BANDAR LAMPUNG (Lampost): Kasus Talangsari tahun 1989 memicu pertikaian panjang. Kubu kontra islah menyatakan tragedi ini harus diproses, yang pro menganggap bukan pelanggaran HAM dan sudah selesai.
Perbedaan sikap ini terjadi saat diskusi buku Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung karya Fadilasari, jurnalis yang juga mahasiswa pascasarjana Universitas Lampung, Senin (30-4) di belakang kantor rektorat.
Diskusi yang dibuka Pembantu Rektor III Unila M. Thoha B. Sampurna Jaya ini menghadirkan empat pembicara: Jayus (saksi korban), Usman Hamid (Koordinator Kontras), Safrudin (dosen Fakultas Hukum Unila), dan Fadilasari. Sejumlah saksi dan keluarga korban juga hadir, antara lain Azwar Kaili, Suparno, Paimun, Sucipto Prayitno, Mardi, Kasmanto, dan Amir.
Sukardi dan Sudarsono dari kubu pro-islah juga hadir; mereka kini menetap di Jakarta. Selain itu, hadir juga Kepala Penerangan Korem 143/Gatam, Kapten CHB Deden, didampingi dua anggota Intel.
Saat diskusi, terjadi kericuhan antara Widagdo Hadi Maksum dari LSM Amanah Pondok Pesantren Lampung dengan Azwar Kaili. Kericuhan berawal ketika Widagdo menginstruksi Usman Hamid menghentikan pemaparan kerugian korban Talangsari.
Menurut Usman, pemerintah saat itu tidak bisa menerima kritik sehingga melakukan kekerasan dengan membantai dan membakar anak-anak, wanita, dan orang tua. "Sampai sekarang tidak ada yang memperhatikan kelanjutan kehidupan para korban, janda, dan anak-anak yatim di Talangsari. Mereka kesulitan melanjutan pendidikan, tidak diterima kerja karena dicap ekstrem kanan," kata Usman.
Widagdo menyela penuturan Usman. "Anda tidak usah mengatakan hal itu akan menyebabkan pemiskinan ekonomi bagi korban. Korban jangan dieksploitasi dan dipolitisasi. Kasus ini sudah selesai," kata Widagdo yang meminta moderator, praktisi pers Ibnu Khalid, membatasi pembicaraan.
Mendengar perkataan Widagdo, Azwar langsung berdiri. Dengan muka merah dan suara gemetaran, ia mengarahkan jari telunjuk kepada Widagdo. "Anak saya hilang, saya tidak tahu kabarnya sampai sekarang. Kasus ini tidak akan pernah selesai sampai dibawa ke pengadilan," kata Azwar.
Ia lalu bergerak menuju Widagdo. Perang mulut pun tak bisa dihindari dan berlangsung cukup lama. Moderator, panitia, dan peserta menenangkan mereka. Akhirnya, kericuhan yang nyaris berujung baku hantam ini dapat dicegah sehingga dialog dapat diteruskan.
Bagi Sukardi, peristiwa Talangsari bukan pelanggaran HAM, tetapi aksi mujahid mendirikan negara Islam. "Saya dahulu anggota pasukan khusus Front Pemuda Mujahidin Fisabililah yang berjuang mendirikan negara Islam di Lampung," kata Sukardi.
Sesuai dengan syariat Islam, penduduk desa yang dibantai aparat itu dianggap sebagai mujahid. "Sekarang sudah islah dengan aparat," ujarnya.
Bagi yang kontra islah, peristiwa yang terjadi tanggal 7--8 Februari 1989 ini pelanggaran HAM. Dengan bantuan Kontras, mereka terus menempuh jalur hukum.
"Kami berharap jika kasus ini sampai pengadilan, tidak banyak hambatan dan tekanan untuk korban," kata Jayus, salah satu saksi korban saat dialog dengan jajaran Redaksi Lampung Post di kantor harian ini, kemarin. Jayus dan korban kontra islah lainnya datang ke Lampung Post didampingi Koordinator Kontras Usman Hamid.
Sebelum bertemu rombongan Jayus, kubu pro-islah juga berdialog dengan Redaksi Lampung Post. "Talangsari dijadikan komoditas oleh Kontras, bukan membela keadilan. Ini untuk kepentingan sekelompok orang. Saat masih berada di Kontras, kasus ini diungkap untuk mendobrak Hendropriyono (mantan Danrem 043 Gatam, saat pecah kasus Talangsari, red). "Ini pembunuhan karakter Pak Hendro," kata Riyanto didampingi Sudarsono dan Sukardi yang semuanya mantan pasukan Mujahidin Fisabililah. n RIN/ITA/RIS/U-1
Sumber: Lampung Post, Selasa, 1 Mei 2007
No comments:
Post a Comment