BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pesta Buku Lampung tahun 2007 yang diselenggarakan Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) bekerja sama Dinas Pendidikan Provinsi Lampung dan Harian Umum Lampung Post sukses.
Menurut Ketua Penyelenggara Kegiatan Deddy Henriko dari Ikapi, kesuksesan Pesta Buku tersebut karena banyaknya pengunjung dan meningkatnya animo masyarakat selama pameran itu. "Untuk omzet penjualan, kami memang belum menghitung. Namun alhamdulillah pameran ini berhasil. Bahkan, Bapak Wakil Kepala Dinas Pendidikan Adeham juga menilai demikian," kata dia, Minggu (29-4).
Pameran yang berlangsung sejak tanggal 21--29 April di Gedung Olahraga (GOR) Saburai, Bandar Lampung ditutup Wakil Kepala Dinas Pendidikan Adeham, kemarin.
Bahkan, ujar dia, beberapa stan mengharapkan pameran tersebut diperpanjang. Tidak hanya itu, ada sekitar 100 orang mengirim pesan pendek (SMS) kepada dia, meminta waktu pameran tersebut ditambah. Namun, karena Ikapi sudah mematok pameran hanya berlangsung sembilan hari, terpaksa tidak dapat memenuhi permintaan tersebut.
"Ikapi setiap menggelar memang selalu berlangsung sembilan hari. Karena jatuhnya hari Sabtu dan Minggu, ada dua kali. Sehingga pada akhir pekan biasanya banyak pengunjung," jelas dia.
Ia mengakui pada hari pertama dan kedua pameran tersebut agak sepi, tapi hari-hari berikutnya pengunjung membeludak. "Animo masyarakat Lampung luar biasa. Kendati pameran digelar pada hari tua, mereka antusias mengunjungi pameran tersebut," ujar dia.
Lantaran sukses, ia merencanakan kegiatan ini menjadi agenda tahunan. "Ikapi akan mengadakan pameran setiap tahun di Lampung karena minat masyarakat Lampung terhadap buku cukup tinggi. Namun, tanggalnya pas tanggal muda. Jangan kayak kemarin tanggal tua," ujar dia.
Pada kesempatan tersebut Adeham mengaku bersyukur pameran tersebut berlangsung sukses. Ia mengharapkan Ikapi dapat menggelar kegiatan serupa pada tahun mendatang karena pameran tersebut dapat meningkatkan pendidikan dan minat baca masyarakat Lampung.
Sementara itu, pada hari penutupan tersebut juga diserahkan berbagai hadiah, antara lain lomba mewarnai, karaoke, membaca puisi, three on three, dan teknik penulisan buku. AST/K-2
Sumber: Lampung Post, Senin, 30 April 2007
April 30, 2007
April 28, 2007
Pustaka: Sebuah Upaya Meluruskan Sejarah
-- Udo Z. Karzi*
TALANGSARI 1989. Kejadian itu sudah berlalu 18 tahun lalu. Meski begitu, bagi sebagian orang peristiwa itu mungkin tidak mungkin terlupakan. Bahkan, sebagaimana dituturkan dalam buku ini, masih ada keluarga korban yang luput dari kematian dalam penyerbuan aparat ke Talangsari 7 Februari 1989 dan serentetan upaya penumpasan apa yang distigmatisasikan sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) Anwar Warsidi itu; yang masih ‘trauma’ dengan kejadian itu.
Ada sebagian pula yang masih berjuang terus menggugat kasus ini tetap dibuka dan para para pelanggar hak asasi manusia (HAM) mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.
Sebagian lain lagi, boleh jadi mulai lupa atau lebih tepatnya berusaha melupakan kenangan pahit itu. Betapa tidak, Komite Smalam mencatat 246 nama tewas dalam peritiwa ini. Jumlah tewas sebenarnya, diperkirakan tidak kurang dari 300 orang.
Saat ini, secara umum, ada dua kelompok kasus Talangsari: islah dan non-islah. Bagi yang mendukung islah barangkali kasus ini barangkali sudah selesai. Tidak ada yang perlu dipersoalkan, apa lagi diungkit-ungkit. Dengan islah, mereka saling memaafkan, bahkan melupakan.
