Oleh Iswadi Pratama
SUATU sore di November yang lembab, saya duduk sendiri di bawah rindang pohon kemuning yang telah menghuni halaman Taman Budaya Lampung sejak puluhan tahun lalu itu. Pohon yang masih menyimpan dingin sisa hujan sepanjang pagi dan siang. Di musim panas, pohon yang batangnya hanya bisa dipeluk oleh tiga orang dewasa yang saling memautkan tangan itu, akan memberi keteduhan. Bila kerimbunan daunnya berkolaborasi dengan hembusan angin akan menciptakan kantuk bagi siapa saja yang duduk di sana.
Itulah mengapa banyak yang senang duduk di bawah teduh dan rindangnya sebatang pohon. Kita bisa merasakan situasi antara sadar dan lelap, situasi ambang yang menyenangkan banyak orang. Di musim hujan, segalanya menjadi terlalu lembab dan lebih cocok untuk lumut dan para ulat bulu. Orang-orang, baik karyawan Taman Budaya Lampung maupun pengunjung atau seniman yang kebetulan datang, akan memilih nangkring di kantin dengan segelas kopi hangat, lalu asyik melewati hari dengan obrolan-obrolan yang seperti hendak mengulang atau malah menegaskan berita di televisi, kabar di media sosial, atau gosip sehari-hari.
Sebatang rokok yang saya isap tinggal seperempat. Konon, inilah bagian paling nikmat dalam merokok; ketika bara tembakau sudah terasa hangat di jari yang menjepitnya. Namun, saya tak pernah memikirkan hal itu. Saya lebih senang memikirkan mengapa para perokok dalam banyak hal menjadi warga kelas empat.
Amerika cukup sukses menggiring image ini. Namun, bukan demi kesehatan, melainkan perang cukai. Lamunan saya buyar ketika keprak rebana tiba-tiba membahana dari arah gedung pelatihan musik yang letaknya kira-kira 100 meter dari tempat saya duduk, terhalang oleh satu gedung Pusat Pelatihan Seni.
Tabuhan musik pengiring tarian ala pesisiran itu sudah sangat lekat di telinga saya. Sejak saya masih duduk di bangku SMP, sekitar 25 tahun lalu hingga tahun 2013, belum banyak yang berubah. Tariannya pun, saya pikir, masih tarian yang sama dengan pola gerak yang sama. Kalau ada yang berubah mungkin pada kostum, aksesori penari, dan sedikit variasi gerakan. Biasanya tarian muda-mudi ini dibawakan oleh para pelajar atau remaja untuk perpisahan di sekolah, pengisi acara perkawinan, atau event-event yang diselenggarakan pemerintah.
Dalam Festival Krakatau yang telah menjadi salah satu ikon provinsi Lampung ini, tarian jenis itu acap muncul sebagai pelengkap dari sebuah koreografi. Ya, saya hafal betul. Bahkan, saya bisa menirukan beberapa gerakannya meskipun tidak terlalu bagus. Kita hanya harus menghafalkan gerakan, itulah intinya.
Saya bahkan sering melihat para penari belia melatih hafalan gerakan mereka sambil menggenggam ponsel dan mengenakan celana jins. Hanya ada satu-dua koreografer (peñata tari) yang saya kenal cukup galak dalam menggembleng para penarinya. Itu artinya mereka harus siap ditinggalkan para penari.
Saya juga tidak banyak mengenal para penari di daerah ini, tentu saja mereka pun tidak mengenal saya. Satu-satunya kesempatan saya menonton pertunjukan tari adalah pada Festival Krakatau. Hampir 90% penari yang saya lihat setiap event itu diselenggarakan adalah penari baru. Sebagian kecil dari mereka akan menjadi penari di sanggar-sanggar tari dan lebih banyak menari untuk job-job.
Mungkin, memang itulah alasan utama mereka menari. Paling tidak, begitulah keluhan yang sering saya dengar dari beberapa teman peñata tari di Lampung yang punya kegelisahan untuk membikin karya lebih dari apa yang mereka jalani selama ini. Namun, saya kira, ada harapan baru bagi dunia tari di Lampung ketika FKIP Universitas Lampung membuka jurusan baru, Prodi Tari.
