Oleh Djadjad Sudradjat
"PERJUANGAN melawan lupa," kata sastrawan Cekoslowakia, Milan Kundera, menurut saya adalah perjuangan sepanjang masa. Ia tak hanya melawan penguasa, tapi juga melawan tabiat buruk kita, yakni watak yang tak memuliakan kejujuran. Kebiasaan "wani piro?" pada setiap hajatan politik apa pun namanya: pemilu legislatif, pemilihan presiden, gubernur, bupati/wali kota. Bahkan pemilihan kepala desa pun kini penuh tabiat buruk itu. Uang sudah menjadi alat transaksi segala rupa, segala urusan.
Perjuangan melawan lupa, juga harus diarahkan terhadap ambivalensi atau paradoks sikap. Kita membenci politik transaksional, tapi sebagian kita juga menikmatinya. Kita ingin perubahan, tapi juga kita meneruskan cara tercela dalam memilih wakil rakyat dan pemimpinnya. Kita marah pada korupsi, tapi secara terang-terangan dan diam-diam juga mendukung laku itu. Melakukan politik uang jelas bagian dari upaya menyuburkan korupsi itu.
Hasil Survei Polling Center menunjukkan hal itu. Mayoritas masyarakat (52,1 persen) akan menerima uang dan barang dari para calon wakil rakyat kita pada Pemilu 2014 ini. Survei yang dirilis akhir Desember 2013 itu melibatkan 2.760 responden di enam provinsi: Aceh, DKI Jakarta, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Bisa jadi ada provinsi yang tingkat politik uangnya lebih menggila yang luput dari survei itu.
Lampung salah satu contohnya. Ia tidak termasuk wilayah yang disurvei, tapi seperti ditengarai oleh Badan Pengawas Pemilu, provinsi ini paling tinggi dalam soal politik uang. Bahkan, di provinsi ini tak hanya uang dan barang, tapi juga dalam bentuk wisata ke berbagai tempat di Pulau Jawa: Kubah Emas, makam Wali Songo, Sunan Gunung Jati, dan tempat-tempat lain. Rupa-rupa "program" dadakan juga dilakukan mereka yang telah punya "kuasa".
Sekadar informasi, Pemilu Legislatif pada 9 April 2014 ini akan bertarung 12 partai nasional dan tiga partai lokal di Aceh. Sebanyak 181.139.037 daftar pemilih tetap akan memilih 560 anggota DPR RI, 132 senator (anggota Dewan Perwakilan Daerah = DPD RI), 2.137 anggota DPRD provinsi, dan 17.560 anggota DPRD kabupaten/kota. Dari jumlah itu, 18 anggota DPR RI, empat anggota DPD RI, 85 anggota DPRD provinsi, dan 540 anggota DPRD kabupaten/kota berasal dari Provinsi Lampung.
Memang, dalam survei, angka masyarakat yang akan menerima uang dan barang tidak linier dengan pilihan terhadap para calon anggota legislatif. Hanya 18,1 persen masyarakat yang akan memilih calon anggota legislatif yang memberikan politik uang. Sebanyak 42,8 persen akan memilih sesuai keinginan mereka. Bahkan, 21,1 persen warga pemilih tidak akan memilih kandidat yang melakukan politik uang. Mereka justru akan menghukum para calon wakil rakyat yang melakukan politik uang. Mereka menilai politik uang akan melukai pemilu yang jujur dan adil. Spirit inilah yang menjadi harapan ideal dalam pemilu. Inilah pemilih cerdas.
Kita tentu berharap pemilih cerdas juga terjadi di Lampung. Angkanya pun semoga kian meningkat. Tetapi, seberapa besar kekuatan sebuah "harapan"? Dengan melihat aneka cara, tak hanya uang dan barang, juga jasa ?bahkan ada informasi adanya tekanan lewat jalur birokrasi untuk memilih caleg tertentu di beberapa kabupaten?jelas mencemaskan. Hanya para calon legislatif yang terus berteguh dengan politik beretika yang terus mau terjun ke masyarakat dan melakukan pendidikan politik, dan siap dengan segala risiko untuk tak larut dalam "suara berbayar" itu.
Tetapi, di luar "suara berbayar" oleh kandidat ke calon pemilih, ada kekhawatiran praktik ini justru akan melebar dari kandidat ke penyelenggara pemilu. Seperti diungkap program Realitas di Metro TV beberapa hari silam, ada indikasi oknum penyelenggara pemilu (KPU) "bermain" dalam penggelembungan suara caleg dari partai tertentu. Ini jelas sebuah pengkhianatan terhadap demokrasi. Ia harus mendapat sanksi berat jika terbukti.
