-- Oyos Saroso H.N.*
DENGAN nada cemas, Udo Z. Karzi memprihatinkan kondisi bahasa Lampung yang kian lama kian terpinggir, bahkan di ambang kepunahan (Lampung Post, 21 Februari 2007). Kecemasan itu seolah menjadi klise karena sudah sering terungkap dalam sejumlah forum, tetapi tak kunjung ada penyelesaian.
Kecemasan Udo Z. Karzi cukup beralasan, karena selain memang salah satu penutur asli Bahasa Lampung, Udo Z. Karzi menyaksikan sendiri bagaimana perilaku berbahasa ulun Lampung dan strategi pengembangan bahasa Lampung yang belum begitu jelas. Memang bahasa Lampung kini sudah diajarkan di sekolah-sekolah sebagai muatan lokal. Namun, perlu ada kajian yang serius untuk memeriksa apakah pembelajaran itu sudah betul dan sesuai dengan sasaran yang diharapkan.
Sebagai pencinta bahasa, pertanyaan saya sederhana saja: apakah pendidikan di sekolah cukup memberikan peluang bahasa Lampung berkembang? Apakah fakta bahwa penduduk etnik Lampung yang minoritas sebagai satu-satunya kendala pengembangan bahasa Lampung? Mungkinkah bahasa Lampung akan tumbuh dan berkembang dengan baik jika tidak disertai kemauan politik pemerintah?
Tentang pengajaran bahasa Lampung di sekolah, barangkali cerita tentang anak saya yang masih duduk di kelas dua sekolah dasar (SD) bisa dijadikan pelajaran. Kami (saya dan istri saya) harus pula belajar bahasa Lampung agar anak saya tidak ketinggalan dalam pelajaran Bahasa Lampung. Saya yang berasal dari suku Jawa harus belajar dari nol, begitu juga istri saya yang berasal dari suku Banten.
Anak saya hidup dalam keluarga dwibahasa (bahasa Indonesia dan bahasa Banten/Jawa Serang). Saya tidak memaksa anak saya bisa berbahasa Jawa halus (Yogya/Solo) karena di lingkungan keluarga dan lingkungan tempat tinggal, saya seorang minoritas. Saya biarkan anak saya mengalami proses pemerolehan dua bahasa ibu sekaligus.
Bagaimana dengan bahasa Lampung? Di lingkungan tempat tinggal saya orang Lampung sedikit jumlahnya, sehingga kecil kemungkinan anak saya bisa mengenal banyak kosakata Lampung.
Anak saya mengaku susah belajar bahasa Lampung karena sehari-hari dia jarang mendengar ada orang berbahasa Lampung. Tak heran kalau dia sering melamun kalau pulang membawa pekerjaan rumah Bahasa Lampung. Terpaksalah saya yang juga tidak tahu bahasa Lampung turun tangan.
Sebagai orang dewasa yang belajar bahasa Lampung dari buku materi ajar Bahasa Lampung untuk kelas dua SD, terus terang saya bingung bin pusing. Bayangkan, siswa kelas dua SD sudah diajari menulis aksara Lampung, memahami wacana (bacaan) dalam Bahasa Lampung, dan membuat kalimat dalam Bahasa Lampung!
Dulu, sewaktu duduk di bangku SD di Jawa Tengah, saya mendapatkan pelajaran bahasa Jawa ketika sudah duduk bangku kelas tiga. Itu pun baru sebatas bacaan dan kosa kata, yang memang sudah kami praktikkan dalam pergaulan sehari-hari. Di Jawa Tengah, yang penduduknya sebagian besar sudah pasti bisa berhasa Jawa, pelajaran menulis huruf Jawa baru diajarkan di kelas empat atau lima SD. Itu pun dalam bentuk yang sederhana. Pendalaman dilakukan-termasuk tentang sastra Jawa-setelah anak-anak masuk bangku sekolah menengah pertama (SMP).
Saya tidak tahu bagaimana para penyusun kurikulum, Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Bahasa Lampung, dan buku-buku teks materi ajar Bahasa Lampung itu disusun. Namun, saya dibuat tertegun ketika bersirobok dengan materi pelajaran bahasa Lampung untuk kelas dua SD. Entah teori pengajaran bahasa dari mana, Bambang Ismanto Ubaidillah dan Kuswinarto (Pelajaran Bahasa dan Sastra Lampung untuk Sekolah Dasar Kelas 2 Semester 2, Penerbit Karya Media, 2003), misalnya, menyusun materi ajar Bahasa Lampung untuk kelas dua SD dengan urutan sebagai berikut: melafalkan aksara yang memakai anak surat tekelingai /ai/ dan rejunjung /ar/, menulis anak surat ganda dan anak surat gabungan, menceritakan kegiatan bermain di hari libur.
Pada bab-bab selanjutnya, siswa diberi materi bahasa Lampung tentang cara menggunakan kata umum bidang pertanian, menulis surat gabungan tanda baca, bertanya kepada guru tentang pelajaran, apresiasi puisi, menulis anak surat gabungan dan tanda baca, melagukan kalimat tanya yang menggunakan kata tanya, bertanya kepada guru tentang kebersihan, dan memahami puisi dalam bahasa Lampung.
Kalau bertanya dan membuat surat dalam Bahasa Indonesia, mungkin siswa kelas dua SD itu lancar. Tapi dalam Bahasa Lampung? Hebatnya lagi, para siswa kelas dua SD juga sudah harus memahami dua logat bahasa sekaligus: logat a (api) dan logat o (nyo)!
Dengan materi pelajaran seperti itu, saya yakin mahasiswa jurusan bahasa pun akan sulit mengikuti pelajaran. Sebab, belum banyak kosa kata yang mereka kuasai tiba-tiba langsung disodori tentang aksara dan seluk-beluk bahasa.
Kalau ditilik dari teori paedagogik-didaktik-metodik, sistem pengajaran seperti yang terjadi di Lampung selama ini menurut saya menyalahi prinsip-prinsip perkembangan dan pertumbuhan anak. Anak seolah-olah dipaksa melakukan loncatan panjang sebelum dia sama sekali belum bisa berjalan secara kokoh. Dari sudut teori pengajaran bahasa pun sulit dipertanggungjawabkan. Prinsip lama "Ajarkan bahasa dan bukan tentang bahasa!" agaknya dikesampingkan oleh para pembuat kurikulum pengajaran bahasa Lampung. Alhasil, alih-alih anak didik bisa berbahasa Lampung dan mencintai bahasa Lampung, mereka justru stres.
Untuk mempertahankan dan mengembangkan bahasa Lampung secara maksimal, mestinya ada perencanaan yang matang dan langkah-langkah konkret yang didukung oleh pemerintah daerah. Barangkali kita bisa mencontoh Jawa Barat. Untuk memfungsikan bahasa Sunda secara maksimal, pemerintah daerah setempat melakukan langkah-langkah konkret. Antara lain dengan menurunkan kebijakan di tataran makro dan mikro. Yaitu menerbitkan Perda tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah; Perda tentang Pemeliharaan Kesenian; serta Perda tentang Pengelolaan Kepurbakalaan, Kesejarahan, Nilai Tradisional dan Museum.
Tiga perda itu merupakan dasar kebijakan perencanaan bahasa yang menempatkan bahasa daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari strategi atau politik kebudayaan daerah. Di Jawa Barat juga dibentuk "Kalang Budaya Jawa Barat" yang berfungsi sebagai think tank pemerintah daerah dalam bidang kebudayaan. Lembaga ini beranggotakan para pakar kebudayaan yang pemikirannya diharapkan menjadi rujukan pemda dan masyarakat dalam pembuatan kebijakan tentang kebudayaan Sunda. Pengurus lembaga ini bertanggung moral untuk memberikan fatwa-fatwa kebudayaan, baik kepada pemerintah maupun masyarakat luas. Kerja lembaga ini mirip dengan Dewan Kota Semarang yang memberikan anjuran kepada wali kota untuk kepentingan pembangunan kota.
Di luar kebijakan itu, saya kira yang cukup mendesak diupayakan saat ini adalah lahirnya kearifan dari para tokoh adat dari jurai besar pemilik dialek api dan nyo untuk dialog dalam satu meja dan ruangan yang sama. Mereka perlu duduk bersama untuk menunjukkan kearifannya menyusun bahasa Lampung yang standard. Dialek api dan nyow tetap dibiarkan hidup, tetapi perlu ada standardisasi bahasa Lampung. Dengan demikian, anak-anak didik tidak pusing di sekolah saat belajar Bahasa Lampung. Orang di luar ulun Lampung pun diharapkan akan makin mudah belajar bahasa Lampung.
* Oyos Saroso H.N., Alumnus Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 24 Februari 2007
February 28, 2007
February 23, 2007
Pelestarian Bahasa Lampung Perlu Peran Pemerintah
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Diperlukan komitmen pemerintah daerah untuk membangkitkan kesadaran dan kepercayaan diri masyarakat Lampung guna melestarikan kembali bahasa Lampung.
Rektor Universitas Lampung Muhajir Utomo, mengatakan bahasa Lampung berbeda dengan bahasa Jawa, Minang atau bahasa Madura yang berkembang cepat dalam masyarakat mana pun. Kepercayaan diri masyarakat menggunakan bahasa daerahnya menjadi tameng utama untuk menghindari kepunahan bahasa ibunya.
"Kalau bahasa Jawa atau Minang tidak usah dimotivasi dari pemerintah sudah bisa berkembang dengan sendiri dalam masyarakat. Tetapi, kalau bahasa Lampung kan tidak. Bahasa Lampung membutuhkan komitmen dan kesungguhan pemerintah daerah untuk membangkitkan kembali bahasa daerahnya," kata Muhajir, Kamis (22-2).
Menurut dia, sekitar tahun 1999--2000 atas desakan DPRD Provinsi Lampung, Unila membuka rogram D-2 dan D-3 Bahasa dan Sastra Lampung, tetapi usaha pelestarian bahasa Lampung dalam bidang pendidikan itu tidak mendapat dukungan pemerintah kabupaten/kota. "Bahkan, Unila sudah mendirikan Pusat Penelitian Bahasa Lampung dan Pusat Studi Budaya Lampung, tetapi saat mengajukan kerja sama ke daerah-daerah, kami malah ditolak," kata dia.
Menurut Muhajir, Program Studi Bahasa Lampung itu bisa dibuka lagi apabila ada perjanjian hitam di atas putih bahwa pemerintah benar-benar mendukung pendidikan bahasa Lampung. "Kita lihat saja bagaimana komitmen pemerintah daerah. Katanya Pasar Seni Enggal malah ditutup, bagaimana ingin melestarikan budaya Lampung," kata dia.
Hal yang sama dijelaskan Pembantu Rektor Bidang Akademik, Tirza Hanum. Menurut dia, program studi D-2 dan D-3 Bahasa dan Sastra Lampung itu pernah dibuka pada tahun ajaran 1999--2000, tetapi ditutup pada tahun 2003--2004. "Padahal, mahasiswanya berjumlah 40 orang, tetapi pemerintah tidak menyediakan formasi bagi lulusan Bahasa Lampung, kasihan lulusannya kesulitan mencari pekerjaan," kata dia.
Menurut Tirza, pendirian Program Studi Bahasa Lampung merupakan desakan DPRD dalam rangka menjaga kelestarian bahasa dan budaya Lampung agar terhindar dari kepunahan. Selain komitmen dalam bidang pendidikan, pemerintah juga harus membangkitkan kesadaran masyarakat Lampung untuk membudayakan bahasa Lampung dalam kehidupan sehari-hari, baik di lembaga formal maupun nonformal.
Sementara itu, pemantauan Lampung Post, hampir sebagian besar SD, SMP, dan SMA di Lampung menjadikan bahasa Lampung sebagai mata pelajaran muatan lokal. Sayang, pelajaran Bahasa Lampung hanya diajarkan di atas kertas, bukan dalam bahasa sehari-hari di sekolah. Guru dan siswa lebih sering menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam pengantar mata pelajaran dan aktivitas di sekolah. n RIN/S-1
Sumber: Lampung Post, Jumat, 23 Februari 2007
Rektor Universitas Lampung Muhajir Utomo, mengatakan bahasa Lampung berbeda dengan bahasa Jawa, Minang atau bahasa Madura yang berkembang cepat dalam masyarakat mana pun. Kepercayaan diri masyarakat menggunakan bahasa daerahnya menjadi tameng utama untuk menghindari kepunahan bahasa ibunya.
"Kalau bahasa Jawa atau Minang tidak usah dimotivasi dari pemerintah sudah bisa berkembang dengan sendiri dalam masyarakat. Tetapi, kalau bahasa Lampung kan tidak. Bahasa Lampung membutuhkan komitmen dan kesungguhan pemerintah daerah untuk membangkitkan kembali bahasa daerahnya," kata Muhajir, Kamis (22-2).
Menurut dia, sekitar tahun 1999--2000 atas desakan DPRD Provinsi Lampung, Unila membuka rogram D-2 dan D-3 Bahasa dan Sastra Lampung, tetapi usaha pelestarian bahasa Lampung dalam bidang pendidikan itu tidak mendapat dukungan pemerintah kabupaten/kota. "Bahkan, Unila sudah mendirikan Pusat Penelitian Bahasa Lampung dan Pusat Studi Budaya Lampung, tetapi saat mengajukan kerja sama ke daerah-daerah, kami malah ditolak," kata dia.
Menurut Muhajir, Program Studi Bahasa Lampung itu bisa dibuka lagi apabila ada perjanjian hitam di atas putih bahwa pemerintah benar-benar mendukung pendidikan bahasa Lampung. "Kita lihat saja bagaimana komitmen pemerintah daerah. Katanya Pasar Seni Enggal malah ditutup, bagaimana ingin melestarikan budaya Lampung," kata dia.
Hal yang sama dijelaskan Pembantu Rektor Bidang Akademik, Tirza Hanum. Menurut dia, program studi D-2 dan D-3 Bahasa dan Sastra Lampung itu pernah dibuka pada tahun ajaran 1999--2000, tetapi ditutup pada tahun 2003--2004. "Padahal, mahasiswanya berjumlah 40 orang, tetapi pemerintah tidak menyediakan formasi bagi lulusan Bahasa Lampung, kasihan lulusannya kesulitan mencari pekerjaan," kata dia.
Menurut Tirza, pendirian Program Studi Bahasa Lampung merupakan desakan DPRD dalam rangka menjaga kelestarian bahasa dan budaya Lampung agar terhindar dari kepunahan. Selain komitmen dalam bidang pendidikan, pemerintah juga harus membangkitkan kesadaran masyarakat Lampung untuk membudayakan bahasa Lampung dalam kehidupan sehari-hari, baik di lembaga formal maupun nonformal.
Sementara itu, pemantauan Lampung Post, hampir sebagian besar SD, SMP, dan SMA di Lampung menjadikan bahasa Lampung sebagai mata pelajaran muatan lokal. Sayang, pelajaran Bahasa Lampung hanya diajarkan di atas kertas, bukan dalam bahasa sehari-hari di sekolah. Guru dan siswa lebih sering menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam pengantar mata pelajaran dan aktivitas di sekolah. n RIN/S-1
Sumber: Lampung Post, Jumat, 23 Februari 2007
February 22, 2007
Pelantikan DKL: Gedung Kesenian segera Dibangun
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Gubernur Lampung Sjahroedin Z.P. menjamin daerahnya segera memiliki gedung kesenian untuk sekretariat Dewan Kesenian Lampung (DKL) dan juga sebagai tempat pertunjukan seni.
Janji itu diucapkan Sjachroedin Z.P. saat memberikan sambutan pelantikan pengurus DKL periode tahun 2007--2010 di Balai Keratun, Rabu (21-2). Dia mengatakan gedung kesenian tersebut akan didirikan di areal PKOR Way Halim. "Gedung kesenian ini harus segera terwujud. Tapi ini bukan karena yang menjadi ketua umum DKL adalah kakak saya, tapi sejak kepemimpinan almarhum Herwan Achmad, saya sudah mendukung keberadaan gedung kesenian ini," kata Sjachroedin.
Gubernur mengatakan siap saja bila langsung direncanakan minggu depan akan dilakukan awal pembangunan gedung kesenian. "Minggu depan saja diminta untuk dibangun, saya siap saja. Tapi dana APBD-nya menyusul saja."
Sedangkan Ketua Umum DKL Syafariah Widianti mengatakan keberadaan gedung kesenian yang juga merupakan gedung sekretariat DKL memang sudah diimpikan sejak tahun 1993 saat DKL berdiri. "Mudah-mudahan pembangunannya bisa cepat terealisasikan. Apalagi maket gedungnya sudah dibuat sejak tahun 2002 lalu." n TYO/K-2
Sumber: Lampung Post, Kamis, 22 Februari 2007
Pengurus DKL Periode 2007-2010
Badan Pembina
Dra. Hj. Maysari Berty Moegni, Dr. Edy Irawan Arief, Claudius D. Maran, MZ. Simatupang, A.M. Zulqornain Ch.
Badan Pekerja Harian
Ketua Umum: Hj. Syafariah Widianti, S.H., M.H.
Ketua Harian: Syaiful Irba Tanpaka, S.Sos.
Sekretaris: Hari Jayaningrat, S.Sos.
Wakil Sekretaris: Ardi Umum, S.Ip.
Bendahara: Nur Tasya, S.Kom.
Ketua Bidang I (teater-Sastra): Isbedy Stiawan ZS
Ketua Bidang II (Tari, Tradisi, Film): Hermansyah G.A.
Ketua Bidang III (Senirupa-Musik): Dana E. Rachmat.
Litbang: Dr. Khaidarmansyah, Firdaus Muhammad, S.Ag., M.Ag, Iswadi Pratama, S.Sos., Neri J., A. Jusmar, S.Sn.
Komite Sastra: Ari Pahala Hutabarat, S.Pd. (ketua), Drs. Budi P. Hutasuhut, M. Arman AZ.
Komite Teater: A. Zilalin, S.E., (Ketua), A.Salam Nashrudin, S.Sn, Iin Muthmainah, S.P.,
Komite Tari: Dra. Djuwita Nouvrida (ketua), Wawan Dharmawan, S.Pd., Gandung Hartadi, S.Pd.
Komite Tradisi: Syapril Yamin (ketua), Sutan Purnama, Sudardi
Komite Film: Ibrahim (ketua), Firdaus Rusmil, Dede Sjafira Wijaya,
Komite Seni Rupa: Drs. Ch. Sapto Wibowo (ketua), David, Mulyadin,
Komite Musik: Entus Alrafi (ketua), Dra. Naning W., Agussalim.
Janji itu diucapkan Sjachroedin Z.P. saat memberikan sambutan pelantikan pengurus DKL periode tahun 2007--2010 di Balai Keratun, Rabu (21-2). Dia mengatakan gedung kesenian tersebut akan didirikan di areal PKOR Way Halim. "Gedung kesenian ini harus segera terwujud. Tapi ini bukan karena yang menjadi ketua umum DKL adalah kakak saya, tapi sejak kepemimpinan almarhum Herwan Achmad, saya sudah mendukung keberadaan gedung kesenian ini," kata Sjachroedin.
Gubernur mengatakan siap saja bila langsung direncanakan minggu depan akan dilakukan awal pembangunan gedung kesenian. "Minggu depan saja diminta untuk dibangun, saya siap saja. Tapi dana APBD-nya menyusul saja."
Sedangkan Ketua Umum DKL Syafariah Widianti mengatakan keberadaan gedung kesenian yang juga merupakan gedung sekretariat DKL memang sudah diimpikan sejak tahun 1993 saat DKL berdiri. "Mudah-mudahan pembangunannya bisa cepat terealisasikan. Apalagi maket gedungnya sudah dibuat sejak tahun 2002 lalu." n TYO/K-2
Sumber: Lampung Post, Kamis, 22 Februari 2007
Pengurus DKL Periode 2007-2010
Badan Pembina
Dra. Hj. Maysari Berty Moegni, Dr. Edy Irawan Arief, Claudius D. Maran, MZ. Simatupang, A.M. Zulqornain Ch.
Badan Pekerja Harian
Ketua Umum: Hj. Syafariah Widianti, S.H., M.H.
Ketua Harian: Syaiful Irba Tanpaka, S.Sos.
Sekretaris: Hari Jayaningrat, S.Sos.
Wakil Sekretaris: Ardi Umum, S.Ip.
Bendahara: Nur Tasya, S.Kom.
Ketua Bidang I (teater-Sastra): Isbedy Stiawan ZS
Ketua Bidang II (Tari, Tradisi, Film): Hermansyah G.A.
Ketua Bidang III (Senirupa-Musik): Dana E. Rachmat.
Litbang: Dr. Khaidarmansyah, Firdaus Muhammad, S.Ag., M.Ag, Iswadi Pratama, S.Sos., Neri J., A. Jusmar, S.Sn.
Komite Sastra: Ari Pahala Hutabarat, S.Pd. (ketua), Drs. Budi P. Hutasuhut, M. Arman AZ.
Komite Teater: A. Zilalin, S.E., (Ketua), A.Salam Nashrudin, S.Sn, Iin Muthmainah, S.P.,
Komite Tari: Dra. Djuwita Nouvrida (ketua), Wawan Dharmawan, S.Pd., Gandung Hartadi, S.Pd.
Komite Tradisi: Syapril Yamin (ketua), Sutan Purnama, Sudardi
Komite Film: Ibrahim (ketua), Firdaus Rusmil, Dede Sjafira Wijaya,
Komite Seni Rupa: Drs. Ch. Sapto Wibowo (ketua), David, Mulyadin,
Komite Musik: Entus Alrafi (ketua), Dra. Naning W., Agussalim.
February 21, 2007
Nasib Bahasa Lampung*
-- Udo Z. Karzi
Bahasa Lampung kian terpinggirkan! Ini pernyataan yang kesekian tentang betapa menyedihkan "nasib" bahasa Lampung. Kali ini datang dari Kepala Kantor Bahasa Lampung Agus Sri Danardana. Agus mengatakan, akibat tidak banyak penutur asli Lampung yang memakai bahasa Lampung dalam kegiatan sehari-hari, bahasa Lampung semakin terpinggirkan dalam kehidupan masyarakat Lampung. Penurunan jumlah penutur bahasa Lampung terjadi akibat model pengajaran bahasa daerah tersebut di sekolah-sekolah, dukungan pemerintah daerah kurang, dan kepercayaan diri masyarakat Lampung berbahasa Lampung rendah (Kompas, 25 Januari 2007).
Jauh sebelum ini, sebenarnya orang Lampung terperangah ketika pakar sosiolinguistik Universitas Indonesia Asim Gunarwan dalam sebuah seminar bahasa Lampung di Lampung (1999) mengatakan, bahasa Lampung akan punah dalam tiga-empat generasi lagi atau 75-100 tahun. Maka, banyak pihak di Lampung menjadi 'latah' ikut berkata bahasa Lampung akan hilang 75 tahun lagi. Dalam bahasa yang berbeda, pengamat sastra (berbahasa) Lampung A. Effendi Sanusi (2002) pun berteriak: Sastra lisan Lampung terancam punah! Terakhir, dalam berbagai kesempatan Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. juga menyinggung-nyinggung tentang ancaman kepunahan bahasa, sastra, seni, dan budaya Lampung.
Harus diakui, semenjak itu berbagai kegiatan yang "berbau" Lampung, baik bahasa, sastra, seni maupun budaya mulai marak. Selain pelajaran bahasa Lampung menjadi muatan lokal di sekolah-sekolah; diskusi, seminar, pentas seni, lomba sastra tradisi Lampung tak pernah sepi aktivitas. Ada juga Radio Republik Indonesia yang rajin hadir dalam sajian berita berbahasa Lampung, acara Manjau di Bingi, dan Ragom Budaya Lampung (RBL).
Tapi, realitas mengatakan bahasa Lampung tetap kalah karena gempuran bahasa Indonesia, bahasa daerah lain, dan bahkan bahasa Inggris. Seberapa besar pun usaha banyak pihak, nyatanya bahasa Lampung tetap menjadi bahasa yang marginal di rumahnya sendiri, Provinsi Lampung sendiri.
Apa penyebabnya, saya setuju dengan apa yang dikatakan Agus. Dan karena itu, tulisan ini hendak meneruskan diskusi nasib bahasa Lampung dari apa yang dikemukakannya.
Kondisi Bahasa Lampung
Soal ulun Lampung (orang beretnis Lampung) yang "malu" berbahasa Lampung sebenarnya sudah menjadi cerita lama sebagaimana dikisahkan Prof. Hilman Hadikusuma (alm), Rizani Puspawijaya, dan seterusnya. Meskipun berbeda, Lampung itu sebenarnya Melayu juga. Dan, ulun Lampung dari dulu lebih bangga berbahasa Melayu (Indonesia) ketimbang bahasanya sendiri, bahasa Lampung. Dari dulu, kalau berbicara dengan menggunakan bahasa Melayu akan merasa lebih terpelajar.
Kondisi ini masih ditambah dengan jumlah penutur bahasa Lampung di Lampung yang sedikit. Data Sensus Penduduk tahun 2000, misalnya menyebutkan hanya ada 792.312 jiwa suku Lampung (11,92%) dari 6.646.890 jiwa penduduk Provinsi Lampung
Komposisi Penduduk Lampung menurut Suku Bangsa Tahun 2000 adalah: Jawa 4.113.731 jiwa(61,88%); Lampung 792.312 jiwa (11,92%); Sunda, termasuk Banten 749.566 jiwa (11,27%); Semendo dan Palembang 36.292 jiwa (3,55%); Suku bangsa lain(Bengkulu, Batak, Bugis, Minang, dll) 754.989 jiwa(11,35%)
Berapakah jumlah ulun Lampung (penduduk bersuku Lampung) di Lampung saat ini? Tak ada data pasti. Soalnya, setelah sensus penduduk tahun 2000 tak lagi menanyakan suku atau etnis.
Kepala BPS Provinsi Lampung waktu itu, Nursinah Amal Urai, pernah mengatakan, Pendataan Penduduk dan Pencatatan Pemilih Berkelanjutan (P4B) tahun 2003 yang mencatat penduduk Lampung 6.900.000 jiwa; memang sengaja tidak ditanyakan mengenai suku bangsa karena pada pendataan sebelumnya (SP 2000) orang merasa kesulitan menentukan suku bangsanya disebabkan orang tuanya sudah melakukan perkawinan antarsuku bangsa.