Dengan adanya lembaga pendidikan setingkat perguruan tinggi untuk bidang tari, tentu saja seni tari akan lebih berpeluang untuk dikaji dan dilakukan dengan berlandaskan pada disiplin keilmuan. Sebab, seni tari memang bukan cuma soal bagaimana menghafal gerak dan ketukan ,tujuh-delapan, melainkan bagaimana sebuah gerak dihasilkan, gagasan yang melatarinya, dan lebih jauh lagi bagaimana tubuh bisa menjadi bahasa verbal yang bisa memprovokasi, mengusik, bahkan meneror kesadaran kita.
Sebuah tarian, bukan cuma sebuah komposisi gerak yang ritmis dan bagus. Tarian, seperti juga musik, mampu menciptakan orkestrasi tubuh (gerak) di atas pentas. Ia bisa mengandung keperihan atau kemuskilan hidup. Ia bukan lagi hiburan para raja di mana para penari harus elok rupanya seraya menebar senyum yang tanpa motivasi sepanjang menari. Raja-raja sudah tidak ada!
Saya nyalakan lagi sebatang rokok untuk melawan udara sore yang kian lembab. Burung-burung sriti hilir mudik, merendah dan meninggi di bawah langit abu-abu. Sebuah komposisi dari musik pengiring tarian baru saja selesai. Komposisi yang meriah dan seperti hendak menyindir saya yang bersendiri.
Lalu, denting gambus lunik dan cetik mengusik. Saya pernah benar-benar jatuh cinta dengan instrumen musik etnik Lampung ini. Ketika itu di tahun ‘90-an, sekelompok seniman dari Taman Budaya Lampung menggelar sebuah pentas musik tunggal bertajuk Gaung Gahitung. Musik yang dielaborasi dari warna-warna lokal Lampung dengan sodokan bit-bit musik modern dan kontemporer itu telah memukau saya.
Mereka juga telah hadir sebagai entitas yang bebas: memisahkan diri dari ibu susunya selama ini, seni tari. Bahkan, artistik panggung digarap sedemikian rupa sehingga tampak menyatu sebagai ansambel di atas pentas. Juga masih lekat saya ingat, di tengah konser itu, seorang melintas membawa sepeda ontel ke panggung. Menguatkan suasana dan memberi nuansa drama, tetapi pertunjukan musik yang mengeksplorasi etnisitas dengan kekuatan pertunjukan seperti itu hampir tidak ada lagi.
Musik tradisi Lampung nyaris kekal eksistensinya sebagai musik pengiring tari. Memang ada saya dengar konser 1000 (atau 100) cetik, tetapi itu cuma sesuatu yang berambisi untuk mencapai rekor Muri. Bukan berangkat dari suatu gagasan bermusik yang jelas visinya. Saya juga cukup senang ketika komunitas jazz di Lampung mencoba memasukkan instrumen-instrumen musik tradisi dalam pertunjukan mereka.
Namun, hal ini masih lebih didasari oleh suatu sikap empati terhadap sesuatu yang bersifat etnik—belum menjadi sebuah studi yang terstruktur dan terus-menerus. Di ranah yang lain, saya juga sempat menyaksikan konser musik klasik (orkestra) yang ditaja oleh beberapa seniman musik di Lampung, sebuah konser tunggal yang setidaknya menjadikan musik nonindustri sebagai sebuah seni yang otonom, yang mampu menjadi pertunjukan di mana mereka yang hendak menonton harus membeli tiket.
Membeli tiket, adalah sebuah parameter sederhana untuk kegiatan seni di luar program pemerintah, apakah para seniman atau kelompok seni berani mempersiapkan diri dengan kualitas karya dan manajemen yang apik; suatu pertunjukan seni yang layak tonton. Di masa sulit seperti yang telah berlangsung selama ini, seniman harus berani memberi harga pada karyanya. Tentu saja sikap itu harus diikuti dengan profesionalitas kerja, mulai dari urusan artistik sampai menjual tiket.
