Oleh Rudiansyah
Berdirinya fakultas ilmu budaya akan dapat mengkaji permasalahan sosial-budaya di Lampung dan konteks nasional-global.
WACANA pendirian fakultas ilmu budaya (FIB) di Universitas Lampung semakin mendapat respons dari berbagai kalangan. Tak hanya budayawan yang secara konkret telah membuat petisi, masyarakat luas pun tidak sedikit yang menyatakan dukungan mereka.
Hal tersebut membuat guru besar FIB Universitas Indonesia, Melani Budianta, ikut bersuara. Dosen sastra bergelar profesor ini mengungkapkan Lampung memiliki potensi untuk mendirikan FIB. “Saya yakin di Lampung sudah banyak pakar ilmu budaya yang dapat berkontribusi,” ujarnya saat dihubungi Lampung Post, kemarin.
Menurutnya, pendirian FIB juga tak terlepas dari sumber daya yang ada. Pakar itu bisa datang dari berbagai bidang ilmu, seperti sosiologi, antropologi, linguistik, sastra, sejarah, filsafat, arkeologi, dan seni.
Sebagai langkah awal, profesor yang ikut merancang kurikulum FIB di Universitas Brawijaya ini menyarankan Universitas Lampung (Unila) untuk memetakan sumber daya yang ada dengan kepakarannya. Selanjutnya, membuat proposal pendiriannya yang ditujukan ke Dikti.
Ia menilai berdirinya FIB di Lampung sangat penting. Sebab, FIB akan turut mengkaji konteks permasalahan sosial-budaya di Lampung dan konteks nasional-global. “Dengan mengembangkan riset-riset ilmu budaya yang interdisiplin, Unila dapat mengembangkan pengetahuan untuk memecahkan permasalahan budaya yang ada, termasuk masalah konflik lintas budaya,” ujar dosen yang mengampu mata kuliah Kajian Budaya sejak pertengahan 1990-an ini.
Sebab, menurut Melani, permasalah semacam ini memerlukan pendekatan lintas disiplin dan wawasan budaya yang mendalam. Karena itu, perspektif budaya yang kritis dan terbuka dalam menghadapi isu-isu konflik merupakan suatu syarat penting untuk mengarifi permasalahan budaya yang kompleks tersebut.
Menanggapi lulusan FIB yang sulit terserap dunia kerja, Melani menyangkal hal tersebut. “Lulusan FIB dapat bekerja di mana saja,” ujarnya. Menurutnya, mahasiswa FIB akan memiliki kemampuan yang jauh lebih kritis untuk menganalisis masalah sosial-budaya, kemampuan menulis yang canggih, serta wawasan budaya yang luas plus kemampuan berbahasa asing, sehingga lulusan akan punya daya saing tinggi.
Untuk menunjukkan daya tampung lulusan di masyarakat Unila dapat mengadakan studi kelayakan di masyarakat setelah FIB Unila berdiri dan menghasilkan lulusannya.
Menanggapi petisi yang sedang digalang para budayawan, penulis buku Sastra dan Interaksi Lintas Budaya ini menganggapnya sebagai bentuk ekspresi dukungan masyarakat. Dia pun mengaku ikut mendukung petisi tersebut. (S1)
Sumber: Lampung Post, Senin, 24 Maret 2014
Berdirinya fakultas ilmu budaya akan dapat mengkaji permasalahan sosial-budaya di Lampung dan konteks nasional-global.
Melani Budianta |
Hal tersebut membuat guru besar FIB Universitas Indonesia, Melani Budianta, ikut bersuara. Dosen sastra bergelar profesor ini mengungkapkan Lampung memiliki potensi untuk mendirikan FIB. “Saya yakin di Lampung sudah banyak pakar ilmu budaya yang dapat berkontribusi,” ujarnya saat dihubungi Lampung Post, kemarin.
Menurutnya, pendirian FIB juga tak terlepas dari sumber daya yang ada. Pakar itu bisa datang dari berbagai bidang ilmu, seperti sosiologi, antropologi, linguistik, sastra, sejarah, filsafat, arkeologi, dan seni.
Sebagai langkah awal, profesor yang ikut merancang kurikulum FIB di Universitas Brawijaya ini menyarankan Universitas Lampung (Unila) untuk memetakan sumber daya yang ada dengan kepakarannya. Selanjutnya, membuat proposal pendiriannya yang ditujukan ke Dikti.
Ia menilai berdirinya FIB di Lampung sangat penting. Sebab, FIB akan turut mengkaji konteks permasalahan sosial-budaya di Lampung dan konteks nasional-global. “Dengan mengembangkan riset-riset ilmu budaya yang interdisiplin, Unila dapat mengembangkan pengetahuan untuk memecahkan permasalahan budaya yang ada, termasuk masalah konflik lintas budaya,” ujar dosen yang mengampu mata kuliah Kajian Budaya sejak pertengahan 1990-an ini.
Sebab, menurut Melani, permasalah semacam ini memerlukan pendekatan lintas disiplin dan wawasan budaya yang mendalam. Karena itu, perspektif budaya yang kritis dan terbuka dalam menghadapi isu-isu konflik merupakan suatu syarat penting untuk mengarifi permasalahan budaya yang kompleks tersebut.
Menanggapi lulusan FIB yang sulit terserap dunia kerja, Melani menyangkal hal tersebut. “Lulusan FIB dapat bekerja di mana saja,” ujarnya. Menurutnya, mahasiswa FIB akan memiliki kemampuan yang jauh lebih kritis untuk menganalisis masalah sosial-budaya, kemampuan menulis yang canggih, serta wawasan budaya yang luas plus kemampuan berbahasa asing, sehingga lulusan akan punya daya saing tinggi.
Untuk menunjukkan daya tampung lulusan di masyarakat Unila dapat mengadakan studi kelayakan di masyarakat setelah FIB Unila berdiri dan menghasilkan lulusannya.
Menanggapi petisi yang sedang digalang para budayawan, penulis buku Sastra dan Interaksi Lintas Budaya ini menganggapnya sebagai bentuk ekspresi dukungan masyarakat. Dia pun mengaku ikut mendukung petisi tersebut. (S1)
Sumber: Lampung Post, Senin, 24 Maret 2014
No comments:
Post a Comment