Oleh Edward Syah Pernong
SAYA duga banyak warga Lampung yang tidak mengenal anjau silau. Bahkan, mendengar istilahnya pun mereka belum pernah. Karena itu, saya akan meringkas makna filsafat sosial Lampung ini, yang sesungguhnya merupakan kearifan lokal yang sangat bernilai, khususnya dalam mengantisipasi dan meredam konflik sosial, horizontal maupun vertikal.
Dari segisemantik, anjau silau berarti “berkunjung untuk menjenguk”. Jika seseorang melakukan anjau silau kepada kerabatnya, berarti dia mengunjungi untuk menjenguk kondisi tuan rumah. Sudah tentu dalam pertemuan itu terjadi saling tukar kabar dan gagasan tentang berbagai masalah. Jadi, unsur silaturahmi sangat kental di dalamnya, meski anjau silau dapat mengandung tujuan yang lebih spesifik.
Hemat saya, kearifan sosial dari adat istiadat kita sendiri ini akan mampu meminimalkan potensi konflik secara efektif. Saya sebut meminimalkan dan bukan menihilkan, karena kita perlu realistis bahwa selama ada masyarakat manusia, perbenturan di antara para anggota masyarakat itu tidak mungkin nol.
Peluang perbenturan itu makin besar seiring kian kompleksnya struktur sosial karena berbagai pengaruh politik, budaya, ekonomi, dan sebagainya. Masyarakat modern juga mengalami apa yang disebut para ahli sosiologi sebagai diferensiasi sosial, yaitu makin bervariasinya profesi dan cara orang mencari nafkah; dan seiring dengan itu kian beragam pula gaya hidup mereka.
Korban Pertama
Segenap perubahan sosial yang mengalami akselerasi berkat pesatnya temuan-temuan ilmiah itu, terutama di bidang teknologi informasi, memperlebar pintu konflik antarkelompok etnis, agama, afiliasi politik, maupun antarindividu. Korban pertama dari semua itu adalah rentannya situasi kamtibmas, dengan segala dampaknya di berbagai bidang. Seperti lenyapnya rasa aman, tercabiknya rajutan harmoni sosial, yang pada akhirnya mengganggu aktivitas dan peluang ekonomi warga dan memukul kesejahteraan mereka.
Jika telanjur terjadi, konflik semacam ini bisa menimbulkan trauma sosial yang tidak ringan dan berjangka panjang. Terlalu banyak contoh yang bisa disebut, baik dari sejarah bangsa kita sendiri maupun bangsa-bangsa lain hingga hari ini.
Siapa pun pasti bisa melihat bahwa masyarakat Lampung pun memiliki ciri-ciri sosiologis seperti disebut di atas. Apalagi masyarakat Lampung sejak dahulu kala memang telah menjadi cultural melting pot (wadah bagi peleburan aneka budaya). Heterogenitas inilah yang berpotensi membuka celah konflik sosial, meski sesungguhnya keragaman budaya ini dapat pula kita jadikan sumber persatuan dan kekuatan, karena itu berarti semua unsur budaya yang hidup di Lampung bisa memberikan sumbangan budaya terbaik mereka masing-masing.
Membalik potensi kelemahan dan keretakan menjadi spirit kekuatan dan harmoni sosial itulah yang akan kami upayakan dengan anjau silau. Ini tidak berarti pendekatan standar polisional diabaikan. Anjau silau mencoba menyelami potensi konflik sejak di pangkalnya, yaitu dengan menggali aspirasi tokoh-tokoh masyarakat dari berbagai kelompok sosial, yang merupakan representasi atau agregat aspirasi kelompok masing-masing.
Caranya: setiap hari Kapolda Lampung akan menugasi sejumlah perwira dari berbagai instansi kesatuan di lingkungan Polda untuk ber-anjau silau ke pemuka-pemuka masyarakat, termasuk ulama, pemimpin bisnis, tokoh budaya, pemimpin sosial, tokoh perempuan, tokoh generasi muda, dsb. Akan dipastikan bahwa tidak ada satu pun di antara para pemuka sosial itu yang luput dari kunjungan atau terlewatkan dari anjau silau.
Perlu dipahami bahwa meskipun istilahnya terkesan tradisional, anjau silau sesungguhnya sangat modern sebagai metode pendekatan. Manajemen bisnis di negara-negara maju makin banyak yang menerapkan metode ini; manajemen politik lazim menamainya dengan pendekatan bottom-up, yaitu upaya merekam dan mengakomodasi aspirasi dari bawah (rakyat kecil), bukan sekadar top-down atau memproduksi macam-macam instruksi dari atas (pejabat negara).