Seniman tidak bisa selalu berharap dari kegiatan-kegiatan resmi, seperti Festival Krakatau dan lainnya. Taman Budaya Lampung sendiri makin kepayahan menyelenggarakan program karena mereka hanya bawahan dari Dinas Pariwisata dan tidak punya kewenangan mengelola atau menentukan anggaran. Malahan mereka harus selalu siapkan setoran setiap tahun. Untuk memenuhi kewajiban itu, tidak ada cara lain selain menyewakan gedung untuk acara-cara perkawinan atau apa saja di luar kesenian. Dampak lainnya lagi adalah mereka harus menerapkan tarif tertentu bagi para seniman yang hendak menggunakan fasilitas di Taman Budaya.
Tidak ada subsidi. Seniman atau kelompok-kelompok seni independen yang sejak dulu selalu dibelit kesulitan dana, kini makin berat menanggung beban. Pemerintah bukannya membantu memecahkan masalah seperti ini, malah mengebiri Taman Budaya Lampung sebagai salah satu institusi yang harusnya bisa menjadi mitra para seniman dalam mengembangkan karya.
Mitra para seniman yang lain adalah Dewan Kesenian Lampung. Namun, faktanya, anggaran yang mereka terima setiap tahun makin jauh dari harapan untuk sekadar memenuhi kebutuhan menyelenggarakan program yang baik.
Festival Krakatau, barangkali inilah satu-satunya parameter bagi pemerintah untuk menganggap dirinya telah bertanggung jawab terhadap pembangunan dan pengembangan seni-budaya di Lampung. Lihatlah, setelah sekian lama, apa dampak festival itu bagi perkembangan seni-budaya di daerah ini? Ia hanya menjadi gembar-gembor dan euforia tahunan yang tidak menyentuh persoalan pembangunan dan pengembangan seni budaya di Lampung yang kian bertimbun. Berikanlah pada ahlinya!
Angin kencang tiba-tiba datang. Menghembus abu dari rokok yang masih nyelip di bibir saya, masuk ke mata dan membikin perih. Pada saat bersamaan, Ari Pahala Hutabarat datang dengan motor Beat-nya. Dari jauh ia telah menunjukkan senyumnya yang khas. Senyum yang manis di wajah yang garang.
Saya selalu membayangkan Ari menunggang kuda liar, bukan sepeda motor semacam itu. Dengan kumisnya yang melintang dan rambut ikalnya yang panjang, ia seperti panglima perang. Atau setidaknya, dengan perawakan yang seperti itu, sikap yang seflamboyan itu dan wawasan yang cukup luas itu, saya membayangkan ia hidup sebagai seniman atau jango di Amerika Latin.
Namun, faktanya, ia di Tanjungkarang dan menjadi sahabat saya dan sekarang duduk di depan saya setelah sebelumnya—seperti biasa—menanyakan kabar. Kami tidak membuat janji bertemu hari itu. Ia sendiri dari toko buku dan saya sendiri hampir lunglai dihajar lembab dan sepi. Namun, seperti ada yang sama-sama menggerakkan kami untuk melewati sore itu bersama. Tidak lain yang kami bincangkan selain kesenian.
Menjelang petang ia pulang. Saya masih terngiang kata-katanya: ”Kita hidup di zaman yang makin irasional. Bayangkan, setelah bertahun-tahun kita studi dan bergulat dengan teater, lalu kita menulis buku tentang akting dan menjualnya dengan harga yang cuma Rp35 ribu, tidak laku.”
Kalau sebuah buku yang harganya sama bahkan lebih murah dari tiket bioskop saja tidak laku, bagaimana dengan lukisan? Apa daya beli masyarakat Lampung sangat rendah? Buktinya, Lampung termasuk provinsi yang jumlah pembeli otomotifnya cukup tinggi di Indonesia.
Seorang remaja atau orang dewasa dengan penghasilan standar saja bisa memiliki dua atau bahkan tiga buah ponsel dengan harga rata-rata 500 sampai di atas 1 juta, tetapi apakah mereka punya 1 atau 2 novel yang bagus di kamarnya? Apakah mereka mengoleksi satu lukisan seni di dinding rumah? Apakah mereka mengoleksi film-film atau musik yang bagus di ruang-ruang keluarga?
