Oleh Udo Z. Karzi
KERAJAAN Majapahit (1293—1500) yang mencapai puncak kejayaannya menjadi kemaharajaan raya yang menguasai wilayah yang luas di Nusantara pada masa kekuasaan Hayam Wuruk (1350—1389) dengan Mahapatih Gajah Mada; rupanya tak henti-hentinya melahirkan inspirasi. Tak kecuali bagi para penulis prosa.
Begitulah, novel (sejarah) berlatar Majapahit terus mengalir. Sebut saja Tusuk Sanggul Pudak Wangi (Pandir Kelana), Samita: Sepak Terjang Hui Sing Murid Ceng Ho (Tasaro), dan Kemelut di Majapahit (Kho Ping Hoo). Lalu, Pelangi di Atas Gelagahwangi (S Tidjab), Senopati Pamungkas (Arswendo Atmowiloto), Gajah Mada 1-5 (Langit Kresna Hariadi), Dyah Pitaloka: Senja di Langit Majapahit (Hermawan Aksan), Sabda Palon: Ketika Majapahit Sirna dan Islam Menaklukkan Nusantara (Damar Shashangka), Kerajaan Majapahit (Junus Satrio), Brawijaya Moksa (Wawan Susetya), Banarawa (Siwi Sang), dan banyak lagi.
Namun, Setyo Wardoyo punya alasan tersendiri ketika melahirkan novel sejarah berjudul The Rise Majapahit. Semula novel ini berupa screen play layar lebar yang ditulisnya karena dorongan hati setelah Timor Timur dan Sipadan-Ligitan gagal dipertahankan anak-cucu Hayam Wuruk dan Gajah Mada di negeri “jutaan ayam mati di lumbung padi” ini. "Ironis dan memalukan! Terutama bagi yang mempunyai harga diri dan nasionalisme tinggi, entah bagi yang hanya mementingkan perutnya sendiri. Setelah ini wilayah—atau kekayaan alam—mana lagi yang akan dicaplok negara lain dan kita hanya gigit jari, tak mampu melakukan apa-apa untuk mempertahankannya? Betapa lemahnya kita!" tulis Setyo Wardoyo dalam pengantarnya (hlm. xii).
Novel ini dibuka dengan peristiwa heroik yang kita sangat kita ingat dalam sejarah negeri ini. Alih-alih menyatakan tunduk kepada penguasa Mongolia, Kubilai Khan, yang terjadi adalah kemarahan yang luar biasa dari Sri Kertanegara karena tersentuh harga diri sebagai putra Singosari. Utusan Kubilai Khan harus pulang ke Mongolia dengan telinga terpotong, pasukannya habis ditumpas prajurit Singosari, dan penuh rasa malu. Peristiwa itu terjadi pada 1289 Masehi.
Namun, kemudian Sri Kertanegara gugur akibat pengkhianatan Jayakatwang dari Gelang-Gelang yang sebenarnya masih merupakan besannya. Sebab, anak Jayakatwang, Ardaraja menjadi menantu Kertanegara. Setelah Singosari diluluhlantakkan, keluarga dan kerabat istana tewas atau menjadi pelarian; Jayakatwang membangun kembali Kerajaan Kediri yang sudah redup.
Salah satu keturunan penguasa Singosari, Raden Wijaya, kemudian berusaha merebut kembali kekuasaan nenek moyangnya. Ia adalah keturunan Ken Angrok, raja Singosari pertama dan anak dari Dyah Lembu Tal. Ia juga dikenal dengan nama lain, yaitu Nararyya Sanggramawijaya. Menurut sumber sejarah, Raden Wijaya sebenarnya adalah menantu Kertanegara yang masih terhitung keponakan.
Pada waktu Jayakatwang menyerang Singosari, Raden Wijaya diperintahkan untuk mengamankan ibu kota di arah utara. Kekalahan yang diderita Singosari menyebabkan Raden Wijaya mencari perlindungan ke sebuah desa bernama Kudadu, lelah dikejar-kejar musuh dengan sisa pasukan tinggal 12 orang. Berkat pertolongan Kepala Desa Kudadu, rombongan Raden Wijaya dapat menyeberang laut ke Madura dan di sana memperoleh perlindungan dari Arya Wiraraja, seorang bupati di pulau ini.
Berkat bantuan Arya Wiraraja, Raden Wijaya kemudian dapat kembali ke Jawa dan diterima Raja Jayakatwang. Tidak lama kemudian ia diberi sebuah daerah di hutan Tarik untuk dibuka menjadi desa, dengan dalih untuk mengantisipasi serangan musuh dari arah utara Sungai Brantas. Berkat bantuan Arya Wiraraja, ia kemudian mendirikan desa baru yang diberi nama Majapahit.
Di desa inilah Raden Wijaya kemudian memimpin dan menghimpun kekuatan, khususnya rakyat yang loyal terhadap almarhum Kertanegara yang berasal dari daerah Daha dan Tumapel. Arya Wiraraja sendiri menyiapkan pasukannya di Madura untuk membantu Raden Wijaya bila saatnya diperlukan.