Kalau kita asumsikan orang Lampung otomatis bisa berbahasa Lampung, dari sensus itu, tidak sampai 15%, yaitu 11,92% saja penduduk Lampung yang bertutur dalam bahasa Lampung. Tapi, kalau melihat banyak orang Lampung yang berbahasa Lampung lagi, angkanya di bawah itu.
Bagaimana kondisi saat ini? Saya kira lebih parah lagi. Mungkin di bawah 10% orang yang berbicara dalam bahasa Lampung.
Benar, ada kecenderungan masyarakat asli Lampung yang mau berbahasa Lampung semakin menurun. Namun, saya pikir, bukan -- salah satunya -- karena banyaknya variasi bahasa Lampung seperti yang diutarakan Agus. Masalah terpenting sebenarnya adalah, maukah para penutur berbahasa Lampung itu mempertahankan bahasa Lampung; tak peduli apakah dia menggunakan logat a (api) atau logat o (nyo). Saya mempunyai pengalaman, dengan interaksi yang intensif (terus-menerus) di antara para penutur bahasa Lampung itu, lama-lama di antara para penutur itu akan bisa saling berkomunikasi dan saling mengerti, meskipun di antara mereka menggunakan subdialek masing-masing.
"Keegoisan daerah" yang dimaksud dari setiap subdialek (logat) itu -- dalam pikiran saya -- tidak masalah karena itu bagian dari identitas dan kebanggaan setiap penutur bahasa Lampung. Kalau interaksi di antara para "penganut" subdialek itu berlangsung sinambung, lama-kelamaan akan lahir bahasa Lampung yang dapat pahami oleh semua penutur bahasa Lampung dari subdialek mana pun.
Tapi, masalah terbesar justru terletak pada keengganan berbahasa Lampung itu. Malu berbahasa Lampung, itu soalnya.
Pengajaran di Sekolah
Semua pihak yang peduli dengan bahasa Lampung memang patut sedikit bersyukur karena bahasa Lampung sudah lama masuk ke dalam kurikulum muatan lokal di sekolah dasar dan menengah pertama. Kita lantas berharap ada sedikit celah bagi "pelestarian" bahasa Lampung. Namun sayangnya, harapan itu jauh panggang dari api.
Dalam pengamatan Agus, rata-rata setiap guru pengajar bahasa Lampung hanya mengajarkan aksara Lampung tanpa percakapan Bahasa Lampung di sekolah. Hasilnya, murid-murid sekolah di Lampung banyak yang bisa menulis dalam aksara Lampung, tetapi tidak mampu bercakap dalam bahasa Lampung.
Dalam kerangka yang lebih besar, saya melihat seharusnya mengajarkan bahasa seharusnya bukan sekadar mengajarkan bahasa, melainkan seharusnya siswa diajak belajar berbahasa. Belajar bahasa berbeda belajar berbahasa. Kalau belajar bahasa berkaitan dengan pengetahuan kehahasaan, maka belajar berbahasa berarti langsung mempraktekkan bahasa yang dipelajari dalam kehidupan sehari-hari, minimal saat sedang berlangsung proses belajar-mengajar. Kemampuan berbahasa itu meliputi mendengar, berbicara, membaca dan menulis.
Dalam kaitan ini patut juga kita perhatikan penelitian Wiwik Dyah Aryani dalam tesisnya berjudul: "Pengajaran Bahasa Lampung sebagai muatan lokal di wilayah transmigrasi Kabupaten Lampung Tengah" (1999) yang mengatakan, pengajaran bahasa Lampung sebagai muatan lokal di wilayah transmigrasi Kabupaten Lampung Tengah tidak dapat dilaksanakan secara optimal, karena apa yang diajarkan di sekolah tidak ditunjang lingkungan dan belum didayagunakannya lingkungan sebagai sumber belajar-mengajar bahasa Lampung sebagai muatan lokal.
Bahasa komunikasi yang digunakan dalam lingkungan pembelajar adalah bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, sehingga para pembelajar tidak pernah menerapkan apa-apa yang diterima di sekolah dalam kehidupannya. Dengan demikian, mereka belajar bahasa Lampung hanya melalui pengajaran, tidak melalui pemerolehan (acquisition). Indikator-indikator lain yang menunjukkan pengajaran bahasa Lampung sebagai muatan lokal belum dilaksanakan secara optimal, dapat dilihat dari tujuannya yang masih didominasi oleh aspek pengetahuan dan keterampilan, belum banyak hal-hal yang menyentuh sikap atau perubahan sikap pembelajar, dan penilaian yang masih didasarkan hanya pada hasil belajar.
Namun agak aneh juga ketika Wiwik mengatakan, para guru telah berusaha secara optimal untuk melaksanakan pengajaran bahasa Lampung sebagai muatan lokal sesuai dengan petunjuk dan pedoman dalam GBPP, serta telah berusaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan berbagai kemampuan yang dimilikinya, tetapi karena keterbatasan waktu, keterbatasan biaya dan fasilitas, serta kurangnya partisipasi masyarakat, maka apa yang dilakukannya belum menghasilkan sesuatu yang maksimal bagi pengajaran bahasa Lampung sebagai muatan lokal.
Dan yang paling menggemaskan, Wiwik dalam rekomendasasinya meminta agar pengajaran bahasa Lampung di daerah transmigrasi (tentu saja di Lampung) harus ditinjau lagi. Dengan kata lain, sebaiknya yang diajarkan di daerah transmigrasi itu adalah bahasa asli peserta didik (bahasa Jawa).
Jelas, ini bukan rekomendasi yang bagus untuk sebuah usaha menjaga agar bahasa Lampung tidak punah. Kalau di Lampung muatan lokalnya malah diisi dengan pelajaran bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Bali, dan sebagainya, dapat dibayangkan, tekanan yang akan dialami bahasa Lampung yang jumlah penuturnya saja hanya sekitar 15% di Lampung sendiri.
Agaknya, berbagai pihak yang berkompeten (Dinas Pendidikan Lampung, akademisi perguruan tinggi, guru bahasa Lampung, serta para peminat dan pemerhati yang peduli bahasa Lampung) perlu merumuskan lagi bagaimana metode (strategi) pengajaran bahasa Lampung itu, selain membenahi kurikulum pengajaran bahasa Lampung.
Memberdayakan Bahasa Lampung
Pada akhirnya, saya bersepakat dengan pihak yang masih peduli dengan bahasa (juga sastra dan budaya) Lampung untuk secara bersama-sama menjaga, melestarikan, dan memberdayakan bahasa Lampung. Bahasa menunjukkan bangsa, kata pepatah. Ya, bahasa Lampung sebagai unsur yang paling dominan dalam pembentukan kebudayaan Lampung, sudah semestinya kita kita pertahankan dari ancaman kepunahan.
Barangkali, ada banyak orang yang berpikir, untuk apa memelihara bahasa Lampung yang nyata-nyata tidak mampu menjawab kebutuhan orang dalam dunia yang semakin modern, semakin global. Tapi, kalau kita biarkan bahasa Lampung punah, saya kira Lampung sebagai sebuha masyarakat (society) dan kebudayaan (culture) juga akan "mati". Kalau itu yang terjadi, siapakah yang berbahagia?
* Esai ini dimuat di Lampung Post, Rabu, 21 Februari 2007 dengan judul "Kemaluan Berbahasa Lampung". Ini versi asli yang saya kirim.
Bahasa Lampung kian terpinggirkan! Ini pernyataan yang kesekian tentang betapa menyedihkan "nasib" bahasa Lampung. Kali ini datang dari Kepala Kantor Bahasa Lampung Agus Sri Danardana. Agus mengatakan, akibat tidak banyak penutur asli Lampung yang memakai bahasa Lampung dalam kegiatan sehari-hari, bahasa Lampung semakin terpinggirkan dalam kehidupan masyarakat Lampung. Penurunan jumlah penutur bahasa Lampung terjadi akibat model pengajaran bahasa daerah tersebut di sekolah-sekolah, dukungan pemerintah daerah kurang, dan kepercayaan diri masyarakat Lampung berbahasa Lampung rendah (Kompas, 25 Januari 2007).
Jauh sebelum ini, sebenarnya orang Lampung terperangah ketika pakar sosiolinguistik Universitas Indonesia Asim Gunarwan dalam sebuah seminar bahasa Lampung di Lampung (1999) mengatakan, bahasa Lampung akan punah dalam tiga-empat generasi lagi atau 75-100 tahun. Maka, banyak pihak di Lampung menjadi 'latah' ikut berkata bahasa Lampung akan hilang 75 tahun lagi. Dalam bahasa yang berbeda, pengamat sastra (berbahasa) Lampung A. Effendi Sanusi (2002) pun berteriak: Sastra lisan Lampung terancam punah! Terakhir, dalam berbagai kesempatan Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. juga menyinggung-nyinggung tentang ancaman kepunahan bahasa, sastra, seni, dan budaya Lampung.
Harus diakui, semenjak itu berbagai kegiatan yang "berbau" Lampung, baik bahasa, sastra, seni maupun budaya mulai marak. Selain pelajaran bahasa Lampung menjadi muatan lokal di sekolah-sekolah; diskusi, seminar, pentas seni, lomba sastra tradisi Lampung tak pernah sepi aktivitas. Ada juga Radio Republik Indonesia yang rajin hadir dalam sajian berita berbahasa Lampung, acara Manjau di Bingi, dan Ragom Budaya Lampung (RBL).
Tapi, realitas mengatakan bahasa Lampung tetap kalah karena gempuran bahasa Indonesia, bahasa daerah lain, dan bahkan bahasa Inggris. Seberapa besar pun usaha banyak pihak, nyatanya bahasa Lampung tetap menjadi bahasa yang marginal di rumahnya sendiri, Provinsi Lampung sendiri.
Apa penyebabnya, saya setuju dengan apa yang dikatakan Agus. Dan karena itu, tulisan ini hendak meneruskan diskusi nasib bahasa Lampung dari apa yang dikemukakannya.
Kondisi Bahasa Lampung
Soal ulun Lampung (orang beretnis Lampung) yang "malu" berbahasa Lampung sebenarnya sudah menjadi cerita lama sebagaimana dikisahkan Prof. Hilman Hadikusuma (alm), Rizani Puspawijaya, dan seterusnya. Meskipun berbeda, Lampung itu sebenarnya Melayu juga. Dan, ulun Lampung dari dulu lebih bangga berbahasa Melayu (Indonesia) ketimbang bahasanya sendiri, bahasa Lampung. Dari dulu, kalau berbicara dengan menggunakan bahasa Melayu akan merasa lebih terpelajar.
Kondisi ini masih ditambah dengan jumlah penutur bahasa Lampung di Lampung yang sedikit. Data Sensus Penduduk tahun 2000, misalnya menyebutkan hanya ada 792.312 jiwa suku Lampung (11,92%) dari 6.646.890 jiwa penduduk Provinsi Lampung
Komposisi Penduduk Lampung menurut Suku Bangsa Tahun 2000 adalah: Jawa 4.113.731 jiwa(61,88%); Lampung 792.312 jiwa (11,92%); Sunda, termasuk Banten 749.566 jiwa (11,27%); Semendo dan Palembang 36.292 jiwa (3,55%); Suku bangsa lain(Bengkulu, Batak, Bugis, Minang, dll) 754.989 jiwa(11,35%)
Berapakah jumlah ulun Lampung (penduduk bersuku Lampung) di Lampung saat ini? Tak ada data pasti. Soalnya, setelah sensus penduduk tahun 2000 tak lagi menanyakan suku atau etnis.
Kepala BPS Provinsi Lampung waktu itu, Nursinah Amal Urai, pernah mengatakan, Pendataan Penduduk dan Pencatatan Pemilih Berkelanjutan (P4B) tahun 2003 yang mencatat penduduk Lampung 6.900.000 jiwa; memang sengaja tidak ditanyakan mengenai suku bangsa karena pada pendataan sebelumnya (SP 2000) orang merasa kesulitan menentukan suku bangsanya disebabkan orang tuanya sudah melakukan perkawinan antarsuku bangsa.
Kalau kita asumsikan orang Lampung otomatis bisa berbahasa Lampung, dari sensus itu, tidak sampai 15%, yaitu 11,92% saja penduduk Lampung yang bertutur dalam bahasa Lampung. Tapi, kalau melihat banyak orang Lampung yang berbahasa Lampung lagi, angkanya di bawah itu.
Bagaimana kondisi saat ini? Saya kira lebih parah lagi. Mungkin di bawah 10% orang yang berbicara dalam bahasa Lampung.
Benar, ada kecenderungan masyarakat asli Lampung yang mau berbahasa Lampung semakin menurun. Namun, saya pikir, bukan -- salah satunya -- karena banyaknya variasi bahasa Lampung seperti yang diutarakan Agus. Masalah terpenting sebenarnya adalah, maukah para penutur berbahasa Lampung itu mempertahankan bahasa Lampung; tak peduli apakah dia menggunakan logat a (api) atau logat o (nyo). Saya mempunyai pengalaman, dengan interaksi yang intensif (terus-menerus) di antara para penutur bahasa Lampung itu, lama-lama di antara para penutur itu akan bisa saling berkomunikasi dan saling mengerti, meskipun di antara mereka menggunakan subdialek masing-masing.
"Keegoisan daerah" yang dimaksud dari setiap subdialek (logat) itu -- dalam pikiran saya -- tidak masalah karena itu bagian dari identitas dan kebanggaan setiap penutur bahasa Lampung. Kalau interaksi di antara para "penganut" subdialek itu berlangsung sinambung, lama-kelamaan akan lahir bahasa Lampung yang dapat pahami oleh semua penutur bahasa Lampung dari subdialek mana pun.
Tapi, masalah terbesar justru terletak pada keengganan berbahasa Lampung itu. Malu berbahasa Lampung, itu soalnya.
Pengajaran di Sekolah
Semua pihak yang peduli dengan bahasa Lampung memang patut sedikit bersyukur karena bahasa Lampung sudah lama masuk ke dalam kurikulum muatan lokal di sekolah dasar dan menengah pertama. Kita lantas berharap ada sedikit celah bagi "pelestarian" bahasa Lampung. Namun sayangnya, harapan itu jauh panggang dari api.
Dalam pengamatan Agus, rata-rata setiap guru pengajar bahasa Lampung hanya mengajarkan aksara Lampung tanpa percakapan Bahasa Lampung di sekolah. Hasilnya, murid-murid sekolah di Lampung banyak yang bisa menulis dalam aksara Lampung, tetapi tidak mampu bercakap dalam bahasa Lampung.
Dalam kerangka yang lebih besar, saya melihat seharusnya mengajarkan bahasa seharusnya bukan sekadar mengajarkan bahasa, melainkan seharusnya siswa diajak belajar berbahasa. Belajar bahasa berbeda belajar berbahasa. Kalau belajar bahasa berkaitan dengan pengetahuan kehahasaan, maka belajar berbahasa berarti langsung mempraktekkan bahasa yang dipelajari dalam kehidupan sehari-hari, minimal saat sedang berlangsung proses belajar-mengajar. Kemampuan berbahasa itu meliputi mendengar, berbicara, membaca dan menulis.
Dalam kaitan ini patut juga kita perhatikan penelitian Wiwik Dyah Aryani dalam tesisnya berjudul: "Pengajaran Bahasa Lampung sebagai muatan lokal di wilayah transmigrasi Kabupaten Lampung Tengah" (1999) yang mengatakan, pengajaran bahasa Lampung sebagai muatan lokal di wilayah transmigrasi Kabupaten Lampung Tengah tidak dapat dilaksanakan secara optimal, karena apa yang diajarkan di sekolah tidak ditunjang lingkungan dan belum didayagunakannya lingkungan sebagai sumber belajar-mengajar bahasa Lampung sebagai muatan lokal.
Bahasa komunikasi yang digunakan dalam lingkungan pembelajar adalah bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, sehingga para pembelajar tidak pernah menerapkan apa-apa yang diterima di sekolah dalam kehidupannya. Dengan demikian, mereka belajar bahasa Lampung hanya melalui pengajaran, tidak melalui pemerolehan (acquisition). Indikator-indikator lain yang menunjukkan pengajaran bahasa Lampung sebagai muatan lokal belum dilaksanakan secara optimal, dapat dilihat dari tujuannya yang masih didominasi oleh aspek pengetahuan dan keterampilan, belum banyak hal-hal yang menyentuh sikap atau perubahan sikap pembelajar, dan penilaian yang masih didasarkan hanya pada hasil belajar.
Namun agak aneh juga ketika Wiwik mengatakan, para guru telah berusaha secara optimal untuk melaksanakan pengajaran bahasa Lampung sebagai muatan lokal sesuai dengan petunjuk dan pedoman dalam GBPP, serta telah berusaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan berbagai kemampuan yang dimilikinya, tetapi karena keterbatasan waktu, keterbatasan biaya dan fasilitas, serta kurangnya partisipasi masyarakat, maka apa yang dilakukannya belum menghasilkan sesuatu yang maksimal bagi pengajaran bahasa Lampung sebagai muatan lokal.
Dan yang paling menggemaskan, Wiwik dalam rekomendasasinya meminta agar pengajaran bahasa Lampung di daerah transmigrasi (tentu saja di Lampung) harus ditinjau lagi. Dengan kata lain, sebaiknya yang diajarkan di daerah transmigrasi itu adalah bahasa asli peserta didik (bahasa Jawa).
Jelas, ini bukan rekomendasi yang bagus untuk sebuah usaha menjaga agar bahasa Lampung tidak punah. Kalau di Lampung muatan lokalnya malah diisi dengan pelajaran bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Bali, dan sebagainya, dapat dibayangkan, tekanan yang akan dialami bahasa Lampung yang jumlah penuturnya saja hanya sekitar 15% di Lampung sendiri.
Agaknya, berbagai pihak yang berkompeten (Dinas Pendidikan Lampung, akademisi perguruan tinggi, guru bahasa Lampung, serta para peminat dan pemerhati yang peduli bahasa Lampung) perlu merumuskan lagi bagaimana metode (strategi) pengajaran bahasa Lampung itu, selain membenahi kurikulum pengajaran bahasa Lampung.
Memberdayakan Bahasa Lampung
Pada akhirnya, saya bersepakat dengan pihak yang masih peduli dengan bahasa (juga sastra dan budaya) Lampung untuk secara bersama-sama menjaga, melestarikan, dan memberdayakan bahasa Lampung. Bahasa menunjukkan bangsa, kata pepatah. Ya, bahasa Lampung sebagai unsur yang paling dominan dalam pembentukan kebudayaan Lampung, sudah semestinya kita kita pertahankan dari ancaman kepunahan.
Barangkali, ada banyak orang yang berpikir, untuk apa memelihara bahasa Lampung yang nyata-nyata tidak mampu menjawab kebutuhan orang dalam dunia yang semakin modern, semakin global. Tapi, kalau kita biarkan bahasa Lampung punah, saya kira Lampung sebagai sebuha masyarakat (society) dan kebudayaan (culture) juga akan "mati". Kalau itu yang terjadi, siapakah yang berbahagia?
* Esai ini dimuat di Lampung Post, Rabu, 21 Februari 2007 dengan judul "Kemaluan Berbahasa Lampung". Ini versi asli yang saya kirim.
February 18, 2007
Sketsa Penyair Lampung
-- Iswadi Pratama*
MULANYA panitia "Festival Mei 2006" meminta saya untuk menuliskan peta kepenyairan Lampung. Namun, tidak setiap jengkal ranah sastra yang terbentang di Lampung sejak era Isbedy Stiawan Z.S. hingga generasi yang muncul belakangan saya pahami. Kesulitan itu semakin besar disebabkan fakta bahwa sebagian besar penyair di Lampung tidak selalu dapat dilacak karyanya melalui media massa atau antologi puisi yang pernah diterbitkan. Namun jelas, para penyair yang memilih untuk "menyimpan" karyanya itu akan mendamprat saya jika mereka tidak terpetakan hanya karena alasan-alasan yang bersifat publisitas. Buktinya, dalam beberapa kali Dewan Kesenian Lampung menerbitkan antologi puisi banyak sekali penyair yang terpaksa tidak dapat disertakan lantaran "tak terlacak" --padahal jumlah penyair yang karyanya ikut dibukukan sudah cukup banyak.
Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Nirwan Dewanto pernah menyebut Lampung sebagai "negeri penyair" --tapi masih dalam harapan menjadi "negeri puisi".
"Perkembangbiakan penyair yang cukup subur ini barangkali ada kaitannya dengan kondisi geografis Lampung, khususnya Bandar Lampung yang berbukit-bukit dan dekat dengan laut. Daerah seperti ini memang cocok untuk para penyair." Demikian ujar Binhad Nurrohmat, salah seorang penyair kelahiran Lampung yang kini menetap di Jakarta. Saya kira, Binhad memang sedang bergurau ketika mengutarakan hal itu. Sebab, itu bukanlah sebuah pernyataan "ilmiah" yang berdasarkan pada data-data atau semacam riset tentang "Pengaruh Kondisi Geografis terhadap Kesuburan Penyair Lampung". Namun, sebagaimana umumnya para penyair yang senang bermetafor --bahkan dalam obrolan sehari-hari-- pernyataan Binhad itu bisa saja ditafsirkan bahwa di sebuah daerah yang masyarakatnya telah berkembang menjadi "semacam" masyarakat modern namun kedekatan dengan alam masih kuat, menjadi penyair adalah sebuah cara memosisikan diri yang paling romantis (memikat). "Itulah sebabnya di Lampung banyak penyair liris dan bersemangat romantis," ujar Binhad seraya menunjuk saya sebagai salah satu di antaranya. "Untuk sampai ke rumahmu saja, kita harus melewati kota dengan jalanan yang meliuk-liuk, lembah, gunung, dan pepohonan, ini adalah lirisme secara geografis. Beda dengan saya yang tinggal di Jakarta atau teman-teman penyair lain yang hidup di kota-kota metropolitan lainnya di Indonesia. Sukar bagi saya menulis angin, sungai, gerimis, hujan, pohon, sepi, hening. Itu juga yang menyebabkan karya saya dan sebagian penyair lain yang tinggal di kota-kota besar punya ekspresi yang lebih keras!"
Saya tahu Binhad tidak bermaksud melakukan generalisasi. Saya kira ini hanyalah usahanya untuk memahami sebuah keadaan: Lampung banyak penyair dan banyak karya dari sebagian besar mereka bersemangat romantis dan liris. Binhad berhak mempertahankan argumentasinya dengan cara pandang seperti itu. Namun, ada beberapa fakta yang berkaitan dengan jumlah penyair Lampung yang lumayan banyak itu.
Era ’80-an
Periode tahun ’80-an yang saya gunakan di sini hanyalah untuk menandai kemunculan para penyair Lampung yang pada periode itu karya-karyanya telah dikenal secara luas dalam ranah sastra Indonesia. Generasi ini ditandai dengan beberapa penyair seangkatan yakni Isbedy Stiawan Z.S., Iwan Nurdaya Djafar, Sugandhi Putra --ketiganya pernah diundang Dewan Kesenian Jakarta dalam Forum Penyair Lampung 1987.
Selain ketiga penyair, masih ada nama-nama seperti Achmad Rich, Dadang Ruhiyat, Hendra Z., dan Juhardi Basri. Achmad Rich (sekarang telah wafat), Dadang Ruhiyat, Hendra Z., Juhardi Basri, Sugandhi Putra, dan Iwan Nurdaya Djafar nyaris tak memublikasikan karyanya lagi. Namun, keenam penyair ini selalu dapat menunjukkan puisi baru mereka dalam setiap acara sastra di mana mereka terlibat.
Yang perlu dicatat --khususnya pada Iwan Nurdaya Djafar-- meski tak rajin lagi menulis dan memublikasikan puisi, ia justru kian produktif menerjemahkan karya Khalil Gibran, Omar Khayam, Rumi, Tagore, Goethe, Octavio Paz, Ogi Muri, dan lain-lain.
Satu-satunya penyair Lampung generasi ’80-an yang hingga kini terus berkarya, baik puisi maupun prosa, adalah Isbedy Stiawan Z.S. Untuk konteks sastrawan Indonesia generasi ’80-an, Isbedy adalah salah seorang yang paling produktif. Para penyair Lampung yang menyusul barisan Isbedy Stiawan Z.S. dkk. di antaranya Syaiful Irba Tanpaka, Sutarman Sutar, dan Christian Heru Dwi Cahyo.
Era ’90-an
Memasuki era ’90-an, dunia sastra di Lampung kian diramaikan dengan kehadiran nama-nama Ahmad Yulden Erwin, Panji Utama, Muhtar Ali, Pondi Al-Kindy, Eva Lismiarni, Budi P. Hutasuhut (P. Hatees), Dahta Gautama, Iswadi Pratama, dan belakangan Oyos Saroso H.N., yang hijrah dari Jakarta dan hingga kini menetap di Lampung. Sebenarnya, pada era ini, masih cukup banyak penyair Lampung yang juga berkiprah. Namun maaf, tidak seluruhnya bisa saya ingat dengan baik.
Salah satu "dentuman besar" yang menandai maraknya jumlah penyair Lampung di era ’90-an adalah diterbitkannya antologi puisi Memetik Puisi dari Udara oleh Radio Suara Bhakti (Rashuba), sebuah radio kawula muda setiap minggu menyelenggarakan acara pembacaan puisi on air dan diskusi sastra. Ini adalah acara yang diasuh oleh Ari S. Mukhtar, salah seorang alumnus Teater Sae angkatan Budi Otong. Melalui acara ini, sastra khususnya puisi bahkan sempat menjadi tren di kalangan remaja di Bandar Lampung.
Dari penyair era ’90-an ini lahir pula beberapa antologi puisi, di antaranya Tap (manuskrip puisi Ahmad Yulden Erwin dan Panji Utama, 1992), Pasar Kabut (antologi puisi Panji Utama, 1994/1995), Kibaran Bendera (antologi puisi Panji Utama, 1997), dan Meditasi Sebatang Rokok (manuskrip puisi Ahmad Yulden Erwin, 1996/1998).
Meski Ahmad Yulden Erwin dan Panji Utama, dua penyair yang paling menonjol di ujung era ’90-an (1988-1989) ini tidak rajin lagi memublikasikan karyanya, keduanya masih menulis.
