Oleh Arman A.Z.
Penulis-penulis Lampung zaman itu merangkum Dayang Rindu dan Anak Dalom ke dalam teks beraksara Lampung setelah mendengar dari penutur lainnya. Ini mestinya jadi kebanggaan tersendiri buat Lampung.
TULISAN ini sekadar menambah informasi dari esai Iwan Nurdaya Djafar di Lampost (9 & 16 Maret 2014) tentang cerita rakyat Anak Dalom dan Dayang Rindu, dua cerita rakyat Lampung. Memang menjadi kebetulan, naskah Anak Dalom ternyata ada di bagian akhir kamus Van der Tuuk. Naskah itu pun tulis tangan dan jumlah halamannya sedikit sekali.
Pada zamannya, sebaran cerita Dayang Rindu dan Anak Dalom tergolong luas di Sumbagsel (Sumsel, Bengkulu, Jambi, Lampung). Sebagaimana cerita-cerita rakyat yang sudah mulai ditinggalkan masyarakat zaman sekarang, dua epik ini nyaris tak terdengar lagi.
Literatur atau sumber rujukan kedua cerita ini memang minim, untuk tidak menyebut langka. Setakat ini baru diketahui manuskrip Tetimbai Dayang Rindu, yang diperoleh Krisna R. Sempurnadjaja dari Mamak Usman St. Gumanti dari Gunungsugih pada 1985 (disunting 1993); juga Tetimbai Si Dayang Rindu (Iwan Nurdaya Djafar, DKL, 1996). Selain itu ada juga buku Si Dayang Rindu Tunang Raja Palembang ditulis ulang oleh (Alm) A. Rifai Wahid, 2002 (cetakan kedua). Tidak tertera siapa penerbit buku ini.
Penulis, dalam kata pengantarnya, menjelaskan bahwa DR diangkat dari cerita lama yang naskahnya ditulis Bidin gelar Batin Penghulu di Negararatu, bertanggal 17 Jumadil Awal 1320 H (1899). Digubah dan ditulis ulang dari bahasa aslinya, bahasa Melayu kuno campur Lampung dengan aksara Lampung. Penulisnya menerjemahkan dari bahasa Lampung ke bahasa Indonesia per paragraf.
Kemungkinan besar, manuskrip Dayang Rindu dan Anak Dalom terbanyak berada di Perpustakaan Universitas Leiden. Mayoritas hasil inventarisasi H.N. Van der Tuuk selama di Lampung (1868—1869).
Untuk manuskrip Dayang Rindu, setidaknya ada tujuh manuskrip tersimpan di sana. Perinciannya sebagai berikut: 20 halaman (aksara Jawi), 24 halaman (aksara latin tulisan tangan Van der Tuuk, teks dari Sukadana), 36 halaman, 28 halaman (buku, titimangsa 1274 Hijriah/1853). Kemudian ada satu keranjang koleksi Van der Tuuk tentang Lampung, termasuk Dayang Rindu 148 halaman (buku, dilengkapi catatan Van der Tuuk).
Dalam artikel H.N. Van der Tuuk berjudul Brieven betreffende het Lampongsch, ada pula manuskrip Dayang Rindu yang diperolehnya dari Sukadana (16 halaman, titimangsa Tarabanggi, 28 Oktober 1847; artinya telah ada atau telah ditulis sebelum ia ke Lampung). Sementara manuskrip DR tahun 1880 adalah hasil koleksi H.O Forbes.
Bukan hanya di Leiden, manuskrip Dayang Rindu juga tersimpan di School of Oriental and African Studies (London), The Chester Beatty Library (Dublin, Irlandia), dan Bayerische Staatsbibliothek (Munich) bertitimangsa 1884.
Dari kuantitas cerita, Sumsel memang memiliki banyak versi Dayang Rindu. Cerita ini di Sumsel lebih familier dengan nama Dayang Merindu. Muara Enim memiliki banyak relevansi dengannya. Bahkan di sana ada sejumlah lokus (sungai, makam, kampung, petilasan) dan benda yang diyakini berkaitan atau sebagai peninggalan Dayang Rindu.