Pada 1293, Jawa kedatangan pasukan dari Mongolia yang diutus Kubilai Khan untuk menghukum Singosari atas penghinaan yang pernah diterima utusannya pada 1289. Dengan memanfaatkan pasukan Mongolia, Raden Wijaya berhasil memukul Kediri dan Jayakatwang pun ditahan pasukan Mongolia. Lalu, ia berbalik memimpin pasukan Majapahit menyerbu pasukan Mongolia yang masih tersisa yang tidak menyadari Raden Wijaya akan bertindak demikian. Tiga ribu anggota pasukan Kerajaan Mongolia ini dapat dibinasakan pasukan Majapahit, selebihnya melarikan dari keluar Jawa dengan meninggalkan banyak korban.
Akhirnya cita-cita Raden Wijaya untuk menjatuhkan Kediri dan membalas sakit hatinya kepada Jayakatwang dapat diwujudkan dengan memanfaatkan tentara asing.
Ia kemudian memproklamasikan berdirinya sebuah kerajaan baru yang dinamakan Majapahit. Pada 1215, Raden Wijaya dinobatkan sebagai raja pertama dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawardhana.
Sebuah novel sejarah yang sangat menarik dan menemukan konteksnya ketika pemerintahan Presiden Joko Widodo gencar-gencarnya mengampanyekan visi maritim, dan upaya mengembalikan kejayaan bangsa. Jokowi sadar Indonesia adalah negara laut dan sebagian ekonomi juga tergantung ke laut. Maka pembangunan sektor kelautan menjadi penting dan harus diprioritaskan. Selain itu juga penguatan alat keamanan di laut dengan peningkatan anggaran TNI AL, penggunaan teknologi pengawas pantai dan laut (seperti drone) agar kekayaan alam bisa terjaga dan tidak dicuri oleh orang asing sebagaimana kata-kata Jokowi: “Kita akan membangun kekuatan maritim yang kuat.”
Benar! Dua kerajaan besar di Nusantara—Sriwijaya dan Majapahit—berjaya dengan kekuatan maritim. Dan, novel yang mengambil setting masa akhir Kerajaan Singosari dan merintis sebuah kerajaan besar yang berhasil menyatukan seluruh wilayah Nusantara bernama Majapahit ini, bisa menjadi pelajaran penting tentang arti harga diri dan nasionalisme. Ya, sebagai bangsa besar kita memang harus memiliki harga diri, menolak untuk terus-menerus berada dalam subordinat negara mana pun, dan membangun negeri dengan kekuatan sendiri. n
Udo Z. Karzi, Penyuka dan pembaca sastra dan sejarah
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Februari 2015
Data buku: The Rise of Majapahit Setyo Wardoyo Grasindo, Jakarta, 2014 xxvi + 399 hlm. |
Begitulah, novel (sejarah) berlatar Majapahit terus mengalir. Sebut saja Tusuk Sanggul Pudak Wangi (Pandir Kelana), Samita: Sepak Terjang Hui Sing Murid Ceng Ho (Tasaro), dan Kemelut di Majapahit (Kho Ping Hoo). Lalu, Pelangi di Atas Gelagahwangi (S Tidjab), Senopati Pamungkas (Arswendo Atmowiloto), Gajah Mada 1-5 (Langit Kresna Hariadi), Dyah Pitaloka: Senja di Langit Majapahit (Hermawan Aksan), Sabda Palon: Ketika Majapahit Sirna dan Islam Menaklukkan Nusantara (Damar Shashangka), Kerajaan Majapahit (Junus Satrio), Brawijaya Moksa (Wawan Susetya), Banarawa (Siwi Sang), dan banyak lagi.
Namun, Setyo Wardoyo punya alasan tersendiri ketika melahirkan novel sejarah berjudul The Rise Majapahit. Semula novel ini berupa screen play layar lebar yang ditulisnya karena dorongan hati setelah Timor Timur dan Sipadan-Ligitan gagal dipertahankan anak-cucu Hayam Wuruk dan Gajah Mada di negeri “jutaan ayam mati di lumbung padi” ini. "Ironis dan memalukan! Terutama bagi yang mempunyai harga diri dan nasionalisme tinggi, entah bagi yang hanya mementingkan perutnya sendiri. Setelah ini wilayah—atau kekayaan alam—mana lagi yang akan dicaplok negara lain dan kita hanya gigit jari, tak mampu melakukan apa-apa untuk mempertahankannya? Betapa lemahnya kita!" tulis Setyo Wardoyo dalam pengantarnya (hlm. xii).
Novel ini dibuka dengan peristiwa heroik yang kita sangat kita ingat dalam sejarah negeri ini. Alih-alih menyatakan tunduk kepada penguasa Mongolia, Kubilai Khan, yang terjadi adalah kemarahan yang luar biasa dari Sri Kertanegara karena tersentuh harga diri sebagai putra Singosari. Utusan Kubilai Khan harus pulang ke Mongolia dengan telinga terpotong, pasukannya habis ditumpas prajurit Singosari, dan penuh rasa malu. Peristiwa itu terjadi pada 1289 Masehi.