Era 2000
Menapaki era 2000-an (sejak 1994/1995) ranah sastra Lampung diramaikan dengan kemunculan penyair dan cerpenis yang sebagian besar memiliki basis aktivitas kesenian di perguruan tinggi. Di antaranya Rivian A. Chepy, Ari Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga, Budi Lpg, Lex Robert, Kuswinarto (cerpenis), dan Dyah Indra Mertawirana (cerpenis). Di luar kampus, muncul nama-nama Arman A.Z., (cerpenis) Dina Octaviani, Nersalya Renatha, Imas Sobariah, Robby Akbar, dan Hendri Rosevelt.
Dari gerbong era 2000 ini, kita lalu mengenal nama-nama yang hingga kini karyanya sering muncul di banyak media massa, di antaranya Ari Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga, Dina Octaviani (menikah dengan Gunawan Maryanto dan kini menetap di Yogya), Dyah Indra Mertawirana (cerpen). Sesekali, muncul karya Nersalya Renatha, Alex Robert, dan Hendri Rosevelt di koran atau media massa lainnya. Di luar ini, sebagian terus berjuang untuk bisa "hadir" lebih luas melalui media massa.
Dari tradisi sastra yang tercipta di kampus, khususnya Universitas Lampung, telah terbit antologi puisi yang memuat karya-karya penyair yang notabene masih menjadi mahasiswa. Di antaranya Daun-Daun Jatuh, Tunas-Tunas Tumbuh (Teknokra, 1995) dan Menikam Senja Membidik Cakrawala (Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni Universitas Lampung, 1997/1998).
Epilog
Sketsa pertumbuhan penyair di Lampung tersebut tentu tidak serta-merta merepresentasikan regenerasi penyair Lampung secara utuh. Semua sekadar fragmen-fragmen yang berupaya menangkap fase-fase paling penting. Meskipun di sana sini tetap tak bisa lengkap. Namun, saya sedang menyodorkan sebuah data mengenai kepenyairan di Lampung yang mudah-mudahan dapat memperkaya pandangan akan kepenyairan di Lampung.
Salah satu faktor yang telah menjadikan Lampung memiliki begitu banyak penyair dan sebenarnya juga cerpenis adalah karena di hampir dalam setiap generasi selalu ada penyair atau cerpenis yang juga memiliki basis kreativitas di komunitas-komunitas seni.
Melalui mereka inilah, menulis puisi atau cerpen jadi semacam "penyakit menular" di banyak komunitas seni di Lampung. Tak terkecuali sanggar-sanggar seni yang ada di sekolah-sekolah. Juga, tak mengabaikan peran media massa seperti yang pernah dilakukan "Radio Suara Bhakti" di era ’80-an, Lampung Post dengan "Redaksi Siswa"-nya yang hingga kini masih dipertahankan. Kini ada pula radio swasta "Mandala FM" yang gemar melaksanakan bincang seni dan sastra, atau radio komunitas yang dikelola KNPI khusus untuk meladeni hasrat besar para pelajar di Bandar Lampung untuk berekspresi-kreatif soal apa saja termasuk sastra.
Pertanyaannya, setelah "dinobatkan" sebagai "Negeri Penyair", layakkah Lampung selanjutnya menjadi "Negeri Puisi"? Saya kira akan ada banyak takaran, parameter, pendapat, dan penilaian yang bisa diajukan dan kita diskusikan bersama.***
* Iswadi Pratama, penyair, peserta "Festival Mei 2006"
Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 20 Mei 2006
MULANYA panitia "Festival Mei 2006" meminta saya untuk menuliskan peta kepenyairan Lampung. Namun, tidak setiap jengkal ranah sastra yang terbentang di Lampung sejak era Isbedy Stiawan Z.S. hingga generasi yang muncul belakangan saya pahami. Kesulitan itu semakin besar disebabkan fakta bahwa sebagian besar penyair di Lampung tidak selalu dapat dilacak karyanya melalui media massa atau antologi puisi yang pernah diterbitkan. Namun jelas, para penyair yang memilih untuk "menyimpan" karyanya itu akan mendamprat saya jika mereka tidak terpetakan hanya karena alasan-alasan yang bersifat publisitas. Buktinya, dalam beberapa kali Dewan Kesenian Lampung menerbitkan antologi puisi banyak sekali penyair yang terpaksa tidak dapat disertakan lantaran "tak terlacak" --padahal jumlah penyair yang karyanya ikut dibukukan sudah cukup banyak.
Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Nirwan Dewanto pernah menyebut Lampung sebagai "negeri penyair" --tapi masih dalam harapan menjadi "negeri puisi".
"Perkembangbiakan penyair yang cukup subur ini barangkali ada kaitannya dengan kondisi geografis Lampung, khususnya Bandar Lampung yang berbukit-bukit dan dekat dengan laut. Daerah seperti ini memang cocok untuk para penyair." Demikian ujar Binhad Nurrohmat, salah seorang penyair kelahiran Lampung yang kini menetap di Jakarta. Saya kira, Binhad memang sedang bergurau ketika mengutarakan hal itu. Sebab, itu bukanlah sebuah pernyataan "ilmiah" yang berdasarkan pada data-data atau semacam riset tentang "Pengaruh Kondisi Geografis terhadap Kesuburan Penyair Lampung". Namun, sebagaimana umumnya para penyair yang senang bermetafor --bahkan dalam obrolan sehari-hari-- pernyataan Binhad itu bisa saja ditafsirkan bahwa di sebuah daerah yang masyarakatnya telah berkembang menjadi "semacam" masyarakat modern namun kedekatan dengan alam masih kuat, menjadi penyair adalah sebuah cara memosisikan diri yang paling romantis (memikat). "Itulah sebabnya di Lampung banyak penyair liris dan bersemangat romantis," ujar Binhad seraya menunjuk saya sebagai salah satu di antaranya. "Untuk sampai ke rumahmu saja, kita harus melewati kota dengan jalanan yang meliuk-liuk, lembah, gunung, dan pepohonan, ini adalah lirisme secara geografis. Beda dengan saya yang tinggal di Jakarta atau teman-teman penyair lain yang hidup di kota-kota metropolitan lainnya di Indonesia. Sukar bagi saya menulis angin, sungai, gerimis, hujan, pohon, sepi, hening. Itu juga yang menyebabkan karya saya dan sebagian penyair lain yang tinggal di kota-kota besar punya ekspresi yang lebih keras!"
Saya tahu Binhad tidak bermaksud melakukan generalisasi. Saya kira ini hanyalah usahanya untuk memahami sebuah keadaan: Lampung banyak penyair dan banyak karya dari sebagian besar mereka bersemangat romantis dan liris. Binhad berhak mempertahankan argumentasinya dengan cara pandang seperti itu. Namun, ada beberapa fakta yang berkaitan dengan jumlah penyair Lampung yang lumayan banyak itu.
Era ’80-an
Periode tahun ’80-an yang saya gunakan di sini hanyalah untuk menandai kemunculan para penyair Lampung yang pada periode itu karya-karyanya telah dikenal secara luas dalam ranah sastra Indonesia. Generasi ini ditandai dengan beberapa penyair seangkatan yakni Isbedy Stiawan Z.S., Iwan Nurdaya Djafar, Sugandhi Putra --ketiganya pernah diundang Dewan Kesenian Jakarta dalam Forum Penyair Lampung 1987.
Selain ketiga penyair, masih ada nama-nama seperti Achmad Rich, Dadang Ruhiyat, Hendra Z., dan Juhardi Basri. Achmad Rich (sekarang telah wafat), Dadang Ruhiyat, Hendra Z., Juhardi Basri, Sugandhi Putra, dan Iwan Nurdaya Djafar nyaris tak memublikasikan karyanya lagi. Namun, keenam penyair ini selalu dapat menunjukkan puisi baru mereka dalam setiap acara sastra di mana mereka terlibat.
Yang perlu dicatat --khususnya pada Iwan Nurdaya Djafar-- meski tak rajin lagi menulis dan memublikasikan puisi, ia justru kian produktif menerjemahkan karya Khalil Gibran, Omar Khayam, Rumi, Tagore, Goethe, Octavio Paz, Ogi Muri, dan lain-lain.
Satu-satunya penyair Lampung generasi ’80-an yang hingga kini terus berkarya, baik puisi maupun prosa, adalah Isbedy Stiawan Z.S. Untuk konteks sastrawan Indonesia generasi ’80-an, Isbedy adalah salah seorang yang paling produktif. Para penyair Lampung yang menyusul barisan Isbedy Stiawan Z.S. dkk. di antaranya Syaiful Irba Tanpaka, Sutarman Sutar, dan Christian Heru Dwi Cahyo.
Era ’90-an
Memasuki era ’90-an, dunia sastra di Lampung kian diramaikan dengan kehadiran nama-nama Ahmad Yulden Erwin, Panji Utama, Muhtar Ali, Pondi Al-Kindy, Eva Lismiarni, Budi P. Hutasuhut (P. Hatees), Dahta Gautama, Iswadi Pratama, dan belakangan Oyos Saroso H.N., yang hijrah dari Jakarta dan hingga kini menetap di Lampung. Sebenarnya, pada era ini, masih cukup banyak penyair Lampung yang juga berkiprah. Namun maaf, tidak seluruhnya bisa saya ingat dengan baik.
Salah satu "dentuman besar" yang menandai maraknya jumlah penyair Lampung di era ’90-an adalah diterbitkannya antologi puisi Memetik Puisi dari Udara oleh Radio Suara Bhakti (Rashuba), sebuah radio kawula muda setiap minggu menyelenggarakan acara pembacaan puisi on air dan diskusi sastra. Ini adalah acara yang diasuh oleh Ari S. Mukhtar, salah seorang alumnus Teater Sae angkatan Budi Otong. Melalui acara ini, sastra khususnya puisi bahkan sempat menjadi tren di kalangan remaja di Bandar Lampung.
Dari penyair era ’90-an ini lahir pula beberapa antologi puisi, di antaranya Tap (manuskrip puisi Ahmad Yulden Erwin dan Panji Utama, 1992), Pasar Kabut (antologi puisi Panji Utama, 1994/1995), Kibaran Bendera (antologi puisi Panji Utama, 1997), dan Meditasi Sebatang Rokok (manuskrip puisi Ahmad Yulden Erwin, 1996/1998).
Meski Ahmad Yulden Erwin dan Panji Utama, dua penyair yang paling menonjol di ujung era ’90-an (1988-1989) ini tidak rajin lagi memublikasikan karyanya, keduanya masih menulis.
Era 2000
Menapaki era 2000-an (sejak 1994/1995) ranah sastra Lampung diramaikan dengan kemunculan penyair dan cerpenis yang sebagian besar memiliki basis aktivitas kesenian di perguruan tinggi. Di antaranya Rivian A. Chepy, Ari Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga, Budi Lpg, Lex Robert, Kuswinarto (cerpenis), dan Dyah Indra Mertawirana (cerpenis). Di luar kampus, muncul nama-nama Arman A.Z., (cerpenis) Dina Octaviani, Nersalya Renatha, Imas Sobariah, Robby Akbar, dan Hendri Rosevelt.
Dari gerbong era 2000 ini, kita lalu mengenal nama-nama yang hingga kini karyanya sering muncul di banyak media massa, di antaranya Ari Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga, Dina Octaviani (menikah dengan Gunawan Maryanto dan kini menetap di Yogya), Dyah Indra Mertawirana (cerpen). Sesekali, muncul karya Nersalya Renatha, Alex Robert, dan Hendri Rosevelt di koran atau media massa lainnya. Di luar ini, sebagian terus berjuang untuk bisa "hadir" lebih luas melalui media massa.
Dari tradisi sastra yang tercipta di kampus, khususnya Universitas Lampung, telah terbit antologi puisi yang memuat karya-karya penyair yang notabene masih menjadi mahasiswa. Di antaranya Daun-Daun Jatuh, Tunas-Tunas Tumbuh (Teknokra, 1995) dan Menikam Senja Membidik Cakrawala (Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni Universitas Lampung, 1997/1998).
Epilog
Sketsa pertumbuhan penyair di Lampung tersebut tentu tidak serta-merta merepresentasikan regenerasi penyair Lampung secara utuh. Semua sekadar fragmen-fragmen yang berupaya menangkap fase-fase paling penting. Meskipun di sana sini tetap tak bisa lengkap. Namun, saya sedang menyodorkan sebuah data mengenai kepenyairan di Lampung yang mudah-mudahan dapat memperkaya pandangan akan kepenyairan di Lampung.
Salah satu faktor yang telah menjadikan Lampung memiliki begitu banyak penyair dan sebenarnya juga cerpenis adalah karena di hampir dalam setiap generasi selalu ada penyair atau cerpenis yang juga memiliki basis kreativitas di komunitas-komunitas seni.
Melalui mereka inilah, menulis puisi atau cerpen jadi semacam "penyakit menular" di banyak komunitas seni di Lampung. Tak terkecuali sanggar-sanggar seni yang ada di sekolah-sekolah. Juga, tak mengabaikan peran media massa seperti yang pernah dilakukan "Radio Suara Bhakti" di era ’80-an, Lampung Post dengan "Redaksi Siswa"-nya yang hingga kini masih dipertahankan. Kini ada pula radio swasta "Mandala FM" yang gemar melaksanakan bincang seni dan sastra, atau radio komunitas yang dikelola KNPI khusus untuk meladeni hasrat besar para pelajar di Bandar Lampung untuk berekspresi-kreatif soal apa saja termasuk sastra.
Pertanyaannya, setelah "dinobatkan" sebagai "Negeri Penyair", layakkah Lampung selanjutnya menjadi "Negeri Puisi"? Saya kira akan ada banyak takaran, parameter, pendapat, dan penilaian yang bisa diajukan dan kita diskusikan bersama.***
* Iswadi Pratama, penyair, peserta "Festival Mei 2006"
Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 20 Mei 2006
February 17, 2007
Pasar Seni segera Dikosongkan
Pasar Seni Enggal, Bandar Lampung
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Dengan alasan untuk menata kembali Pasar Seni Enggal, Pemkot Bandar Lampung melalui Dinas Pariwisata mulai Senin (19-2) mengosongkan kawasan itu dan "mengusir" penghuninya.
Kepala Dinas Pariwisata Lampung Saad Asnawi, mengatakan penghuni Pasar Seni sebagian besar bukan pekerja seni. "Kami hanya akan memaksimalkan Pasar Seni agar benar-benar menjadi kawasan seni yang banyak dikunjungi orang," kata dia, Jumat (16-2).
Sebagai pengelola, ujar Saad, dia mengetahui betul siapa yang mendiami kawasan itu. Apalagi, sebagai pengurus Dewan Kesenian Bandar Lampung (DKBL), ia mempunyai data pekerja seni dan karya yang dihasilkannya. Terkait uang sewa Rp100 ribu per bulan, Saad menjelaskan sesuai aturan, uang sewa yang diberlakukan sebesar Rp225 ribu. Namun, karena pengunjung sepi, uang sewa hanya ditarik Rp100 ribu.
Sementara itu, Ikatan Keluarga Seniman Pasar Seni (IKSPS) meminta Wali Kota Eddy Sutrisno membatalkan niat pengosongan tersebut. Ivan Sumantri Bonang, seorang penghuni, mengatakan berdasarkan kesepakatan antarpenghuni, mereka menyanggupi keinginan wali kota yang mengharuskan mereka membayar sewa Rp100 ribu per bulan.
Pengamat seni yang juga anggota DPRD Tanggamus, Hermansyah G.A., menyayangkan tindakan Pemkot itu. "Apalagi kalau sampai menggunakan satpol PP ataupun aparat keamanan. Para seniman ini bukanlah pedagang kaki lima, tapi mereka punya misi yang jelas." n KIM/TYO/K-2
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 17 Februari 2007
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Dengan alasan untuk menata kembali Pasar Seni Enggal, Pemkot Bandar Lampung melalui Dinas Pariwisata mulai Senin (19-2) mengosongkan kawasan itu dan "mengusir" penghuninya.
Kepala Dinas Pariwisata Lampung Saad Asnawi, mengatakan penghuni Pasar Seni sebagian besar bukan pekerja seni. "Kami hanya akan memaksimalkan Pasar Seni agar benar-benar menjadi kawasan seni yang banyak dikunjungi orang," kata dia, Jumat (16-2).
Sebagai pengelola, ujar Saad, dia mengetahui betul siapa yang mendiami kawasan itu. Apalagi, sebagai pengurus Dewan Kesenian Bandar Lampung (DKBL), ia mempunyai data pekerja seni dan karya yang dihasilkannya. Terkait uang sewa Rp100 ribu per bulan, Saad menjelaskan sesuai aturan, uang sewa yang diberlakukan sebesar Rp225 ribu. Namun, karena pengunjung sepi, uang sewa hanya ditarik Rp100 ribu.
Sementara itu, Ikatan Keluarga Seniman Pasar Seni (IKSPS) meminta Wali Kota Eddy Sutrisno membatalkan niat pengosongan tersebut. Ivan Sumantri Bonang, seorang penghuni, mengatakan berdasarkan kesepakatan antarpenghuni, mereka menyanggupi keinginan wali kota yang mengharuskan mereka membayar sewa Rp100 ribu per bulan.
Pengamat seni yang juga anggota DPRD Tanggamus, Hermansyah G.A., menyayangkan tindakan Pemkot itu. "Apalagi kalau sampai menggunakan satpol PP ataupun aparat keamanan. Para seniman ini bukanlah pedagang kaki lima, tapi mereka punya misi yang jelas." n KIM/TYO/K-2
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 17 Februari 2007
February 16, 2007
Sastra Tutur Terancam, Bahasa Lampung Terpinggirkan
Bandar Lampung, Kompas - Gara-gara generasi muda Lampung enggan dan sulit mempelajari bahasa daerahnya sendiri, jumlah penutur asli semakin sedikit. Akibatnya, perkembangan sastra tutur Lampung saat ini semakin terancam.
Riagus Ria, pemerhati seni tradisi Lampung, Kamis (22/6) di Bandar Lampung mengatakan, bagi masyarakat yang tinggal di perkotaan, mempelajari bahasa asli Lampung dinilai sebagai kemunduran, bahkan sebagai hal kuno. "Padahal untuk bisa menampilkan dan mengapresiasi karya sastra seperti sastra tutur, pendengar atau penyimak setidaknya harus bisa berbahasa Lampung," katanya.
Setelah bisa berbahasa Lampung, seseorang bisa memahami apa yang dituturkan sastrawan melalui tuturan atau warahan-nya. Riagus menyadari, dari aspek ragam bahasa, bahasa Lampung memiliki variasi bunyi, logat, kosakata, dan dialek sangat beragam. Setiap daerah di Lampung memiliki bahasa sendiri. Sementara dalam pelajaran bahasa daerah di sekolah, dinas pendidikan nasional tidak menentukan ragam bahasa Lampung daerah mana yang dipelajari.
"Karena sulitnya bahasa Lampung dari tinjauan ragam kebahasaan, siswa atau generasi muda yang belajar menjadi malas. Mereka lebih suka berbahasa Indonesia," ujar Riagus.
Kemalasan itu mengakibatkan mereka malas mempelajari atau setidaknya mengenal seni tradisi tutur. Sementara di sisi lain, sastrawan tutur sebagai pelaku langsung ragam seni tersebut enggan memberikan arahan dan didikan kepada generasi muda.
"Kondisi demikian semakin memojokkan sastra tutur. Orang yang datang kepada saya untuk belajar selalu menyerah sambil mengeluhkan materi sastra yang sulit," kata Nurdin Darsan, pelaku seni tradisi sastra tutur Lampung.
Nurdin mencontohkan, dia pernah menghabiskan waktu 10 jam untuk bisa membuat seorang muridnya mampu melafalkan dan membunyikan syair-syair dari sastra tutur jenis warahan, yang isinya berupa pesan atau nasihat. Karena tidak bisa berbahasa Lampung, dia tidak paham bagaimana cara membunyikan kosakata Lampung. Padahal, warahan sudah dibatasi pada sastra tutur yang biasa dipakai masyarakat pesisir atau Sai Batin.
Kendala lain, warahan dari setiap daerah biasanya memiliki cara atau lagu tersendiri dalam pengucapannya. "Tanpa penguasaan yang baik terhadap bahasa asli, siswa tidak akan pernah bisa menghayati dan menampilkan warahan yang dia pelajari dengan maksimal," kata Nurdin.
Nurdin dan Riagus meyakini, jika pemerintah tidak bersikap tegas terhadap pelestarian sastra tutur, dalam waktu tidak lama sastra tersebut semakin mendekati kepunahan. "Pemerintah belum pernah berbuat maksimal untuk melestarikan sastra tutur yang dimulai dari bahasa Lampung itu sendiri," ujar Riagus.
Seniman, kata Nurdin, tidak bisa berbuat banyak kecuali mengadakan festival sastra lisan atau lomba menulis bahasa Lampung. (hln)
Sumber: Kompas, Jumat, 23 Juni 2006
Riagus Ria, pemerhati seni tradisi Lampung, Kamis (22/6) di Bandar Lampung mengatakan, bagi masyarakat yang tinggal di perkotaan, mempelajari bahasa asli Lampung dinilai sebagai kemunduran, bahkan sebagai hal kuno. "Padahal untuk bisa menampilkan dan mengapresiasi karya sastra seperti sastra tutur, pendengar atau penyimak setidaknya harus bisa berbahasa Lampung," katanya.
Setelah bisa berbahasa Lampung, seseorang bisa memahami apa yang dituturkan sastrawan melalui tuturan atau warahan-nya. Riagus menyadari, dari aspek ragam bahasa, bahasa Lampung memiliki variasi bunyi, logat, kosakata, dan dialek sangat beragam. Setiap daerah di Lampung memiliki bahasa sendiri. Sementara dalam pelajaran bahasa daerah di sekolah, dinas pendidikan nasional tidak menentukan ragam bahasa Lampung daerah mana yang dipelajari.
"Karena sulitnya bahasa Lampung dari tinjauan ragam kebahasaan, siswa atau generasi muda yang belajar menjadi malas. Mereka lebih suka berbahasa Indonesia," ujar Riagus.
Kemalasan itu mengakibatkan mereka malas mempelajari atau setidaknya mengenal seni tradisi tutur. Sementara di sisi lain, sastrawan tutur sebagai pelaku langsung ragam seni tersebut enggan memberikan arahan dan didikan kepada generasi muda.
"Kondisi demikian semakin memojokkan sastra tutur. Orang yang datang kepada saya untuk belajar selalu menyerah sambil mengeluhkan materi sastra yang sulit," kata Nurdin Darsan, pelaku seni tradisi sastra tutur Lampung.
Nurdin mencontohkan, dia pernah menghabiskan waktu 10 jam untuk bisa membuat seorang muridnya mampu melafalkan dan membunyikan syair-syair dari sastra tutur jenis warahan, yang isinya berupa pesan atau nasihat. Karena tidak bisa berbahasa Lampung, dia tidak paham bagaimana cara membunyikan kosakata Lampung. Padahal, warahan sudah dibatasi pada sastra tutur yang biasa dipakai masyarakat pesisir atau Sai Batin.
Kendala lain, warahan dari setiap daerah biasanya memiliki cara atau lagu tersendiri dalam pengucapannya. "Tanpa penguasaan yang baik terhadap bahasa asli, siswa tidak akan pernah bisa menghayati dan menampilkan warahan yang dia pelajari dengan maksimal," kata Nurdin.
Nurdin dan Riagus meyakini, jika pemerintah tidak bersikap tegas terhadap pelestarian sastra tutur, dalam waktu tidak lama sastra tersebut semakin mendekati kepunahan. "Pemerintah belum pernah berbuat maksimal untuk melestarikan sastra tutur yang dimulai dari bahasa Lampung itu sendiri," ujar Riagus.
Seniman, kata Nurdin, tidak bisa berbuat banyak kecuali mengadakan festival sastra lisan atau lomba menulis bahasa Lampung. (hln)
Sumber: Kompas, Jumat, 23 Juni 2006
Mencoba Bangkit Lewat Radio
SEMUANYA berawal pada tahun 2000 ketika setiap malam Radio Republik Indonesia Bandar Lampung menyiarkan acara Manjau Debingi, acara yang memutar lagu- lagu daerah berbahasa Lampung. Para penggemar acara itu dapat berbalas-balasan mengirim lagu dengan disertai kiriman pantun berbahasa Lampung.
"Kami merasa saat itu sudah terbentuk komunitas kecil penggemar bahasa Lampung. Dari situ, para penggemar mengadakan kumpul-kumpul dan membentuk komunitas kecil penggemar budaya Lampung," kata Riagus Ria, pemerhati seni tradisi Lampung, di Bandar Lampung, Kamis (22/6).
Dari komunitas itulah pada tahun 2001 muncul acara di RRI Bandar Lampung dengan nama Ragam Budaya Lampung setiap Sabtu malam. Riagus menuturkan, betapa sulitnya mengembangkan acara budaya itu. Hanya sedikit masyarakat yang mau terlibat dalam acara sastra tutur.
Kesulitan timbul karena kurangnya pemahaman dan penguasaan masyarakat terhadap bahasa Lampung, sebagai bahasa pengantar acara. Padahal, penguasaan bahasa Lampung menjadi kunci utama mengapresiasi sastra tutur.
"Sayang, masyarakat Lampung kurang menghargai dan tidak memiliki rasa bangga terhadap bahasa Lampung. Sementara pemerintah sepertinya tidak mau dipusingkan dengan hal-hal demikian," ucap Riagus.
Akibatnya, kendati sastra tutur yang disiarkan masih dalam tingkat sederhana, masyarakat tetap kesulitan mencerna maksud dan isi syair yang disiarkan.
Pada perkembangannya, berbagai upaya mengenalkan sastra tutur melalui forum-forum diskusi ataupun acara dokumentasi sastra tutur, penggemar mulai bertambah. Jenis sastra tutur yang ditampilkan mulai bervariasi, mulai yang biasa dipakai masyarakat pedalaman atau yang biasa disebut pepadun hingga daerah pesisir atau sai batin.
Pendengar bisa mengenal sastra tutur mulai dari pepanco atau nasihat, kepisaan atau syair doa yang biasanya berisi bait-bait doa yang panjang, warahan atau ajaran, hingga dadi atau sastra tutur tingkat tinggi.
Kendati demikian, penggagas acara selalu kesulitan menghadirkan pemateri yang tepat. Penyebabnya, penutur asli bahasa Lampung yang memiliki kemampuan sastra tutur hanya segelintir. "Itu pun ada di daerah pedalaman. Di kota tidak ada. Kami kesulitan menghadirkan mereka atau kadang jadwal mereka tidak sesuai dengan kebutuhan kami," papar Riagus.
