Oleh Irene Sarwindaningrum
MENGGALI kembali naskah Ulu ibarat menelusuri jejak yang samar. Serat kuno peninggalan masyarakat bagian ulu Sungai Musi itu tercecer dalam masyarakat dan di luar negeri. Sering kali naskah beraksara Kaganga ditemukan dalam keadaan sepenggal-sepenggal hingga sulit diketahui isinya. Ketiadaan dana dan hilangnya generasi yang mampu membacanya ikut mempersulit upaya pemerhati serat Ulu dan aksara Kaganga Sumatera Selatan, Ahmad Rapanie Igama, untuk mendalaminya.
Rapanie, sapaannya, adalah salah satu dari sedikit orang di Indonesia yang peduli pada aksara Kaganga atau aksara asli Sumatera bagian hulu Sungai Musi. Naskah Ulu ditulis dalam aksara Kaganga. Ia menjadi rujukan orang untuk mempelajari dan menelusuri aksara dan naskah yang nyaris punah itu.
Sejak 15 tahun lalu, lelaki yang telah menghasilkan beberapa karya sastra ini giat mempelajari aksara Kaganga dan naskah Ulu, meski tak ada imbalan untuk itu. Beberapa kali dia turut mengawal ekspedisi penelitian naskah Ulu yang diselenggarakan Balai Arkeologi Palembang ke sejumlah daerah di Sumatera Selatan.
Berbagai kesulitan ditemui dalam upaya penelusuran tersebut, mulai dari minimnya dana, kurangnya perhatian pemerintah, terputusnya generasi yang mampu membaca aksara Kaganga dan naskah Ulu, hingga keyakinan masyarakat yang membuat naskah Ulu tak dapat disentuh peneliti.
Berbagai kesulitan itu tak menghentikan niat Rapanie. Baginya, pencarian ini merupakan upaya ”menengok” masa lalu guna membangun fondasi masa depan.
”Serat Ulu menyimpan kearifan lokal dan budaya Sumsel. Di sini tersimpan jati diri kita sebagai bangsa yang mulai kabur. Bangsa kita seperti bergerak tanpa akar identitas yang jelas. Akibatnya, kita sering gamang dan mudah terpengaruh budaya asing,” katanya saat ditemui di kantornya, Taman Wisata dan Budaya Kerajaan Sriwijaya, Palembang.
Minatnya terhadap huruf dan naskah masyarakat asli Sumatera itu bermula tahun 1996. Ketika itu ia ditempatkan sebagai pamong budaya bidang filologi Museum Negeri Sumsel. Lulusan Sastra Indonesia ini masih asing terhadap aksara Kaganga dan serat Ulu.
Meski lahir di Sumsel, ia tak pernah diajari membaca aksara dan naskah asli masyarakatnya sendiri. Hal yang umum terjadi di Sumsel. Rasa ingin tahunya tergelitik melihat beberapa koleksi serat Ulu di Museum Negeri Sumsel. Namun, tak satu pun orang yang dia temui di Sumsel dapat membacanya.
”Ada satu orang yang mengaku bisa membaca aksara Kaganga. Tetapi, saat dia membaca serat Ulu, hasil pembacaannya berubah dari waktu ke waktu. Kata-katanya seolah tanpa makna. Dia bilang, serat itu buku mantra yang tak dimaksudkan bermakna. Saya sulit percaya karena setiap teks kuno pasti dibuat dengan makna tertentu dan biasanya merupakan ilmu yang dinilai layak ditularkan. Saya jadi bertekad mempelajari sendiri,” katanya.
Rapanie lalu menyeberang batas provinsi untuk menemui pakar aksara Kaganga dari Bengkulu, Sarwit Sarwono. Dalam pertemuan itu, Sarwit meminjamkan hasil penelitiannya mengenai aksara Kaganga dan serat Ulu. Empat tahun mempelajari hasil penelitian tersebut, Rapanie bisa membaca aksara Kaganga, termasuk filologinya.
Minatnya menelusuri serat Ulu semakin besar. Dalam beberapa ekspedisi penelitian, ia dan tim ekspedisi serat Ulu Balai Arkeologi Palembang berhasil mendokumentasikan serat Ulu yang tersebar di masyarakat. Hasil dokumentasi berupa foto dan catatan ini dia pelajari.
Sebagian besar serat Ulu hanya dapat didokumentasikan karena minimnya dana untuk membeli dari pemiliknya. Selain itu, sebagian pemilik menganggapnya sebagai warisan keluarga atau sejenis azimat.