Tetapi, kita pasti tak akan lelah berharap. Berharap KPU mulai pemilu ini menjadi bagian lokomotif perubahan yang signifikan. Kita juga berharap Bawaslu menjadi juri yang adil, tak pandang bulu. Sebab, demokrasi yang elok hanya bisa diteguhkan oleh mereka yang mencintai Indonesia dengan sepenuh hati. Karena ia telah menjadi pilihan yang paling tepat di dalam masyarakat yang plural. Kita akan celaka jika kembali pada rezim lama sebelum reformasi. Dunia mencatat dan menunggu Indonesia akan surut atau bangkit dengan pilihan ini.
Kini, di saat ideologi partai politik mencair, ketika semua partai tak lagi tegas jejak ideologinya, calon pemilih seperti tak punya "keterikatan" lagi pada partai. Terlebih terhadap partai-partai yang telah punya kadernya di pemerintahan dan parlemen, tapi tak melakukan perubahan yang diharapkan publik. Mereka banyak yang berkelindan dengan korupsi. Dalam kondisi ini caleg berkualitas mestinya menjadi harapan.
"Kelas dalam masyarakat akan ditentukan oleh suara," kata ahli komunikasi dan kebudayaan dari Universitas Toronto, Marshall McLuhan. Jika suara kita adalah suara berbayar, betapa jelas kelas kita. Kelas rendah. Lampung yang juga punya tingkat pluralisme yang tinggi, mestinya harus menjadi percontohan demokrasi. Sebab, politik uang yang tinggi di provinsi ini, juga berkorelasi dengan tingkat kemiskinannya. Karena politik jangka pendek yang terus dipertahankan. Ia terbukti melanggengkan kemiskinan. Karena para elite akan dengan mudah berdalih, suara rakyat telah dibeli. Mereka merasa tak punya kewajiban membangun masyarakat. Mereka perlu mengumpulkan uang untuk mengganti minimal sejumlah uang yang mereka keluarkan untuk "membeli" suara.
Membangun budaya politik yang beretika adalah membangun manusia. Membangun tabiat elok, yang meneguhkan martabat manusia. Itulah yang berpuluh tahun dilakukan para elite Korea Selatan, Hong Kong, Singapura, juga Malaysia. Mereka kini menikmatinya. Sementara kita terus melihat cermin buram wajah kita yang menjadi babu di banyak negeri. Sementara di dalam negeri korupsi merajalela.
Mari kita mulai perubahan untuk meneguhkan martabat bangsa ini pada Pemilu 2014 ini. Jangan selamanya menjadi pecundang. Lampung yang plural dengan lima butir filosofi hidup masyarakatnya, bisa menjadi contoh terbaik membangun demokrasi yang tak penuh noda. n
Sumber: Lampung Post, Minggu, 26 Januari 2014
Djadjad Sudradjat |
Perjuangan melawan lupa, juga harus diarahkan terhadap ambivalensi atau paradoks sikap. Kita membenci politik transaksional, tapi sebagian kita juga menikmatinya. Kita ingin perubahan, tapi juga kita meneruskan cara tercela dalam memilih wakil rakyat dan pemimpinnya. Kita marah pada korupsi, tapi secara terang-terangan dan diam-diam juga mendukung laku itu. Melakukan politik uang jelas bagian dari upaya menyuburkan korupsi itu.
Hasil Survei Polling Center menunjukkan hal itu. Mayoritas masyarakat (52,1 persen) akan menerima uang dan barang dari para calon wakil rakyat kita pada Pemilu 2014 ini. Survei yang dirilis akhir Desember 2013 itu melibatkan 2.760 responden di enam provinsi: Aceh, DKI Jakarta, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Bisa jadi ada provinsi yang tingkat politik uangnya lebih menggila yang luput dari survei itu.
Lampung salah satu contohnya. Ia tidak termasuk wilayah yang disurvei, tapi seperti ditengarai oleh Badan Pengawas Pemilu, provinsi ini paling tinggi dalam soal politik uang. Bahkan, di provinsi ini tak hanya uang dan barang, tapi juga dalam bentuk wisata ke berbagai tempat di Pulau Jawa: Kubah Emas, makam Wali Songo, Sunan Gunung Jati, dan tempat-tempat lain. Rupa-rupa "program" dadakan juga dilakukan mereka yang telah punya "kuasa".
Sekadar informasi, Pemilu Legislatif pada 9 April 2014 ini akan bertarung 12 partai nasional dan tiga partai lokal di Aceh. Sebanyak 181.139.037 daftar pemilih tetap akan memilih 560 anggota DPR RI, 132 senator (anggota Dewan Perwakilan Daerah = DPD RI), 2.137 anggota DPRD provinsi, dan 17.560 anggota DPRD kabupaten/kota. Dari jumlah itu, 18 anggota DPR RI, empat anggota DPD RI, 85 anggota DPRD provinsi, dan 540 anggota DPRD kabupaten/kota berasal dari Provinsi Lampung.