Solusinya, setiap penggagas lantas menjadi pengisi acara RBL tersebut. Melalui acara itu, lantas muncul nama-nama seperti Amir Mardani, Sutan Purnama, Sutan Way Kuning, Ratu Angguan, dan Riagus Ria sendiri sebagai penggerak dan pelaku sastra tutur Lampung.
Sampai sekarang, kendati masih tertatih-tatih, penggagas RBL menilai keberadaan acara itu secara terus-menerus hampir lima tahun, sebuah prestasi. (Helena F Nababan)
Sumber: Kompas, Jumat, 23 Juni 2006
"Kami merasa saat itu sudah terbentuk komunitas kecil penggemar bahasa Lampung. Dari situ, para penggemar mengadakan kumpul-kumpul dan membentuk komunitas kecil penggemar budaya Lampung," kata Riagus Ria, pemerhati seni tradisi Lampung, di Bandar Lampung, Kamis (22/6).
Dari komunitas itulah pada tahun 2001 muncul acara di RRI Bandar Lampung dengan nama Ragam Budaya Lampung setiap Sabtu malam. Riagus menuturkan, betapa sulitnya mengembangkan acara budaya itu. Hanya sedikit masyarakat yang mau terlibat dalam acara sastra tutur.
Kesulitan timbul karena kurangnya pemahaman dan penguasaan masyarakat terhadap bahasa Lampung, sebagai bahasa pengantar acara. Padahal, penguasaan bahasa Lampung menjadi kunci utama mengapresiasi sastra tutur.
"Sayang, masyarakat Lampung kurang menghargai dan tidak memiliki rasa bangga terhadap bahasa Lampung. Sementara pemerintah sepertinya tidak mau dipusingkan dengan hal-hal demikian," ucap Riagus.
Akibatnya, kendati sastra tutur yang disiarkan masih dalam tingkat sederhana, masyarakat tetap kesulitan mencerna maksud dan isi syair yang disiarkan.
Pada perkembangannya, berbagai upaya mengenalkan sastra tutur melalui forum-forum diskusi ataupun acara dokumentasi sastra tutur, penggemar mulai bertambah. Jenis sastra tutur yang ditampilkan mulai bervariasi, mulai yang biasa dipakai masyarakat pedalaman atau yang biasa disebut pepadun hingga daerah pesisir atau sai batin.
Pendengar bisa mengenal sastra tutur mulai dari pepanco atau nasihat, kepisaan atau syair doa yang biasanya berisi bait-bait doa yang panjang, warahan atau ajaran, hingga dadi atau sastra tutur tingkat tinggi.
Kendati demikian, penggagas acara selalu kesulitan menghadirkan pemateri yang tepat. Penyebabnya, penutur asli bahasa Lampung yang memiliki kemampuan sastra tutur hanya segelintir. "Itu pun ada di daerah pedalaman. Di kota tidak ada. Kami kesulitan menghadirkan mereka atau kadang jadwal mereka tidak sesuai dengan kebutuhan kami," papar Riagus.
Solusinya, setiap penggagas lantas menjadi pengisi acara RBL tersebut. Melalui acara itu, lantas muncul nama-nama seperti Amir Mardani, Sutan Purnama, Sutan Way Kuning, Ratu Angguan, dan Riagus Ria sendiri sebagai penggerak dan pelaku sastra tutur Lampung.
Sampai sekarang, kendati masih tertatih-tatih, penggagas RBL menilai keberadaan acara itu secara terus-menerus hampir lima tahun, sebuah prestasi. (Helena F Nababan)
Sumber: Kompas, Jumat, 23 Juni 2006
February 15, 2007
'Reinventing' Lampung: Proyek yang tak Pernah Usai
GUBERNUR Sjachroedin Z.P. dalam berbagai kesempatan menyatakan Tugu Siger--ada yang menyebut Menara Siger, seperti Anshory Djausal, arsitek Unila yang mendesain Tugu Siger--dibangun untuk menandakan ciri khas Lampung. Kawasan sekitar tugu akan dibangun ruang-ruang yang menampilkan berbagai khazanah budaya Lampung dan sarana-prasarana pariwisata. Tak lupa, kawasan ini juga menjadi arena pertunjukan gajah Lampung--hewan yang menjadi ikon wisata daerah ini.
Tugu Siger berwarna emas ini dibangun di bukit yang berada di sebelah kiri (timur) pintu masuk Pelabuhan Penyeberangan Bakauheni. Bangunan tugu dilengkapi ruang-ruang, tempat wisatawan melihat Pelabuhan Penyeberangan Merak, dan keindahan panorama laut-alam sekitar.
Bangunan Tugu Siger bisa terlihat dari semua arah. Di tengah tugu--rencananya--membentang tulisan "Anda Berada di Titik Nol Pulau Sumatera". Panjang Menara Siger sekitar 50 meter, lebar 10--11 meter, tinggi sekitar 30 meter.
Karena menjadi simbol identitas, seperti kata Anshory Djausal, Tugu Siger menampung dan merepresentasikan simbol budaya Lampung. Di puncak menara, ada payung tiga warna (putih-kuning-merah) sebagai simbol tatanan sosial masyarakat Lampung. Selain itu, ada tower untuk melihat panorama laut--lebih bermakna profan.
"Menara Siger diharapkan dapat merepresentasikan lambang dan budaya Lampung dalam bentuk konstruksi fisik yang unik," kata Anshory beberapa waktu lalu.
Inilah proyek reinventing Lampung itu, yang mengusik kembali wacana kebudayaan di provinsi ini sepanjang 2004--2005. Sebuah obsesi besar sudah dimulai. Tugu Siger adalah wujud riil obsesi itu. Obsesi yang ingin meng-kultur-kan Lampung sehingga bumi Lampung menjadi wilayah yang hidup dalam lilitan indigenious culture. Lampung, dengan demikian, tampil sebagai wilayah khas, yang hidup dalam karakter budaya lokal seperti layaknya Sumatera Barat dengan kultur Minangkabau, Bali dengan Bali-nya, Nusa Tenggara dengan Lombok, Flores, Sulawesi Selatan dengan Bugis-Makassar-Toraja, dan Yogya dengan tradisi Mataram-kekejawenannya.
Seperti menjadi hukum alam, obsesi besar dengan semangat "menemukan kembali Lampung" ini mendapat beragam tanggapan. Ada dukungan, kritik juga berdatangan. Proyek Tugu Siger yang dimulai 2004 ini terus menjadi pembicaraan publik. Lampung Postÿ20juga mencatat kontroversi Tugu Siger terus bergulir sepanjang 2005.
Saat Gubernur melempar rencana pembangunan Tugu Siger ke publik, pro-kontra tak bisa dihindari. Pihak yang pro menilai proyek raksasa ini harus dilakukan. Jika tidak ada yang berani melakukannya, kapan lagi Lampung punya monumen besar seperti ini. Bukankah Soekarno membangun Monumen Nasional dengan semangat seperti ini? Kira-kira demikian pendapat dan alasan moral pihak yang setuju dengan langkah Gubernur Sjachroedin.
Sementara pihak yang kontra mempertanyakan Tugu Siger dari berbagai aspek. Dari sisi anggaran, proyek Rp7,3 miliar ini dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat Lampung. Saat ini, rakyat belum membutuhkan monumen identitas seperti itu; yang dibutuhkan adalah pembangunan yang bisa mengangkat kehidupan ekonomi rakyat.
Apalah artinya Tugu Siger jika proyek raksasa--disebut begini karena menyimpan obsesi besar--itu hanya berhenti sebatas bangunan fisik. Ini juga jadi pertanyaan yang mewarnai pro-kontra Tugu Siger sepanjang 2005.
Sebuah monumen atau tugu adalah benda budaya juga. Bangunan itu adalah budaya dalam bentuk fisik atau artefak. Dalam pandangan Rislan Syarief, arsitek dari Unila, memang semestinya Tugu Siger tidak berdiri sebatas bangunan fisik. "Dia mesti diikuti dengan kosmologi hingga orang tahu seperti apa Lampung itu," kata arsitek yang menekuni arsitektur tradisional ini, Rabu (21-12), di Bandar Lampung.
Idealnya, apa yang dikemukakan Rislan menjadi bagian integral dari proyek obsesif ini. Tentu sangat sayang dana Rp7 miliar lebih hanya beralih rupa menjadi bangunan fisik. Juga sulit membayangkan karakter suatu suku bangsa atau masyarakat akan terbangun tanpa bentangan kosmologi dalam setiap ruang kehidupan.
Mencipta Makna
Apakah Tugu Siger akan menjelma penanda kelampungan ataukah sebatas hadir sebagai bangunan fisik yang bentuknya monumental? Inilah proyek budaya kita ke depan; "meniupkan roh kultural" ke dalam bangunan fisik sehingga ia bisa berjalan memenuhi imajinasi dan bawah sadar siapa saja yang bersentuhan dan menatapnya.
Pemprov Lampung melalui Gubernur Sjacroedin Z.P. telah memulai revitalisasi ini. Harus diakui, apa yang dilakukan Gubernur adalah kebijakan visioner yang dilatari semangat revitalisasi budaya Lampung. Tugu Siger adalah awal yang baik.
Karena semangat Tugu Siger adalah "identitas yang diciptakan", seperti kata Rislan Syarief, tentu harus ada penciptaan-penciptaan lain yang membuat identitas itu benar-benar mengaliri hidup masyarakat Lampung. Bagi Rislan, kosmologi atau medan makna adalah entitas yang harus menyelimuti bangunan-bangunan monumental seperti Tugu Siger.
"Kosmologi itu kan untuk melihat struktur kehidupan masyarakat, untuk membaca seperti apa karaktar masyarakat. Semua ini lari ke kosmologi," ujar dosen yang meneliti arsitektur tradisional Kenali di Lampung Barat ini.
Memang, agak sulit mewujudkan konsep yang ditawarkan Rislan. Dinas Promosi, Investasi, Kebudayaan, dan Pariwisata Lampung, sebagai instansi yang bersentuhan langsung dengan budaya, lebih melihat budaya sebagai paket integral pariwisata. Dalam grand design kepariwisataan Lampung 2005--2010 yang disusun Komite Kepariwisataan Provinsi Lampung, misalnya, begitu terlihat perspektif yang memosisikan budaya sebagai subordinat pariwisata.
Yang tergambar dari grand design ini, budaya dimaknai dalam batasan seni atau pertunjukan rekreatif. Prosesi adat seperti pemberian gelar (cakak pepadun) dan perkawinan dimaknai sebagai acara tontonan, belum dihadirkan sebagai peristiwa simbolik yang tali-temali dengan unsur kebudayaan lain.
Berangkat dari paradigma seperti ini, strategi kebijakan dan program yang dikembangkan Dinas Promosi, Investasi, Kebudayaan, dan Pariwisata terfokus pada event akbar yang dikemas dalam bentuk festival tahunan. Dapat dikatakan, program-program yang disusun komite pariwisata tidak menyiratkan paradigma budaya sebagai suatu bagian integral kehidupan masyarakat Lampung. Budaya di sini masih diterjemahkan dalam ajang tahunan seperti Festival Krakatau, Festival Teluk Lampung, Festival Waykambas, dan Festival Kotabumi Betah.
Jika seperti ini kebijakan operasional pemrov di bidang kebudayaan, apa yang dimaksud Rislan Syarief, membangun kosmologi, sepertinya sulit terwujud. Paradigma kebudayaan para pengambil keputusan harus diubah.
Mengikuti tradisi tafsir, kebudayaan dimaknai sebagai seperangkat sistem simbolis yang mengandung makna, pengetahuan, nilai, dan segala referensi yang dijadikan pegangan manusia berhubungan/berkomunikasi dengan lingkungannya. Makna yang simbolis selalu hadir dalam konteks, tidak serta-merta hadir dalam suatu lingkungan dan kehidupan masyarakat. Ia bisa mewujud bangunan fisik (artefak) seperti rumah panggung, ukir, sulam, siger, keris, topeng (tupping), dan benda simbolis lainnya; budaya juga hadir dalam bentuk gerak (tari, silat), tuturan (warahan, dadi). Ada juga yang tampak dalam ritual, sistem kekuasaan, dan sistem sosial.
Dalam perspektif ini, apa yang ditawarkan Rislan bisa terwujud. Cerita tradisi yang disampaikan dalam warahan atau dadi, misalnya, mesti dilihat sebagai entitas simbolis. "Cerita juga punya maksud, bahkan ada yang dimitoskan. Jadi mite," kata Rislan.
Karena simbol dan makna hadir dalam konteks tertentu, ia tentu harus dikenalkan pada konteks yang lain. Sulit membayangkan orang di luar suku Lampung dengan sendirinya paham apa makna cakak pepadun atau makna adok. Ini tentu memerlukan penjelasan yang disebarluaskan hingga makna yang terkandung itu menjadi milik bersama (shared meaning). Apakah ajang tahunan dalam bentuk festival extravaganza bisa menyebarluaskan makna simbolis budaya Lampung kepada orang non-Lampung, pendatang, atau wisatawan? Apakah budaya yang jadi subordinat pariwisata, yang dihadirkan sebagai rekreasi, akan menjadi entitas yang menularkan makna-makna simbolis? Apakah Tugu Siger bisa menjadi bangunan yang memancarkan makna kultural?
Ini masalah besar yang mesti direnungkan jika tahun-tahun mendatang kita ingin menghidupkan artefak, seni, ritual, dan wujud budaya lainnya mengisi bawah sadar manusia yang berinteraksi dengannya. Untuk meramu indigenious culture sebagai rujukan sosial setiap manusia yang ada di bumi Lampung. n RAHMAT SUDIRMAN
Sumber: Lampung Post, Jumat, 30 Desember 2005
Tugu Siger berwarna emas ini dibangun di bukit yang berada di sebelah kiri (timur) pintu masuk Pelabuhan Penyeberangan Bakauheni. Bangunan tugu dilengkapi ruang-ruang, tempat wisatawan melihat Pelabuhan Penyeberangan Merak, dan keindahan panorama laut-alam sekitar.
Bangunan Tugu Siger bisa terlihat dari semua arah. Di tengah tugu--rencananya--membentang tulisan "Anda Berada di Titik Nol Pulau Sumatera". Panjang Menara Siger sekitar 50 meter, lebar 10--11 meter, tinggi sekitar 30 meter.
Karena menjadi simbol identitas, seperti kata Anshory Djausal, Tugu Siger menampung dan merepresentasikan simbol budaya Lampung. Di puncak menara, ada payung tiga warna (putih-kuning-merah) sebagai simbol tatanan sosial masyarakat Lampung. Selain itu, ada tower untuk melihat panorama laut--lebih bermakna profan.
"Menara Siger diharapkan dapat merepresentasikan lambang dan budaya Lampung dalam bentuk konstruksi fisik yang unik," kata Anshory beberapa waktu lalu.
Inilah proyek reinventing Lampung itu, yang mengusik kembali wacana kebudayaan di provinsi ini sepanjang 2004--2005. Sebuah obsesi besar sudah dimulai. Tugu Siger adalah wujud riil obsesi itu. Obsesi yang ingin meng-kultur-kan Lampung sehingga bumi Lampung menjadi wilayah yang hidup dalam lilitan indigenious culture. Lampung, dengan demikian, tampil sebagai wilayah khas, yang hidup dalam karakter budaya lokal seperti layaknya Sumatera Barat dengan kultur Minangkabau, Bali dengan Bali-nya, Nusa Tenggara dengan Lombok, Flores, Sulawesi Selatan dengan Bugis-Makassar-Toraja, dan Yogya dengan tradisi Mataram-kekejawenannya.
Seperti menjadi hukum alam, obsesi besar dengan semangat "menemukan kembali Lampung" ini mendapat beragam tanggapan. Ada dukungan, kritik juga berdatangan. Proyek Tugu Siger yang dimulai 2004 ini terus menjadi pembicaraan publik. Lampung Postÿ20juga mencatat kontroversi Tugu Siger terus bergulir sepanjang 2005.
Saat Gubernur melempar rencana pembangunan Tugu Siger ke publik, pro-kontra tak bisa dihindari. Pihak yang pro menilai proyek raksasa ini harus dilakukan. Jika tidak ada yang berani melakukannya, kapan lagi Lampung punya monumen besar seperti ini. Bukankah Soekarno membangun Monumen Nasional dengan semangat seperti ini? Kira-kira demikian pendapat dan alasan moral pihak yang setuju dengan langkah Gubernur Sjachroedin.
Sementara pihak yang kontra mempertanyakan Tugu Siger dari berbagai aspek. Dari sisi anggaran, proyek Rp7,3 miliar ini dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat Lampung. Saat ini, rakyat belum membutuhkan monumen identitas seperti itu; yang dibutuhkan adalah pembangunan yang bisa mengangkat kehidupan ekonomi rakyat.
Apalah artinya Tugu Siger jika proyek raksasa--disebut begini karena menyimpan obsesi besar--itu hanya berhenti sebatas bangunan fisik. Ini juga jadi pertanyaan yang mewarnai pro-kontra Tugu Siger sepanjang 2005.
Sebuah monumen atau tugu adalah benda budaya juga. Bangunan itu adalah budaya dalam bentuk fisik atau artefak. Dalam pandangan Rislan Syarief, arsitek dari Unila, memang semestinya Tugu Siger tidak berdiri sebatas bangunan fisik. "Dia mesti diikuti dengan kosmologi hingga orang tahu seperti apa Lampung itu," kata arsitek yang menekuni arsitektur tradisional ini, Rabu (21-12), di Bandar Lampung.
Idealnya, apa yang dikemukakan Rislan menjadi bagian integral dari proyek obsesif ini. Tentu sangat sayang dana Rp7 miliar lebih hanya beralih rupa menjadi bangunan fisik. Juga sulit membayangkan karakter suatu suku bangsa atau masyarakat akan terbangun tanpa bentangan kosmologi dalam setiap ruang kehidupan.
Mencipta Makna
Apakah Tugu Siger akan menjelma penanda kelampungan ataukah sebatas hadir sebagai bangunan fisik yang bentuknya monumental? Inilah proyek budaya kita ke depan; "meniupkan roh kultural" ke dalam bangunan fisik sehingga ia bisa berjalan memenuhi imajinasi dan bawah sadar siapa saja yang bersentuhan dan menatapnya.
Pemprov Lampung melalui Gubernur Sjacroedin Z.P. telah memulai revitalisasi ini. Harus diakui, apa yang dilakukan Gubernur adalah kebijakan visioner yang dilatari semangat revitalisasi budaya Lampung. Tugu Siger adalah awal yang baik.
Karena semangat Tugu Siger adalah "identitas yang diciptakan", seperti kata Rislan Syarief, tentu harus ada penciptaan-penciptaan lain yang membuat identitas itu benar-benar mengaliri hidup masyarakat Lampung. Bagi Rislan, kosmologi atau medan makna adalah entitas yang harus menyelimuti bangunan-bangunan monumental seperti Tugu Siger.
"Kosmologi itu kan untuk melihat struktur kehidupan masyarakat, untuk membaca seperti apa karaktar masyarakat. Semua ini lari ke kosmologi," ujar dosen yang meneliti arsitektur tradisional Kenali di Lampung Barat ini.
Memang, agak sulit mewujudkan konsep yang ditawarkan Rislan. Dinas Promosi, Investasi, Kebudayaan, dan Pariwisata Lampung, sebagai instansi yang bersentuhan langsung dengan budaya, lebih melihat budaya sebagai paket integral pariwisata. Dalam grand design kepariwisataan Lampung 2005--2010 yang disusun Komite Kepariwisataan Provinsi Lampung, misalnya, begitu terlihat perspektif yang memosisikan budaya sebagai subordinat pariwisata.
Yang tergambar dari grand design ini, budaya dimaknai dalam batasan seni atau pertunjukan rekreatif. Prosesi adat seperti pemberian gelar (cakak pepadun) dan perkawinan dimaknai sebagai acara tontonan, belum dihadirkan sebagai peristiwa simbolik yang tali-temali dengan unsur kebudayaan lain.
Berangkat dari paradigma seperti ini, strategi kebijakan dan program yang dikembangkan Dinas Promosi, Investasi, Kebudayaan, dan Pariwisata terfokus pada event akbar yang dikemas dalam bentuk festival tahunan. Dapat dikatakan, program-program yang disusun komite pariwisata tidak menyiratkan paradigma budaya sebagai suatu bagian integral kehidupan masyarakat Lampung. Budaya di sini masih diterjemahkan dalam ajang tahunan seperti Festival Krakatau, Festival Teluk Lampung, Festival Waykambas, dan Festival Kotabumi Betah.
Jika seperti ini kebijakan operasional pemrov di bidang kebudayaan, apa yang dimaksud Rislan Syarief, membangun kosmologi, sepertinya sulit terwujud. Paradigma kebudayaan para pengambil keputusan harus diubah.
Mengikuti tradisi tafsir, kebudayaan dimaknai sebagai seperangkat sistem simbolis yang mengandung makna, pengetahuan, nilai, dan segala referensi yang dijadikan pegangan manusia berhubungan/berkomunikasi dengan lingkungannya. Makna yang simbolis selalu hadir dalam konteks, tidak serta-merta hadir dalam suatu lingkungan dan kehidupan masyarakat. Ia bisa mewujud bangunan fisik (artefak) seperti rumah panggung, ukir, sulam, siger, keris, topeng (tupping), dan benda simbolis lainnya; budaya juga hadir dalam bentuk gerak (tari, silat), tuturan (warahan, dadi). Ada juga yang tampak dalam ritual, sistem kekuasaan, dan sistem sosial.
Dalam perspektif ini, apa yang ditawarkan Rislan bisa terwujud. Cerita tradisi yang disampaikan dalam warahan atau dadi, misalnya, mesti dilihat sebagai entitas simbolis. "Cerita juga punya maksud, bahkan ada yang dimitoskan. Jadi mite," kata Rislan.
Karena simbol dan makna hadir dalam konteks tertentu, ia tentu harus dikenalkan pada konteks yang lain. Sulit membayangkan orang di luar suku Lampung dengan sendirinya paham apa makna cakak pepadun atau makna adok. Ini tentu memerlukan penjelasan yang disebarluaskan hingga makna yang terkandung itu menjadi milik bersama (shared meaning). Apakah ajang tahunan dalam bentuk festival extravaganza bisa menyebarluaskan makna simbolis budaya Lampung kepada orang non-Lampung, pendatang, atau wisatawan? Apakah budaya yang jadi subordinat pariwisata, yang dihadirkan sebagai rekreasi, akan menjadi entitas yang menularkan makna-makna simbolis? Apakah Tugu Siger bisa menjadi bangunan yang memancarkan makna kultural?
Ini masalah besar yang mesti direnungkan jika tahun-tahun mendatang kita ingin menghidupkan artefak, seni, ritual, dan wujud budaya lainnya mengisi bawah sadar manusia yang berinteraksi dengannya. Untuk meramu indigenious culture sebagai rujukan sosial setiap manusia yang ada di bumi Lampung. n RAHMAT SUDIRMAN
Sumber: Lampung Post, Jumat, 30 Desember 2005
February 14, 2007
Masnuna, Pelantun Sastra Lisan Lampung
Juru Kamera : Iwan Agung
Reporter: Achmad Faizal
indosiar.com, Lampung - Sasta Lisan Lampung yang dikenal dengan istilah Dadi, hingga kini boleh dibilang hampir punah. Masnuna yang usianya menginjak senja, bisa dibilang satu-satunya pelantun Dadi yang hingga kini masih eksis. Kini hidupnya penuh dengan kesederhanaan.
Dadi adalah sebuah bentuk sastra yang dibawakan secara bertutur dengan intonasi tinggi, berisi pantun sindiran, pantun nasehat dan pantun jenaka. Sastra ini biasanya dilantunkan saat pergantian musim, panen raya, pertemuan bujang dan gadis atau disuatu acara pesta.
Dimasa jayanya dulu, Dadi dilantunkan oleh pasangan muda-mudi. Karena tingkat kesulitan membawakannya cukup tinggi. Seperti menggunakan bahasa Lampung tingkat tinggi yang tak semua orang mengerti maknanya, sastra lisan ini pun mulai ditinggalkan.
Masnuna adalah satu-satunya pelantun sastra lisan Lampung yang masih eksis. Masnuna (72), sederhana sosoknya. Kesederhanaan hidupnya tercermin dari kondisi rumahnya yang memprihatinkan di Desa Tanjung Kemala, Kecamatan Ubean, Lampung yang masih beralaskan tanah.
Meski dikenal luas, ia pun tak pernah mau menerima bayaran dari jasanya men-Dadi. Usai sholat Subuh, ditemani anaknya Abdul Samat dan dua cucunya Sri Astuti dan Elisa, biasanya mereka pergi ke ladang. Suaminya yang menikahinya tahun 1955 telah meninggal.
Di ladang inilah, Masnuna kerap menurunkan ilmu Dadi pada kedua cucunya. Dalam kehidupannya, Masnuna tak pernah alpa berdoa. Bahkan disetiap langkah hidupnya, selalu ia awali dengan doa kepada Sang Pencipta.
Di dalam kesederhanaan hidupnya ada rasa khawatir Dadi tak lama lagi punah. Saat ini tak ada satupun generasi muda yang tertarik untuk mempelajarinya. Dengan alasan, sudah ketinggalan jaman dan sulit memahami bahasa Dadi. Anaknya pun tak begitu menguasai. Masnuna pantas menyandang rasa prihatin.
Pelantun Dadi yang hingga tahun 2000 masih tertahan sudah meninggal. Seperti Pangeran Matapunai yang wafat tahun 2003 dan Ali Pangeran Pengadilan Yawafatas 1997. Sedangkan dua lainnya yaitu Hasan Peyimbang Raja dan Saerah tengah menderita stroke.
Kini Masnuna hanya bisa menambah harap ada generasi muda yang mau meneruskan kesenian Dadi dan mau mempelajarinya. Semogga harapan Masnuna ini dapat menjadi kenyataan, walaupun arus modernisasi sangatlah tidak mungkin untuk dibendung. (Sup)
Video Streaming
Sumber: http://indosiar.com, 1/12/2005
Reporter: Achmad Faizal
indosiar.com, Lampung - Sasta Lisan Lampung yang dikenal dengan istilah Dadi, hingga kini boleh dibilang hampir punah. Masnuna yang usianya menginjak senja, bisa dibilang satu-satunya pelantun Dadi yang hingga kini masih eksis. Kini hidupnya penuh dengan kesederhanaan.
