Oleh Meza Swastika
Dinamika pembangunan di Kota Bandar Lampung begitu tinggi. Tetapi, ada satu ruas wilayah di bilangan Tanjungkarang yang terasa diam. Gunungsari. Tak ada geliat pembaruan di tempat ini.
WAJAH Ramelan (75) masih terlihat kuyu. Sudah tiga hari ini sakit menyanderanya sehingga hanya bisa istirahat di rumahnya di RT 07 Kelurahan Gunungsari, Tanjungkarang Pusat.
Dengan tertatih, Ramelan mengaku penyakit tua ini amat menyiksanya. Ia juga terpaksa menutup sementara usaha reklamenya di tepian Jalan Teuku Umar tepat di samping Koramil Tanjungkarang Pusat. "Entah kapan sembuhnya ini," kata dia mengeluh.
Ramelan butuh waktu hampir sepuluh menit untuk mengingat kembali keadaan Gunungsari ketika suasananya belum ramai seperti sekarang. Setamat sekolah rakyat di Jawa, kata dia, Ramelan merantau ke Lampung. Padahal, usianya ketika itu masih terbilang muda, 13 tahun. Ketika itu, Kelurahan Gunungsari sudah menjadi pusat bisnis di Tanjungkarang.
Stasiun Tanjungkarang, Terminal Pasar Tengah menjadi magnet untuk daerah ini. "Dulu semuanya masih belum seperti sekarang ini. Pasar Tengah saja masih banyak yang papan," kata Ramelan.
Kampung di Tengah Kota
Kini, Gunungsari menjadi semacam kampung di tengah kota. Di tengah gegap gempita pembangunan modern dan menjulang, kawasan Gunungsari seperti acuh tak acuh dengan lingkungan. Hanya satu bangunan baru berupa anjungan tunai mandiri (ATM) drive thru salah satu bank pemerintah yang tampak memanfaatkan keadaan. Entah perizinannya seperti apa.
Bangunan-bangunan kuno dan rumah warga yang terkesan sekenanya masih bertahan. Penduduk tampaknya ragu dengan status lahan yang mereka duduki sehingga tidak membangun dan berinvestasi.
Demikian juga investor. Hampir tak ada transaksi jual beli rumah dan tanah di lokasi itu. Pembeli pasti ragu-ragu atau bahkan sudah menghindari membeli lahan di lokasi yang terbentang di sepanjang Jalan Teuku Umar terapit oleh jaringan rel kereta api ini. Hanya tempat ibadah yang berani terus memoles wajah hingga lebih nyaman dipakai.
Soal nama Gunungsari, Ramelan menyebut ketika itu bukit penuh dengan monyet-monyet liar. "Dulu di sini, masih banyak pohon kelapa dan pohon seri. Mungkin itu kenapa namanya Gunungsari karena banyak pohon serinya.”
Namun, juga penamaan Gunungsari dalam ketentuan aturan Pemerintah Kota Bandar Lampung menyebutkan pasca-Agresi Militer Belanda II tahun 1950—1952 banyak pendatang dari pedalaman maupun dari luar Lampung yang tinggal di Tanjungkarang. Penduduk ini mendirikan rumah di atas gunung secara sederhana yang pembangunannya telah disetujui oleh pemerintah kampung.
Setelah jumlah penduduknya kian bertambah, pemerintahan kampung beserta sejumlah tokoh bermusyawarah untuk memberikan nama daerah baru ini. Sampai akhirnya mereka sepakat untuk memberi nama kampung ini dengan nama Kampung Gunungsari. Pengertiannya, gunung karena tanahnya berada di atas bukit dan sari berarti kembang dalam bahasa Jawa. Sejak itu daerah ini dikenal dengan nama Gunungsari.
Meski demikian, dalam pengukuran dan pemetaan tanah untuk keperluan kereta api Groondkaart Nomor 10 Tahun 1913, Gunungsari merupakan lahan milik Perusahaan Djawatan Kereta Api atau kini PT KAI.
Ramelan juga masih ingat ketika itu, Kemis menjadi kepala suku pertama di Gunungsari. Ia menjadi tokoh sekaligus perintis dari penduduk yang ada di Kelurahan Gunungsari kini.
