Oleh Hapris Jawodo
BAGI saya, penggalan kehidupan di Teknokra Unila selama empat tahun (1986-1990) merupakan catatan yang membekas sangat dalam. Selama di sini, semua pengalaman sebagai seorang mahasiswa rasanya sangat lengkap. Pun bergudang-gudang bekal ilmu, wawasan, dan pengalaman, yang kemudian menjadi modal penting pasca lulus kuliah.
Kehidupan di
kampus ibarat di surga. Di sini, saya punya kawan yang seperti saudara. Di sini
saya punya dosen-dosen yang bersikap seperti sahabat. Di sini saya kenal banyak
mahasiswa, dosen, bahkan karyawan dan Satpam Unila, di mana mereka juga memberi
akses yang sangat luas—yang orang lain belum tentu mendapatkannya.
Pun bisa dapat
honor bulanan, makan gratis (meski seringnya nasi tempe, nasi telor ”mahaaal”!),
sering dapat undangan acara (berarti ada ”perbaikan gizi”), ada vespa redaksi
yang bisa dipinjam ”ngapel”, bisa main biliar hingga tengah malam (milik PR
III, tapi bola dan dan stiknya disimpan di Teknokra),
bisa telepon sepuasnya dari ruangan PR III ”Kyay” Rizani Puspawijaya (harus
ce-es dulu dengan Selamet, penjaga gedung BKK), dan lain-lain, yang untuk
ukuran mahasiswa tergolong ”mewah”.
Belum lagi
penghasilan tambahan dari menulis di koran-koran daerah, dapat hadiah lomba
menulis. Nah, apalagi coba kurangnya! (Sebenarnya sih tetap saja kurang, karena
saya memang berasal dari keluarga pas-pasan, kalau disebut ”kekurangan” nanti
Tuhan bisa marah).
Dari banyak pengalaman
itu, ada satu kata yang tetap membekas hingga sekarang, yaitu ”gila”. Teknokra bisa eksis karena di sini ada
orang-orang ”gila”. Istilah itu pertama kali saya dapat dari Yoke Muelgini
dalam sebuah sarasehan ulang tahun Teknokra,
yang kemudian jadi judul dalam laporan utama yang saya garap (mungkin sekitar
April 1987). Kak Yoke juga yang mengusulkan rubrik ”Etos Kita”.
Hingga sekarang
pun, saya masih sangat menyukai kata itu. Bagaimana tidak. Andai sekitar tahun
1977, tidak ada orang ”gila” seperti Pak Muhajir Utomo, Bang Thoha Sampurnajaya,
dan lain-lain, mungkin Teknokra tidak
akan lahir. Andai tidak ada orang ”gila” seperti Eddy Rifai, Yuswanto, dan
lain-lain, mungkin tidak ada Cendekia,
yang setelah ”disemprit” oleh Departemen Penerangan, kemudian berubah jadi Teknokra.
Saya juga jadi
berpikir, kalau ingin maju, organisasi mana pun, baik sosial, bisnis, termasuk
negara, memang harus ada orang ”gila”-nya. Kalau tidak ada pejuang-pejuang
”gila”, mana mungkin republik ini bisa merdeka. Kalau pemimpinnya hanya berkarakter
”biasa-biasa” saja, pastilah negara ini cuma begini-begini saja. Kalau tidak
ada orang ”gila”, mana mungkin ada air putih yang harganya lebih mahal dari
bensin.
Banyak contoh
yang membuat persepsi saya tentang ”gila” menjadi sangat kuat. Itulah kemudian
yang membuat saya bersyukur karena bisa bergabung dengan orang-orang ”gila” di Teknokra. Tapi, di mana pun dan kapan
pun, yang ”gila” biasanya tidak banyak.
Berawal dari Cerpen
Saya belajar
menjadi orang ”gila” di Teknokra
sekitar tahun 1986, yang waktu itu masih bernama Cendekia. Kalau saja saya tidak menulis cerpen (saya lupa
judulnya), mungkin saya tidak pernah berurusan dengan orang-orang Cendekia.