Dadi adalah sebuah bentuk sastra yang dibawakan secara bertutur dengan intonasi tinggi, berisi pantun sindiran, pantun nasehat dan pantun jenaka. Sastra ini biasanya dilantunkan saat pergantian musim, panen raya, pertemuan bujang dan gadis atau disuatu acara pesta.
Dimasa jayanya dulu, Dadi dilantunkan oleh pasangan muda-mudi. Karena tingkat kesulitan membawakannya cukup tinggi. Seperti menggunakan bahasa Lampung tingkat tinggi yang tak semua orang mengerti maknanya, sastra lisan ini pun mulai ditinggalkan.
Masnuna adalah satu-satunya pelantun sastra lisan Lampung yang masih eksis. Masnuna (72), sederhana sosoknya. Kesederhanaan hidupnya tercermin dari kondisi rumahnya yang memprihatinkan di Desa Tanjung Kemala, Kecamatan Ubean, Lampung yang masih beralaskan tanah.
Meski dikenal luas, ia pun tak pernah mau menerima bayaran dari jasanya men-Dadi. Usai sholat Subuh, ditemani anaknya Abdul Samat dan dua cucunya Sri Astuti dan Elisa, biasanya mereka pergi ke ladang. Suaminya yang menikahinya tahun 1955 telah meninggal.
Di ladang inilah, Masnuna kerap menurunkan ilmu Dadi pada kedua cucunya. Dalam kehidupannya, Masnuna tak pernah alpa berdoa. Bahkan disetiap langkah hidupnya, selalu ia awali dengan doa kepada Sang Pencipta.
Di dalam kesederhanaan hidupnya ada rasa khawatir Dadi tak lama lagi punah. Saat ini tak ada satupun generasi muda yang tertarik untuk mempelajarinya. Dengan alasan, sudah ketinggalan jaman dan sulit memahami bahasa Dadi. Anaknya pun tak begitu menguasai. Masnuna pantas menyandang rasa prihatin.
Pelantun Dadi yang hingga tahun 2000 masih tertahan sudah meninggal. Seperti Pangeran Matapunai yang wafat tahun 2003 dan Ali Pangeran Pengadilan Yawafatas 1997. Sedangkan dua lainnya yaitu Hasan Peyimbang Raja dan Saerah tengah menderita stroke.
Kini Masnuna hanya bisa menambah harap ada generasi muda yang mau meneruskan kesenian Dadi dan mau mempelajarinya. Semogga harapan Masnuna ini dapat menjadi kenyataan, walaupun arus modernisasi sangatlah tidak mungkin untuk dibendung. (Sup)
Video Streaming
Sumber: http://indosiar.com, 1/12/2005
Masnuna, Benteng Terakhir Sastra Lisan Lampung
DI antara para seniman dan sastrawan Lampung yang hadir dalam perhelatan seni bertajuk "Pertemuan Dua Arus" gagasan Jung Foundation itu, tampak seorang ibu tua duduk di antara para tamu yang datang. Tangannya yang lemah mengayunkan pelan kipas kayu cendana ke tubuhnya. Udara malam tampaknya terasa gerah untuk ibu dua anak tersebut.
Pentas seni yang diselenggarakan Rabu (21/7) malam itu hendak mempertemukan seniman arus modern dengan para seniman arus tradisional. Seniman arus modern diwakili, antara lain, oleh Iswady Pratama, dedengkot teater di Lampung, serta Isbedy Stiawan, cerpenis dan penulis puisi.
Dari arus tradisional, salah satunya diwakili oleh Masnuna, ibu tua yang mengayun pelan kipas kayu cendana.
Masnuna saat ini dikenal sebagai satu-satunya pelantun sastra lisan Lampung yang dikenal dengan dadi. Dadi adalah sebuah bentuk sastra yang pengisahannya dilakukan dengan cara menuturkan. Malam itu, Masnuna, dalam pertemuan dua arus, diminta melantunkan sastra lisan tersebut.
Suaranya tinggi mengalun saat ia menuturkan kalimat demi kalimat dalam tiap bait sastra lisan. Kipas kayu cendana, yang sedari tadi digunakannya mengusir hawa panas, saat melantunkan dadi digunakannya untuk menutup sebagian dari wajahnya. Memang begitulah caranya.
Masnuna mempelajari sastra lisan itu ketika ia masih berusia tujuh tahun. Ia berguru kepada Dalom Muda Sebuway, yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Tak hanya itu, ibunya, Siti Aminah, pun turut mengasah kemahiran bocah itu dalam melantunkan setiap bait sastra lisan.
Wajahnya berseri dan tangannya lincah bergerak mengiringi penuturannya tentang dadi. Garis keriput penanda usia yang telah senja menjadi tegas mengekspresikan perasaannya saat mengisahkan pengalamannya belajar dan memelihara sastra lisan tersebut agar tetap lestari hingga saat ini.
NIAT Masnuna untuk mempelajari dadi bukan hanya karena darah seni yang diwarisinya. Lebih dari itu, niatnya didorong oleh kenyataan bahwa dadi merupakan karya sastra utama yang hidup dalam masyarakat adat Pubian, salah satu marga di Lampung. Hampir dalam setiap perhelatan masyarakat adat Pubian, dadi tampil sebagai suguhan utama.
Dadi, yang biasanya berisi pantun sindiran, pantun jenaka, dan terutama pantun nasihat, merupakan acara yang ditunggu-tunggu. Namun, tidak semua orang dengan mudah menangkap makna dari setiap bait pantun tersebut sebab dadi menggunakan bahasa Lampung tingkat tinggi. Hal itu pula yang membuat tidak semua orang mampu mempelajarinya.
Dalam keluarga Dalom Muda Sebuway sendiri, sastra lisan ini pun tak hanya dilihat sebagai sebuah wujud kebudayaan. Mereka melihatnya sebagai sesuatu yang sakral.
"Tidak semua orang mampu mempelajarinya sebab bahasa yang digunakan adalah bahasa kelas tinggi, penuh dengan kiasan yang tidak segera mudah ditangkap arti dan maknanya," tutur Masnuna.
Masnuna, yang kala itu mulai menginjak remaja, melihatnya tidak lagi sebagai hanya sebuah karya sastra tradisional yang perlu dilestarikan. Bagi Masnuna, dadi adalah napasnya. Ia menganggapnya sebagai kisah tentang permenungan dan pengalaman bergulat dengan kehidupan.
"Yang saya lantunkan dalam dadi adalah pengalaman hidup saya sendiri. Apa yang saya lihat, apa yang saya alami, dan apa yang saya rasakan. Itulah semua yang saya ceritakan dalam dadi," tuturnya.
Tak heran jika untuk mempelajarinya ia melakukannya dengan sepenuh hati. Ia berpuasa selama tujuh hari dan melatih suaranya dengan cara menenggelamkan wajahnya ke dalam air sambil membaca doa.
Dari olah rasa dan raga itu, Masnuna mampu melantunkan tiap kalimat dalam bait-bait dadi dalam satu untaian napas yang panjang, bahkan dalam nada-nada tinggi. Ia mengemukakan, karena itulah mengapa dadi tidak mudah dipelajari, apalagi banyak anak muda saat ini yang tidak lagi menguasai bahasa Lampung tingkat tinggi.
Sayang, dadi, yang konon telah ada sebelum masa Hindu di Lampung, kini nyaris punah. Dari dua anaknya, bakat seni yang mengalir dalam buluh nadi Masnuna kini dialirkan kepada salah satu dari mereka, yaitu Abdul Somad, seorang penghulu yang tinggal di Tanjung Kemala, Kabupaten Lampung Tengah.
MASNUNA, yang lahir pada tahun 1932 di Kampung Segala Mider Pubian, Lampung Tengah, menikah dengan Abdul Hasan, seorang pemuda asal Tanjung Kemala, Lampung Tengah, pada tahun 1955. Pernikahan tidak menghalangi upayanya untuk memelihara sastra lisan Lampung. Bahkan, ia menjadi guru dadi, pisaan, dan kias yang juga merupakan bentuk-bentuk sastra lisan Lampung kuno.
Kepiawaian Masnuna melantunkan dadi mengundang minat seorang mahasiswa asal Amerika Serikat, Tim Smith, ketika mendalami seluk-beluk masyarakat Pubian Dakhak. Tentang hal itu, seorang seniman di Lampung berkomentar, orang asing pun mampu memperoleh gelar sarjana strata dua karena Masnuna. Akan tetapi sayang, orang kita sendiri kurang menghargai empu sastra itu.
Saat ini memang ada upaya dari Pemerintah Provinsi Lampung untuk mendokumentasikan sastra lisan seperti dadi, dan tentu saja di dalamnya terkait sosok kesenimanan Masnuna. Namun, menurut para seniman muda Lampung, sebaiknya pemerintah juga memberi perhatian dan penghargaan kepada Masnuna.
Menurut Masnuna, yang membuat dirinya tetap bertahan dan dengan rela hati memelihara dadi dan sastra lisan Lampung lainnya adalah kecintaannya terhadap sastra itu sendiri. "Karena di dalamnya terkandung makna yang sangat dalam. Makna, itulah dadi," tegasnya.
Oleh karena itu, ia pun rela tampil dalam berbagai acara seni seperti Kongres Cerpen Indonesia di Lampung, Lampung Arts Festival II, dan Ragom Budaya Lampung, meski untuk berjalan saja ia harus dibantu.
Jalannya tertatih-tatih karena usia yang telah menginjak 72 tahun, namun Masnuna tetap setia untuk melantunkan dadi. (B JOSIE SUSILO HARDIANTO)
Sumber: Kompas, Kamis, 29 Juli 2004
Pentas seni yang diselenggarakan Rabu (21/7) malam itu hendak mempertemukan seniman arus modern dengan para seniman arus tradisional. Seniman arus modern diwakili, antara lain, oleh Iswady Pratama, dedengkot teater di Lampung, serta Isbedy Stiawan, cerpenis dan penulis puisi.
Dari arus tradisional, salah satunya diwakili oleh Masnuna, ibu tua yang mengayun pelan kipas kayu cendana.
Masnuna saat ini dikenal sebagai satu-satunya pelantun sastra lisan Lampung yang dikenal dengan dadi. Dadi adalah sebuah bentuk sastra yang pengisahannya dilakukan dengan cara menuturkan. Malam itu, Masnuna, dalam pertemuan dua arus, diminta melantunkan sastra lisan tersebut.
Suaranya tinggi mengalun saat ia menuturkan kalimat demi kalimat dalam tiap bait sastra lisan. Kipas kayu cendana, yang sedari tadi digunakannya mengusir hawa panas, saat melantunkan dadi digunakannya untuk menutup sebagian dari wajahnya. Memang begitulah caranya.
Masnuna mempelajari sastra lisan itu ketika ia masih berusia tujuh tahun. Ia berguru kepada Dalom Muda Sebuway, yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Tak hanya itu, ibunya, Siti Aminah, pun turut mengasah kemahiran bocah itu dalam melantunkan setiap bait sastra lisan.
Wajahnya berseri dan tangannya lincah bergerak mengiringi penuturannya tentang dadi. Garis keriput penanda usia yang telah senja menjadi tegas mengekspresikan perasaannya saat mengisahkan pengalamannya belajar dan memelihara sastra lisan tersebut agar tetap lestari hingga saat ini.
NIAT Masnuna untuk mempelajari dadi bukan hanya karena darah seni yang diwarisinya. Lebih dari itu, niatnya didorong oleh kenyataan bahwa dadi merupakan karya sastra utama yang hidup dalam masyarakat adat Pubian, salah satu marga di Lampung. Hampir dalam setiap perhelatan masyarakat adat Pubian, dadi tampil sebagai suguhan utama.
Dadi, yang biasanya berisi pantun sindiran, pantun jenaka, dan terutama pantun nasihat, merupakan acara yang ditunggu-tunggu. Namun, tidak semua orang dengan mudah menangkap makna dari setiap bait pantun tersebut sebab dadi menggunakan bahasa Lampung tingkat tinggi. Hal itu pula yang membuat tidak semua orang mampu mempelajarinya.
Dalam keluarga Dalom Muda Sebuway sendiri, sastra lisan ini pun tak hanya dilihat sebagai sebuah wujud kebudayaan. Mereka melihatnya sebagai sesuatu yang sakral.
"Tidak semua orang mampu mempelajarinya sebab bahasa yang digunakan adalah bahasa kelas tinggi, penuh dengan kiasan yang tidak segera mudah ditangkap arti dan maknanya," tutur Masnuna.
Masnuna, yang kala itu mulai menginjak remaja, melihatnya tidak lagi sebagai hanya sebuah karya sastra tradisional yang perlu dilestarikan. Bagi Masnuna, dadi adalah napasnya. Ia menganggapnya sebagai kisah tentang permenungan dan pengalaman bergulat dengan kehidupan.
"Yang saya lantunkan dalam dadi adalah pengalaman hidup saya sendiri. Apa yang saya lihat, apa yang saya alami, dan apa yang saya rasakan. Itulah semua yang saya ceritakan dalam dadi," tuturnya.
Tak heran jika untuk mempelajarinya ia melakukannya dengan sepenuh hati. Ia berpuasa selama tujuh hari dan melatih suaranya dengan cara menenggelamkan wajahnya ke dalam air sambil membaca doa.
Dari olah rasa dan raga itu, Masnuna mampu melantunkan tiap kalimat dalam bait-bait dadi dalam satu untaian napas yang panjang, bahkan dalam nada-nada tinggi. Ia mengemukakan, karena itulah mengapa dadi tidak mudah dipelajari, apalagi banyak anak muda saat ini yang tidak lagi menguasai bahasa Lampung tingkat tinggi.
Sayang, dadi, yang konon telah ada sebelum masa Hindu di Lampung, kini nyaris punah. Dari dua anaknya, bakat seni yang mengalir dalam buluh nadi Masnuna kini dialirkan kepada salah satu dari mereka, yaitu Abdul Somad, seorang penghulu yang tinggal di Tanjung Kemala, Kabupaten Lampung Tengah.
MASNUNA, yang lahir pada tahun 1932 di Kampung Segala Mider Pubian, Lampung Tengah, menikah dengan Abdul Hasan, seorang pemuda asal Tanjung Kemala, Lampung Tengah, pada tahun 1955. Pernikahan tidak menghalangi upayanya untuk memelihara sastra lisan Lampung. Bahkan, ia menjadi guru dadi, pisaan, dan kias yang juga merupakan bentuk-bentuk sastra lisan Lampung kuno.
Kepiawaian Masnuna melantunkan dadi mengundang minat seorang mahasiswa asal Amerika Serikat, Tim Smith, ketika mendalami seluk-beluk masyarakat Pubian Dakhak. Tentang hal itu, seorang seniman di Lampung berkomentar, orang asing pun mampu memperoleh gelar sarjana strata dua karena Masnuna. Akan tetapi sayang, orang kita sendiri kurang menghargai empu sastra itu.
Saat ini memang ada upaya dari Pemerintah Provinsi Lampung untuk mendokumentasikan sastra lisan seperti dadi, dan tentu saja di dalamnya terkait sosok kesenimanan Masnuna. Namun, menurut para seniman muda Lampung, sebaiknya pemerintah juga memberi perhatian dan penghargaan kepada Masnuna.
Menurut Masnuna, yang membuat dirinya tetap bertahan dan dengan rela hati memelihara dadi dan sastra lisan Lampung lainnya adalah kecintaannya terhadap sastra itu sendiri. "Karena di dalamnya terkandung makna yang sangat dalam. Makna, itulah dadi," tegasnya.
Oleh karena itu, ia pun rela tampil dalam berbagai acara seni seperti Kongres Cerpen Indonesia di Lampung, Lampung Arts Festival II, dan Ragom Budaya Lampung, meski untuk berjalan saja ia harus dibantu.
Jalannya tertatih-tatih karena usia yang telah menginjak 72 tahun, namun Masnuna tetap setia untuk melantunkan dadi. (B JOSIE SUSILO HARDIANTO)
Sumber: Kompas, Kamis, 29 Juli 2004
Masnuna, Seelok dan Selangka Punai
"TEGAKKANLAH dadi!" kata Dalom Muda Sebuway kepada Masnuna, putrinya yang kala itu masih berusia delapan tahun. Sejak saat itulah, Masnuna menggeluti dadi sebagaimana ia menggeluti hidupnya.
Masnuna saat ini dikenal sebagai satu-satunya pelantun sastra lisan Lampung yang dikenal dengan sebutan dadi. Ini merupakan karya sastra utama yang hidup di dalam masyarakat adat Pubian, salah satu marga di Lampung. Hampir dalam setiap perhelatan mereka, dadi tampil sebagai suguhan utama. Dadi-yang biasanya berisi pantun sindiran, pantun jenaka, dan terutama pantun nasihat dan konon telah ada di Lampung sebelum masa Hindu -merupakan acara yang ditunggu-tunggu, meskipun tidak semua orang dengan mudah bisa menangkap makna setiap bait pantunnya. Maklum, bahasa yang digunakan adalah bahasa Lampung tingkat tinggi.
TAHUN 1940 adalah masa yang sulit bagi warga Desa Segala Mider Pubian. Masnuna pun mengalaminya. Kehadiran tentara Belanda di desa tempat kelahirannya itu membuat ia dan teman-teman seusianya harus berhenti dari sekolah.
"Saya baru kelas tiga saat Belanda datang," tuturnya. Namun, justru pada masa itulah kemampuan Masnuna sebagai penutur dadi terbentuk. "Tidak ada waktu khusus. Setiap waktu senggang selalu diisi dengan berlatih dadi. Namun kala itu yang paling baik adalah seusai shalat isya, saat semua orang telah berada di rumah,"ujarnya.
Itu dilakukannya nyaris setiap hari. Awalnya ia menirukan apa yang dilantunkan oleh Dalom Muda Sebuway. Ia pun juga dituntun untuk memahami makna dari tuturan itu. "Semuanya dilakukan dengan dituturkan begitu saja, lalu saya ulangi terus setiap saat," ujarnya menambahkan.
Yang dipelajari saat itu adalah dadi karangan Dalom Muda Sebuway yang berisi tentang pengalaman hidup Dalom dan apa saja kisah yang dilihatnya termasuk kedatangan Belanda di Desa Segala Mider Pubian.
Olah batin dan raga untuk menguasai dadi dilakukan Masnuna saat ia mandi atau mencuci di sungai. "Saya memasukkan kepala ke dalam air hingga tujuh kali sambil berteriak sekencang-kencangnya saat kepala berada di dalam air," kisahnya, seraya menambahkan bagaimana sang ibu, Siti Aminah, pun mengasah ketajaman batin Masnuna dengan berbagai doa dan mantra. Dari olah rasa dan raga itu, Masnuna mampu melantunkan tiap kalimat dadi dalam satu untaian napas yang panjang, bahkan dalam nada-nada tinggi.
BELAKANGAN, setelah cukup mahir, mulailah Masnuna membuat dadi sendiri. Isinya tentang apa saja yang dialami dan dirasakannya. Uniknya, ia hafal hingga saat ini apa saja isi dadi itu meskipun tuturan itu tidak pernah ditulisnya.
"Saya tahu dan hafal karena itu adalah hidup saya sendiri," aku nenek yang dipersunting oleh Abdul Hasan, seorang pemuda asal Tanjung Kemala, Lampung Tengah, pada tahun 1955 itu.
Di mata Masnuna, dadi adalah ketajaman seseorang dalam melihat sesuatu peristiwa dan menuturkannya dengan bahasa Lampung tingkat tinggi dan halus. Isinya bisa sangat jauh berbeda dari arti sesungguhnya rangkaian kata yang digunakan. Ambil misal, jika dalam pantun perkawinan yang dikatakan adalah "tungku itu sudah diletakkan di atas jalinan rotan", maknanya adalah bahwa si gadis sudah dimiliki oleh seseorang dan ia tidak dapat lagi diambil atau diingini oleh orang lain.
Tidak mudah memang untuk menjadi pelantun dadi. Lantunannya nyaris mirip sebuah mantra yang diwedarkan. "Turun naik seperti burung punai yang terbang tinggi, tiba-tiba langsung turun merendah, lalu terbang lagi meninggi," tutur Masnuna.
Itulah ciri khas dadi yang membuatnya sulit untuk dipelajari. Setidaknya seseorang harus kaya dalam perbendaharaan kata dan sekaligus memiliki napas panjang. Tak heran jika saat ini, sastra tutur tingkat tinggi itu makin langka. Di tempat Masnuna saat ini tinggal, Desa Tanjung Kemala, Lampung Tengah-yang berjarak sekitar 100 kilometer dari Kota Bandar Lampung-hanya dua gadis desa yang berusaha mempelajarinya.
"Yang satu adalah Sri Astuti dan yang satu adalah Elisa, cucu saya," kata Masnuna. Namun agaknya Elisa enggan meneruskan warisan neneknya itu. Alasannya, sulit dan tidak menarik. Apalagi saat ini orkes organ tunggal telah menjamur hingga ke pelosok-pelosok perkampungan dan desa.
Bandingkan dengan masa remaja Masnuna di saat dadi masih jaya. Saat itu banyak gadis dan pemuda seusianya serius mempelajari dadi. Mereka masing-masing berguru kepada orangtua mereka.
"Dulu, dalam upacara adat, para muli (gadis) duduk berderet dan dibelakangnya para tua-tua duduk membisikkan syair atau pantun. Kami yang kemudian melantunkannya bergantian dan bersahut-sahutan dengan para mekhanai (bujang) yang duduk di seberang kami," tutur Masnuna.
BETAPA penting arti dadi bagi masyarakat Pubian juga bisa dilihat dari kompetisi antarpelantun. Ayah Masnuna, misalnya, pernah ditantang untuk berdadi dengan warga kampung tetangga.
"Jika bapak saya kalah, penantangnya dapat membawa pulang anak gadisnya. Dan kalau bapak saya menang, ia memperoleh tiga ekor sapi dan lembu milik si penantang. Untungnya, waktu itu bapak saya menang," ungkap Masnuna.
Riagus Ria, keponakan Masnuna-yang saat ini bergulat untuk mendokumentasikan beragam seni sastra lisan Lampung-menjelaskan bahwa kemenangan seseorang dalam kompetisi dadi ditentukan jika si lawan beralih pada tema lain.
"Jika awalnya pantun itu bertema tentang keelokan alam misalnya, hingga akhir seharusnya tema itu terus yang diangkat. Tetapi jika salah satu pelantun beralih ke tema lain, ia dinyatakan kalah karena berarti perbendaharaan kata yang dimilikinya tentang tema itu telah habis," jelas Agus.
Sayangnya kompetisi antarpelantun dadi tidak sanggup menahan pudarnya popularitas dadi sekitar tahun 1970-an. Pada tahun 2000-an hanya tersisa empat penutur dadi. Selain Masnuna, tiga pelantun lainnya adalah Pangeran Mata Punai (meninggal dunia pada tahun 2003), dan Hasan Penyimbang Raja serta Saerah yang saat ini terserang stroke. Bahkan satu nama yang terkenal, Ali Pangeran Pengadilan, mengembuskan napas terakhir tujuh tahun lalu.
"Dulu, mereka selalu bersama- sama melantunkan dadi saat ada acara adat seperti perkawinan, pesta sunatan, atau pesta panen. Meskipun sudah tua, mereka tetap tekun untuk berdadi," tutur Somad, anak laki-laki Masnuna, yang lebih memilih mempelajari pisaan dan diker, bentuk-bentuk sastra lisan Lampung lainnya.
Saat ini hanya tinggal Masnuna yang terus bergulat untuk melestarikan sastra lisan tersebut, meskipun untuk itu ia harus pergi jauh ke berbagai acara adat. Kadang-kadang di usianya yang sudah renta itu, Masnuna enggan untuk pergi jauh dari kampungnya. Sebagai orang kecil, ia sering merasa malu jika harus berdadi di gedung mewah dan dihadiri oleh banyak petinggi.
Namun, keponakannya, Riagus Ria, selalu membesarkan hatinya. Dan pada saat-saat seperti itulah berbagai mantra dan doa yang diajarkan ibunya menjadi penguat batinnya. Hal itu pula yang sering membuatnya menjadi segar kembali dan dengan mudah membuat dadi, bahkan saat di dalam bus umum ketika menuju tempat perhelatan adat itu.
MUNGKIN mengkader penerus sastra lisan dadi tak mudah, tapi sekurangnya Masnuna masih memiliki Riagus Ria, yang sekurangnya bisa melestarikan dadi secara tertulis. Untuk itu, setiap kali Masnuna berdadi, Riagus mulai menuliskan syair-syair yang dilantunkannya.
"Belum banyak, namun saya berharap itu dapat menjadi awal yang baik untuk melestarikan dadi karena memang sudah tidak banyak lagi orang yang memiliki dan mampu berbahasa Lampung halus. Saya sendiri masih kesulitan, namun toh orang tetap harus belajar," tutur Agus.
Dadi sendiri sebenarnya memang dapat diungkapkan lewat surat. Jika seseorang rindu kepada kerabatnya di kampung, ia dapat menuliskan dadi itu dan meminta tolong pada orang lain untuk mengantarnya. Balasan surat itu, menurut Agus, juga harus dalam bentuk dadi.
"Namun sayang surat-surat semacam itu kebanyakan sudah hilang. Kebanyakan orang tidak sadar betul dengan pendokumentasian sastra seperti itu. Apalagi kala itu alat tulis sangat terbatas. Saya masih menyimpan satu tulisan tangan ayah saya yang ditulis di selembar kertas bekas pembungkus rokok," tutur Agus.
DI tengah sepinya suasana desa dan dalam segala bentuk kesederhanaannya, Masnuna begitu setia melestarikan dadi, sebuah warisan sastra lisan tingkat tinggi asli Lampung. Masnuna terus melantunkan dadi, meskipun saat ini burung punai dan cara terbangnya-yang menjadi inspirasi baginya-tak lagi mudah ditemui melintas persawahan.