Ramelan menyangkal jika tanah itu adalah milik PT KAI. Karena saat Pasar Tengah direnovasi, wilayah ini sempat hendak digusur oleh pengembang dengan alasan tanah yang mereka tempati adalah milik PT KAI. Warga pun bereaksi, mereka berunjuk rasa dan belakangan diketahui PT KAI tak pernah membayar PBB meski mereka mengklaim tanah itu milik mereka.
"PT KAI hanya mengacu pada aturan lama yakni Groondkaart Nomor 10 Tahun 1913, padahal itu sudah tak berlaku lagi," kata Lurah Gunungsari Nurjannah.
Kini, lanjut Ramelan, populasi warga Gunungsari memang terus bertambah. Ia menunjukkan rumahnya yang terus dikepung banyak rumah-rumah warga. Ia juga menunjuk halaman depan rumahnya yang berbatasan langsung dengan genteng rumah bagian belakang milik tetangganya.
"Bentuknya kan bukit jadi bangunannya menyesuaikan bentuk tanahnya, halaman depan rumah saya selain jadi jalan juga berbatasan langsung dengan atap rumah orang, kalau dulu beda, dulu rumah masih sangat jarang di sini,” kata Ramelan.
Lurah Gunungsari Nurjannah menyebut sejarahnya masyarakat Gunungsari yang sudah ada jauh sebelum 1913. "Tetapi memang jumlah penduduknya belum terlalu banyak," kata dia.
Hingga kini, jumlah penduduk yang berdiam di Kelurahan Gunungsari mencapai 2.641 jiwa. "Mereka adalah penduduk asli yang sudah lama tinggal di Gunungsari.”
Namun, keangkeran Gunungsari yang sudah mulai tenang sempat terusik saat pada ‘90-an seorang pengembang hendak membangun mal. Mereka akan menggusur warga Gunungsari. Spontan saja warga Gunungsari bereaksi. "Itu sama saja membangunkan harimau yang tidur," ujar Edi Bogel, ketua RT 07.
Warga menentang penggusuran itu, mereka bahkan berdemo termasuk ke Pemkot Bandar Lampung ketika itu. Juga mendatangi kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dari situ diketahui meski tanah itu adalah milik PT KAI, tapi perusahaan kereta api itu ternyata tak pernah membayar pajak bumi dan bangunan.
Selain itu, status kepemilikan tanah yang diklaim milik PT KAI juga hanya berdasarkan aturan Belanda yang melimpahkan tanah kepada perusahaan djawatan kereta api melalui peraturan yang tertuang dalam Groondkaart Nomor 10 Tahun 1913. "Aturan itu sudah tidak berlaku lagi," ujar Nurjannah.
Tanah PT KAI
Tapi, ketika hal ini hendak dikonfirmasi ke manajemen PT KAI, dua orang satpam berusaha menghalangi. Termasuk dengan menutup rapat-rapat pagar kantor PT KAI subdivre III.2.
Petugas satpam ini beralasan tak ada siapa pun yang boleh masuk tanpa ada izin dari atasan. "Kami cuma menjalankan perintah, kalau mau wawancara minimal sudah mengajukan permohonan dua hari sebelumnya.”
Muhamimin, kepala Humas PT KAI Tanjungkarang, kepada wartawan beberapa waktu lalu, menyebut rencana penggusuran terhadap bangunan di atas lahan PT KAI 6 meter dari jalur kereta api. Muhamin yang menyebut rencana penggusuran berdasarkan instruksi dari PT KAI pusat itu juga dilakukan tanpa kompensasi ganti rugi.
Terkait rencana penggusuran yang akan dilakukan PT KAI, Lurah Gunungsari Nurjannah mengaku tak ada warganya yang terancam digusur. Karena dalam ketentuan PT KAI, bangunan yang akan digusur hanyalah bangunan liar yang berjarak 6 meter dari jalur kereta api.
"Kalau di RT 6, ada 25 kepala keluarga yang tinggal di sana, tapi mereka membayar sewa kepada PT KAI, jadi tidak mungkinlah kalau mereka digusur karena mereka bayar sewa kepada PT KAI," kata dia.(M1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 Februari 2014
Dinamika pembangunan di Kota Bandar Lampung begitu tinggi. Tetapi, ada satu ruas wilayah di bilangan Tanjungkarang yang terasa diam. Gunungsari. Tak ada geliat pembaruan di tempat ini.