Sebagian besar orang selalu punya minat besar terhadap gaya hidup, tetapi punyakah mereka sedikit saja minat untuk memperdalam dan memperluas cakrawala pengetahuannya atau mutu intelektualnya? Kualitas hidup diukur dengan benda-benda bukan pengayaan batin dan intelektual. Sebagian besar orang sanggup menghabiskan waktu berjam-jam hanya dengan duduk sambil terus-menerus memencet-mencet tombol di ponselnya, baik ketika sendiri maupun di saat bersama-sama hanya untuk saling menuliskan hal-hal yang itu-itu saja.
Namun, punyakah mereka daya tahan untuk sejenak membaca buku-buku seni atau sastra yang bisa memperkaya jiwa mereka? Jika mereka diajak sedikit saja membincangkan sesuatu dengan agak serius, mereka sontak berkata: “Wah... berat... berat....”
Hari demi hari batin dan intelektual kita kian miskin, tetapi kita tetap merasa baik-baik saja. Kita baru terlihat kelabakan ketika baterai di ponsel kita mulai habis, atau ketika kita ketinggalan gosip di televisi atau di media-media sosial. Kita ini generasi buih-buih yang dibesarkan oleh zaman gincu dan serbainstan. Kita ini sungguh masyarakat yang berbahaya.
Ledakan kembang api tahun baru membuyarkan ingatan saya tentang sebuah sore yang lembab di November 2013. Sekarang sudah pukul 00.00, sedetik kemudian 2014 menjelang. Udara kian lembab, makin dingin. Saya merasa kian menggigil ketika dari jauh terdengar sorak-sorai juga lengking terompet menyambut tahun baru.
Entah mengapa, setiap kali menyambut sesuatu yang baru, sikap kita menjadi kekanak-kanakan. Malah ada yang kekanak-kanakan sepanjang tahun sampai menjelang tahun yang baru lagi. Ah, saya kedinginan dan kesepian. Namun, saya tahu, saya harus bergerak, terus bergerak. Sebagian orang selalu memilih melakukan apa yang ingin mereka lakukan. Namun, saya akan melakukan apa yang harus saya lakukan. n
Iswadi Pratama, Sastrawan, Pemimpin Umum Teater Satu Lampung
Sumber: Lampung Post, Kamis, 2 Januari 2013
SUATU sore di November yang lembab, saya duduk sendiri di bawah rindang pohon kemuning yang telah menghuni halaman Taman Budaya Lampung sejak puluhan tahun lalu itu. Pohon yang masih menyimpan dingin sisa hujan sepanjang pagi dan siang. Di musim panas, pohon yang batangnya hanya bisa dipeluk oleh tiga orang dewasa yang saling memautkan tangan itu, akan memberi keteduhan. Bila kerimbunan daunnya berkolaborasi dengan hembusan angin akan menciptakan kantuk bagi siapa saja yang duduk di sana.
Itulah mengapa banyak yang senang duduk di bawah teduh dan rindangnya sebatang pohon. Kita bisa merasakan situasi antara sadar dan lelap, situasi ambang yang menyenangkan banyak orang. Di musim hujan, segalanya menjadi terlalu lembab dan lebih cocok untuk lumut dan para ulat bulu. Orang-orang, baik karyawan Taman Budaya Lampung maupun pengunjung atau seniman yang kebetulan datang, akan memilih nangkring di kantin dengan segelas kopi hangat, lalu asyik melewati hari dengan obrolan-obrolan yang seperti hendak mengulang atau malah menegaskan berita di televisi, kabar di media sosial, atau gosip sehari-hari.
Sebatang rokok yang saya isap tinggal seperempat. Konon, inilah bagian paling nikmat dalam merokok; ketika bara tembakau sudah terasa hangat di jari yang menjepitnya. Namun, saya tak pernah memikirkan hal itu. Saya lebih senang memikirkan mengapa para perokok dalam banyak hal menjadi warga kelas empat.
Amerika cukup sukses menggiring image ini. Namun, bukan demi kesehatan, melainkan perang cukai. Lamunan saya buyar ketika keprak rebana tiba-tiba membahana dari arah gedung pelatihan musik yang letaknya kira-kira 100 meter dari tempat saya duduk, terhalang oleh satu gedung Pusat Pelatihan Seni.
