Oleh Zulkarnain Zubairi
Buku ini untold story tentang perjuangan Surya Paloh sebagai tokoh pejuang kemerdekaan pers, demokrasi, dan restorasi Indonesia, khususnya sebelum dan sepanjang reformasi.
SEPULUH tahun terakhir pascareformasi, Surya Dharma Paloh sangat prihatin terhadap karut-marut kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Era reformasi telah menghembuskan demokrasi yang sangat berarti. Tumbuh berkembangnya demokrasi seharusnya dimanfaatkan sebagai jembatan emas untuk mempercepat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Namun, yang terjadi tenyata sebaliknya. Reformasi yang menganut demokrasi liberal seperti kehilangan arah dan sasaran yang jelas. Pemilihan kepala daerah secara langsung telah menumbuhsuburkan budaya politik dan demokrasi transaksional. Korupsi merebak secara struktural di mana-mana, baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Eksploitasi sumber daya alam yang menguntungkan sekelompok orang dan pihak asing telah menguras kekayaan Indonesia.
Kebijakan ekonomi menganut sistem kapitalisme dan liberalisme, yang kian menjauhkan rakyat kebanyakan dari kesejahteraan. Kesenjangan antara si kaya dan si miskin kian melebar. Krisis ideologi dan filosofi hidup berbangsa berkembang menjadi krisis identitas dan jati diri bangsa. Ironisnya, bangsa Indonesia seakan-akan kehilangan watak, jati diri, dan nasionalismenya, yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila.
Atas fakta-fakta itu, sebagai tokoh pejuang kemerdekaan pers dan demokrasi, sejak 2003 Surya Paloh terpanggil come back ke pentas politik praktis, menggagas idealisme pejuangan politik yang menjadi obsesinya melalui konsep Restorasi Nasional, yang hendak diperjuangkan dengan mengikuti Konvensi Nasional Calon Presiden Partai Golkar. Di dalam restorasi terkandung sebuah cita-cita perjuangan politik, yakni rakyat sejahtera, bangsa bermartabat, dan negara kuat. Idealisme perjuangan inilah yang diberi nama Trilogi Restorasi Indonesia, yang kemudian diperjuangkan bersama ormas Nasional Demokrat dan Partai NasDem melalalui Gerakan Perubahan Restorasi Indonesia. (hlm. X)
***
Buku Surya Paloh Sang Ideolog setebal 490 halaman ini berisi untold story tentang perjuangan Surya Paloh sebagai tokoh pejuang kemerdekaan pers, demokrasi, dan Restorasi Indonesia, khususnya sebelum dan sepanjang reformasi. Buku yang ditulis Usamah Hisyam, yang juga penulis biografi SBY Sang Demokrat (2004) ini diluncurkan Dharmapena Group, 10 Maret lalu, di Jakarta.
Buku ini, menurut Usamah, mengungkap secara terang benderang sejumlah kisah tentang komitmen dan janji-janji SBY terhadap Surya Paloh yang tidak pernah terwujud (hlm. 159—166). "Banyak pemikiran Surya Paloh tentang perubahan dalam lima tahun pertama pemerintahan SBY yang tidak terlaksana. Padahal menjelang Pilpres 2004 SBY berjanji akan melaksanakan sejumlah pemikiran Surya Paloh tentang restorasi, sehingga Media Group all out mendukung dan memenangkan SBY," kata Usamah.
***
Sejak usia 14 tahun, Surya Paloh telah menjadi aktivis pergerakan. Ia menjadi ketua Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) Rayon Serbelawan, Simalungun, dan juga aktivis Gerakan Pelajar Pancasila. Pidato-pidato Bung Karno pada 1963 hingga 1967 mewarnai idealisme yang bersemi dalam hati dan pikirannya sehingga Surya Paloh menjadi seorang soekarnois hingga sekarang.
Ia juga memprakarsai berdirinya Persatuan Putra-Putri ABRI (PP ABRI) di Medan, 1968, yang mengantarnya sebagai ketua Koordinasi Pemuda, Pelajar, Mahasiswa Golkar, Golongan Kekaryaan yang didukung ABRI. Pada usia remaja, 19 tahun, Surya menjadi calon anggota legislatif termuda DPRD tingkat II Medan dari Golkar.
Dekade 1970-an, tumbuh manjadi pengusaha, menjadi ketua Hipmi Sumatera Utara pada usia 23 tahun. Lalu, 1975, ia hijrah ke Jakarta untuk mengembangkan bisnis sekaligus menjadi aktivis pergerakan pemuda. Ia mendirikan dan menjadi ketua umum pertama FKPPI. Putra Purnawirawan Ajun Komisaris Besar Polisi Daoed Paloh dan Nuriyah ini lantas menjadi ketua AMPI, serta menjadi anggota MPR dua periode sejak 1977 hingga 1987.