Prasyarat Kemajuan
Di negara-negara multietnis, seperti Amerika Serikat, metode seperti anjau silau juga sudah lama diterapkan. Para pemuka warga Hispanik (keturunan Spanyol), Afro-Amerika, Irlandia, Italia, Jepang, Yahudi, Tiongkok, Korea, Arab, dan suku bangsa-suku bangsa lain yang hidup di kota-kota besar Amerika disapa dengan komunikasi rutin oleh para pejabat lokal yang berwenang.
Dengan cara itu, potensi konflik di antara aneka etnis dan agama di sana dapat diredam sebelum pecah. Atau, kalaupun ketegangan sosial dan konflik telanjur meletus, misalnya karena ada warga Hispanik yang tertembak, konflik yang meluas dan panjang bisa dihindarkan.
Minimalisasi ini bisa terjadi karena para pemuka kelompok-kelompok sosial itu memiliki pemahaman, ide, dan aspirasi yang kurang-lebih sama dalam masalah bersangkutan (meeting of minds), berkat dialog rutin dengan para pejabat berwenang. Jangan pernah lupa: sebagian besar konflik terjadi karena kesalahpahaman yang disebabkan minimnya komunikasi.
Dengan cara ini, kalaupun konflik tak mungkin dihindarkan, resolusinya akan tercapai dengan lebih cepat sehingga kerusakan dan kerugian bisa diminimalkan. Sebab, pada dasarnya para pemuka itulah, selain aparat keamanan, yang turut berperan aktif sebagai agen mediasi. Sekali lagi: dengan semua ini tidak berarti aparat keamanan menegaskan fungsinya sebagai penegak hukum.
Sudah tentu program anjau silau ini, sebagaimana semua program sosial lain, tidak akan mencapai sukses yang diharapkan tanpa partisipasi aktif dari para pemuka warga sendiri. Karena itu, kami berharap program ini mendapat dukungan luas dari segenap warga Lampung. Kami pun tentu akan melakukan evaluasi regular untuk terus menyempurnakan pelaksanaan dan hasil-hasilnya.
Seperti disebut di dalam Kitab Suci, berkah terbesar bagi suatu masyarakat adalah kedamaian. Sebab itu, marilah kita bersama-sama mewujudkannya dengan giat tanpa lelah, demi mencapai tertib sosial yang dinamis. Inilah prasyarat bagi kemajuan sosial dan kesejahteraan ekonomi segenap warga provinsi kita ini. Insya Allah. n
Edward Syah Pernong, Kepala Kepolisian Daerah Lampung
Sumber: Lampung Post, Rabu, 1 Juli 2015
SAYA duga banyak warga Lampung yang tidak mengenal anjau silau. Bahkan, mendengar istilahnya pun mereka belum pernah. Karena itu, saya akan meringkas makna filsafat sosial Lampung ini, yang sesungguhnya merupakan kearifan lokal yang sangat bernilai, khususnya dalam mengantisipasi dan meredam konflik sosial, horizontal maupun vertikal.
Dari segisemantik, anjau silau berarti “berkunjung untuk menjenguk”. Jika seseorang melakukan anjau silau kepada kerabatnya, berarti dia mengunjungi untuk menjenguk kondisi tuan rumah. Sudah tentu dalam pertemuan itu terjadi saling tukar kabar dan gagasan tentang berbagai masalah. Jadi, unsur silaturahmi sangat kental di dalamnya, meski anjau silau dapat mengandung tujuan yang lebih spesifik.
Hemat saya, kearifan sosial dari adat istiadat kita sendiri ini akan mampu meminimalkan potensi konflik secara efektif. Saya sebut meminimalkan dan bukan menihilkan, karena kita perlu realistis bahwa selama ada masyarakat manusia, perbenturan di antara para anggota masyarakat itu tidak mungkin nol.
Peluang perbenturan itu makin besar seiring kian kompleksnya struktur sosial karena berbagai pengaruh politik, budaya, ekonomi, dan sebagainya. Masyarakat modern juga mengalami apa yang disebut para ahli sosiologi sebagai diferensiasi sosial, yaitu makin bervariasinya profesi dan cara orang mencari nafkah; dan seiring dengan itu kian beragam pula gaya hidup mereka.
Korban Pertama
Segenap perubahan sosial yang mengalami akselerasi berkat pesatnya temuan-temuan ilmiah itu, terutama di bidang teknologi informasi, memperlebar pintu konflik antarkelompok etnis, agama, afiliasi politik, maupun antarindividu. Korban pertama dari semua itu adalah rentannya situasi kamtibmas, dengan segala dampaknya di berbagai bidang. Seperti lenyapnya rasa aman, tercabiknya rajutan harmoni sosial, yang pada akhirnya mengganggu aktivitas dan peluang ekonomi warga dan memukul kesejahteraan mereka.
Jika telanjur terjadi, konflik semacam ini bisa menimbulkan trauma sosial yang tidak ringan dan berjangka panjang. Terlalu banyak contoh yang bisa disebut, baik dari sejarah bangsa kita sendiri maupun bangsa-bangsa lain hingga hari ini.
