Oleh Muhammad Muis
JIKA dalam suatu kesempatan orang berjalan-jalan ke Lampung untuk suatu keperluan, orang itu akan memperoleh kenyataan bahwa di dalam komunikasi sehari-hari akan jarang terdengar orang bertutur di dalam bahasa Lampung. Jika pun ada pertuturan di dalam bahasa daerah itu, frekuensi atau kekerapannya—boleh dikatakan—sangat kecil atau sangat jarang. Agaknya hampir-hampir dapat dihitung dengan jari orang yang bercakap-cakap di dalam bahasa ini. Yang menggunakannya pun lazimnya adalah generasi tua, bukan generasi muda. Harus diakui bahwa, jika dicermati dan diamati, di Lampung agak jarang terdengar generasi muda—orang asli Lampung ataupun, apalagi, orang bukan asli Lampung menggunakan bahasa Lampung.
Hal seperti ini sangat berbeda dengan realitas penggunaan bahasa Jawa, Sunda, Minang, dan Melayu Bangka, misalnya, di wilayah penggunaan bahasa daerah itu. Jika orang tadi—misalnya—berjalan-jalan ke Semarang, Bandung, dan Pangkalpinang, misalnya, ia akan mendapatkan perbedaan yang mencolok dengan apa yang ada di Lampung dalam hal penggunaan bahasa daerah itu.
Jika dilacak lebih lanjut, akan diperoleh kenyataan yang cukup mencengangkan juga bahwa banyak pendatang atau orang yang bukan asli Lampung yang sudah bermukim bertahun-tahun, bahkan berpuluh tahun, di Lampung banyak yang tidak dapat berbahasa Lampung, kecuali sepatah dua patah kata.
Apakah bahasa Lampung memang sulit untuk dikuasai ataukah ada faktor lain yang menyebabkan orang kurang tertarik untuk menggunakannya, apalagi mendalaminya? Apakah sebenarnya faktor penyebab persoalan itu?
Faktor Penyebab Bahasa Lampung Kurang Diminati
Penelitian yang komprehensif dan mendalam tentang apa penyebab kurangnya minat orang berbahasa Lampung, yang termasuk rumpun bahasa Austronesia ini, setakat ini—setahu penulis—juga belum dilakukan. Oleh karena itu, kendati pun masih merupakan dugaan awal, berikut ditegaskan, antara lain beberapa faktor yang diduga kuat menjadi penyebab bahasa daerah ini kurang diminati.
Pertama, Provinsi Lampung adalah provinsi yang penduduknya heterogen. Selain penduduk asli Lampung, di provinsi ini banyak suku bangsa lain, seperti Jawa, Sunda, Minang, Bali, Melayu (misalnya Melayu Jakarta, Melayu Palembang, dan Melayu Bangka-Belitung). Kaum pendatang ini selain berbahasa daerahnya masing-masing sesama mereka, juga berbahasa Indonesia dengan kelompok suku lain. Bahkan, ada kalanya sesama suku mereka pun mereka berbahasa Indonesia.
Jarang sekali—jika pun pernah—mereka bertutur dalam bahasa Lampung. Pada satu sisi, hal itu kurang menguntungkan bagi pelestarian bahasa Lampung. Akan tetapi, pada sisi lain—untuk perkembangan dan masa depan bahasa Indonesia—hal itu sangat menguntungkan bahasa Indonesia sebab semakin hari jumlah penutur bahasa Indonesia, termasuk mereka yang sejak lahir telah menjadi penutur bahasa ibu bahasa Indonesia, semakin bertambah.
Dalam konteks itu, orang Lampung asli kurang dapat menerapkan penggunaan bahasa Lampung dengan rekannya yang bukan asli Lampung. Bahasa Lampung itu secara spesifik pada akhirnya—disetujui atau tidak—hanya dapat digunakan pada orang sesama penduduk asli atau orang Lampung yang memahaminya.
Kedua, bahasa Lampung kurang dipromosikan secara gencar, baik oleh Pemerintah Provinsi Lampung, pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Lampung, media massa, maupun dunia pendidikan. Promosi melalui jalur pariwisata, misalnya, agaknya dapat ditempuh.
Ketiga, pengajar atau guru bahasa Lampung, baik pada tingkat SD maupun SMP, saya duga masih sangat kurang. Asumsi dasar ini muncul sebab diduga guru bidang studi bahasa Lampung yang khusus mengajar bahasa ini di dunia persekolahan itu dianggap tidak memadai, terutama dari jumlah guru yang mengajar jika dibandingkan dengan rasio ribuan jumlah murid yang harus diajarkan di seluruh Provinsi Lampung.
Ketersediaan guru bidang studi bahasa Lampung yang terdidik secara khusus di dalam bahasa itu (artinya yang bersangkutan sebagai tenaga pengajar harus berijazah D-3 atau S-1 bahasa Lampung) agar dapat mengajarkan bidang studi itu dengan sebaik-baiknya merupakan conditio sine qua non. Jadi, penyediaan tenaga guru bahasa Lampung harus dapat dipenuhi sesegera mungkin. Hal ini harus dimaklumi bersama.
Keempat, Pemerintah Provinsi Lampung, pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Lampung, media massa, dunia pendidikan, dan pasar kerja belum memberikan perhatian yang maksimal kepada para lulusan perguruan tinggi yang mendalami bahasa Lampung, misalnya alumni D-3 dari Universitas Lampung (yang sayangnya program studi itu sementara ini telah ditutup). Penyerapan mereka di pasar kerja, khususnya di wilayah Provinsi Lampung, akan berpengaruh cukup signifikan bagi pengembangan, perkembangan, dan masa depan bahasa Lampung.
Kelima, penutur asli bahasa Lampung, khususnya generasi mudanya, diduga agaknya kurang bersikap positif terhadap bahasa daerah Lampung. Mereka lebih cenderung menggunakan bahasa Indonesia untuk keperluan komunikasi sehari-hari, yang bukan dalam konteks resmi. Beberapa penelitian, seperti Gunarwan (1994), Gunarwan (2001), dan Zawarnis dan Hasnawati Nasution (2009), setidaknya membuktikan hal itu. Untuk konteks yang tidak resmi atau di dalam percakapan sehari-hari, ada baiknya bahasa daerah ini mulai lebih digalakkan penggunaannya.
Tanggung Jawab Kebahasaan
Beberapa persoalan tersebut harus segera diupayakan pemecahannya dan dicarikan jalan keluarnya. Dengan iktikad baik dan kemauan keras yang dilakukan secara berencana, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan berbagai unsur yang relevan di dalam masyarakat, bukan sesuatu yang mustahil untuk mengatasi masalah itu.
Upaya pelestarian, pengembangan, dan pembinaan bahasa Lampung harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Usaha-usaha yang ditempuh tidak dengan sungguh-sungguh tidak akan dapat menghasilkan capaian yang maksimal!
Bahasa Lampung ini adalah milik bersama seluruh warga Lampung. Oleh karena itu, tanggung jawab untuk penggunaan, pelestarian, pembinaan, dan pengembangannya pada hakikatnya adalah tanggung jawab bersama pula. Artinya, semua unsur dalam masyarakat: pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, instansi atau lembaga terkait, dosen, guru, peneliti, agamawan, tokoh masyarakat, media massa, dan seluruh masyarakat Lampung harus bahu-membahu untuk pemajuan bahasa daerah Lampung dan semuanya harus terlibat secara sinergis untuk itu.
Muhammad Muis, Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 12 Maret 2011
No comments:
Post a Comment