Oleh Lugina De
DAFTAR buku-buku sastra daerah yang dianugerahi Hadiah Sastra Rancagé tampaknya bisa dijadikan tolok ukur jejak kesusastraan daerah. Sejauh ini, ada tujuh kategori sastra daerah yang masuk “radar” penilaian Hadiah Sastra Rancagé, yaitu sastra Sunda, Jawa, Bali, Lampung, Batak, Banjar, dan Madura. Di antara ketujuh sastra daerah tersebut, tercatat sastra Sunda, Jawa, dan Bali-lah yang tidak pernah absen dalam penilaian Hadiah Sastra Rancagé. Sementara penilaian Hadiah Sastra Rancagé untuk sastra Lampung, sejak pertama kali masuk kategori penilaian pada tahun 2008, pernah beberapa kali ditiadakan akibat nihilnya penerbitan buku karya sastra. Hal yang sama juga pernah terjadi untuk kategori sastra Batak pada tahun 2019.
“Jika membandingkan ketujuh sastra daerah tersebut berdasarkan kontinuitas penerbitan buku, bisa dibilang sastra Sunda, Jawa, dan Bali termasuk paling mapan. Namun dalam waktu 30 tahun terakhir, secara kuantitas penerbitan buku sastra Sunda sendiri fluktuatif. Ada banyak faktor yang mempengaruhi,” ungkap pengamat sastra Sunda, Atep Kurnia.
DAFTAR buku-buku sastra daerah yang dianugerahi Hadiah Sastra Rancagé tampaknya bisa dijadikan tolok ukur jejak kesusastraan daerah. Sejauh ini, ada tujuh kategori sastra daerah yang masuk “radar” penilaian Hadiah Sastra Rancagé, yaitu sastra Sunda, Jawa, Bali, Lampung, Batak, Banjar, dan Madura. Di antara ketujuh sastra daerah tersebut, tercatat sastra Sunda, Jawa, dan Bali-lah yang tidak pernah absen dalam penilaian Hadiah Sastra Rancagé. Sementara penilaian Hadiah Sastra Rancagé untuk sastra Lampung, sejak pertama kali masuk kategori penilaian pada tahun 2008, pernah beberapa kali ditiadakan akibat nihilnya penerbitan buku karya sastra. Hal yang sama juga pernah terjadi untuk kategori sastra Batak pada tahun 2019.
“Jika membandingkan ketujuh sastra daerah tersebut berdasarkan kontinuitas penerbitan buku, bisa dibilang sastra Sunda, Jawa, dan Bali termasuk paling mapan. Namun dalam waktu 30 tahun terakhir, secara kuantitas penerbitan buku sastra Sunda sendiri fluktuatif. Ada banyak faktor yang mempengaruhi,” ungkap pengamat sastra Sunda, Atep Kurnia.