Pokok
persoalannya, dalam boks redaksi disebutkan ”bagi yang tulisannya dimuat, akan
diberikan imbalasan yang sesuai”. Nah lumayan, pikir saya. Andai dapat
Rp25.000, berarti bisa untuk biaya hidup anak kos, bisa beli buku, menraktir
kawan, dan lain-lain.
Karena itulah
saya, yang waktu itu masih tergolong mahasiswa”normal”, mendatangi markas Cendekia di Gedung BKK (sekarang namanya
Gedung Kemahasiswaan). Di sini tidak ada yang saya kenal. Infonya, minta duit
honornya di bendahara atau siapalah yang saya kurang begitu kenal. Belakangan,
yang saya hubungi adalah Yuswanto (sekarang sudah doktor, ketua jurusan pasca
sarjana hukum Unila).
Rupanya tidak semudah
yang saya kira. Setelah sana-sini, sana-sini, akhirnya dapatlah honor sebesar
Rp2.500. Yah...tidak sebesar yang saya kira. Jadi, pupuslah segala angan-angan
sebelumnya. Tapi, alhamdulillah, persoalan makan anak kos selama dua hari
selesai.
Entah bagaimana
ceritanya, saya kemudian tertarik untuk bergabung dengan Cendekia. Sepertinya, sekitar tahun 1986. Saat itu belum ada
namanya pelatihan menulis yang terjadwal dan sistematis. Pokoknya harus rajin
bertanya dan membaca koran yang sudah jadi.
Seingat saya,
liputan pertama saya adalah Opsek mahasiswa baru. Senior saya yang mengajak
kesana-kemari adalah Pramudya Mukhtar, yang sebelumnya saya ketahui juga
sebagai seorang pembaca puisi dan pemain teater (sudah almarhum).
Liputan saya
kemudian tidak dimuat di Cendekia,
tetapi di tabloid baru bernama Teknokra,
yang kop namanya berwarna oranye. Begitu terbit, nama saya tercantum di bagian
akhir tulisan. Wah, rasanya bangga banget.
Di sinilah saya kenal
dengan Eddy Rifai, dosen Fakultas Hukum yang jadi Pemimpin Umum Teknokra,
Hersubeno Arief, pemimpin redaksi; MZ Hendra Caya, sebagai pemimpin usaha. Ada
juga beberapa nama yang sudah bergabung—selain yang sudah disebut tadi—di
antaranya Parsah Jamseri, MA Suharto, Maspril Aries, Hermansyah, Eka Susanto,
Iwan, Machsus Thamrin, Husna Purnama, dan lain-lain (mohon maaf tidak tersebut
semuanya).
Setelah
bergabung, saya banyak bermarkas di kantor redaksi Teknokra, di lantai II
Gedung BKK. Ke Fakultas Pertanian hanya kalau kuliah dan praktikum. Ternyata
sangat mengasyikkan. Melakukan liputan, menulis, ngerumpi, diskusi, dan
berbagai kegiatan yang diselenggarakan Teknokra,
membuat urusan kuliah tercecer.
”Kegilaan” awal
mendapat pelajaran yang sangat pahit. Dua mata kuliah pada semester itu tidak
lulus! Ini fakta, yang nyaris membuat saya tidak percaya. Bagaimana tidak, track record akademis saya sejak SD
hingga SMA boleh dibilang cemerlang. Berarti, saya ”gila”-nya belum bener!! Ini
masalah besar! Saya lalu dipanggil dosen pengajar dan pembimbing akademis.
Diberi nasihat dan diminta banyak berdiskusi dengan aktivis-aktivis senior.
Saya tidak putus
asa dan tetap kembali beraktivitas di Teknokra.
Entahlah, mungkin saya sudah terkena virus anak-anak Teknokra (sebutan waktu itu). Apalagi, kawan-kawan sudah sudah
mulai memelesetkan ”kegiatan jangan mengganggu kuliah” menjadi ”kuliah jangan
mengganggu kegiatan”.
Secara perlahan,
saya sudah bisa menyesuaikan diri dengan orang-orang ”gila” di sini. Walaupun,
kalau dihitung-hitung secara waras, waktu saya di koran kampus jauh lebih
banyak ketimbang waktu saya mengurusi kuliah di Fakultas Pertanian.