Distorsi pun merembet ke silsilah Dayang Rindu. Ada yang menganggap fiksi belaka, ada pula yang meyakini ia sosok yang pernah ada. Sebagian masyarakat di Muara Enim meyakini sebagai keturunan Dayang Rindu. Di Baturaja, ada goa yang diyakini penduduk setempat sebagai tempat peristirahatannya, ada juga batu yang dipercaya sebagai Dayang Rindu yang dikutuk Si Pahit Lidah. Latar dalam cerita ini adalah fakta. Lokus Tanjung Iran atau Tanjung Heran, menurut William Marsden dan Van der Tuuk, bisa diidentifikasi letaknya di Kotaagung (Tanggamus) atau Muara Enim (Sumsel).
Dayang Rindu adalah khazanah masa silam Sumbagsel. Ia telah mengalami komodifikasi dalam beragam bentuk dan fungsi. Di Muara Enim, gedung keseniannya bernama “Putri Dayang Rindu”. Varietas padi Dayang Rindu di Pagaralam dan Lubuklinggau hingga kini masih ada meski sudah sedikit penanamnya karena sistem bertanam mengandalkan tadah hujan. Padi ini pun pernah ada di Lampung.
Kemudian, ada berapa banyak manuskrip Anak Dalom di Perpustakaan Universitas Leiden? Berikut perinciannya: 13 halaman (aksara latin dan Jawi), 38 hlm (aksara Lampung dan latin), 70 halaman, 114 halaman (sampul kulit, tinta hitam dan merah, banyak ilustrasi perahu, pulau, orang, benteng, kuda, tumbuhan, suasana tepi laut), 59 hlm (bentuk buklet, dengan dua surat dalam aksara Lampung), 143 hlm (halaman muka ada catatan bahasa Belanda dari P. Voorhoeve (29 Januari 1970). Voorhoeve menyatakan bahwa kemungkinan naskah ini adalah naskah terbaik, sayangnya ada beberapa halaman hilang, 36 halaman (transliterasi dari 114 dan 143 hlm)
Menurut Voorhoeve, naskah Anak Dalom pernah dipentaskan pada zamannya dan pernah juga dialih kreasi ke dalam komik oleh Amir Radja Sembilan. Tidak ada informasi lebih lanjut mengenai hal ini. Selain itu, dalam buku Catalogue of Malay and Minangkabau Manuscripts Volume Two (Edwin P. Wieringa) dijelaskan secara perinci kondisi fisik sejumlah manuskrip Anak Dalom.
Menjadi menarik mengetahui isi manuskrip Anak Dalom dan Dayang Rindu yang berbeda-beda halaman itu. Dinamisnya cerita rakyat, membuat ia bisa saja mengalami penambahan, pengurangan, bahkan variasi cerita. DR di Sumbagsel setidaknya ada lima versi. Beragamnya versi ini tak lepas dari kepiawaian sang juru cerita atau penutur masa lampau. Ciri khas cerita rakyat memang terletak pada cara penyampaiannya secara lisan.
Beragamnya versi ini diakui Voorhoeve, peneliti Belanda yang membuat catatan tentang epik-epik Sumbagsel. Mengapa cerita yang berlatar luar Lampung itu justru beraksara Lampung? Voorhoeve menengarai bahwa penulis-penulis Lampung zaman itu merangkum Dayang Rindu dan Anak Dalom ke dalam teks beraksara Lampung setelah mendengar dari penutur lainnya.
Ini mestinya jadi kebanggaan tersendiri buat Lampung. Selain itu, kemungkinan besar Tetimbai Si Dayang Rindu dan Tetimbai Anak Dalom (versi Lampung) adalah satu-satunya manuskrip tertua, mengingat belum ada informasi atau belum ditemukannya manuskrip serupa di daerah lain.
Dayang Rindu dan Anak Dalom sebagai khazanah dan warisan budaya Lampung niscaya hilang jika tidak ada upaya konkret dari berbagai pihak untuk mengembangkannya dengan strategi-strategi kreatif. Disadari atau tidak, cerita rakyat telah dalam proses ditinggalkan, padahal ia bisa menjadi sarana pemahaman keanekaragaman budaya dan tidak tertutup kemungkinan ada nilai kearifan yang bisa dipelajari dan masih relevan dengan konteks kekinian.