Tabuhan musik pengiring tarian ala pesisiran itu sudah sangat lekat di telinga saya. Sejak saya masih duduk di bangku SMP, sekitar 25 tahun lalu hingga tahun 2013, belum banyak yang berubah. Tariannya pun, saya pikir, masih tarian yang sama dengan pola gerak yang sama. Kalau ada yang berubah mungkin pada kostum, aksesori penari, dan sedikit variasi gerakan. Biasanya tarian muda-mudi ini dibawakan oleh para pelajar atau remaja untuk perpisahan di sekolah, pengisi acara perkawinan, atau event-event yang diselenggarakan pemerintah.
Dalam Festival Krakatau yang telah menjadi salah satu ikon provinsi Lampung ini, tarian jenis itu acap muncul sebagai pelengkap dari sebuah koreografi. Ya, saya hafal betul. Bahkan, saya bisa menirukan beberapa gerakannya meskipun tidak terlalu bagus. Kita hanya harus menghafalkan gerakan, itulah intinya.
Saya bahkan sering melihat para penari belia melatih hafalan gerakan mereka sambil menggenggam ponsel dan mengenakan celana jins. Hanya ada satu-dua koreografer (peñata tari) yang saya kenal cukup galak dalam menggembleng para penarinya. Itu artinya mereka harus siap ditinggalkan para penari.
Saya juga tidak banyak mengenal para penari di daerah ini, tentu saja mereka pun tidak mengenal saya. Satu-satunya kesempatan saya menonton pertunjukan tari adalah pada Festival Krakatau. Hampir 90% penari yang saya lihat setiap event itu diselenggarakan adalah penari baru. Sebagian kecil dari mereka akan menjadi penari di sanggar-sanggar tari dan lebih banyak menari untuk job-job.
Mungkin, memang itulah alasan utama mereka menari. Paling tidak, begitulah keluhan yang sering saya dengar dari beberapa teman peñata tari di Lampung yang punya kegelisahan untuk membikin karya lebih dari apa yang mereka jalani selama ini. Namun, saya kira, ada harapan baru bagi dunia tari di Lampung ketika FKIP Universitas Lampung membuka jurusan baru, Prodi Tari.
Dengan adanya lembaga pendidikan setingkat perguruan tinggi untuk bidang tari, tentu saja seni tari akan lebih berpeluang untuk dikaji dan dilakukan dengan berlandaskan pada disiplin keilmuan. Sebab, seni tari memang bukan cuma soal bagaimana menghafal gerak dan ketukan ,tujuh-delapan, melainkan bagaimana sebuah gerak dihasilkan, gagasan yang melatarinya, dan lebih jauh lagi bagaimana tubuh bisa menjadi bahasa verbal yang bisa memprovokasi, mengusik, bahkan meneror kesadaran kita.
Sebuah tarian, bukan cuma sebuah komposisi gerak yang ritmis dan bagus. Tarian, seperti juga musik, mampu menciptakan orkestrasi tubuh (gerak) di atas pentas. Ia bisa mengandung keperihan atau kemuskilan hidup. Ia bukan lagi hiburan para raja di mana para penari harus elok rupanya seraya menebar senyum yang tanpa motivasi sepanjang menari. Raja-raja sudah tidak ada!
Saya nyalakan lagi sebatang rokok untuk melawan udara sore yang kian lembab. Burung-burung sriti hilir mudik, merendah dan meninggi di bawah langit abu-abu. Sebuah komposisi dari musik pengiring tarian baru saja selesai. Komposisi yang meriah dan seperti hendak menyindir saya yang bersendiri.
Lalu, denting gambus lunik dan cetik mengusik. Saya pernah benar-benar jatuh cinta dengan instrumen musik etnik Lampung ini. Ketika itu di tahun ‘90-an, sekelompok seniman dari Taman Budaya Lampung menggelar sebuah pentas musik tunggal bertajuk Gaung Gahitung. Musik yang dielaborasi dari warna-warna lokal Lampung dengan sodokan bit-bit musik modern dan kontemporer itu telah memukau saya.