Bisnis katering dengan bendera Indocater yang dikembangkannya terus berkibar dan mampu mendukung seluruh kegiatan Surya Paloh dalam dunia pergerakan. Idealisme untuk mengembangkan demokrasi pada era otoriter Orde Baru mendorongnya mengembangkan bisnis pers. Harian Prioritas miliknya yang sangat vokal dan kritis mengontrol pemerintah, dibredel Menteri Penerangan tahun 1987. Ia tak gentar, ia lalu mengembangkan community newspaper, yakni mengambil alih kepemilikan saham 13 penerbitan nasional dan daerah di bawah bendera Surya Persindo, termasuk Media Indonesia.
Pada 1990-an, Surya terus menghadapi tekanan dari pemerintah. Surya tak peduli. Akhirnya, tabloid Detik miliknya juga dibredel pemerintah, ia mengambil langkah hukum. Ia mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung untuk membatalkan Peraturan Menteri Penerangan Nomor 01 Tahun 1984, yang selalu digunakan Menteri Penerangan untuk membredel penerbitan pers. Padahal undang-undang menjamin terhadap pers tak dikenakan pembredelan.
Era reformasi menjadi puncak perjuangan Surya Paloh dalam membebaskan pers dari belenggu pembredelan. Inilah babak baru bagi Surya Paloh untuk menebabarkan nilai-nilai demokrasi melalui Media Group. Ia melahirkan Metro TV sebagai televisi berita pertama 24 jam di Indonesia, yang diresmikan Presiden Abdurrahman Wahid pada 1999.
Memasuki usia 52 tahun, Surya mulai galau menyaksikan kegaduhan politik di negeri ini. Perkembangan reformasi yang tak jelas arahnya menggelitik pria kelahiran Kutaraja, Bandaaceh, 16 Juli 1951 ini kembali terpanggil terjun dalam dunia politik praktis. Ia pun mulai menggagas perjuangan politik baru: Restorasi Nasional, yang kemudian menjelma menjadi Gerakan Perubahan Restorasi Indonesia.
Alhasil, membaca buku 10 bab ditambah prolog dan epilog ini serasa menyimak sepak terjang dengan berbagai jurus seorang pendekar dalam percaturan ekonomi politik negeri. Asyik memang! (P2)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 16 Maret 2014
Buku ini untold story tentang perjuangan Surya Paloh sebagai tokoh pejuang kemerdekaan pers, demokrasi, dan restorasi Indonesia, khususnya sebelum dan sepanjang reformasi.
SEPULUH tahun terakhir pascareformasi, Surya Dharma Paloh sangat prihatin terhadap karut-marut kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Era reformasi telah menghembuskan demokrasi yang sangat berarti. Tumbuh berkembangnya demokrasi seharusnya dimanfaatkan sebagai jembatan emas untuk mempercepat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Namun, yang terjadi tenyata sebaliknya. Reformasi yang menganut demokrasi liberal seperti kehilangan arah dan sasaran yang jelas. Pemilihan kepala daerah secara langsung telah menumbuhsuburkan budaya politik dan demokrasi transaksional. Korupsi merebak secara struktural di mana-mana, baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Eksploitasi sumber daya alam yang menguntungkan sekelompok orang dan pihak asing telah menguras kekayaan Indonesia.
Kebijakan ekonomi menganut sistem kapitalisme dan liberalisme, yang kian menjauhkan rakyat kebanyakan dari kesejahteraan. Kesenjangan antara si kaya dan si miskin kian melebar. Krisis ideologi dan filosofi hidup berbangsa berkembang menjadi krisis identitas dan jati diri bangsa. Ironisnya, bangsa Indonesia seakan-akan kehilangan watak, jati diri, dan nasionalismenya, yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila.
Atas fakta-fakta itu, sebagai tokoh pejuang kemerdekaan pers dan demokrasi, sejak 2003 Surya Paloh terpanggil come back ke pentas politik praktis, menggagas idealisme pejuangan politik yang menjadi obsesinya melalui konsep Restorasi Nasional, yang hendak diperjuangkan dengan mengikuti Konvensi Nasional Calon Presiden Partai Golkar. Di dalam restorasi terkandung sebuah cita-cita perjuangan politik, yakni rakyat sejahtera, bangsa bermartabat, dan negara kuat. Idealisme perjuangan inilah yang diberi nama Trilogi Restorasi Indonesia, yang kemudian diperjuangkan bersama ormas Nasional Demokrat dan Partai NasDem melalalui Gerakan Perubahan Restorasi Indonesia. (hlm. X)
***
Buku Surya Paloh Sang Ideolog setebal 490 halaman ini berisi untold story tentang perjuangan Surya Paloh sebagai tokoh pejuang kemerdekaan pers, demokrasi, dan Restorasi Indonesia, khususnya sebelum dan sepanjang reformasi. Buku yang ditulis Usamah Hisyam, yang juga penulis biografi SBY Sang Demokrat (2004) ini diluncurkan Dharmapena Group, 10 Maret lalu, di Jakarta.