Bersamaan dengan langkanya burung punai, sastra lisan dadi ini pun makin meredup. Kesedihan Masnuna pun makin menjadi. "Mestinya dadi dilantunkan bersahut-sahutan, namun sayang saat ini tidak ada lagi yang mampu menguasainya," keluhnya. (B Josie Susilo Hardianto)
Sumber: Kompas, Kamis, 30 Desember 2004
Masnuna saat ini dikenal sebagai satu-satunya pelantun sastra lisan Lampung yang dikenal dengan sebutan dadi. Ini merupakan karya sastra utama yang hidup di dalam masyarakat adat Pubian, salah satu marga di Lampung. Hampir dalam setiap perhelatan mereka, dadi tampil sebagai suguhan utama. Dadi-yang biasanya berisi pantun sindiran, pantun jenaka, dan terutama pantun nasihat dan konon telah ada di Lampung sebelum masa Hindu -merupakan acara yang ditunggu-tunggu, meskipun tidak semua orang dengan mudah bisa menangkap makna setiap bait pantunnya. Maklum, bahasa yang digunakan adalah bahasa Lampung tingkat tinggi.
TAHUN 1940 adalah masa yang sulit bagi warga Desa Segala Mider Pubian. Masnuna pun mengalaminya. Kehadiran tentara Belanda di desa tempat kelahirannya itu membuat ia dan teman-teman seusianya harus berhenti dari sekolah.
"Saya baru kelas tiga saat Belanda datang," tuturnya. Namun, justru pada masa itulah kemampuan Masnuna sebagai penutur dadi terbentuk. "Tidak ada waktu khusus. Setiap waktu senggang selalu diisi dengan berlatih dadi. Namun kala itu yang paling baik adalah seusai shalat isya, saat semua orang telah berada di rumah,"ujarnya.
Itu dilakukannya nyaris setiap hari. Awalnya ia menirukan apa yang dilantunkan oleh Dalom Muda Sebuway. Ia pun juga dituntun untuk memahami makna dari tuturan itu. "Semuanya dilakukan dengan dituturkan begitu saja, lalu saya ulangi terus setiap saat," ujarnya menambahkan.
Yang dipelajari saat itu adalah dadi karangan Dalom Muda Sebuway yang berisi tentang pengalaman hidup Dalom dan apa saja kisah yang dilihatnya termasuk kedatangan Belanda di Desa Segala Mider Pubian.
Olah batin dan raga untuk menguasai dadi dilakukan Masnuna saat ia mandi atau mencuci di sungai. "Saya memasukkan kepala ke dalam air hingga tujuh kali sambil berteriak sekencang-kencangnya saat kepala berada di dalam air," kisahnya, seraya menambahkan bagaimana sang ibu, Siti Aminah, pun mengasah ketajaman batin Masnuna dengan berbagai doa dan mantra. Dari olah rasa dan raga itu, Masnuna mampu melantunkan tiap kalimat dadi dalam satu untaian napas yang panjang, bahkan dalam nada-nada tinggi.
BELAKANGAN, setelah cukup mahir, mulailah Masnuna membuat dadi sendiri. Isinya tentang apa saja yang dialami dan dirasakannya. Uniknya, ia hafal hingga saat ini apa saja isi dadi itu meskipun tuturan itu tidak pernah ditulisnya.
"Saya tahu dan hafal karena itu adalah hidup saya sendiri," aku nenek yang dipersunting oleh Abdul Hasan, seorang pemuda asal Tanjung Kemala, Lampung Tengah, pada tahun 1955 itu.
Di mata Masnuna, dadi adalah ketajaman seseorang dalam melihat sesuatu peristiwa dan menuturkannya dengan bahasa Lampung tingkat tinggi dan halus. Isinya bisa sangat jauh berbeda dari arti sesungguhnya rangkaian kata yang digunakan. Ambil misal, jika dalam pantun perkawinan yang dikatakan adalah "tungku itu sudah diletakkan di atas jalinan rotan", maknanya adalah bahwa si gadis sudah dimiliki oleh seseorang dan ia tidak dapat lagi diambil atau diingini oleh orang lain.
Tidak mudah memang untuk menjadi pelantun dadi. Lantunannya nyaris mirip sebuah mantra yang diwedarkan. "Turun naik seperti burung punai yang terbang tinggi, tiba-tiba langsung turun merendah, lalu terbang lagi meninggi," tutur Masnuna.
Itulah ciri khas dadi yang membuatnya sulit untuk dipelajari. Setidaknya seseorang harus kaya dalam perbendaharaan kata dan sekaligus memiliki napas panjang. Tak heran jika saat ini, sastra tutur tingkat tinggi itu makin langka. Di tempat Masnuna saat ini tinggal, Desa Tanjung Kemala, Lampung Tengah-yang berjarak sekitar 100 kilometer dari Kota Bandar Lampung-hanya dua gadis desa yang berusaha mempelajarinya.
"Yang satu adalah Sri Astuti dan yang satu adalah Elisa, cucu saya," kata Masnuna. Namun agaknya Elisa enggan meneruskan warisan neneknya itu. Alasannya, sulit dan tidak menarik. Apalagi saat ini orkes organ tunggal telah menjamur hingga ke pelosok-pelosok perkampungan dan desa.
Bandingkan dengan masa remaja Masnuna di saat dadi masih jaya. Saat itu banyak gadis dan pemuda seusianya serius mempelajari dadi. Mereka masing-masing berguru kepada orangtua mereka.
"Dulu, dalam upacara adat, para muli (gadis) duduk berderet dan dibelakangnya para tua-tua duduk membisikkan syair atau pantun. Kami yang kemudian melantunkannya bergantian dan bersahut-sahutan dengan para mekhanai (bujang) yang duduk di seberang kami," tutur Masnuna.
BETAPA penting arti dadi bagi masyarakat Pubian juga bisa dilihat dari kompetisi antarpelantun. Ayah Masnuna, misalnya, pernah ditantang untuk berdadi dengan warga kampung tetangga.
"Jika bapak saya kalah, penantangnya dapat membawa pulang anak gadisnya. Dan kalau bapak saya menang, ia memperoleh tiga ekor sapi dan lembu milik si penantang. Untungnya, waktu itu bapak saya menang," ungkap Masnuna.
Riagus Ria, keponakan Masnuna-yang saat ini bergulat untuk mendokumentasikan beragam seni sastra lisan Lampung-menjelaskan bahwa kemenangan seseorang dalam kompetisi dadi ditentukan jika si lawan beralih pada tema lain.
"Jika awalnya pantun itu bertema tentang keelokan alam misalnya, hingga akhir seharusnya tema itu terus yang diangkat. Tetapi jika salah satu pelantun beralih ke tema lain, ia dinyatakan kalah karena berarti perbendaharaan kata yang dimilikinya tentang tema itu telah habis," jelas Agus.
Sayangnya kompetisi antarpelantun dadi tidak sanggup menahan pudarnya popularitas dadi sekitar tahun 1970-an. Pada tahun 2000-an hanya tersisa empat penutur dadi. Selain Masnuna, tiga pelantun lainnya adalah Pangeran Mata Punai (meninggal dunia pada tahun 2003), dan Hasan Penyimbang Raja serta Saerah yang saat ini terserang stroke. Bahkan satu nama yang terkenal, Ali Pangeran Pengadilan, mengembuskan napas terakhir tujuh tahun lalu.
"Dulu, mereka selalu bersama- sama melantunkan dadi saat ada acara adat seperti perkawinan, pesta sunatan, atau pesta panen. Meskipun sudah tua, mereka tetap tekun untuk berdadi," tutur Somad, anak laki-laki Masnuna, yang lebih memilih mempelajari pisaan dan diker, bentuk-bentuk sastra lisan Lampung lainnya.
Saat ini hanya tinggal Masnuna yang terus bergulat untuk melestarikan sastra lisan tersebut, meskipun untuk itu ia harus pergi jauh ke berbagai acara adat. Kadang-kadang di usianya yang sudah renta itu, Masnuna enggan untuk pergi jauh dari kampungnya. Sebagai orang kecil, ia sering merasa malu jika harus berdadi di gedung mewah dan dihadiri oleh banyak petinggi.
Namun, keponakannya, Riagus Ria, selalu membesarkan hatinya. Dan pada saat-saat seperti itulah berbagai mantra dan doa yang diajarkan ibunya menjadi penguat batinnya. Hal itu pula yang sering membuatnya menjadi segar kembali dan dengan mudah membuat dadi, bahkan saat di dalam bus umum ketika menuju tempat perhelatan adat itu.
MUNGKIN mengkader penerus sastra lisan dadi tak mudah, tapi sekurangnya Masnuna masih memiliki Riagus Ria, yang sekurangnya bisa melestarikan dadi secara tertulis. Untuk itu, setiap kali Masnuna berdadi, Riagus mulai menuliskan syair-syair yang dilantunkannya.
"Belum banyak, namun saya berharap itu dapat menjadi awal yang baik untuk melestarikan dadi karena memang sudah tidak banyak lagi orang yang memiliki dan mampu berbahasa Lampung halus. Saya sendiri masih kesulitan, namun toh orang tetap harus belajar," tutur Agus.
Dadi sendiri sebenarnya memang dapat diungkapkan lewat surat. Jika seseorang rindu kepada kerabatnya di kampung, ia dapat menuliskan dadi itu dan meminta tolong pada orang lain untuk mengantarnya. Balasan surat itu, menurut Agus, juga harus dalam bentuk dadi.
"Namun sayang surat-surat semacam itu kebanyakan sudah hilang. Kebanyakan orang tidak sadar betul dengan pendokumentasian sastra seperti itu. Apalagi kala itu alat tulis sangat terbatas. Saya masih menyimpan satu tulisan tangan ayah saya yang ditulis di selembar kertas bekas pembungkus rokok," tutur Agus.
DI tengah sepinya suasana desa dan dalam segala bentuk kesederhanaannya, Masnuna begitu setia melestarikan dadi, sebuah warisan sastra lisan tingkat tinggi asli Lampung. Masnuna terus melantunkan dadi, meskipun saat ini burung punai dan cara terbangnya-yang menjadi inspirasi baginya-tak lagi mudah ditemui melintas persawahan.
Bersamaan dengan langkanya burung punai, sastra lisan dadi ini pun makin meredup. Kesedihan Masnuna pun makin menjadi. "Mestinya dadi dilantunkan bersahut-sahutan, namun sayang saat ini tidak ada lagi yang mampu menguasainya," keluhnya. (B Josie Susilo Hardianto)
Sumber: Kompas, Kamis, 30 Desember 2004
February 12, 2007
Pentas Teater: Realitas Kehidupan dalam Sebuah Jam Dinding
BANDAR LAMPUNG--Sebuah ruang tamu kusam, hanya satu kursi tua dengan jam dinding menggantung. Hampir tidak ada hiasan apa pun di ruang kebanggaan keluarga Mala tersebut.
Namun, di tempat itulah Mala dan suaminya, Robert, serta anaknya melewatkan ulang tahun perkawinan perak atau ulang tahun perkawinan yang ke-25 layaknya orang borjuis. Sebuh kue tart buatan bakery lengkap dengan 25 lilin warna-warni dan sebotol anggur impor menghiasi meja usang tersebut.
Di ruang tamu itulah segala kenangan tentang masa lalu kembali terungkap antara Robert dan Mala yang sudah 25 tahun menikah. Namun, selama pernikahan yang mencapai seperempat abad tersebut, mereka hampir tidak memiliki harta apa pun kecuali sebuah jam dinding.
Kemudian, demi merayakan hari ulang tahun perkawinan ala orang kaya, Mala merelakan rambutnya yang indah ditukar dengan sepotong kue dan sebotol anggur. Sebab, uang pemberian suaminya hanya cukup untuk membeli sebongkah es batu dan sirop murahan.
"Aku tidak ingin ulang tahun perkawinan kita hanya diisi sekendi air putih. Sebab itu, aku menjual rambutku untuk ditukar dengan kue dan anggur," kata Mala.
Demikian sedikit penggalan kisah berjudul "Jam Dinding yang Berdetak" karya Nano Riantiarno yang dibawakan Teater Nol Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Intan, Bandar Lampung. Pementasan yang disutradarai Eko tersebut berlangsung Sabtu (10-2) di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa Unila.
Kegiatan itu merupakan rangkaian Hajatan Teater Lampung. Kegiatan ini menghadirkan beberapa kelompok teater dari berbagai kampus dan sekolah di Lampung.
"Jam Dinding yang Berdetak" terasa sangat dekat dengan keseharian masyarakat kita. Karya pendiri Teater Koma tersebut menggambarkan kepedihan sebagian besar bangsa yang terus-menerus hidup susah meskipun sudah puluhan tahun berjuang.
Namun, pembawaan beberapa karakter oleh Tater Nol di panggung tidak total. Akibatnya, ada beberapa dialog yang kadang terpeleset dan diulang. Ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan dialog pada beberapa tokoh masih seperti hapalan. Selain itu, keriuhan penonton juga mengurangi konsentrasi pemain dan penonton yang asyik menyimak. n UNI/K-2
Sumber: Lampung Post, Senin, 12 Februari 2007
Namun, di tempat itulah Mala dan suaminya, Robert, serta anaknya melewatkan ulang tahun perkawinan perak atau ulang tahun perkawinan yang ke-25 layaknya orang borjuis. Sebuh kue tart buatan bakery lengkap dengan 25 lilin warna-warni dan sebotol anggur impor menghiasi meja usang tersebut.
Di ruang tamu itulah segala kenangan tentang masa lalu kembali terungkap antara Robert dan Mala yang sudah 25 tahun menikah. Namun, selama pernikahan yang mencapai seperempat abad tersebut, mereka hampir tidak memiliki harta apa pun kecuali sebuah jam dinding.
Kemudian, demi merayakan hari ulang tahun perkawinan ala orang kaya, Mala merelakan rambutnya yang indah ditukar dengan sepotong kue dan sebotol anggur. Sebab, uang pemberian suaminya hanya cukup untuk membeli sebongkah es batu dan sirop murahan.
"Aku tidak ingin ulang tahun perkawinan kita hanya diisi sekendi air putih. Sebab itu, aku menjual rambutku untuk ditukar dengan kue dan anggur," kata Mala.
Demikian sedikit penggalan kisah berjudul "Jam Dinding yang Berdetak" karya Nano Riantiarno yang dibawakan Teater Nol Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Intan, Bandar Lampung. Pementasan yang disutradarai Eko tersebut berlangsung Sabtu (10-2) di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa Unila.
Kegiatan itu merupakan rangkaian Hajatan Teater Lampung. Kegiatan ini menghadirkan beberapa kelompok teater dari berbagai kampus dan sekolah di Lampung.
"Jam Dinding yang Berdetak" terasa sangat dekat dengan keseharian masyarakat kita. Karya pendiri Teater Koma tersebut menggambarkan kepedihan sebagian besar bangsa yang terus-menerus hidup susah meskipun sudah puluhan tahun berjuang.
Namun, pembawaan beberapa karakter oleh Tater Nol di panggung tidak total. Akibatnya, ada beberapa dialog yang kadang terpeleset dan diulang. Ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan dialog pada beberapa tokoh masih seperti hapalan. Selain itu, keriuhan penonton juga mengurangi konsentrasi pemain dan penonton yang asyik menyimak. n UNI/K-2
Sumber: Lampung Post, Senin, 12 Februari 2007
February 10, 2007
Esai: Bermimpi tentang Kota Budaya
-- Oyos Saroso HN*
BARU-BARU ini Dewan Kesenian Kota Bandar Lampung (DKBL) menggagas terbentuknya Kota Bandar Lampung sebagai kota budaya. Gagasan awal itu muncul lewat serangkaian diskusi dan musyawarah pembentukan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) Dewan Kesenian Kota Bandar Lampung.
Sepintas, gagasan tentang kota budaya adalah pekerjaan sepele. Namun, jika kita telaah lebih jauh upaya menjadikan Bandar Lampung sebagai kota budaya bukanlah persoalan mudah. Sebab, upaya itu harus melibatkan banyak sektor, stakeholder, dan kesadaran dari berbagai kalangan.
Bukan hanya kesadaran dari para seniman-budayawan di Bandar Lampung, melainkan juga kesadaran dan kepedulian yang tinggi dari aparat birokrasi dan legislatif. Tanpa adanya kesadaran dan kepedulian dari banyak pihak, gagasan Bandar Lampung sebagai kota budaya hanya akan menjadi teriakan parau dari menara gading. Alhasil, proses pembentukan kota budaya pada akhirnya terhenti sebagai proyek.
Rencana besar DKBL sebenarnya bukanlah gagasan yang terlampau muluk-muluk atau mengada-ada. Ini kalau landasan pijakannya adalah sejarah demografi Bandar Lampung yang multietnis--sehingga memiliki keragaman seni budaya--dan fakta bahwa Bandar Lampung saat ini menjadi kota yang sangat diperhitungkan dalam percaturan sastra di Tanah Air.
Di Bandar Lampung, hampir ada semua suku bangsa di Indonesia. Mereka hidup berdampingan dengan tetap melanjutkan tradisi budaya sukunya masing-masing. Pluralisme budaya semacam ini nyaris hanya bisa dijumpai di Bandar Lampung dan Jakarta. Kemajemukan budaya itu jelas sebuah kekuatan jika bisa dikelola dengan baik. Bukan hanya kekuatan untuk menempatkan Bandar Lampung sebagai kota multietnis yang paling toleran di Indonesia, melainkan juga menjadi kekuatan untuk menjadi aset wisata.
TEATER. Komunitas Berkat Yakin (KoBER), Lampung mementaskan lakon "Pinangan" karya Anton Chekov.
Tantangan yang terbesar, tentu saja, tata ruang kota yang telanjur kacau balau dan mentalitas warga kota yang payah. Kita tahu selama ini Bandar Lampung telanjur menjadi "kota ruko" yang menafikan unsur arsitektur. Ke depan, citra "kota ruko" itu harus diubah agar arsitektur dan tata ruang kota lebih manusiawi.
Seperti apa wajah Bandar Lampung jika menjadi kota budaya? Sesuai dengan makna budaya yang luas--tidak hanya menyangkut kesenian--kalau kita setuju bahwa kota budaya adalah kota yang dalam seluruh aspek kehidupannya mencerminkan nilai-nilai budaya, maka gambaran kota Bandar Lampung ke depan adalah kota yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut. Pertama, seni budaya yang dipelihara dengan baik. Kedua, gedung-gedung penting yang menghiasi wajah kota memiliki sentuhan nilai arsitektur yang tinggi.
Ketiga, adanya ruang terbuka yang memungkinkan warga kota menghirup udara segar sambil rekreasi. Termasuk di sini adalah tersedianya jalan atau jalur khusus tukang becak, trotoar yang sesuai dengan peruntukannya (untuk jalan kaki), dan taman kota nan asri yang mencerminkan penghuni kota yang memiliki cita rasa seni.
Keempat, adanya sarana berkesenian yang memadai bagi para seniman untuk mengembangkan kreativitasnya. Termasuk di sini adalah gedung kesenian yang memenuhi standar, lembaga kesenian dan lembaga kebudayaan yang profesional.
Untuk menjadi kota budaya, tentu membutuhkan banyak prasyarat. Prasyarat itu, antara lain landasan hukum yang jelas, rencana strategis yang jelas dan terukur, komitmen seluruh warga kota yang tinggi, tersedianya daya dukung fasilitas yang memadai, dan adanya komitmen dari Pemda Bandar Lampung untuk terus melanjutkan perjuangan terciptanya kota budaya.
Landasan hukum bisa diwujudkan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) tentang Bandar Lampung sebagai Kota Budaya. Dengan adanya Perda tersebut diharapkan akan ada tanggung jawab dari semua elemen masyarakat dan warga kota untuk mewujudkan Bandar Lampung sebagai kota budaya.
Dalam perda itu juga bisa diatur soal tanggung jawab dan kewajiban bagi para pemilik hotel berbintang untuk turut mendukung terciptanya Bandar Lampung sebagai kota budaya. Secara sederhana, misalnya, dengan mewajibkan para pemilik hotel untuk menyediakan sedikit tempat di ruang lobi hotel bagi pertunjukan kesenian tradisi tiap hari. Komitmen ini sebenarnya sudah dimulai oleh Hotel Sheraton Lampung dengan menampilkan seni musik cetik. Hal yang sama sebenarnya juga dilakukan oleh sejumlah hotel di Yogyakarta, Jakarta, Bali, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya.
Rencana strategis sangat penting karena untuk membangun kota sebagai kota budaya tidak bisa dilakukan secara serampangan dalam tempo singkat. Pembangunan kota budaya harus direncanakan secara matang dan tidak boleh terhenti hanya karena wali kotanya berganti. Dengan begitu, "proyek besar" ini bukan semata-mata kemauannya Dewan Kesenian Kota Bandar Lampung atau proyek politiknya Wali Kota Eddy Sutrisno. Jika perencanaan dan pelaksanaan cita-cita besar ini dilakukan dengan baik dan serius, saya yakin akan banyak manfaatnya bagi warga kota, dan akan membantu siapa pun yang menjadi wali kota Bandar Lampung untuk menciptakan Bandar Lampung sebagai kota terbersih. Logikanya sederhana saja, jika program ini berhasil maka tidak ada lagi perilaku warga kota yang antibudaya. Dengan begitu, keindahan kota akan terawat dan keamanan warga lebih terjamin.
Alhasil, Kota Bandar Lampung tidak saja nyaman sebagai tempat tinggal warganya, tetapi juga menjadi salah satu tujuan utama para wisatawan domestik maupun mancanegara. Lebih jauh lagi, Kota Bandar Lampung akan menjadi kota yang diperhitungkan dalam percaturan seni budaya di level nasional maupun internasional.
Kalau mimpi itu terwujud, saya membayangkan dua puluh tahun lagi pada malam-malam tertentu anak-anak saya akan bisa menyaksikan pertunjukan drama modern di gedung kesenian yang megah yang disuguhkan Teater Satu pimpinan Iswadi Pratama atau Teater Kober pimpinan Ari Pahala Hutabarat dengan harga karcis Rp200 ribu. Pada malam lain, saya bayangkan anak-anak saya bersama teman-temannya menyaksikan tari bedana, ringget, atau warahan yang dipentaskan para remaja.
* Oyos Saroso HN, pengamat seni-budaya
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 10 Februari 2007
BARU-BARU ini Dewan Kesenian Kota Bandar Lampung (DKBL) menggagas terbentuknya Kota Bandar Lampung sebagai kota budaya. Gagasan awal itu muncul lewat serangkaian diskusi dan musyawarah pembentukan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) Dewan Kesenian Kota Bandar Lampung.
Sepintas, gagasan tentang kota budaya adalah pekerjaan sepele. Namun, jika kita telaah lebih jauh upaya menjadikan Bandar Lampung sebagai kota budaya bukanlah persoalan mudah. Sebab, upaya itu harus melibatkan banyak sektor, stakeholder, dan kesadaran dari berbagai kalangan.
Bukan hanya kesadaran dari para seniman-budayawan di Bandar Lampung, melainkan juga kesadaran dan kepedulian yang tinggi dari aparat birokrasi dan legislatif. Tanpa adanya kesadaran dan kepedulian dari banyak pihak, gagasan Bandar Lampung sebagai kota budaya hanya akan menjadi teriakan parau dari menara gading. Alhasil, proses pembentukan kota budaya pada akhirnya terhenti sebagai proyek.
Rencana besar DKBL sebenarnya bukanlah gagasan yang terlampau muluk-muluk atau mengada-ada. Ini kalau landasan pijakannya adalah sejarah demografi Bandar Lampung yang multietnis--sehingga memiliki keragaman seni budaya--dan fakta bahwa Bandar Lampung saat ini menjadi kota yang sangat diperhitungkan dalam percaturan sastra di Tanah Air.
Di Bandar Lampung, hampir ada semua suku bangsa di Indonesia. Mereka hidup berdampingan dengan tetap melanjutkan tradisi budaya sukunya masing-masing. Pluralisme budaya semacam ini nyaris hanya bisa dijumpai di Bandar Lampung dan Jakarta. Kemajemukan budaya itu jelas sebuah kekuatan jika bisa dikelola dengan baik. Bukan hanya kekuatan untuk menempatkan Bandar Lampung sebagai kota multietnis yang paling toleran di Indonesia, melainkan juga menjadi kekuatan untuk menjadi aset wisata.
TEATER. Komunitas Berkat Yakin (KoBER), Lampung mementaskan lakon "Pinangan" karya Anton Chekov.
Tantangan yang terbesar, tentu saja, tata ruang kota yang telanjur kacau balau dan mentalitas warga kota yang payah. Kita tahu selama ini Bandar Lampung telanjur menjadi "kota ruko" yang menafikan unsur arsitektur. Ke depan, citra "kota ruko" itu harus diubah agar arsitektur dan tata ruang kota lebih manusiawi.
Seperti apa wajah Bandar Lampung jika menjadi kota budaya? Sesuai dengan makna budaya yang luas--tidak hanya menyangkut kesenian--kalau kita setuju bahwa kota budaya adalah kota yang dalam seluruh aspek kehidupannya mencerminkan nilai-nilai budaya, maka gambaran kota Bandar Lampung ke depan adalah kota yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut. Pertama, seni budaya yang dipelihara dengan baik. Kedua, gedung-gedung penting yang menghiasi wajah kota memiliki sentuhan nilai arsitektur yang tinggi.
Ketiga, adanya ruang terbuka yang memungkinkan warga kota menghirup udara segar sambil rekreasi. Termasuk di sini adalah tersedianya jalan atau jalur khusus tukang becak, trotoar yang sesuai dengan peruntukannya (untuk jalan kaki), dan taman kota nan asri yang mencerminkan penghuni kota yang memiliki cita rasa seni.
Keempat, adanya sarana berkesenian yang memadai bagi para seniman untuk mengembangkan kreativitasnya. Termasuk di sini adalah gedung kesenian yang memenuhi standar, lembaga kesenian dan lembaga kebudayaan yang profesional.
Untuk menjadi kota budaya, tentu membutuhkan banyak prasyarat. Prasyarat itu, antara lain landasan hukum yang jelas, rencana strategis yang jelas dan terukur, komitmen seluruh warga kota yang tinggi, tersedianya daya dukung fasilitas yang memadai, dan adanya komitmen dari Pemda Bandar Lampung untuk terus melanjutkan perjuangan terciptanya kota budaya.
Landasan hukum bisa diwujudkan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) tentang Bandar Lampung sebagai Kota Budaya. Dengan adanya Perda tersebut diharapkan akan ada tanggung jawab dari semua elemen masyarakat dan warga kota untuk mewujudkan Bandar Lampung sebagai kota budaya.