Namun ada pihak yang menghendaki agar kasus Talangsari dibuka kembali. Korban yang menolak islah beralasan, bila perdamaian dilakukan sebelum sebelum proses hukum, tidak akan jelas siapa pihak yang salah dan benar. Mereka khawatir akan terus terkungkung dalam stigma Islam PKI dan PKI.
Fadilasari, penulis buku ini berupaya membongkar kembali “sejarah hitam kemanusiaan” dengan semangat mengungkap kebenaran. Sudut pandang yang digunakannya pun cukup tepat: Kesaksian korban pelanggaran HAM Peristiwa Lampung. Hampir semua tokoh penting di balik peristiwa ini ini diwawancarainya tanpa adanya tendensi untuk beropini.
Kemudian dengan teknik reportase, buku ini ditulis dengan gaya bertutur; khas majalah Tempo. Dan, memang selain wawancara langsung dengan pelaku dan saksi, majalah Tempo dan (juga) Harian Lampung Post menjadi rujukan utama penulisan buku ini. Kebetulan, saat penggarapan buku ini, penulisnya yang sekarang jurnalis Metro TV adalah koresponden Tempo News Room di Lampung.
Perjalanan buku yang aslinya adalah skripsi Fadilasari untuk merampungkan studinya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung (1999) ini, cukup panjang. Setelah dilakukan riset ulang dan menambah data-data dan fakta-fakta lain, naskah buku ini – seperti diakui penulisnya – selesai sejak tahun 2001. Tapi, berbagai kendala menghadang. Penerbitan sebagai buku baru terealisasi tahun ini.
Sebenarnya, meskipun buku tentang Talangsari telah beberapa kali buku ditulis dan diterbitkan beberapa penulis, tetap saja kehadiran buku ini sangat ditunggu-tunggu. Berbeda dengan buku-buku lain yang cenderung mengelaborasi kasus ini berdasarkan kepentingan (politik-ekonomi? ) dari salah satu pihak (kelompok), buku ini agaknya tidak ingin terlibat dalam kepentingan para pihak itu.Dua kelompok yang berbeda pendapat, yaitu pihak yang menuntut agar kasus Talangsari diproses secara hukum dan pihak yang menuntut agar kasus ini ditutup saja terakomodasi secara baik dalam buku ini.
Secara runtut, penulis buku menyajikan fakta dan merekonstruksi peristiwa kasus Talangsari.
Dibuka dengan wacana kekinian, soal cerita (kasus Talangsari) yang hendak dilupakan, kisah yang menyisakan luka, dan Talangsari kini; lalu flash back pratragedi, yaitu sebuah pengajian yang ramai dan penggabungan dengan kelompok Jakarta. Kemudian penulis mencoba menggambarkan tokoh-tokoh di balik peristiwa Talangsari, baik yang masih hidup maupun yang tewas dalam tragedi ini. Mereka antara lain, Warsidi, Jayus, Muhammad Utsman, Sudarsono, Nurhidayat, Ahmad Fauzi Isman, dan Alex.
Pada bab 6, penulis menggambarkan bagaimana aktivitas jemaah Warsidi, kehidupan di sekitar pondok pongajian sebelum, saat, dan sesudah penyerbuan aparat keamanan, eksklusivisme jemaah, berbagai ajaran keagaaman yang dinilai agak “aneh”, dan bagaimana kemudian ajaran ini mulai berbenturan lingkungan, terutama aparat pemerintahan dan keamanam dari tingkat terbawah desa, kecamatan, kebupaten hingga provinsi.
Kematian Komandan Rayon Militer (Danramil) Way Jepara Kapten Sutiman, 6 Februari 1989-lah yang kemudian memicu “serangan fajar” aparat keamanan sehari kemudian. Tragedi 7 Februari 1989 (bab 8).
Bab-bab berikutnya penulis mengisahkan pasca penyerangan aparat, penguburan dan penangkapan jemaah (dan mereka yang disangka jemaah) Anwar Warsidi di berbagai tempat, dan proses persidangan Jemaah Talangsari.
