Setelah lima tahun peluncuran rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), pemerintah memutuskan untuk mengevaluasi dan menghentikan izin baru sekolah bertarif tinggi itu.
JUMAT siang (18-3), satu ruang kelas RSBI di salah satu sekolah favorit di Bandar Lampung terasa santai. Meskipun sedang membahas sejarah bersama satu guru utama dan dua guru praktek, suasana belajar tidak seperti sekolah konvensional umumnya.
Hari itu, dalam kelas yang dominan warna krem dengan lantai karpet tebal, meja kayu, dan kursi stainless biru, suhu udara agak panas. Jendela-jendela kelas dibuka. Entah mengapa empat unit air conditioner (AC) yang terpasang di dua sisi kelas libur menyemburkan hawa dingin.
Saat itu, susunan kelas juga diubah menjadi beberapa kelompok diskusi. Meskipun demikian, suasana diskusi tidak secalak kelas diskusi. Siswa lebih banyak diam dan kurang interaktif. Hanya suara guru dan guru pendamping (guru PKL) yang sesekali memberi arahan dengan bahasa Inggris yang bercampung dengan bahasa Indonesia.
Interaksi yang kurang hidup ini mungkin disebabkan karena bahasa pengantarnya yang kurang begitu dikuasai. Mungkin ini salah satu yang problem membuat banyak pengamat pendidikan berkomentar sumbang soal RSBI. Mereka mengatakan mentransfer ilmu dengan bahasa yang belum 100% dikuasai akan membuat materi ilmu tidak sampai. Jika ini terus berlanjut, akan hilang satu tahapan ilmu dalam satu generasi sekolah.
Masalah lain juga masih sangat banyak pada pelaksanaan RSBI. Salah satunya adalah soal biaya. Standar tinggi yang diamanatkan undang-undang, ternyata tidak ditanggung pemerintah. Akibatnya, orang tua siswa kobol-kobol menggotong akibatnya.
Sejak awal diluncurkan, program kelas tinggi ini memang menuai kontroversi. Sebab, konsepnya tidak jelas, dan lebih mengedepankan kemampuan ekonomi dibandingkan kemampuan akademik siswa. Akibatnya, banyak siswa yang memiliki kemampuan akademik tinggi ditolak masuk program ini karena ketiadaan biaya. Kalaupun ada yang diterima, mereka terpaksa mundur teratur karena tidak sanggup memenuhi berbagai persyaratan lain yang sangat berat dan sulit dipenuhi siswa tidak mampu seperti membeli laptop, mengikuti les bahasa Inggris hingga membeli buku-buku berstandar internasional yang harganya selangit.
Seorang wali murid SMPN 2 Bandar Lampung mengatakan dia mengeluarkan minimal Rp2 juta/bulan untuk keperluan putrinya yang sekolah di sekolah favorit tersebut. "Selain SPP yang mencapai Rp300 ribu lebih, saya harus membayar les yang diadakan oleh guru yang sangat mahal yakni Rp150 ribu/bulan dengan empat kali pertemuan," kata Ria, seorang ibu di bilangan Sukarame.
Biaya cukup besar juga harus dibayarkan untuk les bahasa Inggris yang rata-rata Rp700 ribu hingga Rp1 juta untuk tiga bulan. Selain itu, untuk mengejar ketertinggalan di sekolah, dia terpaksa mengundang guru les privat ke rumah yang tarifnya Rp30 ribu hingga Rp50 ribu/jam. "Selain itu saya juga harus membayar langganan internet yang bervariasi nilainya setiap bulan antara Rp150 ribu—Rp300 ribu," kata dia.
Mahalnya biaya RSBI di sejumlah sekolah di Lampung, selama ini karena dana yang seharusnya ditanggung pemerintah daerah baik Provinsi maupun kabupaten/kota terpaksa dibebankan kepada orang tua.
Kepala SDN 2 Rawalaut Nusyirwan Zakki mengatakan beberapa keperluan siswa di kelas seperti pengadaan bangku, ruang multimedia dan AC terpaksa dibebankan kepada siswa.
"Namun, khusus untuk pembangunan fisik dan pengadaan laboratorium merupakan bantuan dari Kementerian Pendidikan," kata dia.
Biaya yang “mahal” harus ditanggung oleh sekolah karena sekolah yang berstatus RSBI diwajibkan memiliki sertifikat ISO dari lembaga internasional yang diakui. Untuk mendapatkannya sekolah mendapat bimbingan dari konsultan yang hingga saat ini baru tersedia di kota-kota besar seperti Jakarta dan Palembang. Konon, untuk mendapatkan satu lembar sertifikat ISO 9000:2001 sekolah harus mengucurkan dana Rp50 juta hingga Rp100 juta.
Menurut Nusyirwan, khusus untuk sertifikat ISO, dananya dibantu penuh Kementerian. "Jadi kami dibantu penuh oleh pemerintah dan tidak dibebankan kepada wali murid," kata dia.
Sementara itu, Kepala SMKN 4 Bandar Lampung Septiana mengatakan karena peminat SMK sebagian besar berasal dari kalangan menengah ke bawah, sekolahnya tidak menetapkan tarif mahal.
"Untuk biaya masuk sekolah Rp2 juta dan bisa diangsur, sedangkan untuk SPP biayanya Rp200 ribu/bulan," kata dia.
Baik Nusyirwan maupun Septiana sepakat bahwa sekolah memberi ruang kepada siswa tidak mampu untuk masuk ke sekolahnya. "Kami memberikan subsidi silang atau mencarikan beasiswa bagi siswa yang tidak mampu," kata Septiana.
Meskipun demikian, diakui atau tidak, saat ini yang bisa mengakses pendidikan di RSBI ini hanya siswa dengan strata ekonomi menengah ke atas. Sebab, dengan tuntutan “tinggi” seperti pengadaan berbagai alat-alat canggih dengan harga selangit, tentu tidak bisa dipenuhi oleh mereka yang berkantong tipis. (UNI/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Maret 2011
No comments:
Post a Comment