Sampai-sampai orang tidak tahu, saya mahasiswa fakultas apa. Kalau ada yang
tanya, saya bilang saja: ”fakultas teknokra”.
Bayangkan, waktu
itu koran terbut dua minggu sekali. Untuk sebuah topik berita, dengan nara
sumber lebih dari satu, yang belum tentu bisa langsung ketemu, plus membaca
referensi, lalu menuliskannya bukanlah sesuatu yang mudah (jangan bayangkan
seperti wartawan yang sudah ”jadi”). Belum lagi harus kuliah, praktikum dan
membuat laporan-laporannya, tugas kuliah, dan lain-lain. Urusan membuat
laporan, di Fakultas Pertanian tergolong paling banyak.
Saya bayangkan, untuk
ukuran pers umum saja, dengan jumlah personel yang lebih banyak, terbit
dwimingguan tidaklah ringan. Padahal, mereka bekerja full. Lha pengelola Teknokra
tugas utamanya adalah kuliah. Meski yang tercantum di boks redaksi banyak, tapi
yang mau berjibaku biasanya hanya beberapa gelintir. Inilah yang masuk kategori
”gila”.
Karena itu,
menginap di markas Teknokra sudah
jadi hal rutin, termasuk belajar bila esok hari ada kuis atau ujian semester.
Pulang ke tempat kos hanya ganti pakaian saja. Apa boleh buat, perlengkapan
mandi juga harus ada di markas. Mandinya kadang di Gedung BKK, kadang di
Fakultas Pertanian. Tergantung, kamar mandi mana yang ada airnya.
Nah konyolnya,
karena lupa, kadang sikat masih terselip di kantung celana belakang. Itu pula
yang membuat saya sempat diledek Bu Dr. Mintarsih Adimiharja ketika kuliah di
Gedung A. Saat naik ke bagian atas, ”Singa Betina” ini (begitu julukan saya
atas keberanian Beliau dalam mengambil keputusan, kebetulan bintangnya juga
Leo) memanggil saya lalu bilang, ”Hapris, yang di celana belakang kamu itu
sikap gigi ya?”. Keruan, ruang kelas langsung gerrr...
Pengalaman Wawancara
Bu Min—begitu
sapannya—adalah juga Dekan FP waktu itu. Kalau saya wawancara, Beliau lebih
banyak ngajak ngobrol ngalor-ngidul, sambil menandatangani berkas-berkas.
Sekali-sekali Beliau juga mengetes wawasan saya (dengan pura-pura lupa) atas
topik yang sedang kami bahas. Karena itu, sebelum wawanacara, saya harus
menguasai bahan dulu.
Berbeda dengan
Rektor Unila Prof. Margono Slamet. Setelah basa-basi sebentar, biasanya
langsung ke topik. Jawabannya sangat runut, sistematis, menggunakan bahasa
Indonesia yang benar, intonasi titik-komanya sangat jelas, sehingga apa yang
diucapkan ibarat membacakan teks yang sudah dipersiapkan. Mungkin karena Beliau
pakar komunikasi, jadi paham betul apa keinginan media dan apa yang harus
disampaikan.
Pak Margono
sangat memperhatikan isi Teknokra,
bahkan hingga detail. Saya sempat dengar dari salah satu stafnya, Beliau akan
menggarisbawahi kalimat-kalimat yang dianggap penting. Saya sempat bangga
ketika, tulisan saya atas rawannya pencurian di Unila langsung direspons:
sistem keamanan ditata lagi dan Satpam dibelikan beberapa sepeda patroli
(jangan berpikir motor seperti sekarang). Wah bangganya, apalagi para Satpam
pun merasa saya bantu...
Ada juga
pengalaman lucu dengan Dr. Muhadjir Utomo, yang baru pulang dari Amerika. Saya
sudah sering mendengar nama besarnya, tapi belum pernah melihat orangnya.
Ketika akan wawancara, saya coba cari di antara dosen-dosen yang sedang ada
acara di Fakultas Ekonomi. Sekilas saya diberi tahu oleh seorang dosen. Dari
jendela, Pak Muhajir hanya terlihat kepalanya saja.