Mereka juga telah hadir sebagai entitas yang bebas: memisahkan diri dari ibu susunya selama ini, seni tari. Bahkan, artistik panggung digarap sedemikian rupa sehingga tampak menyatu sebagai ansambel di atas pentas. Juga masih lekat saya ingat, di tengah konser itu, seorang melintas membawa sepeda ontel ke panggung. Menguatkan suasana dan memberi nuansa drama, tetapi pertunjukan musik yang mengeksplorasi etnisitas dengan kekuatan pertunjukan seperti itu hampir tidak ada lagi.
Musik tradisi Lampung nyaris kekal eksistensinya sebagai musik pengiring tari. Memang ada saya dengar konser 1000 (atau 100) cetik, tetapi itu cuma sesuatu yang berambisi untuk mencapai rekor Muri. Bukan berangkat dari suatu gagasan bermusik yang jelas visinya. Saya juga cukup senang ketika komunitas jazz di Lampung mencoba memasukkan instrumen-instrumen musik tradisi dalam pertunjukan mereka.
Namun, hal ini masih lebih didasari oleh suatu sikap empati terhadap sesuatu yang bersifat etnik—belum menjadi sebuah studi yang terstruktur dan terus-menerus. Di ranah yang lain, saya juga sempat menyaksikan konser musik klasik (orkestra) yang ditaja oleh beberapa seniman musik di Lampung, sebuah konser tunggal yang setidaknya menjadikan musik nonindustri sebagai sebuah seni yang otonom, yang mampu menjadi pertunjukan di mana mereka yang hendak menonton harus membeli tiket.
Membeli tiket, adalah sebuah parameter sederhana untuk kegiatan seni di luar program pemerintah, apakah para seniman atau kelompok seni berani mempersiapkan diri dengan kualitas karya dan manajemen yang apik; suatu pertunjukan seni yang layak tonton. Di masa sulit seperti yang telah berlangsung selama ini, seniman harus berani memberi harga pada karyanya. Tentu saja sikap itu harus diikuti dengan profesionalitas kerja, mulai dari urusan artistik sampai menjual tiket.
Seniman tidak bisa selalu berharap dari kegiatan-kegiatan resmi, seperti Festival Krakatau dan lainnya. Taman Budaya Lampung sendiri makin kepayahan menyelenggarakan program karena mereka hanya bawahan dari Dinas Pariwisata dan tidak punya kewenangan mengelola atau menentukan anggaran. Malahan mereka harus selalu siapkan setoran setiap tahun. Untuk memenuhi kewajiban itu, tidak ada cara lain selain menyewakan gedung untuk acara-cara perkawinan atau apa saja di luar kesenian. Dampak lainnya lagi adalah mereka harus menerapkan tarif tertentu bagi para seniman yang hendak menggunakan fasilitas di Taman Budaya.
Tidak ada subsidi. Seniman atau kelompok-kelompok seni independen yang sejak dulu selalu dibelit kesulitan dana, kini makin berat menanggung beban. Pemerintah bukannya membantu memecahkan masalah seperti ini, malah mengebiri Taman Budaya Lampung sebagai salah satu institusi yang harusnya bisa menjadi mitra para seniman dalam mengembangkan karya.
Mitra para seniman yang lain adalah Dewan Kesenian Lampung. Namun, faktanya, anggaran yang mereka terima setiap tahun makin jauh dari harapan untuk sekadar memenuhi kebutuhan menyelenggarakan program yang baik.
Festival Krakatau, barangkali inilah satu-satunya parameter bagi pemerintah untuk menganggap dirinya telah bertanggung jawab terhadap pembangunan dan pengembangan seni-budaya di Lampung. Lihatlah, setelah sekian lama, apa dampak festival itu bagi perkembangan seni-budaya di daerah ini? Ia hanya menjadi gembar-gembor dan euforia tahunan yang tidak menyentuh persoalan pembangunan dan pengembangan seni budaya di Lampung yang kian bertimbun. Berikanlah pada ahlinya!
Angin kencang tiba-tiba datang. Menghembus abu dari rokok yang masih nyelip di bibir saya, masuk ke mata dan membikin perih. Pada saat bersamaan, Ari Pahala Hutabarat datang dengan motor Beat-nya. Dari jauh ia telah menunjukkan senyumnya yang khas. Senyum yang manis di wajah yang garang.
