerita buntak (cerpen berbahasa Lampung)-nya yang berjudul Pancoran Pitu sewaktu tugas di Kecamatan Batubrak, Lampung Barat, ditulisnya. Saat itu, Elly sedang ada pekerjaan perbaikan pancuran di lamban pitu. “Mau awet muda, sehat, bisa mandi di pancoran pitu,” kata wanita alumnus Ilmu Komunikasi Universitas Tulangbawang, Bandar Lampung ini.
Karya cerita buntak (cerita pendek) dalam bahasa Lampung masih sulit di temui di Lampung. Dan cerita pendek yang terinspirasi dari pancuran tujuh itu menjadi bagian dari isi buku Tumi Mit Kota yang ditulis dalam bahasa Lampung bersama Udo Z. Karzi. Buku itu diluncurkan di Liwa, Kamis (19/12) lalu. Karya fiksi ini diilhami oleh cerita rakyat dengans setting cerita di wilayah Lampung Barat dan Pesisir Barat.
Elly mengaku tulisan yang ada dalam buku itu adalah tulisan lama yang diterbitkan media massa. Ia butuh dua bulan untuk menerjemahkan ke dalam bahasa Lampung. “Ada enam tulisan cerita pendek saya di buku itu. Meski memang orang Lampung, saya mesti memilih padanan kata yang pas, sesuai, ngepasin kalimatnya,” kata dia.
Enam cerpennya menarik semua. Itu sebagian besar kisah sehari-hari, dan memang ada di daerah Krui. Cerita Kumbang Bi, Kumbang Kenangan, dan Aisah memang betul terjadi, seperti yang biasa kita lihat dan dengar, lalu dibuat tulisan. Hanya saja, pada penulisan cerpen dibuat ada unsur fiksinya untuk memikat pembaca.
Di PNPM, Elly orang yang biasa di lapangan sering menghadapi orang Lampung. “Menghadapi 15 desa, rata-rata orang Lampung tipikalnya keras, emosional. Apalagi ngadepin aparat pekon yang arogan," kata ibu dua anak ini.
Meski sering keluar daerah, Elly masih sering mabuk di kendaraan. Siang itu misalnya dalam perjalanan Liwa-Krui, jalan yang berkelok-kelok membuat perut wanita berambut ikal ini mual.
Menurut Elly, sastra Lampung tidak banyak penggemarnya. Menulis baginya karena kepuasan batin. “Senang bisa berbagi dengan warga Lampung. Itu bentuk kecintaan pada tanah sendiri. Buku ini menjadi stimulan buat adik-adik mengapresiasi kebudayaan,” kata Elly pada bedah buku di SMAN 2 Liwa, Lampung Barat, Kamis (19/12).
Sejak tahun 2011 sampai sekarang, Elly mengabdi di PNPM Pesisir Selatan. Dari perjumpaan dan interaksi dengan warga ia terinspirasi membuat cerita buntak. Sejak mahasiswa ia aktif di Watala, dan pernah bekerja di LSM Lembaga Alam Tropika Indonesia (Latin) di Bogor.
Elly mengaku sudah pasti punya keinginan lagi untuk menulis dalam bahasa lampung. Bahasa sehari-hari ini bisa diubah menjadi bahasa Lampung. Berbeda zaman sekarang modern, gaya penulisannya beda dengan tahun sebelumnya di era patriotik. (M1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Desember 2013
Elly Dharmawanti |
Satu hal yang menarik perhatiannya adalah ketika begitu banyak wanita-wanita muda yang dengan berani memilih jurang itu sebagai tempat mandi. Ya, di dasar jurang itu memang terdapat mata air yang jernih, tak pernah kering, dan sangat menyegarkan.
Dari berbagai sumber, wanita kelahiran Pesisir Selatan, Pesisir Barat, 2 Februari 1975 itu mendapat jawaban atas pertanyaannya. Ada mitos yang dipercaya, kalau kita mandi di pancoran pitu (pancuran tujuh), tempat itu, maka akan tumbuh menjadi gadis cantik. Kisahnya, pancuran itu dulunya dijadikan tempat mandi kerajaan Sekala Brak.