WAJAH Ramelan (75) masih terlihat kuyu. Sudah tiga hari ini sakit menyanderanya sehingga hanya bisa istirahat di rumahnya di RT 07 Kelurahan Gunungsari, Tanjungkarang Pusat.
Dengan tertatih, Ramelan mengaku penyakit tua ini amat menyiksanya. Ia juga terpaksa menutup sementara usaha reklamenya di tepian Jalan Teuku Umar tepat di samping Koramil Tanjungkarang Pusat. "Entah kapan sembuhnya ini," kata dia mengeluh.
Ramelan butuh waktu hampir sepuluh menit untuk mengingat kembali keadaan Gunungsari ketika suasananya belum ramai seperti sekarang. Setamat sekolah rakyat di Jawa, kata dia, Ramelan merantau ke Lampung. Padahal, usianya ketika itu masih terbilang muda, 13 tahun. Ketika itu, Kelurahan Gunungsari sudah menjadi pusat bisnis di Tanjungkarang.
Stasiun Tanjungkarang, Terminal Pasar Tengah menjadi magnet untuk daerah ini. "Dulu semuanya masih belum seperti sekarang ini. Pasar Tengah saja masih banyak yang papan," kata Ramelan.
Kampung di Tengah Kota
Kini, Gunungsari menjadi semacam kampung di tengah kota. Di tengah gegap gempita pembangunan modern dan menjulang, kawasan Gunungsari seperti acuh tak acuh dengan lingkungan. Hanya satu bangunan baru berupa anjungan tunai mandiri (ATM) drive thru salah satu bank pemerintah yang tampak memanfaatkan keadaan. Entah perizinannya seperti apa.
Bangunan-bangunan kuno dan rumah warga yang terkesan sekenanya masih bertahan. Penduduk tampaknya ragu dengan status lahan yang mereka duduki sehingga tidak membangun dan berinvestasi.
Demikian juga investor. Hampir tak ada transaksi jual beli rumah dan tanah di lokasi itu. Pembeli pasti ragu-ragu atau bahkan sudah menghindari membeli lahan di lokasi yang terbentang di sepanjang Jalan Teuku Umar terapit oleh jaringan rel kereta api ini. Hanya tempat ibadah yang berani terus memoles wajah hingga lebih nyaman dipakai.
Soal nama Gunungsari, Ramelan menyebut ketika itu bukit penuh dengan monyet-monyet liar. "Dulu di sini, masih banyak pohon kelapa dan pohon seri. Mungkin itu kenapa namanya Gunungsari karena banyak pohon serinya.”
Namun, juga penamaan Gunungsari dalam ketentuan aturan Pemerintah Kota Bandar Lampung menyebutkan pasca-Agresi Militer Belanda II tahun 1950—1952 banyak pendatang dari pedalaman maupun dari luar Lampung yang tinggal di Tanjungkarang. Penduduk ini mendirikan rumah di atas gunung secara sederhana yang pembangunannya telah disetujui oleh pemerintah kampung.
Setelah jumlah penduduknya kian bertambah, pemerintahan kampung beserta sejumlah tokoh bermusyawarah untuk memberikan nama daerah baru ini. Sampai akhirnya mereka sepakat untuk memberi nama kampung ini dengan nama Kampung Gunungsari. Pengertiannya, gunung karena tanahnya berada di atas bukit dan sari berarti kembang dalam bahasa Jawa. Sejak itu daerah ini dikenal dengan nama Gunungsari.
Meski demikian, dalam pengukuran dan pemetaan tanah untuk keperluan kereta api Groondkaart Nomor 10 Tahun 1913, Gunungsari merupakan lahan milik Perusahaan Djawatan Kereta Api atau kini PT KAI.
Ramelan juga masih ingat ketika itu, Kemis menjadi kepala suku pertama di Gunungsari. Ia menjadi tokoh sekaligus perintis dari penduduk yang ada di Kelurahan Gunungsari kini.