”Kalau dana ada, seharusnya serat-serat itu dibeli dari masyarakat sehingga pelestarian dan penelitian bisa dilakukan secara lebih baik,” ucap Rapanie, yang menyesalkan minimnya perhatian pemerintah pada kelestarian serat Ulu. Aksara Kaganga juga jarang dikenalkan pada generasi muda.
Ia memperkirakan, setidaknya tiga generasi telah putus dari ingatan terhadap alfabet yang terdiri dari 28 aksara ini. Meski serat Ulu masih disimpan masyarakat, hampir semua pemiliknya tak bisa membaca serat-serat itu.
Naskah Ulu yang diperkirakan banyak ditulis antara 300-500 tahun lalu itu banyak yang rusak atau tercerai-berai karena dibagi sebagai warisan. ”Oleh masyarakat, naskah ulu ini ada yang tak boleh disentuh, ada yang hanya dibuka di waktu tertentu, dan ada yang harus menyembelih kerbau dulu,” tutur Rapanie.
Padahal, serat itu menyimpan ilmu praktis dan kearifan lokal. Beberapa serat berisi ilmu pengobatan, strategi berperang, dan ilmu agama. Naskah dari jenis kaghas (naskah di kulit kayu), gelumpai (di bilah bambu), buluh (di gelondongan bambu), dan naskah yang tertulis di tanduk seolah tak menjadi bagian sejarah Sumsel. Padahal, naskah ini relatif asli.
Berdasarkan sejarah, banyak pengaruh bangsa asing, seperti India, Arab, China, dan Belanda, di Sumsel. Namun, kekuasaan asing biasanya berpusat di hilir Sungai Musi. Di hulu Sungai Musi, budaya asli masyarakat bertahan, yang salah satunya didokumentasikan dalam serat Ulu.
”Kaganga disebut beberapa ahli sebagai aksara proto-Sumatera yang dikembangkan masyarakat hulu Sungai Musi. Aksara yang bentuknya kotak-kotak ini digunakan sebagian masyarakat di Bengkulu, Sumsel, hingga Jambi,” katanya.
Mengenalkan kembali
Upaya Rapanie memperkenalkan kembali naskah Ulu dituangkan dalam buku kompilasi cerita sejarah/purbakala Sumsel. Ia meyakini masih banyak ilmu praktis yang dituliskan dalam naskah Ulu. Pertengahan 2010, tim ekspedisi menemukan serat Ulu berisi diagram penanggalan, arah matahari, dan ilmu bercocok tanam.
Dari naskah di Museum Negeri Sumsel, ia mengetahui kuatnya multikulturalisme dalam masyarakat ratusan tahun lalu. Naskah beraksara Kaganga yang diperkirakan dari abad XVI itu berisi riwayat Nabi Muhammad SAW, dengan bahasa Jawa. Ini mencerminkan keberagaman budaya yang saling melengkapi, tanpa menghancurkan satu sama lain. Nilai ini dapat menguatkan toleransi bangsa yang semakin terkoyak.
”Saya menduga, ada naskah Ulu yang berisi ilmu bangunan karena dulu semua rumah adat menggunakan sistem bongkar pasang,” katanya.
Kesulitan pelestarian semakin bertambah dengan minimnya ahli yang bisa membaca aksara Kaganga. Terasa ironis karena pelestarian dan penelitian naskah Ulu justru dilakukan negara lain. Di Belanda diduga ada 182 naskah yang telah diteliti ahli Belanda.
”Saat bangsa sendiri melupakan, bangsa lain melestarikan dan menelitinya,” kata Rapanie.
Ahmad Rapanie Igama
• Lahir: Jambang Tiga, Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan, 23 Maret 1964 • Istri: Dian Susilastri (44) • Anak: - Tyasto Prima A (11)- Tyastri Sunyaninda (9) • Pendidikan:- SD Muhammadiyah No 2223 Samarinda- SMP Negeri 3 Magelang- SMA Negeri 3 Yogyakarta- Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada - Pascasarjana Sosiologi Pembangunan Sosial Universitas Indonesia • Pencapaian antara lain: - Ahli Serat Ulu dan Aksara Kaganga- Kepala Subbagian Tata Usaha Taman Wisata dan Budaya Kerajaan Sriwijaya
Sumber: Kompas, Selasa, 22 Maret 2011
No comments:
Post a Comment