Namun, kemudian Sri Kertanegara gugur akibat pengkhianatan Jayakatwang dari Gelang-Gelang yang sebenarnya masih merupakan besannya. Sebab, anak Jayakatwang, Ardaraja menjadi menantu Kertanegara. Setelah Singosari diluluhlantakkan, keluarga dan kerabat istana tewas atau menjadi pelarian; Jayakatwang membangun kembali Kerajaan Kediri yang sudah redup.
Salah satu keturunan penguasa Singosari, Raden Wijaya, kemudian berusaha merebut kembali kekuasaan nenek moyangnya. Ia adalah keturunan Ken Angrok, raja Singosari pertama dan anak dari Dyah Lembu Tal. Ia juga dikenal dengan nama lain, yaitu Nararyya Sanggramawijaya. Menurut sumber sejarah, Raden Wijaya sebenarnya adalah menantu Kertanegara yang masih terhitung keponakan.
Pada waktu Jayakatwang menyerang Singosari, Raden Wijaya diperintahkan untuk mengamankan ibu kota di arah utara. Kekalahan yang diderita Singosari menyebabkan Raden Wijaya mencari perlindungan ke sebuah desa bernama Kudadu, lelah dikejar-kejar musuh dengan sisa pasukan tinggal 12 orang. Berkat pertolongan Kepala Desa Kudadu, rombongan Raden Wijaya dapat menyeberang laut ke Madura dan di sana memperoleh perlindungan dari Arya Wiraraja, seorang bupati di pulau ini.
Berkat bantuan Arya Wiraraja, Raden Wijaya kemudian dapat kembali ke Jawa dan diterima Raja Jayakatwang. Tidak lama kemudian ia diberi sebuah daerah di hutan Tarik untuk dibuka menjadi desa, dengan dalih untuk mengantisipasi serangan musuh dari arah utara Sungai Brantas. Berkat bantuan Arya Wiraraja, ia kemudian mendirikan desa baru yang diberi nama Majapahit.
Di desa inilah Raden Wijaya kemudian memimpin dan menghimpun kekuatan, khususnya rakyat yang loyal terhadap almarhum Kertanegara yang berasal dari daerah Daha dan Tumapel. Arya Wiraraja sendiri menyiapkan pasukannya di Madura untuk membantu Raden Wijaya bila saatnya diperlukan.
Pada 1293, Jawa kedatangan pasukan dari Mongolia yang diutus Kubilai Khan untuk menghukum Singosari atas penghinaan yang pernah diterima utusannya pada 1289. Dengan memanfaatkan pasukan Mongolia, Raden Wijaya berhasil memukul Kediri dan Jayakatwang pun ditahan pasukan Mongolia. Lalu, ia berbalik memimpin pasukan Majapahit menyerbu pasukan Mongolia yang masih tersisa yang tidak menyadari Raden Wijaya akan bertindak demikian. Tiga ribu anggota pasukan Kerajaan Mongolia ini dapat dibinasakan pasukan Majapahit, selebihnya melarikan dari keluar Jawa dengan meninggalkan banyak korban.
Akhirnya cita-cita Raden Wijaya untuk menjatuhkan Kediri dan membalas sakit hatinya kepada Jayakatwang dapat diwujudkan dengan memanfaatkan tentara asing.
Ia kemudian memproklamasikan berdirinya sebuah kerajaan baru yang dinamakan Majapahit. Pada 1215, Raden Wijaya dinobatkan sebagai raja pertama dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawardhana.
Sebuah novel sejarah yang sangat menarik dan menemukan konteksnya ketika pemerintahan Presiden Joko Widodo gencar-gencarnya mengampanyekan visi maritim, dan upaya mengembalikan kejayaan bangsa. Jokowi sadar Indonesia adalah negara laut dan sebagian ekonomi juga tergantung ke laut. Maka pembangunan sektor kelautan menjadi penting dan harus diprioritaskan. Selain itu juga penguatan alat keamanan di laut dengan peningkatan anggaran TNI AL, penggunaan teknologi pengawas pantai dan laut (seperti drone) agar kekayaan alam bisa terjaga dan tidak dicuri oleh orang asing sebagaimana kata-kata Jokowi: “Kita akan membangun kekuatan maritim yang kuat.”
Benar! Dua kerajaan besar di Nusantara—Sriwijaya dan Majapahit—berjaya dengan kekuatan maritim. Dan, novel yang mengambil setting masa akhir Kerajaan Singosari dan merintis sebuah kerajaan besar yang berhasil menyatukan seluruh wilayah Nusantara bernama Majapahit ini, bisa menjadi pelajaran penting tentang arti harga diri dan nasionalisme. Ya, sebagai bangsa besar kita memang harus memiliki harga diri, menolak untuk terus-menerus berada dalam subordinat negara mana pun, dan membangun negeri dengan kekuatan sendiri. n
Udo Z. Karzi, Penyuka dan pembaca sastra dan sejarah
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Februari 2015
LampungMart.Com Toko Online Terpercaya!
ReplyDeletehttp://www.polisionline.com/2015/03/lampungmartcom-toko-online-terjamin.html