Arman A.Z., penulis dan peneliti
Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 April 2014
Penulis-penulis Lampung zaman itu merangkum Dayang Rindu dan Anak Dalom ke dalam teks beraksara Lampung setelah mendengar dari penutur lainnya. Ini mestinya jadi kebanggaan tersendiri buat Lampung.
Pentas 'The Song of Dajang Rindu” karya Ari Pahala Hutabarat dari Teater Komunitas Berkat Yakin (KoBER). (Foto: Dedi Iswanto) |
Pada zamannya, sebaran cerita Dayang Rindu dan Anak Dalom tergolong luas di Sumbagsel (Sumsel, Bengkulu, Jambi, Lampung). Sebagaimana cerita-cerita rakyat yang sudah mulai ditinggalkan masyarakat zaman sekarang, dua epik ini nyaris tak terdengar lagi.
Literatur atau sumber rujukan kedua cerita ini memang minim, untuk tidak menyebut langka. Setakat ini baru diketahui manuskrip Tetimbai Dayang Rindu, yang diperoleh Krisna R. Sempurnadjaja dari Mamak Usman St. Gumanti dari Gunungsugih pada 1985 (disunting 1993); juga Tetimbai Si Dayang Rindu (Iwan Nurdaya Djafar, DKL, 1996). Selain itu ada juga buku Si Dayang Rindu Tunang Raja Palembang ditulis ulang oleh (Alm) A. Rifai Wahid, 2002 (cetakan kedua). Tidak tertera siapa penerbit buku ini.
Penulis, dalam kata pengantarnya, menjelaskan bahwa DR diangkat dari cerita lama yang naskahnya ditulis Bidin gelar Batin Penghulu di Negararatu, bertanggal 17 Jumadil Awal 1320 H (1899). Digubah dan ditulis ulang dari bahasa aslinya, bahasa Melayu kuno campur Lampung dengan aksara Lampung. Penulisnya menerjemahkan dari bahasa Lampung ke bahasa Indonesia per paragraf.
Kemungkinan besar, manuskrip Dayang Rindu dan Anak Dalom terbanyak berada di Perpustakaan Universitas Leiden. Mayoritas hasil inventarisasi H.N. Van der Tuuk selama di Lampung (1868—1869).
Untuk manuskrip Dayang Rindu, setidaknya ada tujuh manuskrip tersimpan di sana. Perinciannya sebagai berikut: 20 halaman (aksara Jawi), 24 halaman (aksara latin tulisan tangan Van der Tuuk, teks dari Sukadana), 36 halaman, 28 halaman (buku, titimangsa 1274 Hijriah/1853). Kemudian ada satu keranjang koleksi Van der Tuuk tentang Lampung, termasuk Dayang Rindu 148 halaman (buku, dilengkapi catatan Van der Tuuk).
Dalam artikel H.N. Van der Tuuk berjudul Brieven betreffende het Lampongsch, ada pula manuskrip Dayang Rindu yang diperolehnya dari Sukadana (16 halaman, titimangsa Tarabanggi, 28 Oktober 1847; artinya telah ada atau telah ditulis sebelum ia ke Lampung). Sementara manuskrip DR tahun 1880 adalah hasil koleksi H.O Forbes.
Bukan hanya di Leiden, manuskrip Dayang Rindu juga tersimpan di School of Oriental and African Studies (London), The Chester Beatty Library (Dublin, Irlandia), dan Bayerische Staatsbibliothek (Munich) bertitimangsa 1884.
Dari kuantitas cerita, Sumsel memang memiliki banyak versi Dayang Rindu. Cerita ini di Sumsel lebih familier dengan nama Dayang Merindu. Muara Enim memiliki banyak relevansi dengannya. Bahkan di sana ada sejumlah lokus (sungai, makam, kampung, petilasan) dan benda yang diyakini berkaitan atau sebagai peninggalan Dayang Rindu.