Tiap sore hari, di pancoran pitu, itu ramai dengan banyak muda-mudi, lelaki perempuan, mandi di pancuran pitu itu. Letak pancurannya menjorok ke dalam seperti jurang. Meski jauh penduduk kini sudah dibangun undakan agar warga bisa dengan mudah mengakses untuk mandi di air pancuran itu.
Elly Dharmawanti yang mendapat tugas di Pesisir Selatan sebagai fasilitator itu melihat interaksi masyarakat yang unik itu. Daya khayalnya mengelana. Kemudian ia wujudkan menjadi bahan baku cerita tentang kepercayaan warga di Krui.
Cerita buntak (cerpen berbahasa Lampung)-nya yang berjudul Pancoran Pitu sewaktu tugas di Kecamatan Batubrak, Lampung Barat, ditulisnya. Saat itu, Elly sedang ada pekerjaan perbaikan pancuran di lamban pitu. “Mau awet muda, sehat, bisa mandi di pancoran pitu,” kata wanita alumnus Ilmu Komunikasi Universitas Tulangbawang, Bandar Lampung ini.
Karya cerita buntak (cerita pendek) dalam bahasa Lampung masih sulit di temui di Lampung. Dan cerita pendek yang terinspirasi dari pancuran tujuh itu menjadi bagian dari isi buku Tumi Mit Kota yang ditulis dalam bahasa Lampung bersama Udo Z. Karzi. Buku itu diluncurkan di Liwa, Kamis (19/12) lalu. Karya fiksi ini diilhami oleh cerita rakyat dengans setting cerita di wilayah Lampung Barat dan Pesisir Barat.
Elly mengaku tulisan yang ada dalam buku itu adalah tulisan lama yang diterbitkan media massa. Ia butuh dua bulan untuk menerjemahkan ke dalam bahasa Lampung. “Ada enam tulisan cerita pendek saya di buku itu. Meski memang orang Lampung, saya mesti memilih padanan kata yang pas, sesuai, ngepasin kalimatnya,” kata dia.
Enam cerpennya menarik semua. Itu sebagian besar kisah sehari-hari, dan memang ada di daerah Krui. Cerita Kumbang Bi, Kumbang Kenangan, dan Aisah memang betul terjadi, seperti yang biasa kita lihat dan dengar, lalu dibuat tulisan. Hanya saja, pada penulisan cerpen dibuat ada unsur fiksinya untuk memikat pembaca.
Di PNPM, Elly orang yang biasa di lapangan sering menghadapi orang Lampung. “Menghadapi 15 desa, rata-rata orang Lampung tipikalnya keras, emosional. Apalagi ngadepin aparat pekon yang arogan," kata ibu dua anak ini.
Meski sering keluar daerah, Elly masih sering mabuk di kendaraan. Siang itu misalnya dalam perjalanan Liwa-Krui, jalan yang berkelok-kelok membuat perut wanita berambut ikal ini mual.
Menurut Elly, sastra Lampung tidak banyak penggemarnya. Menulis baginya karena kepuasan batin. “Senang bisa berbagi dengan warga Lampung. Itu bentuk kecintaan pada tanah sendiri. Buku ini menjadi stimulan buat adik-adik mengapresiasi kebudayaan,” kata Elly pada bedah buku di SMAN 2 Liwa, Lampung Barat, Kamis (19/12).
Sejak tahun 2011 sampai sekarang, Elly mengabdi di PNPM Pesisir Selatan. Dari perjumpaan dan interaksi dengan warga ia terinspirasi membuat cerita buntak. Sejak mahasiswa ia aktif di Watala, dan pernah bekerja di LSM Lembaga Alam Tropika Indonesia (Latin) di Bogor.
Elly mengaku sudah pasti punya keinginan lagi untuk menulis dalam bahasa lampung. Bahasa sehari-hari ini bisa diubah menjadi bahasa Lampung. Berbeda zaman sekarang modern, gaya penulisannya beda dengan tahun sebelumnya di era patriotik. (M1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Desember 2013
No comments:
Post a Comment