Buku ini, menurut Usamah, mengungkap secara terang benderang sejumlah kisah tentang komitmen dan janji-janji SBY terhadap Surya Paloh yang tidak pernah terwujud (hlm. 159—166). "Banyak pemikiran Surya Paloh tentang perubahan dalam lima tahun pertama pemerintahan SBY yang tidak terlaksana. Padahal menjelang Pilpres 2004 SBY berjanji akan melaksanakan sejumlah pemikiran Surya Paloh tentang restorasi, sehingga Media Group all out mendukung dan memenangkan SBY," kata Usamah.
***
Sejak usia 14 tahun, Surya Paloh telah menjadi aktivis pergerakan. Ia menjadi ketua Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) Rayon Serbelawan, Simalungun, dan juga aktivis Gerakan Pelajar Pancasila. Pidato-pidato Bung Karno pada 1963 hingga 1967 mewarnai idealisme yang bersemi dalam hati dan pikirannya sehingga Surya Paloh menjadi seorang soekarnois hingga sekarang.
Ia juga memprakarsai berdirinya Persatuan Putra-Putri ABRI (PP ABRI) di Medan, 1968, yang mengantarnya sebagai ketua Koordinasi Pemuda, Pelajar, Mahasiswa Golkar, Golongan Kekaryaan yang didukung ABRI. Pada usia remaja, 19 tahun, Surya menjadi calon anggota legislatif termuda DPRD tingkat II Medan dari Golkar.
Dekade 1970-an, tumbuh manjadi pengusaha, menjadi ketua Hipmi Sumatera Utara pada usia 23 tahun. Lalu, 1975, ia hijrah ke Jakarta untuk mengembangkan bisnis sekaligus menjadi aktivis pergerakan pemuda. Ia mendirikan dan menjadi ketua umum pertama FKPPI. Putra Purnawirawan Ajun Komisaris Besar Polisi Daoed Paloh dan Nuriyah ini lantas menjadi ketua AMPI, serta menjadi anggota MPR dua periode sejak 1977 hingga 1987.
Bisnis katering dengan bendera Indocater yang dikembangkannya terus berkibar dan mampu mendukung seluruh kegiatan Surya Paloh dalam dunia pergerakan. Idealisme untuk mengembangkan demokrasi pada era otoriter Orde Baru mendorongnya mengembangkan bisnis pers. Harian Prioritas miliknya yang sangat vokal dan kritis mengontrol pemerintah, dibredel Menteri Penerangan tahun 1987. Ia tak gentar, ia lalu mengembangkan community newspaper, yakni mengambil alih kepemilikan saham 13 penerbitan nasional dan daerah di bawah bendera Surya Persindo, termasuk Media Indonesia.
Pada 1990-an, Surya terus menghadapi tekanan dari pemerintah. Surya tak peduli. Akhirnya, tabloid Detik miliknya juga dibredel pemerintah, ia mengambil langkah hukum. Ia mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung untuk membatalkan Peraturan Menteri Penerangan Nomor 01 Tahun 1984, yang selalu digunakan Menteri Penerangan untuk membredel penerbitan pers. Padahal undang-undang menjamin terhadap pers tak dikenakan pembredelan.
Era reformasi menjadi puncak perjuangan Surya Paloh dalam membebaskan pers dari belenggu pembredelan. Inilah babak baru bagi Surya Paloh untuk menebabarkan nilai-nilai demokrasi melalui Media Group. Ia melahirkan Metro TV sebagai televisi berita pertama 24 jam di Indonesia, yang diresmikan Presiden Abdurrahman Wahid pada 1999.
Memasuki usia 52 tahun, Surya mulai galau menyaksikan kegaduhan politik di negeri ini. Perkembangan reformasi yang tak jelas arahnya menggelitik pria kelahiran Kutaraja, Bandaaceh, 16 Juli 1951 ini kembali terpanggil terjun dalam dunia politik praktis. Ia pun mulai menggagas perjuangan politik baru: Restorasi Nasional, yang kemudian menjelma menjadi Gerakan Perubahan Restorasi Indonesia.
Alhasil, membaca buku 10 bab ditambah prolog dan epilog ini serasa menyimak sepak terjang dengan berbagai jurus seorang pendekar dalam percaturan ekonomi politik negeri. Asyik memang! (P2)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 16 Maret 2014
No comments:
Post a Comment