Pada bagian akhir buku – kembali lagi – kondisi kekinian tentang islah dan penyelesaian secara hukum, serta analisis tentang pelanggaran HAM yang telah terjadi dalam kasus Talangsari. Jenis-jenis HAM yang dilanggar aparat negara dalam kasus Talangsari yang dikemukakan dalam buku ini, antara lain penghilangan nyaewa manusia, anak-anak tidak dilindungi, penangkapan dan penahanan tanpa sebab yang jelas, penyiksaan dalam tahanan., penahanan tanpa proses hukum, peradilan tidak independent, pengekangan hak berserikat dan berkumpul, pengekangan hak mengeluarkan pendapat, tidak bebas beragama dan kepercayaan, pengekangan arus informasi, perampasan hak milik, ditolak bekerja, pemerintah tidak bertanggung jawab atas HAM, dan pembedaan perlakuan hukum terhadap warga Negara.
Buku lalu ditutup dengan sebuah epilog tentang bagaimana sebaiknya kasus Talangsari diselesaikan secara berkeadilan dan memenuhi rasa kemanusiaan.
Sebuah buku yang bisa menjadi acuan bagi siapa saja dari untuk mengetahui apa sesungguhnya yang telah terjadi. Paling tidak buku ini bisa menjadi alat untuk meluruskan sesuatu yang agak bengkok selama ini: Tragedi Talangsari. Kuatnya model-model stigmatisasi di masa Orde Baru; membuat sebuah sejarah (peristiwa) selalu dipaksa “dibengkokkan” untuk kepentingan penguasa. Dan, buku ini mencoba menjelaskan secara gamblang dan apa adanya. Mirip sebuah roman tragedi!
* Udo Z. Karzi, Editor pada Penerbit Matakata, Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 28 April 2007
Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung
Penulis: Fadilasari
Pengantar: Zumrotin KS
Penerbit: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan dan Sijado, Maret 2007
Tebal: ix + 125 halaman
Penulis: Fadilasari
Pengantar: Zumrotin KS
Penerbit: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan dan Sijado, Maret 2007
Tebal: ix + 125 halaman
TALANGSARI 1989. Kejadian itu sudah berlalu 18 tahun lalu. Meski begitu, bagi sebagian orang peristiwa itu mungkin tidak mungkin terlupakan. Bahkan, sebagaimana dituturkan dalam buku ini, masih ada keluarga korban yang luput dari kematian dalam penyerbuan aparat ke Talangsari 7 Februari 1989 dan serentetan upaya penumpasan apa yang distigmatisasikan sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) Anwar Warsidi itu; yang masih ‘trauma’ dengan kejadian itu.
Ada sebagian pula yang masih berjuang terus menggugat kasus ini tetap dibuka dan para para pelanggar hak asasi manusia (HAM) mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.
Sebagian lain lagi, boleh jadi mulai lupa atau lebih tepatnya berusaha melupakan kenangan pahit itu. Betapa tidak, Komite Smalam mencatat 246 nama tewas dalam peritiwa ini. Jumlah tewas sebenarnya, diperkirakan tidak kurang dari 300 orang.
Saat ini, secara umum, ada dua kelompok kasus Talangsari: islah dan non-islah. Bagi yang mendukung islah barangkali kasus ini barangkali sudah selesai. Tidak ada yang perlu dipersoalkan, apa lagi diungkit-ungkit. Dengan islah, mereka saling memaafkan, bahkan melupakan.
Namun ada pihak yang menghendaki agar kasus Talangsari dibuka kembali. Korban yang menolak islah beralasan, bila perdamaian dilakukan sebelum sebelum proses hukum, tidak akan jelas siapa pihak yang salah dan benar. Mereka khawatir akan terus terkungkung dalam stigma Islam PKI dan PKI.
Fadilasari, penulis buku ini berupaya membongkar kembali “sejarah hitam kemanusiaan” dengan semangat mengungkap kebenaran. Sudut pandang yang digunakannya pun cukup tepat: Kesaksian korban pelanggaran HAM Peristiwa Lampung. Hampir semua tokoh penting di balik peristiwa ini ini diwawancarainya tanpa adanya tendensi untuk beropini.