Saya selalu membayangkan Ari menunggang kuda liar, bukan sepeda motor semacam itu. Dengan kumisnya yang melintang dan rambut ikalnya yang panjang, ia seperti panglima perang. Atau setidaknya, dengan perawakan yang seperti itu, sikap yang seflamboyan itu dan wawasan yang cukup luas itu, saya membayangkan ia hidup sebagai seniman atau jango di Amerika Latin.
Namun, faktanya, ia di Tanjungkarang dan menjadi sahabat saya dan sekarang duduk di depan saya setelah sebelumnya—seperti biasa—menanyakan kabar. Kami tidak membuat janji bertemu hari itu. Ia sendiri dari toko buku dan saya sendiri hampir lunglai dihajar lembab dan sepi. Namun, seperti ada yang sama-sama menggerakkan kami untuk melewati sore itu bersama. Tidak lain yang kami bincangkan selain kesenian.
Menjelang petang ia pulang. Saya masih terngiang kata-katanya: ”Kita hidup di zaman yang makin irasional. Bayangkan, setelah bertahun-tahun kita studi dan bergulat dengan teater, lalu kita menulis buku tentang akting dan menjualnya dengan harga yang cuma Rp35 ribu, tidak laku.”
Kalau sebuah buku yang harganya sama bahkan lebih murah dari tiket bioskop saja tidak laku, bagaimana dengan lukisan? Apa daya beli masyarakat Lampung sangat rendah? Buktinya, Lampung termasuk provinsi yang jumlah pembeli otomotifnya cukup tinggi di Indonesia.
Seorang remaja atau orang dewasa dengan penghasilan standar saja bisa memiliki dua atau bahkan tiga buah ponsel dengan harga rata-rata 500 sampai di atas 1 juta, tetapi apakah mereka punya 1 atau 2 novel yang bagus di kamarnya? Apakah mereka mengoleksi satu lukisan seni di dinding rumah? Apakah mereka mengoleksi film-film atau musik yang bagus di ruang-ruang keluarga?
Sebagian besar orang selalu punya minat besar terhadap gaya hidup, tetapi punyakah mereka sedikit saja minat untuk memperdalam dan memperluas cakrawala pengetahuannya atau mutu intelektualnya? Kualitas hidup diukur dengan benda-benda bukan pengayaan batin dan intelektual. Sebagian besar orang sanggup menghabiskan waktu berjam-jam hanya dengan duduk sambil terus-menerus memencet-mencet tombol di ponselnya, baik ketika sendiri maupun di saat bersama-sama hanya untuk saling menuliskan hal-hal yang itu-itu saja.
Namun, punyakah mereka daya tahan untuk sejenak membaca buku-buku seni atau sastra yang bisa memperkaya jiwa mereka? Jika mereka diajak sedikit saja membincangkan sesuatu dengan agak serius, mereka sontak berkata: “Wah... berat... berat....”
Hari demi hari batin dan intelektual kita kian miskin, tetapi kita tetap merasa baik-baik saja. Kita baru terlihat kelabakan ketika baterai di ponsel kita mulai habis, atau ketika kita ketinggalan gosip di televisi atau di media-media sosial. Kita ini generasi buih-buih yang dibesarkan oleh zaman gincu dan serbainstan. Kita ini sungguh masyarakat yang berbahaya.
Ledakan kembang api tahun baru membuyarkan ingatan saya tentang sebuah sore yang lembab di November 2013. Sekarang sudah pukul 00.00, sedetik kemudian 2014 menjelang. Udara kian lembab, makin dingin. Saya merasa kian menggigil ketika dari jauh terdengar sorak-sorai juga lengking terompet menyambut tahun baru.
Entah mengapa, setiap kali menyambut sesuatu yang baru, sikap kita menjadi kekanak-kanakan. Malah ada yang kekanak-kanakan sepanjang tahun sampai menjelang tahun yang baru lagi. Ah, saya kedinginan dan kesepian. Namun, saya tahu, saya harus bergerak, terus bergerak. Sebagian orang selalu memilih melakukan apa yang ingin mereka lakukan. Namun, saya akan melakukan apa yang harus saya lakukan. n
Iswadi Pratama, Sastrawan, Pemimpin Umum Teater Satu Lampung
Sumber: Lampung Post, Kamis, 2 Januari 2013
No comments:
Post a Comment