Distorsi pun merembet ke silsilah Dayang Rindu. Ada yang menganggap fiksi belaka, ada pula yang meyakini ia sosok yang pernah ada. Sebagian masyarakat di Muara Enim meyakini sebagai keturunan Dayang Rindu. Di Baturaja, ada goa yang diyakini penduduk setempat sebagai tempat peristirahatannya, ada juga batu yang dipercaya sebagai Dayang Rindu yang dikutuk Si Pahit Lidah. Latar dalam cerita ini adalah fakta. Lokus Tanjung Iran atau Tanjung Heran, menurut William Marsden dan Van der Tuuk, bisa diidentifikasi letaknya di Kotaagung (Tanggamus) atau Muara Enim (Sumsel).
Dayang Rindu adalah khazanah masa silam Sumbagsel. Ia telah mengalami komodifikasi dalam beragam bentuk dan fungsi. Di Muara Enim, gedung keseniannya bernama “Putri Dayang Rindu”. Varietas padi Dayang Rindu di Pagaralam dan Lubuklinggau hingga kini masih ada meski sudah sedikit penanamnya karena sistem bertanam mengandalkan tadah hujan. Padi ini pun pernah ada di Lampung.
Kemudian, ada berapa banyak manuskrip Anak Dalom di Perpustakaan Universitas Leiden? Berikut perinciannya: 13 halaman (aksara latin dan Jawi), 38 hlm (aksara Lampung dan latin), 70 halaman, 114 halaman (sampul kulit, tinta hitam dan merah, banyak ilustrasi perahu, pulau, orang, benteng, kuda, tumbuhan, suasana tepi laut), 59 hlm (bentuk buklet, dengan dua surat dalam aksara Lampung), 143 hlm (halaman muka ada catatan bahasa Belanda dari P. Voorhoeve (29 Januari 1970). Voorhoeve menyatakan bahwa kemungkinan naskah ini adalah naskah terbaik, sayangnya ada beberapa halaman hilang, 36 halaman (transliterasi dari 114 dan 143 hlm)
Menurut Voorhoeve, naskah Anak Dalom pernah dipentaskan pada zamannya dan pernah juga dialih kreasi ke dalam komik oleh Amir Radja Sembilan. Tidak ada informasi lebih lanjut mengenai hal ini. Selain itu, dalam buku Catalogue of Malay and Minangkabau Manuscripts Volume Two (Edwin P. Wieringa) dijelaskan secara perinci kondisi fisik sejumlah manuskrip Anak Dalom.
Menjadi menarik mengetahui isi manuskrip Anak Dalom dan Dayang Rindu yang berbeda-beda halaman itu. Dinamisnya cerita rakyat, membuat ia bisa saja mengalami penambahan, pengurangan, bahkan variasi cerita. DR di Sumbagsel setidaknya ada lima versi. Beragamnya versi ini tak lepas dari kepiawaian sang juru cerita atau penutur masa lampau. Ciri khas cerita rakyat memang terletak pada cara penyampaiannya secara lisan.
Beragamnya versi ini diakui Voorhoeve, peneliti Belanda yang membuat catatan tentang epik-epik Sumbagsel. Mengapa cerita yang berlatar luar Lampung itu justru beraksara Lampung? Voorhoeve menengarai bahwa penulis-penulis Lampung zaman itu merangkum Dayang Rindu dan Anak Dalom ke dalam teks beraksara Lampung setelah mendengar dari penutur lainnya.
Ini mestinya jadi kebanggaan tersendiri buat Lampung. Selain itu, kemungkinan besar Tetimbai Si Dayang Rindu dan Tetimbai Anak Dalom (versi Lampung) adalah satu-satunya manuskrip tertua, mengingat belum ada informasi atau belum ditemukannya manuskrip serupa di daerah lain.
Dayang Rindu dan Anak Dalom sebagai khazanah dan warisan budaya Lampung niscaya hilang jika tidak ada upaya konkret dari berbagai pihak untuk mengembangkannya dengan strategi-strategi kreatif. Disadari atau tidak, cerita rakyat telah dalam proses ditinggalkan, padahal ia bisa menjadi sarana pemahaman keanekaragaman budaya dan tidak tertutup kemungkinan ada nilai kearifan yang bisa dipelajari dan masih relevan dengan konteks kekinian.
Arman A.Z., penulis dan peneliti
Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 April 2014
No comments:
Post a Comment