Kemudian dengan teknik reportase, buku ini ditulis dengan gaya bertutur; khas majalah Tempo. Dan, memang selain wawancara langsung dengan pelaku dan saksi, majalah Tempo dan (juga) Harian Lampung Post menjadi rujukan utama penulisan buku ini. Kebetulan, saat penggarapan buku ini, penulisnya yang sekarang jurnalis Metro TV adalah koresponden Tempo News Room di Lampung.
Perjalanan buku yang aslinya adalah skripsi Fadilasari untuk merampungkan studinya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung (1999) ini, cukup panjang. Setelah dilakukan riset ulang dan menambah data-data dan fakta-fakta lain, naskah buku ini – seperti diakui penulisnya – selesai sejak tahun 2001. Tapi, berbagai kendala menghadang. Penerbitan sebagai buku baru terealisasi tahun ini.
Sebenarnya, meskipun buku tentang Talangsari telah beberapa kali buku ditulis dan diterbitkan beberapa penulis, tetap saja kehadiran buku ini sangat ditunggu-tunggu. Berbeda dengan buku-buku lain yang cenderung mengelaborasi kasus ini berdasarkan kepentingan (politik-ekonomi? ) dari salah satu pihak (kelompok), buku ini agaknya tidak ingin terlibat dalam kepentingan para pihak itu.Dua kelompok yang berbeda pendapat, yaitu pihak yang menuntut agar kasus Talangsari diproses secara hukum dan pihak yang menuntut agar kasus ini ditutup saja terakomodasi secara baik dalam buku ini.
Secara runtut, penulis buku menyajikan fakta dan merekonstruksi peristiwa kasus Talangsari.
Dibuka dengan wacana kekinian, soal cerita (kasus Talangsari) yang hendak dilupakan, kisah yang menyisakan luka, dan Talangsari kini; lalu flash back pratragedi, yaitu sebuah pengajian yang ramai dan penggabungan dengan kelompok Jakarta. Kemudian penulis mencoba menggambarkan tokoh-tokoh di balik peristiwa Talangsari, baik yang masih hidup maupun yang tewas dalam tragedi ini. Mereka antara lain, Warsidi, Jayus, Muhammad Utsman, Sudarsono, Nurhidayat, Ahmad Fauzi Isman, dan Alex.
Pada bab 6, penulis menggambarkan bagaimana aktivitas jemaah Warsidi, kehidupan di sekitar pondok pongajian sebelum, saat, dan sesudah penyerbuan aparat keamanan, eksklusivisme jemaah, berbagai ajaran keagaaman yang dinilai agak “aneh”, dan bagaimana kemudian ajaran ini mulai berbenturan lingkungan, terutama aparat pemerintahan dan keamanam dari tingkat terbawah desa, kecamatan, kebupaten hingga provinsi.
Kematian Komandan Rayon Militer (Danramil) Way Jepara Kapten Sutiman, 6 Februari 1989-lah yang kemudian memicu “serangan fajar” aparat keamanan sehari kemudian. Tragedi 7 Februari 1989 (bab 8).
Bab-bab berikutnya penulis mengisahkan pasca penyerangan aparat, penguburan dan penangkapan jemaah (dan mereka yang disangka jemaah) Anwar Warsidi di berbagai tempat, dan proses persidangan Jemaah Talangsari.
Pada bagian akhir buku – kembali lagi – kondisi kekinian tentang islah dan penyelesaian secara hukum, serta analisis tentang pelanggaran HAM yang telah terjadi dalam kasus Talangsari. Jenis-jenis HAM yang dilanggar aparat negara dalam kasus Talangsari yang dikemukakan dalam buku ini, antara lain penghilangan nyaewa manusia, anak-anak tidak dilindungi, penangkapan dan penahanan tanpa sebab yang jelas, penyiksaan dalam tahanan., penahanan tanpa proses hukum, peradilan tidak independent, pengekangan hak berserikat dan berkumpul, pengekangan hak mengeluarkan pendapat, tidak bebas beragama dan kepercayaan, pengekangan arus informasi, perampasan hak milik, ditolak bekerja, pemerintah tidak bertanggung jawab atas HAM, dan pembedaan perlakuan hukum terhadap warga Negara.
