MENELUSURI rekam jejak peradaban dan kejayaan masa lalu Lampung bisa lewat situs cagar budaya. Kecerobohan melestarikan situs berakibat pada pudarnya kesempatan generasi mendatang untuk memahami sejarah peradaban daerah ini.
Kecerobohan itulah yang kini dipertontonkan secara terang-terangan di daerah ini. Sejumlah situs cagar budaya tidak terawat dan rusak dengan alasan tidak ada dana pemeliharaan.
Cagar budaya, menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, adalah warisan budaya bersifat kebendaan. Ia dilestarikan karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan.
Banyak situs di Lampung Utara yang sudah punah, tidak jelas rimbanya. Hanya terdapat 12 situs di Kecamatan Abungpekurun yang dirawat masyarakat setempat. Kearifan masyarakat lokal telah menyelamatkan situs tersebut.
Situs-situs yang masih dirawat warga tersebut adalah situs Mojopahit, Ratu Malai, Ibu, Tangkit Mungkuk, Batu Sirap, Batu Nunggal, Pangeran Empat Bujung, Penyakan Tuho Minak Peyakun, Tangkit Bujung, Minak Tumenggung Tumpang Serayo, Minak Imam, dan Kyai Kemala Sugih. Situs-situs yang tersisa itu dalam bentuk tugu batu seperti menhir (batu tegak) atau dolmen (meja batu).
Sangat disayangkan bahwa pemerintah daerah setempat mengaku tidak punya uang untuk merawat situs-situs tersebut. Alasan itu tentu saja dicari-cari. Yang benar ialah pemerintah setempat tidak punya perhatian yang serius untuk menyelamatkan cagar budaya.
Nasib serupa dialami benda bersejarah yang terdapat di Taman Purbakala Pugungraharjo, Lampung Timur. Taman purbakala itu berasal dari dua tradisi, yakni megalitik dan klasik. Tradisi megalitik belum mengenal tulisan. Tradisi klasik dipengaruhi budaya luar.
Tradisi megalitik ditandai dengan alat-alat kehidupan terbuat dari batu-batu besar berupa menhir, dolmen, kubur batu, keranda dan sebagainya.
Situs juga terdapat di Kabupaten Way Kanan, seperti rumah tua, makam Ratu Jimat, Gua Kelelawar, dan Batu Mahligai. Situs-situs itu terdapat di beberapa lokasi dalam Kecamatan Blambangan Umpu, Pakuanratu, dan Way Tuba.
Situs-situs yang tersebar di berbagai daerah Lampung memperlihatkan peradaban masa lalu. Peradaban yang mestinya dilestarikan, bukan dibiarkan punah.
Kita mendorong pemerintah kabupaten/kota di Lampung untuk mengalokasikan dana pemeliharaan situs. Situs itu selain dipakai untuk kegiatan pendidikan, keagamaan, dan penelitian bisa juga menjadi objek pariwisata.
Setiap orang yang datang ke lokasi situs yang dijadikan objek pariwisata bisa dipungut biaya. Uang pungutan itulah yang dipakai untuk pemeliharaan. Hal itu bisa dilakukan bila pemerintah daerah kreatif.
Pelestarian cagar budaya juga menjadi kewajiban setiap orang. Karena itu, pemerintah daerah perlu mengadvokasi masyarakat di sekitar situs untuk ikut merawatnya. Merawat situs sama saja merawat peradaban. n
Sumber: Lampung Post, Selasa, 28 Januari 2014
Situs Mojopahit di Desa Abung Pekurun, Kecamatan Abung Pekurun, Lampung Utara. |
Cagar budaya, menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, adalah warisan budaya bersifat kebendaan. Ia dilestarikan karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan.
Banyak situs di Lampung Utara yang sudah punah, tidak jelas rimbanya. Hanya terdapat 12 situs di Kecamatan Abungpekurun yang dirawat masyarakat setempat. Kearifan masyarakat lokal telah menyelamatkan situs tersebut.
Situs-situs yang masih dirawat warga tersebut adalah situs Mojopahit, Ratu Malai, Ibu, Tangkit Mungkuk, Batu Sirap, Batu Nunggal, Pangeran Empat Bujung, Penyakan Tuho Minak Peyakun, Tangkit Bujung, Minak Tumenggung Tumpang Serayo, Minak Imam, dan Kyai Kemala Sugih. Situs-situs yang tersisa itu dalam bentuk tugu batu seperti menhir (batu tegak) atau dolmen (meja batu).
Sangat disayangkan bahwa pemerintah daerah setempat mengaku tidak punya uang untuk merawat situs-situs tersebut. Alasan itu tentu saja dicari-cari. Yang benar ialah pemerintah setempat tidak punya perhatian yang serius untuk menyelamatkan cagar budaya.
Nasib serupa dialami benda bersejarah yang terdapat di Taman Purbakala Pugungraharjo, Lampung Timur. Taman purbakala itu berasal dari dua tradisi, yakni megalitik dan klasik. Tradisi megalitik belum mengenal tulisan. Tradisi klasik dipengaruhi budaya luar.
Tradisi megalitik ditandai dengan alat-alat kehidupan terbuat dari batu-batu besar berupa menhir, dolmen, kubur batu, keranda dan sebagainya.
Situs juga terdapat di Kabupaten Way Kanan, seperti rumah tua, makam Ratu Jimat, Gua Kelelawar, dan Batu Mahligai. Situs-situs itu terdapat di beberapa lokasi dalam Kecamatan Blambangan Umpu, Pakuanratu, dan Way Tuba.
Situs-situs yang tersebar di berbagai daerah Lampung memperlihatkan peradaban masa lalu. Peradaban yang mestinya dilestarikan, bukan dibiarkan punah.
Kita mendorong pemerintah kabupaten/kota di Lampung untuk mengalokasikan dana pemeliharaan situs. Situs itu selain dipakai untuk kegiatan pendidikan, keagamaan, dan penelitian bisa juga menjadi objek pariwisata.
Setiap orang yang datang ke lokasi situs yang dijadikan objek pariwisata bisa dipungut biaya. Uang pungutan itulah yang dipakai untuk pemeliharaan. Hal itu bisa dilakukan bila pemerintah daerah kreatif.
Pelestarian cagar budaya juga menjadi kewajiban setiap orang. Karena itu, pemerintah daerah perlu mengadvokasi masyarakat di sekitar situs untuk ikut merawatnya. Merawat situs sama saja merawat peradaban. n
Sumber: Lampung Post, Selasa, 28 Januari 2014
No comments:
Post a Comment