Dalam perda itu juga bisa diatur soal tanggung jawab dan kewajiban bagi para pemilik hotel berbintang untuk turut mendukung terciptanya Bandar Lampung sebagai kota budaya. Secara sederhana, misalnya, dengan mewajibkan para pemilik hotel untuk menyediakan sedikit tempat di ruang lobi hotel bagi pertunjukan kesenian tradisi tiap hari. Komitmen ini sebenarnya sudah dimulai oleh Hotel Sheraton Lampung dengan menampilkan seni musik cetik. Hal yang sama sebenarnya juga dilakukan oleh sejumlah hotel di Yogyakarta, Jakarta, Bali, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya.
Rencana strategis sangat penting karena untuk membangun kota sebagai kota budaya tidak bisa dilakukan secara serampangan dalam tempo singkat. Pembangunan kota budaya harus direncanakan secara matang dan tidak boleh terhenti hanya karena wali kotanya berganti. Dengan begitu, "proyek besar" ini bukan semata-mata kemauannya Dewan Kesenian Kota Bandar Lampung atau proyek politiknya Wali Kota Eddy Sutrisno. Jika perencanaan dan pelaksanaan cita-cita besar ini dilakukan dengan baik dan serius, saya yakin akan banyak manfaatnya bagi warga kota, dan akan membantu siapa pun yang menjadi wali kota Bandar Lampung untuk menciptakan Bandar Lampung sebagai kota terbersih. Logikanya sederhana saja, jika program ini berhasil maka tidak ada lagi perilaku warga kota yang antibudaya. Dengan begitu, keindahan kota akan terawat dan keamanan warga lebih terjamin.
Alhasil, Kota Bandar Lampung tidak saja nyaman sebagai tempat tinggal warganya, tetapi juga menjadi salah satu tujuan utama para wisatawan domestik maupun mancanegara. Lebih jauh lagi, Kota Bandar Lampung akan menjadi kota yang diperhitungkan dalam percaturan seni budaya di level nasional maupun internasional.
Kalau mimpi itu terwujud, saya membayangkan dua puluh tahun lagi pada malam-malam tertentu anak-anak saya akan bisa menyaksikan pertunjukan drama modern di gedung kesenian yang megah yang disuguhkan Teater Satu pimpinan Iswadi Pratama atau Teater Kober pimpinan Ari Pahala Hutabarat dengan harga karcis Rp200 ribu. Pada malam lain, saya bayangkan anak-anak saya bersama teman-temannya menyaksikan tari bedana, ringget, atau warahan yang dipentaskan para remaja.
* Oyos Saroso HN, pengamat seni-budaya
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 10 Februari 2007
February 9, 2007
Sastra: Ari Pahala Baca Puisi
Ari Pahala Hutabarat (Foto: Ubud Witer & Reader Festival 2006)
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Divisi Sastra Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Universitas Lampung menampilkan pembacaan puisi oleh Ari Pahala Hutabarat, di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Universitas Lampung, Sabtu (9-2) pukul 19.00.
Kegiatan dikemas dengan nama Bilik Jumpa Sastra (BJS) itu juga disertai dengan diskusi mengkaji karya penyair Lampung. BJS telah memasuki bulan ketujuh. Sebelumnya telah tampil penyair: Udo Z Karzi, Isbedy Stiawan ZS, Budi P. Hatees, dan Edy Samudra Kertagama.
Kali ini menampilkan Ari Pahala Hutabarat. Sajak-sajak Ari menarik untuk diapresiasi. Selama ini, karya Ari tersebar di berbagai media lokal dan nasional, seperti Lampung Post, Media Indonesia, Kompas, Koran Tempo, Jurnal Kebudayaan Kalam, dan Trans Sumatera.
Termasuk juga diterbitkan dalam bentuk antologi bersama, di antaranya Daun-Daun Jatuh Tunas Tumbuh (1995), Dari Huma Lada (1996), Menikam Senja Membidik Cakrawala (1997), Pesta Sastra Internasional TUK (2003), Konser Ujung Pulau (2003), Perjamuan Senja (DKJ 2005), Festival Mei (Nalar Institut dan Forum Sastra Bandung).
Saat ini, penyair yang pernah aktif di UKMBS Unila ini bergiat diri di Komunitas Berkat Yakin (KoBER) Lampung sebagai direktur artistik. Sebelumnya, Ari juga pernah membacakan puisi pada acara Panggung Puisi Indonesia Muktahir di Teater Utan Kayu (TUK) Jakarta pada bulan Juni 2003. Pesta Sastra Internasional 2003 juga di TUK, Agustus 2003. Pembacaan puisi di Taman Ismail Marzuki dalam acara Cakrawala Sastra Indonesia, dan terakhir membaca puisi di Bali dalam Ubud Writers and Readers Festival.
Di tempat yang sama, Sabtu (10-2) pukul 19.00, giliran Jaringan Teater Pelajar dan Mahasiswa Lampung menampilkan Teater Nol UKM-SBI IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Kelompok teater itu menampilkan "Jam Dinding yang Berdetak", karya Riantiarno dengan sutradara Eko Sutopo. n DWI/K-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 9 Februari 2007
Ari Pahala Hutabarat
Alumni dari FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Lampung (Unila). Beberapa puisinya pernah diterbitkan dalam antologi bersama para penyair Lampung. Sekarang terus bergiat berteater di Komunitas Berkat Yakin (KoBER) sebagai sutradara dan direktur artistik. Telah bermain ataupun menyutradarai lebih kurang 20 pertunjukan teater. Aktif dikegiatan sastra untuk tingkat lokal ataupun nasional, menjadi Ketua komite Sastra, Dewan Kesenian Lampung (DKL). Saat ini, bersama teman-teman di (KoBER) lebih sering menekuni dunia pembelajaran dan kreatifitas seperti workshop penulisan kreatif dan keaktoran. (dari Ubud Writers & Readers Festival 2006)
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Divisi Sastra Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Universitas Lampung menampilkan pembacaan puisi oleh Ari Pahala Hutabarat, di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Universitas Lampung, Sabtu (9-2) pukul 19.00.
Kegiatan dikemas dengan nama Bilik Jumpa Sastra (BJS) itu juga disertai dengan diskusi mengkaji karya penyair Lampung. BJS telah memasuki bulan ketujuh. Sebelumnya telah tampil penyair: Udo Z Karzi, Isbedy Stiawan ZS, Budi P. Hatees, dan Edy Samudra Kertagama.
Kali ini menampilkan Ari Pahala Hutabarat. Sajak-sajak Ari menarik untuk diapresiasi. Selama ini, karya Ari tersebar di berbagai media lokal dan nasional, seperti Lampung Post, Media Indonesia, Kompas, Koran Tempo, Jurnal Kebudayaan Kalam, dan Trans Sumatera.
Termasuk juga diterbitkan dalam bentuk antologi bersama, di antaranya Daun-Daun Jatuh Tunas Tumbuh (1995), Dari Huma Lada (1996), Menikam Senja Membidik Cakrawala (1997), Pesta Sastra Internasional TUK (2003), Konser Ujung Pulau (2003), Perjamuan Senja (DKJ 2005), Festival Mei (Nalar Institut dan Forum Sastra Bandung).
Saat ini, penyair yang pernah aktif di UKMBS Unila ini bergiat diri di Komunitas Berkat Yakin (KoBER) Lampung sebagai direktur artistik. Sebelumnya, Ari juga pernah membacakan puisi pada acara Panggung Puisi Indonesia Muktahir di Teater Utan Kayu (TUK) Jakarta pada bulan Juni 2003. Pesta Sastra Internasional 2003 juga di TUK, Agustus 2003. Pembacaan puisi di Taman Ismail Marzuki dalam acara Cakrawala Sastra Indonesia, dan terakhir membaca puisi di Bali dalam Ubud Writers and Readers Festival.
Di tempat yang sama, Sabtu (10-2) pukul 19.00, giliran Jaringan Teater Pelajar dan Mahasiswa Lampung menampilkan Teater Nol UKM-SBI IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Kelompok teater itu menampilkan "Jam Dinding yang Berdetak", karya Riantiarno dengan sutradara Eko Sutopo. n DWI/K-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 9 Februari 2007
Ari Pahala Hutabarat
Alumni dari FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Lampung (Unila). Beberapa puisinya pernah diterbitkan dalam antologi bersama para penyair Lampung. Sekarang terus bergiat berteater di Komunitas Berkat Yakin (KoBER) sebagai sutradara dan direktur artistik. Telah bermain ataupun menyutradarai lebih kurang 20 pertunjukan teater. Aktif dikegiatan sastra untuk tingkat lokal ataupun nasional, menjadi Ketua komite Sastra, Dewan Kesenian Lampung (DKL). Saat ini, bersama teman-teman di (KoBER) lebih sering menekuni dunia pembelajaran dan kreatifitas seperti workshop penulisan kreatif dan keaktoran. (dari Ubud Writers & Readers Festival 2006)
February 5, 2007
Iwan Nurdaya-Djafar: Saya Bertanggung Jawab dengan Pilihan ini
TUJUH tahun sebelum keluar UU 32/2004, Iwan pernah menulis tentang pemilihan langsung di harian ini. Saat itu, ia staf di Kanwil Penerangan Provinsi Lampung.
"Saat itu, kakanwil saya marah benar. Saya dipanggil, ditanya kenapa nulis begini. Kata kakanwil, tulisan saya tidak sejalan dengan kebijakan Departemen Penerangan," ujar Iwan, menceritakan kejadian yang membekas di benaknya itu.
"Saya bilang sama kakanwil. Sebagai penulis, saya tidak ada atasan. Kakanwil bukan atasan saya. Sebagai penulis, saya pemikir bebas. Saya tidak bisa didikte atau diarahkan," kata Iwan mengungkapkan keseriusannya pada dunia tulis-menulis.
Ya, begitulah Iwan. "Saya kan tidak bisa jadi orang lain, saya mesti jadi diri sendiri," kata dia menjelaskan keberadaannya di dunia sastra dan birokrasi--sebuah kondisi yang memiliki dunia berbeda.
Awal 1990, ia pulang ke Bandar Lampung. Delapan tahun ia kelanai dunia sastra Bandung, dengan segala kebebasan berekspresi. "Teman-teman saya sudah habis, makanya saya kembali ke sini," ujar suami Cut Hilda Rina ini.
Apa pun namanya, seniman juga manusia. Iwan menyadari hal ini. "Saya mesti ada pegangan. Saat itu, penyair belum menjanjikan, saya harus ada pekerjaan yang bisa memberikan penghasilan, makanya saya masuk PNS," kata Iwan soal keberadaannya kini sebagai pejabat di Pemkab Lamtim.
Pilihan Iwan menekuni dunia sastra juga bukan tanpa perlawanan. "Ayah saya keras. Saya harus meyakinkan beliau. Saya buktikan kalau sastra itu bagus," kata Iwan.
Satu per satu, ia kirimi sertifikat juara ke orangtuanya di kawasan Enggal, Bandar Lampung. "Dengan begini, artinya kan saya bertanggung jawab dengan pilihan ini," ujarnya.
Sebagai penyair, karya-karya Iwan memang tidak lagi terpampang di media massa atau majalan sastra. Tetapi, jangan berpikir elan kepenyairan Iwan telah mati. "Saya terus menulis puisi, tapi tidak saya publikasikan," kata Iwan, yang tengah bersiap ke Tanah Suci ini.
Kini, Iwan menekuni dunia lain, merambah wilayah yang kerap dilakukan kritikus sastra atau akademisi. "Saya ingin membuat anotasi puisi-puisi Khomeini," kata putra mantan bupati Lamsel, Djafar Amid ini.
Ia juga ingin menerbitkan tujuh terjemahan yang diselesaikannya selama bertugas di Pemkab Lamtim. Ada terjemahan puisi-puisi Kabir, Rabindranath Tagore, Dalai Lama II, puisi Shakespeare ("The Sonnets And A Lovers Complaint"), Jalaluddin Rumi, novel Omar Khayam juga puisi-puisi klasik Jepang. Sebelumnya, ia telah menerjemahkan karya-karya Khalil Gibran antara lain "Air Mata dan Senyuman" dan "Sang Nabi".
"Malam hari, saya menulis. Saya sampai Jumat di Sukadana. Saya punya rumah dinas di sana. Artinya, saya punya banyak waktu juga untuk berkarya. Enggak diganggu anak-anak, enggak diganggu istri sekaligus juga enggak bisa ngegangguin istri. Ha ha ha...," ujar Iwan menjelaskan soal dua dunia yang dilakoni.
Sampai kapan Iwan terus menulis? "Menulis itu kerjaan saya. Menulis itu sudah jadi kebutuhan. Saya menulis dari tahun 80-an, mulai dari media kampus terus merambah ke Pikiran Rakyat (koran terbitan Bandung, red). Kebetulan saya kan kuliah di Bandung," kata Iwan, seakan meyakini energi kreatif yang mengaliri kesadaran dan tubuhnya tidak akan hilang.
"Menulis itu membahagiakan," ujarnya.
Biodata
Iwan Nurdaya Djafar, lahir di Tanjungkarang, 14 Maret 1959 dari pasangan Djafar Amid (ayah) dan Siti Kalang (ibu). Dikarunia anak Rabia Edra Almera (14) dan Selma Ilafi Al Zahra (8) dari pernikahannya dengan Cut Hilda Rina, 7 Juli 1991. Pendidikannya: SD di Pangkal Pinang (1971), SMPN 2 Tanjungkarang (1974), SMA Xaverius Tanjungkarang (1977), dan Sarjana Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan, Bandung. Karier: Kasubdin Kebudayaan di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lampung Timur, Kabag Humas Pemkab Lamtim (2003), Kepala Kantor Catatan Sipil Pemkab Lamtim (2003-2005), dan Kabag TU Dinas Pengairan Pemkab Lamtim (2005-...)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 11 Desember 2005
"Saat itu, kakanwil saya marah benar. Saya dipanggil, ditanya kenapa nulis begini. Kata kakanwil, tulisan saya tidak sejalan dengan kebijakan Departemen Penerangan," ujar Iwan, menceritakan kejadian yang membekas di benaknya itu.
"Saya bilang sama kakanwil. Sebagai penulis, saya tidak ada atasan. Kakanwil bukan atasan saya. Sebagai penulis, saya pemikir bebas. Saya tidak bisa didikte atau diarahkan," kata Iwan mengungkapkan keseriusannya pada dunia tulis-menulis.
Ya, begitulah Iwan. "Saya kan tidak bisa jadi orang lain, saya mesti jadi diri sendiri," kata dia menjelaskan keberadaannya di dunia sastra dan birokrasi--sebuah kondisi yang memiliki dunia berbeda.
Awal 1990, ia pulang ke Bandar Lampung. Delapan tahun ia kelanai dunia sastra Bandung, dengan segala kebebasan berekspresi. "Teman-teman saya sudah habis, makanya saya kembali ke sini," ujar suami Cut Hilda Rina ini.
Apa pun namanya, seniman juga manusia. Iwan menyadari hal ini. "Saya mesti ada pegangan. Saat itu, penyair belum menjanjikan, saya harus ada pekerjaan yang bisa memberikan penghasilan, makanya saya masuk PNS," kata Iwan soal keberadaannya kini sebagai pejabat di Pemkab Lamtim.
Pilihan Iwan menekuni dunia sastra juga bukan tanpa perlawanan. "Ayah saya keras. Saya harus meyakinkan beliau. Saya buktikan kalau sastra itu bagus," kata Iwan.
Satu per satu, ia kirimi sertifikat juara ke orangtuanya di kawasan Enggal, Bandar Lampung. "Dengan begini, artinya kan saya bertanggung jawab dengan pilihan ini," ujarnya.
Sebagai penyair, karya-karya Iwan memang tidak lagi terpampang di media massa atau majalan sastra. Tetapi, jangan berpikir elan kepenyairan Iwan telah mati. "Saya terus menulis puisi, tapi tidak saya publikasikan," kata Iwan, yang tengah bersiap ke Tanah Suci ini.
Kini, Iwan menekuni dunia lain, merambah wilayah yang kerap dilakukan kritikus sastra atau akademisi. "Saya ingin membuat anotasi puisi-puisi Khomeini," kata putra mantan bupati Lamsel, Djafar Amid ini.
Ia juga ingin menerbitkan tujuh terjemahan yang diselesaikannya selama bertugas di Pemkab Lamtim. Ada terjemahan puisi-puisi Kabir, Rabindranath Tagore, Dalai Lama II, puisi Shakespeare ("The Sonnets And A Lovers Complaint"), Jalaluddin Rumi, novel Omar Khayam juga puisi-puisi klasik Jepang. Sebelumnya, ia telah menerjemahkan karya-karya Khalil Gibran antara lain "Air Mata dan Senyuman" dan "Sang Nabi".
"Malam hari, saya menulis. Saya sampai Jumat di Sukadana. Saya punya rumah dinas di sana. Artinya, saya punya banyak waktu juga untuk berkarya. Enggak diganggu anak-anak, enggak diganggu istri sekaligus juga enggak bisa ngegangguin istri. Ha ha ha...," ujar Iwan menjelaskan soal dua dunia yang dilakoni.
Sampai kapan Iwan terus menulis? "Menulis itu kerjaan saya. Menulis itu sudah jadi kebutuhan. Saya menulis dari tahun 80-an, mulai dari media kampus terus merambah ke Pikiran Rakyat (koran terbitan Bandung, red). Kebetulan saya kan kuliah di Bandung," kata Iwan, seakan meyakini energi kreatif yang mengaliri kesadaran dan tubuhnya tidak akan hilang.
"Menulis itu membahagiakan," ujarnya.
Biodata
Iwan Nurdaya Djafar, lahir di Tanjungkarang, 14 Maret 1959 dari pasangan Djafar Amid (ayah) dan Siti Kalang (ibu). Dikarunia anak Rabia Edra Almera (14) dan Selma Ilafi Al Zahra (8) dari pernikahannya dengan Cut Hilda Rina, 7 Juli 1991. Pendidikannya: SD di Pangkal Pinang (1971), SMPN 2 Tanjungkarang (1974), SMA Xaverius Tanjungkarang (1977), dan Sarjana Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan, Bandung. Karier: Kasubdin Kebudayaan di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lampung Timur, Kabag Humas Pemkab Lamtim (2003), Kepala Kantor Catatan Sipil Pemkab Lamtim (2003-2005), dan Kabag TU Dinas Pengairan Pemkab Lamtim (2005-...)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 11 Desember 2005
Iwan Nurdaya-Djafar: Seorang Iwan dan Timur Itu
WACANA sastra Timur mengalir begitu saja dari mulut Iwan Nurdaya Djafar. Keseriusan mendalami sastra-sastra oriental ini sangat terasa. Bukan saja dari banyaknya literatur sastra Timur yang dia miliki, yang menumpuk di lemari buku di ruang tamunya; keseriusan ini terasa dari jernihnya wacana yang menyeruak dari pikiran Iwan dan bernasnya apresiasi yang mengalir dalam pembicaraan Selasa (6-12) malam itu di kediamannya di Jalan Endro Suratmin, Sukarame, Bandar Lampung.
"Saya ingin mengingatkan masyarakat kalau sesungguhnya Timur ini sangat kaya. Begitu juga sastra tasawufnya. Khazanah kebudayaan Timur juga demikian. Makanya saya masuk Dalai Lama, Rabindranath Tagore, puisi-puisi klasik Jepang, dan sebagainya. Genre ini banyak melahirkan sastrawan, khususnya penyair. Inikan sangat menarik," kata Iwan kepada wartawan Lampung Post Rahmat Sudirman dan Zulkarnain Zubairi malam itu.
Puisi-puisi Iwan yang muncul era 80-an memang kental rasa sufistiknya. Dalam antologi Seratus Sajak, misalnya, Iwan seperti menumpahkan kerinduan, pencarian sekaligus kegelisahan seorang hamba--yang adalah jagat cilik--tentang kehidupan yang profan ini. Iwan juga sadar akan "Sesuatu" (dengan huruf besar) yang tremendum fascinatum, hingga ia bersaksi dalam syairnya: Silakan sensor syair-syairku, ya allah/Biar butir butir dzikir/Ngalir dari sungai syairku/Tumpah ke lautan hati sesama (Sajak "Doa Kepenyairan").
Dalam "Syahadat", Iwan mengelana lebih jauh, seperti mendedah zat yang namanya tuhan (dengan "z" kecil). Ia pun bersyair: Allah, Allah, Allah!/sembahanku Allah bukan tuhan/berkali-kali mati di tangan pikiran/berkali-kali hidup di tangan pikiran/hidup mati tuhan tergantung pikiran/sedang dalam hati yang berserah/yang tunggal dan kekal hanya Allah/hanya Allah/...la ilaha 'ill-Allah/betapa ingin kudzikirkan selalu/la ilah...pada setiap tarikan nafasku/'ill-Allah pada setiap hembusan nafasku/...sembahanku bbukan tuhan melainkan Allah/sembahanku dulu tuhan/kini Allah/Allah!
Bukan lantaran karya-karyanya berlatar sufistik lantas ia sampai sekarang mendalami sastra Timur. Bagi Iwan, ini adalah pilihan. "Saya juga baca Nietszche, Bertrand Russel, Karl Jasper, Sastre, Kiekegard, dan segalanya. Ya, semua itu kita kritisi aja," ujar Iwan, saat ditanya pemikir-pemikir Barat yang memenuhi wacana pemikiran kontekstual di Tanah Air.
"Saya juga ada refleksi tentang Nietszche, saya kasih judul 'Mengapa (Tidak) Kembali'. Yang terjadi pada Nietszche kan tidak kembali. Di puncak renungannya, dia tidak kembali. Malah kebablasan. Kalau Karl Jasper kan tidak, dia kembali ke pengakuan-Nya," kata Iwan.
Soal kepenyairan--lebih luas lagi soal menulis--ia tidak pernah main-main, sekalipun jabatan taruhannya. "Saya enggak ada urusan dengan segala tekanan. Saya enggak ada urusan. Saya berani kok dicopot dari jabatan kalau memang konsekuensinya harus begitu. Target saya kan jadi diri sendiri. Iyalah, mesti begitu," ujar dengan mimik serius.
Iwan memang hidup di "dua dunia": sastra dan birokrasi. Sebagai penyair, ia suntuk melacak khazanah sastra-kebudayaan Timur. Iwan juga seorang pejabat; pernah menduduki posisi sebagai kepala kantor Catatan Sipil Pemkab Lampung Timur. Kini, ia menjabat kepala Bagian TU Dinas Pengairan Pemkab Lamtim.
Iwan memang tidak pernah main-main dengan hidup, dengan sastra, kepenyairan, dan segala yang berbau serius. Suatu saat, ia ingin mendirikan penerbit yang concern pada seni, sastra, budaya, dan filsafat seperti yang banyak berkembang di Yogyakarta. Ia juga terus menerjemahkan literatur-literatur sastra Timur. Suatu saat, Iwan ingin menerbitkan anotasi puisi-puisi Ayatullah Khomeini, pemimpin dan tokoh spiritual Iran itu.
Kenapa Timur yang dipilih?
Timur itu sangat besar. Kalau ditanya kenapa enggak Barat, ya karena orang yang mendalami dan menerjemahkan sastra Barat sudah banyak. Kalau tidak, Timur nanti bisa ditingalkan.
Saya juga terbata-bata menerjemahkan karya-karya sastra Timur ini. Tidak cukup satu atau dua kamus, harus ada kamus-kamus lain yang khusus.
Anda merasakan ada kekhasan dalam sastra-sastra Timur?
Kalau kita lihat substansinya, sastra Timur itu menerapkan pendekatan kalbu. Nah, cara ini ternyata juga diambil Barat, baik terang-terangan maupun diam-diam. Misalnya, kayak Dante Allegeri yang nyomot karya Al Maari. Shakespeare juga begitu, dia terilhami sastra Timur. Kenapa di Jerman pada abad ke-19 muncul gerakan ketimuran, oriental itu? Ternyata, penyair Jerman juga terpengaruh karya penyair tasawuf seperti Kabir (penyair sufi India abad ke-15, 1440--1518, red). Goethe misalnya, ternyata penyair ini pernah menulis satu karya berjudul "Diwan Timur Barat". Inikan menarik. Goethe yang nonmuslim ternyata menulis puisi dalam bentuk diwan--satu genre puisi Persia yang sering dipakai para penyair sufi seperti Jalaluddin Rumi dan M. Iqbal. Goethe juga paham benar tarik Nabi Muhammad. Inikan dalam maknanya.
Goethe juga pernah mau bikin satu drama, "Muhamed", tapi enggak jadi. Akhirnya Goethe buat puisi, judulnya "Muhamed the Song". Abdul Hadi W.M. pernah menerjemahkannya. Saya juga ada teks aslinya, sudah saya terjemahkan juga.
Inikan menarik, Timur-Barat itu ada saling pengaruh.
Artinya, bicara sastra dan orisinalitas karya itu enggak mesti barat?
Ya, enggak mesti begitu. Omar Kayam, misalnya. Dia itu penyair, sufi, pakar astronomi, dia juga penemu aljabar. Dia juga ahli strategi. Ini lagi, yang kita kenal dengan "segitiga Pascal" itu, ternyata punya Omar Kayam. Artinya apa...Barat itukan hanya papan gema.
Rumi juga pernah menulis puisi evolusi. Ini kalau kita lihat-lihat, teorinya Darwin itu mirip dengan gagasan Rumi. Dari sel tunggal sampai manusia, ini jelas mirip teori spesiesnya Darwin.
Kemudian Einstein juga, teorinya itu, big bang. Ledakan raksasa terjadinya bumi yang muncul abad ke-19. Pada abad ke-6, ini sudah dibicarakan dalam puisinya Al Hallaj.
Jadi, kalau sekarang kita bicara orisinalitas, yang mana itu? Tentu tidak mustahil Einstein pernah membaca karya Al Hallaj ini.
Tetapi, sekarang Barat begitu menguasai, begitu juga dengan teori-teorinya seperti post-modernisme. Bagaimana ini? Apakah sastra Timur memang kurang diminati?