Setelah keluar
ruangan, saya cegat dan salami. Saya sangat kaget, karena bayangan saya tentang
sosok Pak Muhajir yang berbadan tinggi-besar, ternyata tidak seperti aslinya:
kecil, pendek, hitam, keriting....(sorry Pak). Sambil bercanda, akhirnya kami
ngobrol akrab sambil wawancara di ruangannya. Beliau tampaknya sangat senang
bisa melihat kembali peninggalan sejarahnya, Teknokra, hidup kembali.
Sikap Pak Muhajir
sangat egaliter. Itulah yang membuat kami kemudian akrab, baik saat menjadi
pengurus Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Cabang Lampung maupun saat Beliau
menjadi Rektor Unila. Bahkan hingga sekarang.
Jadi wartawan
kampus memang banyak dinamikanya. Kami bisa akrab dengan dosen-dosen maupun
pejabat kampus (umumnya masih berlanjut hingga saya lulus). Karena di Teknokra pula, saya bisa banyak menambah
wawasan dan pergaulan di luar kampus. Saya bisa mengenal desa-desa di Lampung,
karena berkeliling dengan Pak Sunarto DM (sekarang sudah guru besar dan jadi PR III Unila) dan Tim BP KKN Unila
yang meninjau ke lokasi KKN mahasiswa. Bahkan hingga bermalam beberapa hari.
Saya juga bisa
bertemu dengan Menpora Akbar Tanjung di ruangannya, di Jakarta, ketika bersama
Hersubeno cs beraudiensi sebelum Kongres IPMI di Bandarlampung (akhirnya gagal
karena ada peristiwa GPK Warsidi-Talangsari). Yang lucu, ada di antara kami
yang kakinya terjepit lift (maklum, belum pernah). Saya juga bisa mengenal Bang
Agusman Effendi (dulu sekjen IPMI, pengusaha, dan belakangan jadi politis
Golkar).
Masih dalam
rangka tugas Teknokra, saya juga bisa
akrab dengan para aktivis pers mahasiswa yang berkumpul di Universitas
Indonesia. Saat itu, saya berangkat bersama Umi Nisihara dan Ade Munajat. Boleh
dibilang, saya menguasai forum, karena soal tulis-menulis dan mengelola koran, Teknokra-lah yang paling eksis.
Yang juga cukup
berkesan, saya bersama Aak Eddy Rifai dkk sempat diterima Gubernur Lampung
Poejono Pranyoto di ruangan kerjanya untuk wawancara. Sebagai mahasiswa, siapa
sih yang tidak senang bisa bertemu dengan orang nomor satu di Lampung. Apalagi
foto-fotonya waktu itu dipasang di koran dan ditempel di papan pengumuman
Gedung BKK, he..he..he...
Sebenarnya banyak
cerita lucu lainnya. Tapi, karena sudah diceritakan rekan-rekan seperjuangan,
saya tak perlu lagi mengisahkannya.
Pondasi Kehidupan
Teknokra, bisa
dibilang, merupakan pondasi awal bangunan kehidupan saya. Di sinilah saya mulai
menggeluti dunia jurnalistik, belajar memanaje pekerjaan, membina relationship, memahami persoalan sosial-ekonomi-politik,
mengambil sikap, bekerja keras, dan menghargai orang tanpa memandang status
sosialnya.
Saya beruntung
berkumpul dengan orang-orang ”gila”, yaitu orang-orang yang bisa berbuat lebih
dari yang seharusnya (saya tak ingin narsis dengan menyebut mereka sebagai
orang-orang ”luar biasa”). Hebatnya lagi, kami sudah merasa seperti keluarga
dan menjaga kebersamaan, sehingga kerja gila itu terasa ringan.
Saya beruntung, Teknokra telah memberikan sesuatu yang
kemudian menjadi jalan kehidupan saya. Ketika banyak lulusan sarjana puisng
mencari kerja, saya yang masih mahasiswa sudah dipanggil Lampung Post untuk jadi wartawan. Tanpa tes. Rupanya, dari 73
pelamar sebelumnya, tidak ada yang ”siap pakai”.