Siapa pun pasti bisa melihat bahwa masyarakat Lampung pun memiliki ciri-ciri sosiologis seperti disebut di atas. Apalagi masyarakat Lampung sejak dahulu kala memang telah menjadi cultural melting pot (wadah bagi peleburan aneka budaya). Heterogenitas inilah yang berpotensi membuka celah konflik sosial, meski sesungguhnya keragaman budaya ini dapat pula kita jadikan sumber persatuan dan kekuatan, karena itu berarti semua unsur budaya yang hidup di Lampung bisa memberikan sumbangan budaya terbaik mereka masing-masing.
Membalik potensi kelemahan dan keretakan menjadi spirit kekuatan dan harmoni sosial itulah yang akan kami upayakan dengan anjau silau. Ini tidak berarti pendekatan standar polisional diabaikan. Anjau silau mencoba menyelami potensi konflik sejak di pangkalnya, yaitu dengan menggali aspirasi tokoh-tokoh masyarakat dari berbagai kelompok sosial, yang merupakan representasi atau agregat aspirasi kelompok masing-masing.
Caranya: setiap hari Kapolda Lampung akan menugasi sejumlah perwira dari berbagai instansi kesatuan di lingkungan Polda untuk ber-anjau silau ke pemuka-pemuka masyarakat, termasuk ulama, pemimpin bisnis, tokoh budaya, pemimpin sosial, tokoh perempuan, tokoh generasi muda, dsb. Akan dipastikan bahwa tidak ada satu pun di antara para pemuka sosial itu yang luput dari kunjungan atau terlewatkan dari anjau silau.
Perlu dipahami bahwa meskipun istilahnya terkesan tradisional, anjau silau sesungguhnya sangat modern sebagai metode pendekatan. Manajemen bisnis di negara-negara maju makin banyak yang menerapkan metode ini; manajemen politik lazim menamainya dengan pendekatan bottom-up, yaitu upaya merekam dan mengakomodasi aspirasi dari bawah (rakyat kecil), bukan sekadar top-down atau memproduksi macam-macam instruksi dari atas (pejabat negara).
Prasyarat Kemajuan
Di negara-negara multietnis, seperti Amerika Serikat, metode seperti anjau silau juga sudah lama diterapkan. Para pemuka warga Hispanik (keturunan Spanyol), Afro-Amerika, Irlandia, Italia, Jepang, Yahudi, Tiongkok, Korea, Arab, dan suku bangsa-suku bangsa lain yang hidup di kota-kota besar Amerika disapa dengan komunikasi rutin oleh para pejabat lokal yang berwenang.
Dengan cara itu, potensi konflik di antara aneka etnis dan agama di sana dapat diredam sebelum pecah. Atau, kalaupun ketegangan sosial dan konflik telanjur meletus, misalnya karena ada warga Hispanik yang tertembak, konflik yang meluas dan panjang bisa dihindarkan.
Minimalisasi ini bisa terjadi karena para pemuka kelompok-kelompok sosial itu memiliki pemahaman, ide, dan aspirasi yang kurang-lebih sama dalam masalah bersangkutan (meeting of minds), berkat dialog rutin dengan para pejabat berwenang. Jangan pernah lupa: sebagian besar konflik terjadi karena kesalahpahaman yang disebabkan minimnya komunikasi.
Dengan cara ini, kalaupun konflik tak mungkin dihindarkan, resolusinya akan tercapai dengan lebih cepat sehingga kerusakan dan kerugian bisa diminimalkan. Sebab, pada dasarnya para pemuka itulah, selain aparat keamanan, yang turut berperan aktif sebagai agen mediasi. Sekali lagi: dengan semua ini tidak berarti aparat keamanan menegaskan fungsinya sebagai penegak hukum.
Sudah tentu program anjau silau ini, sebagaimana semua program sosial lain, tidak akan mencapai sukses yang diharapkan tanpa partisipasi aktif dari para pemuka warga sendiri. Karena itu, kami berharap program ini mendapat dukungan luas dari segenap warga Lampung. Kami pun tentu akan melakukan evaluasi regular untuk terus menyempurnakan pelaksanaan dan hasil-hasilnya.
Seperti disebut di dalam Kitab Suci, berkah terbesar bagi suatu masyarakat adalah kedamaian. Sebab itu, marilah kita bersama-sama mewujudkannya dengan giat tanpa lelah, demi mencapai tertib sosial yang dinamis. Inilah prasyarat bagi kemajuan sosial dan kesejahteraan ekonomi segenap warga provinsi kita ini. Insya Allah. n
Edward Syah Pernong, Kepala Kepolisian Daerah Lampung
Sumber: Lampung Post, Rabu, 1 Juli 2015
No comments:
Post a Comment