Buku lalu ditutup dengan sebuah epilog tentang bagaimana sebaiknya kasus Talangsari diselesaikan secara berkeadilan dan memenuhi rasa kemanusiaan.
Sebuah buku yang bisa menjadi acuan bagi siapa saja dari untuk mengetahui apa sesungguhnya yang telah terjadi. Paling tidak buku ini bisa menjadi alat untuk meluruskan sesuatu yang agak bengkok selama ini: Tragedi Talangsari. Kuatnya model-model stigmatisasi di masa Orde Baru; membuat sebuah sejarah (peristiwa) selalu dipaksa “dibengkokkan” untuk kepentingan penguasa. Dan, buku ini mencoba menjelaskan secara gamblang dan apa adanya. Mirip sebuah roman tragedi!
* Udo Z. Karzi, Editor pada Penerbit Matakata, Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 28 April 2007
April 10, 2007
Guru Besar Hukum Adat Lampung Prof. Hilman Wafat
-- Ilham Djamhari
BANDAR LAMPUNG--MIOL: Lampung kehilangan putra terbaiknya dengan wafatnya Guru Besar Hukum Adat FH Unila sekaligus budayawan, Prof. Hilman Hadikusuma SH, di kediamannya Jalan Karel Satsuit Tubun 2, Bandar Lampung dalam usia 79 tahun.
Prof.Hilman Hadikusuma tidak saja bergiat dalam hukum adat namun juga sebagai budayawan dan pakar antropologi budaya Lampung. Sudah banyak buku yang ditulisnya semasa hidupnya selain menyoal masalah hukum adat Indonesia juga masalah budaya Lampung.
Menurut putra tertua Prof.Hilman, Reza Mirhadi, yang juga anggota DPRD Lampung, ayahnya wafat pukul 02.10 Rabu dinihari, karena sudah lama mengidap berbagai penyakit usia tua.
Almarhum meninggalkan seorang istri, lima putra dan 12 orang cucu.
Almarhum dimakamkan di TMP Tanjungkarang pukul 14.00 WIB dengan upacara kebesaran militer.
Tanda jasa dan penghargaan yang diraihnya adalah Satya Lencana Aksi Militer ke-1, Satya Lencana Aksi Militer ke-2, Bintang Gerilya, Lencana Angkatan 45, Lencana Karya Siger Emas Sang Bumi Ruwa Jurai dan Lencana Unila.
Pangkat terakhir saat aktif di TNI adalah Sersan Mayor Resimen Garuda Hitam Brigade Sumatra Selatan. Ia mengundurkan diri dari dinas militer dan masuk sebagai pegawai sipil di berbagai jawatan.
Almarhum kemudian aktif di bidang pendidikan sebagai dosen Fakultas Hukum Unila dan pernah menjadi Ketua Jurusan Hukum Adat dan Dekan FH Unila. Dia pensiun sebagai PNS dan tetap aktif sebagai guru besar hukum adat hingga akhir hayatnya.
Hingga wafat, tenaganya masih dibutuhkan sebagai pengajar, guru besar dan pakar hukum adat, antropologi budaya Lampung di Universitas Lampung, Universitas Bandar Lampung dan IAIN Raden Intan.
Almarhum pernah menjadi anggota DPRD Tingkat I Provinsi Lampung pada 1964-1968.
Prof.Hilman Hadikusuma merupakan salah satu ahli dan pakar hukum adat Indonesia khususnya menyangkut hukum adat Lampung dan ahli budaya Lampung.
Dia pernah melontarkan berbagai gagasan menyangkut eksistensi hukum adat yang berkaitan dengan Hak Ulayat Tanah masyarakat asli. Bahkan saat aktif mengajar, dalam pernyataannya, Prof. Hilman mengemukakan bahwa hukum adat dan hukum nasional lainnya saling berkait dan melengkapi.
Menurut Prof. Hilman, hukum nasional juga bertumpu pada hukum adat dan hukum adat dengan hukum nasional saling berkait dan saling membutuhkan. Karena itu, dia gigih memperjuangkan bahwa hukum adat Indonesia sebagai landasan hukum formal yang menjadi subyek dan pegangan seluruh sumber hukum di Indonesia. Sekaligus menjadi rujukan mahasiswa Fakultas Hukum di perguruan tinggi.