Ramelan menyangkal jika tanah itu adalah milik PT KAI. Karena saat Pasar Tengah direnovasi, wilayah ini sempat hendak digusur oleh pengembang dengan alasan tanah yang mereka tempati adalah milik PT KAI. Warga pun bereaksi, mereka berunjuk rasa dan belakangan diketahui PT KAI tak pernah membayar PBB meski mereka mengklaim tanah itu milik mereka.
"PT KAI hanya mengacu pada aturan lama yakni Groondkaart Nomor 10 Tahun 1913, padahal itu sudah tak berlaku lagi," kata Lurah Gunungsari Nurjannah.
Kini, lanjut Ramelan, populasi warga Gunungsari memang terus bertambah. Ia menunjukkan rumahnya yang terus dikepung banyak rumah-rumah warga. Ia juga menunjuk halaman depan rumahnya yang berbatasan langsung dengan genteng rumah bagian belakang milik tetangganya.
"Bentuknya kan bukit jadi bangunannya menyesuaikan bentuk tanahnya, halaman depan rumah saya selain jadi jalan juga berbatasan langsung dengan atap rumah orang, kalau dulu beda, dulu rumah masih sangat jarang di sini,” kata Ramelan.
Lurah Gunungsari Nurjannah menyebut sejarahnya masyarakat Gunungsari yang sudah ada jauh sebelum 1913. "Tetapi memang jumlah penduduknya belum terlalu banyak," kata dia.
Hingga kini, jumlah penduduk yang berdiam di Kelurahan Gunungsari mencapai 2.641 jiwa. "Mereka adalah penduduk asli yang sudah lama tinggal di Gunungsari.”
Namun, keangkeran Gunungsari yang sudah mulai tenang sempat terusik saat pada ‘90-an seorang pengembang hendak membangun mal. Mereka akan menggusur warga Gunungsari. Spontan saja warga Gunungsari bereaksi. "Itu sama saja membangunkan harimau yang tidur," ujar Edi Bogel, ketua RT 07.
Warga menentang penggusuran itu, mereka bahkan berdemo termasuk ke Pemkot Bandar Lampung ketika itu. Juga mendatangi kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dari situ diketahui meski tanah itu adalah milik PT KAI, tapi perusahaan kereta api itu ternyata tak pernah membayar pajak bumi dan bangunan.
Selain itu, status kepemilikan tanah yang diklaim milik PT KAI juga hanya berdasarkan aturan Belanda yang melimpahkan tanah kepada perusahaan djawatan kereta api melalui peraturan yang tertuang dalam Groondkaart Nomor 10 Tahun 1913. "Aturan itu sudah tidak berlaku lagi," ujar Nurjannah.
Tanah PT KAI
Tapi, ketika hal ini hendak dikonfirmasi ke manajemen PT KAI, dua orang satpam berusaha menghalangi. Termasuk dengan menutup rapat-rapat pagar kantor PT KAI subdivre III.2.
Petugas satpam ini beralasan tak ada siapa pun yang boleh masuk tanpa ada izin dari atasan. "Kami cuma menjalankan perintah, kalau mau wawancara minimal sudah mengajukan permohonan dua hari sebelumnya.”
Muhamimin, kepala Humas PT KAI Tanjungkarang, kepada wartawan beberapa waktu lalu, menyebut rencana penggusuran terhadap bangunan di atas lahan PT KAI 6 meter dari jalur kereta api. Muhamin yang menyebut rencana penggusuran berdasarkan instruksi dari PT KAI pusat itu juga dilakukan tanpa kompensasi ganti rugi.
Terkait rencana penggusuran yang akan dilakukan PT KAI, Lurah Gunungsari Nurjannah mengaku tak ada warganya yang terancam digusur. Karena dalam ketentuan PT KAI, bangunan yang akan digusur hanyalah bangunan liar yang berjarak 6 meter dari jalur kereta api.
"Kalau di RT 6, ada 25 kepala keluarga yang tinggal di sana, tapi mereka membayar sewa kepada PT KAI, jadi tidak mungkinlah kalau mereka digusur karena mereka bayar sewa kepada PT KAI," kata dia.(M1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 Februari 2014
No comments:
Post a Comment