Memang, dalam survei, angka masyarakat yang akan menerima uang dan barang tidak linier dengan pilihan terhadap para calon anggota legislatif. Hanya 18,1 persen masyarakat yang akan memilih calon anggota legislatif yang memberikan politik uang. Sebanyak 42,8 persen akan memilih sesuai keinginan mereka. Bahkan, 21,1 persen warga pemilih tidak akan memilih kandidat yang melakukan politik uang. Mereka justru akan menghukum para calon wakil rakyat yang melakukan politik uang. Mereka menilai politik uang akan melukai pemilu yang jujur dan adil. Spirit inilah yang menjadi harapan ideal dalam pemilu. Inilah pemilih cerdas.
Kita tentu berharap pemilih cerdas juga terjadi di Lampung. Angkanya pun semoga kian meningkat. Tetapi, seberapa besar kekuatan sebuah "harapan"? Dengan melihat aneka cara, tak hanya uang dan barang, juga jasa ?bahkan ada informasi adanya tekanan lewat jalur birokrasi untuk memilih caleg tertentu di beberapa kabupaten?jelas mencemaskan. Hanya para calon legislatif yang terus berteguh dengan politik beretika yang terus mau terjun ke masyarakat dan melakukan pendidikan politik, dan siap dengan segala risiko untuk tak larut dalam "suara berbayar" itu.
Tetapi, di luar "suara berbayar" oleh kandidat ke calon pemilih, ada kekhawatiran praktik ini justru akan melebar dari kandidat ke penyelenggara pemilu. Seperti diungkap program Realitas di Metro TV beberapa hari silam, ada indikasi oknum penyelenggara pemilu (KPU) "bermain" dalam penggelembungan suara caleg dari partai tertentu. Ini jelas sebuah pengkhianatan terhadap demokrasi. Ia harus mendapat sanksi berat jika terbukti.
Tetapi, kita pasti tak akan lelah berharap. Berharap KPU mulai pemilu ini menjadi bagian lokomotif perubahan yang signifikan. Kita juga berharap Bawaslu menjadi juri yang adil, tak pandang bulu. Sebab, demokrasi yang elok hanya bisa diteguhkan oleh mereka yang mencintai Indonesia dengan sepenuh hati. Karena ia telah menjadi pilihan yang paling tepat di dalam masyarakat yang plural. Kita akan celaka jika kembali pada rezim lama sebelum reformasi. Dunia mencatat dan menunggu Indonesia akan surut atau bangkit dengan pilihan ini.
Kini, di saat ideologi partai politik mencair, ketika semua partai tak lagi tegas jejak ideologinya, calon pemilih seperti tak punya "keterikatan" lagi pada partai. Terlebih terhadap partai-partai yang telah punya kadernya di pemerintahan dan parlemen, tapi tak melakukan perubahan yang diharapkan publik. Mereka banyak yang berkelindan dengan korupsi. Dalam kondisi ini caleg berkualitas mestinya menjadi harapan.
"Kelas dalam masyarakat akan ditentukan oleh suara," kata ahli komunikasi dan kebudayaan dari Universitas Toronto, Marshall McLuhan. Jika suara kita adalah suara berbayar, betapa jelas kelas kita. Kelas rendah. Lampung yang juga punya tingkat pluralisme yang tinggi, mestinya harus menjadi percontohan demokrasi. Sebab, politik uang yang tinggi di provinsi ini, juga berkorelasi dengan tingkat kemiskinannya. Karena politik jangka pendek yang terus dipertahankan. Ia terbukti melanggengkan kemiskinan. Karena para elite akan dengan mudah berdalih, suara rakyat telah dibeli. Mereka merasa tak punya kewajiban membangun masyarakat. Mereka perlu mengumpulkan uang untuk mengganti minimal sejumlah uang yang mereka keluarkan untuk "membeli" suara.
Membangun budaya politik yang beretika adalah membangun manusia. Membangun tabiat elok, yang meneguhkan martabat manusia. Itulah yang berpuluh tahun dilakukan para elite Korea Selatan, Hong Kong, Singapura, juga Malaysia. Mereka kini menikmatinya. Sementara kita terus melihat cermin buram wajah kita yang menjadi babu di banyak negeri. Sementara di dalam negeri korupsi merajalela.
Mari kita mulai perubahan untuk meneguhkan martabat bangsa ini pada Pemilu 2014 ini. Jangan selamanya menjadi pecundang. Lampung yang plural dengan lima butir filosofi hidup masyarakatnya, bisa menjadi contoh terbaik membangun demokrasi yang tak penuh noda. n
Sumber: Lampung Post, Minggu, 26 Januari 2014
No comments:
Post a Comment