Saya diminta
datang, ngobrol sebentar dengan Bang Kolam Pandia (Redaktur Eksekutif), lalu
teken perjanjian kerja di Bagian Personalia. Padahal, sebelumnya saya tidak
boleh melamar karena belum punya ijasah. Alhamdulillah, tiga bulan setelah
bekerja, saya ujian sarjana. Saya mungkin tidak begitu asing di mata mereka
karena sering menulis (juga ambil honor) dan tahu aktivitas saya di pers kampus.
Saya beruntung,
meski saya sudah di pers umum, tapi masih sering diminta membina anak-anak Teknokra untuk jadi orang ”gila”. Paling
tidak hingga tahun 2000 saya rutin menjadi nara sumber berbagai pelatihan di Teknokra maupun koran-koran kampus
lainnya, termasuk membina pers abu-abu (SMA). Mungkin, karena teman-teman lain
banyak bekerja di luar Lampung.
Dari sini, masih
muncul orang-orang ”gila” yang membuat lembaga ini tetap eksis. Ada Budi
Santoso, Rozali, Triono Subagyo, Aldrin, Hartono ”Ome” Utomo, Juwendra, dan
seterusnya (bisa dilihat dari para penulis buku ini).
Teknokra bukan
hanya tempat lahirnya para jurnalis. Tapi juga profesi-profesi lain yang berguna
bagi orang banyak: pengacara, pejabat, politisi, pengusaha, seniman, pendamping
masyarakat, guru, ustad, dan lain-lain.
Saya yakin,
”kegilaan” ketika di Teknokra
memberikan nilai lebih: mau bekerja keras, bisa menulis untuk publik, pandai
bergaul, cerdas menentukan pilihan, berani ambil risiko, dan biasanya orangnya
ikhlas...
Ada juga bagian
penggalan sejarah di Teknokra, yang hingga sekarang menjadi sangat-sangat
berarti, yaitu Rini Alita. Dulu saat di Teknokra,
kami hanya biasa-biasa saja, sama sekali tidak ada apa-apanya. Tetapi, begitu
dia pindah ke Yogyakarta, karena diterima di Fakultas Kedokteran Gigi UGM,
timbul ”masalah” karena kami mulai saling menyukai.
Tetapi untungnya
saya sudah terbiasa ”gila”. Masalah-masalah harus dihadapi. Jarak jauh, bukan
masalah! Ongkos mahal, bukan masalah! Telepon mahal, bukan masalah! Masalah
terberat ternyata mengadang lagi: orang tuanya tidak setuju! Dengan ”kegilaan”
yang masih tersisa, sambil berdoa kepada Tuhan Yang Maha Baik, saya ”larikan”
dia dengan cara adat Lampung, akhirnya semua merestui pernikahan kami.
Alhamdulillah...
Kalau sekarang
saya lewat Gedung Kemahasiswaan Unila, rasanya tidak percaya, salah satu
ruangan di sini telah menggembleng saya dan kawan-kawan demikian keras. Saya
masih yakin, selama para intelektual muda di kampus hijau ini masih waras,
masih akan ada orang-orang ”gila” yang membuat Teknokra tetap eksis sepanjang masa...
Hapris
Jawodo
Aktivis Teknokra 1986-1990, pernah sebagai care-taker
pemimpin redaksi.
Redaktur Harian Lampung Post, 1990-1999.
Redatkur Pelaksana Harian Trans Sumatera 1999-2002.
Pemimpin Redaksi Tawon GMP 2002-sekarang
Public Relations PT GMP 2005-sekarang.
*Dikirim ke email Udo Z Karzi tertanggal 22 September 2010 untuk Teknokra: Jejak Pers Mahasiswa
(edisi revisi)
Baca Juga:
ReplyDeleteSejarah Hidup Abdurrahman bin Auf
Meneladani Sosok Sahabat Nabi Amr bin Ash
Riwayat Hidup Anas bin Malik
Umar bin Khattab Khalifah Pengganti Nabi Muhammad