Dulu pada era 80-an, berkembang sastra sufistik, sastra transendental semasa Kuntowijoyo. Ini juga bisa dilihat pada karya-karya Abdul Hadi W.M., Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabar, Emha Ainun Nadjib, Danarto, lalu Fudoli Zaini. Sastra sufi itu cukup kuat. Memang sekarang agak terputus, apalagi sekarang muncul genre teenlit, yang banyak diterjemahkan Gramedia. Kita masuk toko buku, teenlit-nya segunung itu.
Buat saya, ini pendangkalan. Memang, orang enggak mau capek, mau baca yang menghibur-hibur saja. Tetapi, nanti bisa-bisa yang terjadi hanya pendangkalan. Jangan-jangan nanti remaja perempuan kita terbiasa berpikir lembek terus. Wah....
Kalau bicara pendalaman, saya kira hanya terjadi pada buku. Ya, kalau anak-anak muda kita hanya menonton TV dan baca yang ringan-ringan, lalu mau ke mana nanti. Kan gitu pertanyaannya.
Ini kan bisa membuat orang suka baca sastra?
Iya, kalau teenlit ini hanya sasaran antara menuju yang serius. Kalau muter-muter di situ juga, ya repot. Kalau kita tidak punya fondasi yang kuat, fondasinya dibangun dengan teenlit, repot kan.
Sekarang soal perkembangan perpuisian Lampung, bagaimana menurut Anda?
Saya gembira. Puisi dan cerpen sekarang ini luar biasa. Generasi setelah saya sekarang inikan banyak muncul, misalnya Jimmy, Alex R., Inggit, dan Diah. Ini bagus. Lampung ternyata punya kekuatan sastra yang luar biasa.
Saya kira ini tidak terlepas dari budaya membaca. Mereka terbiasa membaca karya-karya serius. Sekarang kan banyak karya terjemahan dan karya penulis Indonesia di toko-toko buku.
Kalau dulu, puisi itu dunia kesepian. Pada era 80-an masih seperti itu. Dulu, saya pulang ke Lampung ketemu Isbedy, dunia sastra itu masih kesepian.
Sayangnya, seniman itu, populasi seniman, tidak begitu banyak. Sehingga, mereka mendiskusikan karya-karya sastra masih di lingkungan sendiri. Mau kita kan, karya-karya ini dilempar ke publik, ke masyarakat. Ini yang juga mesti dilakukan. Jadi, karya itu tidak berhenti sebagai wacana di lingkaran seniman. Misalnya, memanggungkan sastra, dicari bentuk-bentuk lain. Lihat, misalnya, baru-baru ini Sutardji memadukan sastra "Aku"-nya Khairil Anwar dengan blues. Inikan bagus. Kebetulan, Tardji memang pintar nyanyi. Ha ha ha...
Kenapa sastra di Lampung begitu kuat? Padahal, toko buku dikepung teenlit, tapi mereka bisa menelurkan karya serius dan berkualitas?
Ya, saya kira ini kita anggap berkah untuk Lampung. Mereka itu besar "di jalan", di luar lembaga formal. Sekarang ini bacaan bermutu mudah di dapat, iyakan.
Anda seperti percaya benar dengan "membaca"; seakan ide itu akan muncul kalau kita membaca. Apakah suatu karya berkualitas sulit muncul tanpa rangsangan bacaan?
Ya, saya kira salah satu bahannya pasti buku. Tetapi, jangan sampai bergantung pada buku. Jadikan kita ini buku itu sendiri. Pengamatan, intuisi, ketajaman juga merangsang proses berkarya. Semuanya tidak terpisah. n M-2
Sumber: Lampung Post, Minggu, 11 Desember 2005
"Saya ingin mengingatkan masyarakat kalau sesungguhnya Timur ini sangat kaya. Begitu juga sastra tasawufnya. Khazanah kebudayaan Timur juga demikian. Makanya saya masuk Dalai Lama, Rabindranath Tagore, puisi-puisi klasik Jepang, dan sebagainya. Genre ini banyak melahirkan sastrawan, khususnya penyair. Inikan sangat menarik," kata Iwan kepada wartawan Lampung Post Rahmat Sudirman dan Zulkarnain Zubairi malam itu.
Puisi-puisi Iwan yang muncul era 80-an memang kental rasa sufistiknya. Dalam antologi Seratus Sajak, misalnya, Iwan seperti menumpahkan kerinduan, pencarian sekaligus kegelisahan seorang hamba--yang adalah jagat cilik--tentang kehidupan yang profan ini. Iwan juga sadar akan "Sesuatu" (dengan huruf besar) yang tremendum fascinatum, hingga ia bersaksi dalam syairnya: Silakan sensor syair-syairku, ya allah/Biar butir butir dzikir/Ngalir dari sungai syairku/Tumpah ke lautan hati sesama (Sajak "Doa Kepenyairan").
Dalam "Syahadat", Iwan mengelana lebih jauh, seperti mendedah zat yang namanya tuhan (dengan "z" kecil). Ia pun bersyair: Allah, Allah, Allah!/sembahanku Allah bukan tuhan/berkali-kali mati di tangan pikiran/berkali-kali hidup di tangan pikiran/hidup mati tuhan tergantung pikiran/sedang dalam hati yang berserah/yang tunggal dan kekal hanya Allah/hanya Allah/...la ilaha 'ill-Allah/betapa ingin kudzikirkan selalu/la ilah...pada setiap tarikan nafasku/'ill-Allah pada setiap hembusan nafasku/...sembahanku bbukan tuhan melainkan Allah/sembahanku dulu tuhan/kini Allah/Allah!
Bukan lantaran karya-karyanya berlatar sufistik lantas ia sampai sekarang mendalami sastra Timur. Bagi Iwan, ini adalah pilihan. "Saya juga baca Nietszche, Bertrand Russel, Karl Jasper, Sastre, Kiekegard, dan segalanya. Ya, semua itu kita kritisi aja," ujar Iwan, saat ditanya pemikir-pemikir Barat yang memenuhi wacana pemikiran kontekstual di Tanah Air.
"Saya juga ada refleksi tentang Nietszche, saya kasih judul 'Mengapa (Tidak) Kembali'. Yang terjadi pada Nietszche kan tidak kembali. Di puncak renungannya, dia tidak kembali. Malah kebablasan. Kalau Karl Jasper kan tidak, dia kembali ke pengakuan-Nya," kata Iwan.
Soal kepenyairan--lebih luas lagi soal menulis--ia tidak pernah main-main, sekalipun jabatan taruhannya. "Saya enggak ada urusan dengan segala tekanan. Saya enggak ada urusan. Saya berani kok dicopot dari jabatan kalau memang konsekuensinya harus begitu. Target saya kan jadi diri sendiri. Iyalah, mesti begitu," ujar dengan mimik serius.
Iwan memang hidup di "dua dunia": sastra dan birokrasi. Sebagai penyair, ia suntuk melacak khazanah sastra-kebudayaan Timur. Iwan juga seorang pejabat; pernah menduduki posisi sebagai kepala kantor Catatan Sipil Pemkab Lampung Timur. Kini, ia menjabat kepala Bagian TU Dinas Pengairan Pemkab Lamtim.
Iwan memang tidak pernah main-main dengan hidup, dengan sastra, kepenyairan, dan segala yang berbau serius. Suatu saat, ia ingin mendirikan penerbit yang concern pada seni, sastra, budaya, dan filsafat seperti yang banyak berkembang di Yogyakarta. Ia juga terus menerjemahkan literatur-literatur sastra Timur. Suatu saat, Iwan ingin menerbitkan anotasi puisi-puisi Ayatullah Khomeini, pemimpin dan tokoh spiritual Iran itu.
Kenapa Timur yang dipilih?
Timur itu sangat besar. Kalau ditanya kenapa enggak Barat, ya karena orang yang mendalami dan menerjemahkan sastra Barat sudah banyak. Kalau tidak, Timur nanti bisa ditingalkan.
Saya juga terbata-bata menerjemahkan karya-karya sastra Timur ini. Tidak cukup satu atau dua kamus, harus ada kamus-kamus lain yang khusus.
Anda merasakan ada kekhasan dalam sastra-sastra Timur?
Kalau kita lihat substansinya, sastra Timur itu menerapkan pendekatan kalbu. Nah, cara ini ternyata juga diambil Barat, baik terang-terangan maupun diam-diam. Misalnya, kayak Dante Allegeri yang nyomot karya Al Maari. Shakespeare juga begitu, dia terilhami sastra Timur. Kenapa di Jerman pada abad ke-19 muncul gerakan ketimuran, oriental itu? Ternyata, penyair Jerman juga terpengaruh karya penyair tasawuf seperti Kabir (penyair sufi India abad ke-15, 1440--1518, red). Goethe misalnya, ternyata penyair ini pernah menulis satu karya berjudul "Diwan Timur Barat". Inikan menarik. Goethe yang nonmuslim ternyata menulis puisi dalam bentuk diwan--satu genre puisi Persia yang sering dipakai para penyair sufi seperti Jalaluddin Rumi dan M. Iqbal. Goethe juga paham benar tarik Nabi Muhammad. Inikan dalam maknanya.
Goethe juga pernah mau bikin satu drama, "Muhamed", tapi enggak jadi. Akhirnya Goethe buat puisi, judulnya "Muhamed the Song". Abdul Hadi W.M. pernah menerjemahkannya. Saya juga ada teks aslinya, sudah saya terjemahkan juga.
Inikan menarik, Timur-Barat itu ada saling pengaruh.
Artinya, bicara sastra dan orisinalitas karya itu enggak mesti barat?
Ya, enggak mesti begitu. Omar Kayam, misalnya. Dia itu penyair, sufi, pakar astronomi, dia juga penemu aljabar. Dia juga ahli strategi. Ini lagi, yang kita kenal dengan "segitiga Pascal" itu, ternyata punya Omar Kayam. Artinya apa...Barat itukan hanya papan gema.
Rumi juga pernah menulis puisi evolusi. Ini kalau kita lihat-lihat, teorinya Darwin itu mirip dengan gagasan Rumi. Dari sel tunggal sampai manusia, ini jelas mirip teori spesiesnya Darwin.
Kemudian Einstein juga, teorinya itu, big bang. Ledakan raksasa terjadinya bumi yang muncul abad ke-19. Pada abad ke-6, ini sudah dibicarakan dalam puisinya Al Hallaj.
Jadi, kalau sekarang kita bicara orisinalitas, yang mana itu? Tentu tidak mustahil Einstein pernah membaca karya Al Hallaj ini.
Tetapi, sekarang Barat begitu menguasai, begitu juga dengan teori-teorinya seperti post-modernisme. Bagaimana ini? Apakah sastra Timur memang kurang diminati?
Dulu pada era 80-an, berkembang sastra sufistik, sastra transendental semasa Kuntowijoyo. Ini juga bisa dilihat pada karya-karya Abdul Hadi W.M., Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabar, Emha Ainun Nadjib, Danarto, lalu Fudoli Zaini. Sastra sufi itu cukup kuat. Memang sekarang agak terputus, apalagi sekarang muncul genre teenlit, yang banyak diterjemahkan Gramedia. Kita masuk toko buku, teenlit-nya segunung itu.
Buat saya, ini pendangkalan. Memang, orang enggak mau capek, mau baca yang menghibur-hibur saja. Tetapi, nanti bisa-bisa yang terjadi hanya pendangkalan. Jangan-jangan nanti remaja perempuan kita terbiasa berpikir lembek terus. Wah....
Kalau bicara pendalaman, saya kira hanya terjadi pada buku. Ya, kalau anak-anak muda kita hanya menonton TV dan baca yang ringan-ringan, lalu mau ke mana nanti. Kan gitu pertanyaannya.
Ini kan bisa membuat orang suka baca sastra?
Iya, kalau teenlit ini hanya sasaran antara menuju yang serius. Kalau muter-muter di situ juga, ya repot. Kalau kita tidak punya fondasi yang kuat, fondasinya dibangun dengan teenlit, repot kan.
Sekarang soal perkembangan perpuisian Lampung, bagaimana menurut Anda?
Saya gembira. Puisi dan cerpen sekarang ini luar biasa. Generasi setelah saya sekarang inikan banyak muncul, misalnya Jimmy, Alex R., Inggit, dan Diah. Ini bagus. Lampung ternyata punya kekuatan sastra yang luar biasa.
Saya kira ini tidak terlepas dari budaya membaca. Mereka terbiasa membaca karya-karya serius. Sekarang kan banyak karya terjemahan dan karya penulis Indonesia di toko-toko buku.
Kalau dulu, puisi itu dunia kesepian. Pada era 80-an masih seperti itu. Dulu, saya pulang ke Lampung ketemu Isbedy, dunia sastra itu masih kesepian.
Sayangnya, seniman itu, populasi seniman, tidak begitu banyak. Sehingga, mereka mendiskusikan karya-karya sastra masih di lingkungan sendiri. Mau kita kan, karya-karya ini dilempar ke publik, ke masyarakat. Ini yang juga mesti dilakukan. Jadi, karya itu tidak berhenti sebagai wacana di lingkaran seniman. Misalnya, memanggungkan sastra, dicari bentuk-bentuk lain. Lihat, misalnya, baru-baru ini Sutardji memadukan sastra "Aku"-nya Khairil Anwar dengan blues. Inikan bagus. Kebetulan, Tardji memang pintar nyanyi. Ha ha ha...
Kenapa sastra di Lampung begitu kuat? Padahal, toko buku dikepung teenlit, tapi mereka bisa menelurkan karya serius dan berkualitas?
Ya, saya kira ini kita anggap berkah untuk Lampung. Mereka itu besar "di jalan", di luar lembaga formal. Sekarang ini bacaan bermutu mudah di dapat, iyakan.
Anda seperti percaya benar dengan "membaca"; seakan ide itu akan muncul kalau kita membaca. Apakah suatu karya berkualitas sulit muncul tanpa rangsangan bacaan?
Ya, saya kira salah satu bahannya pasti buku. Tetapi, jangan sampai bergantung pada buku. Jadikan kita ini buku itu sendiri. Pengamatan, intuisi, ketajaman juga merangsang proses berkarya. Semuanya tidak terpisah. n M-2
Sumber: Lampung Post, Minggu, 11 Desember 2005
February 4, 2007
Rahayu Surtiati Hidayat: Kesepian 10 Tahun
-- Ninuk Mardiana P dan Maria Hartiningsih
DUA perempuan berturutan menyampaikan pidato pengukuhan guru besar tetap mereka hari Sabtu (28/1) di kampus Universitas Indonesia di Depok. Yang pertama Rahayu Surtiati Hidayat dan yang berikutnya Melani Budianta.
Keduanya, menurut catatan Rektor Universitas Indonesia (UI), adalah guru besar ketiga dan keempat dan perempuan guru besar pertama dan kedua yang dikukuhkan tahun ini. Keduanya akan menambah jumlah 11 guru besar tetap, dua guru besar luar biasa, dan enam guru besar emeritus Fakultas Ilmu Budaya (FIB) tempat keduanya mengabdi selama ini.
Pengukuhan ini jelas dibutuhkan FIB. Apalagi bidang linguistik terapan yang menjadi keahlian Rahayu Surtiati Hidayat. Dia mengaku sempat kesepian selama 10 tahun sebagai ilmuwan pengajar karena hanya sendirian mendalami bidang itu.
Meskipun demikian, menurut Rahayu, yang akrab dipanggil Yayuk di antara teman dan muridnya, guru besar bukan sesuatu yang dia kejar. "Saya tidak mengejar apa pun. Saya melakukan semua ini karena saya suka. Saya suka menulis, suka menerjemahkan, suka mengajar," kata Rahayu yang menyajikan pidato pengukuhan Humaniora dalam Pengembangan Pendidikan Tinggi. Linguistik Terapan Sebagai Bidang Pendidikan dan Penelitian.
Sendirian
Dalam bahasa yang disederhanakan, Rahayu mengatakan linguistik terapan adalah pengajaran bahasa yang disistematisir. Bidang ini masuk di dalam ilmu humaniora dan lintas batas ilmu karena mendapat banyak sumbangan dari ilmu lain seperti sosiologi, psikologi, antropologi, dan teori informasi.
"Antara tahun 1989, setelah menjadi doktor, sampai tahun 2000 saya sendirian menekuni linguistik terapan. Teman-teman tidak ada yang tertarik," papar Rahayu.
Saat itu masih kuat anggapan di kalangan pengajar bahasa, bila seseorang dapat berbahasa, dia dapat mengajar bahasa. Baru sesudah tahun 2000 Yayuk mendapat mitra setelah sejumlah pengajar FIB kembali dari luar negeri dengan ijazah doktor atau magister dalam linguistik terapan.
?Belakangan FIB lebih profesional. Mengajar bahasa ada landasan teori dan jelas metodenya,? papar Wakil Dekan Bidang Akademik FIB UI sejak tahun 2004 yang selama berkarier di UI terus diminta mengembangkan bidang linguistik terapan.
Di luar universitas, linguistik terapan perlu dikembangkan di tataran nasional sebab pengajaran bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa Inggris, serta bahasa asing lain di sekolah dasar dan menengah ditentukan oleh politik bahasa yang diterapkan secara nasional dalam pendidikan.
Tidak suka matematika
Awal ketertarikan Rahayu pada bahasa sudah muncul sejak duduk di kelas III sekolah menengah pertama. "Karena saya tidak tertarik pada matematika," papar ibu dari Aria Perbacana (28) dan Rara Tanjung (24) serta istri dari Hidayat Sutarnadi itu.
Yayuk menyukai arkeologi, tetapi ibunya tidak setuju dia memilih bidang itu. ?Ibu beranggapan bidang itu akan membawa saya ke mana-mana dan dapat membahayakan saya,? tutur Rahayu yang menyelesaikan S1-nya dari Fakultas Sastra UI (1971), S2-nya di Universite de Besancon, Perancis (1972), dan S3-nya dari Program Pascasarjana UI (1989).
Meski begitu, Rahayu merasa ayahnya yang polisi dan ibunya yang aktif di Bhayangkari tidak pernah membedakan pendidikan anak perempuan dari anak lelakinya. Tidak heran jika dia menguasai permainan kelereng dan katapel. Bahkan ibunya menyebut dia setengah laki-laki. "Saya sendiri tidak sadar, sampai ketika mengemukakan masalah dan ide-ide, ibu bilang cara berpikir saya seperti anak laki-laki," kata perempuan kelahiran Gading Rejo, Lampung, 26 September 1946.
Di Fakultas Sastra ternyata Rahayu tetap mencintai kegiatan luar ruang dan ikut mendirikan organisasi pencinta alam UI, Mapala. "Waktu Hok Gie meninggal, saya adalah Ketua Mapala UI," kenang Yayuk yang menjadi Ketua Mapala UI pada tahun 1964 dan 1968.
Mungkin itu juga yang membuat penampilannya easy going: membawa tas ransel, kerap bercelana panjang, kadang pakai sepatu bot, tidak dandan. Meskipun begitu, sebagai pengajar dan penerjemah dia terkenal amat ketat dalam logika berbahasa yang adalah bidangnya.
Naskah akademisnya bertebaran di berbagai seminar dan buku, selain juga menerjemahkan 40-an buku asing, antara lain Seks dan Kekuasaan karya Michel Foucault (1997), Kalau Perempuan Angkat Bicara (Annie Leclerc, 1999), dan Aku, Kamu, Kita: Belajar Berbeda (Luce Irigaray, 2004).
Karena suka pada hal yang konkret, Yayuk akan terus ditantang mengarahkan agar departemen linguistik di FIB meneliti untuk mendapat perancangan dan terobosan baru dalam pengajaran bahasa.
Dengan demikian, seorang sarjana tidak hanya pandai membuat tulisan akademik, tetapi juga dapat menyajikan pemikirannya dengan menarik dan benar dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing, dalam hal ini bahasa Inggris.
Biodata
Nama: Prof Rahayu Surtiati Hidayat
Lahir: Gading Rejo, Lampung, 26 September 1946
Suami: Hidayat Sutarnadi
Anak:
- Aria Perbacana (28)
- Rara Tanjung (24)
Pendidikan:
- S1 dari Fakultas Sastra UI (1971)
- S2 dari Universite de Besancon, Perancis (1972)
- S3 dari Program Pascasarjana UI (1989).
Pekerjaan:
- Guru Besar (Profesor) Tetap Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (2006)
- Wakil Dekan Bidang Akademik FIB UI sejak tahun 2004
Sumber: Kompas, 5 Februari 2006
DUA perempuan berturutan menyampaikan pidato pengukuhan guru besar tetap mereka hari Sabtu (28/1) di kampus Universitas Indonesia di Depok. Yang pertama Rahayu Surtiati Hidayat dan yang berikutnya Melani Budianta.
Keduanya, menurut catatan Rektor Universitas Indonesia (UI), adalah guru besar ketiga dan keempat dan perempuan guru besar pertama dan kedua yang dikukuhkan tahun ini. Keduanya akan menambah jumlah 11 guru besar tetap, dua guru besar luar biasa, dan enam guru besar emeritus Fakultas Ilmu Budaya (FIB) tempat keduanya mengabdi selama ini.
Pengukuhan ini jelas dibutuhkan FIB. Apalagi bidang linguistik terapan yang menjadi keahlian Rahayu Surtiati Hidayat. Dia mengaku sempat kesepian selama 10 tahun sebagai ilmuwan pengajar karena hanya sendirian mendalami bidang itu.
Meskipun demikian, menurut Rahayu, yang akrab dipanggil Yayuk di antara teman dan muridnya, guru besar bukan sesuatu yang dia kejar. "Saya tidak mengejar apa pun. Saya melakukan semua ini karena saya suka. Saya suka menulis, suka menerjemahkan, suka mengajar," kata Rahayu yang menyajikan pidato pengukuhan Humaniora dalam Pengembangan Pendidikan Tinggi. Linguistik Terapan Sebagai Bidang Pendidikan dan Penelitian.
Sendirian
Dalam bahasa yang disederhanakan, Rahayu mengatakan linguistik terapan adalah pengajaran bahasa yang disistematisir. Bidang ini masuk di dalam ilmu humaniora dan lintas batas ilmu karena mendapat banyak sumbangan dari ilmu lain seperti sosiologi, psikologi, antropologi, dan teori informasi.
"Antara tahun 1989, setelah menjadi doktor, sampai tahun 2000 saya sendirian menekuni linguistik terapan. Teman-teman tidak ada yang tertarik," papar Rahayu.
Saat itu masih kuat anggapan di kalangan pengajar bahasa, bila seseorang dapat berbahasa, dia dapat mengajar bahasa. Baru sesudah tahun 2000 Yayuk mendapat mitra setelah sejumlah pengajar FIB kembali dari luar negeri dengan ijazah doktor atau magister dalam linguistik terapan.
?Belakangan FIB lebih profesional. Mengajar bahasa ada landasan teori dan jelas metodenya,? papar Wakil Dekan Bidang Akademik FIB UI sejak tahun 2004 yang selama berkarier di UI terus diminta mengembangkan bidang linguistik terapan.
Di luar universitas, linguistik terapan perlu dikembangkan di tataran nasional sebab pengajaran bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa Inggris, serta bahasa asing lain di sekolah dasar dan menengah ditentukan oleh politik bahasa yang diterapkan secara nasional dalam pendidikan.
Tidak suka matematika
Awal ketertarikan Rahayu pada bahasa sudah muncul sejak duduk di kelas III sekolah menengah pertama. "Karena saya tidak tertarik pada matematika," papar ibu dari Aria Perbacana (28) dan Rara Tanjung (24) serta istri dari Hidayat Sutarnadi itu.
Yayuk menyukai arkeologi, tetapi ibunya tidak setuju dia memilih bidang itu. ?Ibu beranggapan bidang itu akan membawa saya ke mana-mana dan dapat membahayakan saya,? tutur Rahayu yang menyelesaikan S1-nya dari Fakultas Sastra UI (1971), S2-nya di Universite de Besancon, Perancis (1972), dan S3-nya dari Program Pascasarjana UI (1989).
Meski begitu, Rahayu merasa ayahnya yang polisi dan ibunya yang aktif di Bhayangkari tidak pernah membedakan pendidikan anak perempuan dari anak lelakinya. Tidak heran jika dia menguasai permainan kelereng dan katapel. Bahkan ibunya menyebut dia setengah laki-laki. "Saya sendiri tidak sadar, sampai ketika mengemukakan masalah dan ide-ide, ibu bilang cara berpikir saya seperti anak laki-laki," kata perempuan kelahiran Gading Rejo, Lampung, 26 September 1946.
Di Fakultas Sastra ternyata Rahayu tetap mencintai kegiatan luar ruang dan ikut mendirikan organisasi pencinta alam UI, Mapala. "Waktu Hok Gie meninggal, saya adalah Ketua Mapala UI," kenang Yayuk yang menjadi Ketua Mapala UI pada tahun 1964 dan 1968.
Mungkin itu juga yang membuat penampilannya easy going: membawa tas ransel, kerap bercelana panjang, kadang pakai sepatu bot, tidak dandan. Meskipun begitu, sebagai pengajar dan penerjemah dia terkenal amat ketat dalam logika berbahasa yang adalah bidangnya.
Naskah akademisnya bertebaran di berbagai seminar dan buku, selain juga menerjemahkan 40-an buku asing, antara lain Seks dan Kekuasaan karya Michel Foucault (1997), Kalau Perempuan Angkat Bicara (Annie Leclerc, 1999), dan Aku, Kamu, Kita: Belajar Berbeda (Luce Irigaray, 2004).
Karena suka pada hal yang konkret, Yayuk akan terus ditantang mengarahkan agar departemen linguistik di FIB meneliti untuk mendapat perancangan dan terobosan baru dalam pengajaran bahasa.
Dengan demikian, seorang sarjana tidak hanya pandai membuat tulisan akademik, tetapi juga dapat menyajikan pemikirannya dengan menarik dan benar dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing, dalam hal ini bahasa Inggris.
Biodata
Nama: Prof Rahayu Surtiati Hidayat
Lahir: Gading Rejo, Lampung, 26 September 1946
Suami: Hidayat Sutarnadi
Anak:
- Aria Perbacana (28)
- Rara Tanjung (24)
Pendidikan:
- S1 dari Fakultas Sastra UI (1971)
- S2 dari Universite de Besancon, Perancis (1972)
- S3 dari Program Pascasarjana UI (1989).
Pekerjaan:
- Guru Besar (Profesor) Tetap Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (2006)
- Wakil Dekan Bidang Akademik FIB UI sejak tahun 2004
Sumber: Kompas, 5 Februari 2006