Bahkan sebagai pakar budaya Lampung, Prof. Hilman sangat gigih agar budaya Lampung menjadi acuan dan masuk kurikulum pendidikan dasar sejak SD hingga perguruan tinggi, terutama bahasa, kesenian dan sastra yang harus dilestarikan. (IH/OL-03)
Sumber: Media Indonesia Online, Rabu, 30 Agustus 2006 15:46 WIB
BANDAR LAMPUNG--MIOL: Lampung kehilangan putra terbaiknya dengan wafatnya Guru Besar Hukum Adat FH Unila sekaligus budayawan, Prof. Hilman Hadikusuma SH, di kediamannya Jalan Karel Satsuit Tubun 2, Bandar Lampung dalam usia 79 tahun.
Prof.Hilman Hadikusuma tidak saja bergiat dalam hukum adat namun juga sebagai budayawan dan pakar antropologi budaya Lampung. Sudah banyak buku yang ditulisnya semasa hidupnya selain menyoal masalah hukum adat Indonesia juga masalah budaya Lampung.
Menurut putra tertua Prof.Hilman, Reza Mirhadi, yang juga anggota DPRD Lampung, ayahnya wafat pukul 02.10 Rabu dinihari, karena sudah lama mengidap berbagai penyakit usia tua.
Almarhum meninggalkan seorang istri, lima putra dan 12 orang cucu.
Almarhum dimakamkan di TMP Tanjungkarang pukul 14.00 WIB dengan upacara kebesaran militer.
Tanda jasa dan penghargaan yang diraihnya adalah Satya Lencana Aksi Militer ke-1, Satya Lencana Aksi Militer ke-2, Bintang Gerilya, Lencana Angkatan 45, Lencana Karya Siger Emas Sang Bumi Ruwa Jurai dan Lencana Unila.
Pangkat terakhir saat aktif di TNI adalah Sersan Mayor Resimen Garuda Hitam Brigade Sumatra Selatan. Ia mengundurkan diri dari dinas militer dan masuk sebagai pegawai sipil di berbagai jawatan.
Almarhum kemudian aktif di bidang pendidikan sebagai dosen Fakultas Hukum Unila dan pernah menjadi Ketua Jurusan Hukum Adat dan Dekan FH Unila. Dia pensiun sebagai PNS dan tetap aktif sebagai guru besar hukum adat hingga akhir hayatnya.
Hingga wafat, tenaganya masih dibutuhkan sebagai pengajar, guru besar dan pakar hukum adat, antropologi budaya Lampung di Universitas Lampung, Universitas Bandar Lampung dan IAIN Raden Intan.
Almarhum pernah menjadi anggota DPRD Tingkat I Provinsi Lampung pada 1964-1968.
Prof.Hilman Hadikusuma merupakan salah satu ahli dan pakar hukum adat Indonesia khususnya menyangkut hukum adat Lampung dan ahli budaya Lampung.
Dia pernah melontarkan berbagai gagasan menyangkut eksistensi hukum adat yang berkaitan dengan Hak Ulayat Tanah masyarakat asli. Bahkan saat aktif mengajar, dalam pernyataannya, Prof. Hilman mengemukakan bahwa hukum adat dan hukum nasional lainnya saling berkait dan melengkapi.
Menurut Prof. Hilman, hukum nasional juga bertumpu pada hukum adat dan hukum adat dengan hukum nasional saling berkait dan saling membutuhkan. Karena itu, dia gigih memperjuangkan bahwa hukum adat Indonesia sebagai landasan hukum formal yang menjadi subyek dan pegangan seluruh sumber hukum di Indonesia. Sekaligus menjadi rujukan mahasiswa Fakultas Hukum di perguruan tinggi.
Bahkan sebagai pakar budaya Lampung, Prof. Hilman sangat gigih agar budaya Lampung menjadi acuan dan masuk kurikulum pendidikan dasar sejak SD hingga perguruan tinggi, terutama bahasa, kesenian dan sastra yang harus dilestarikan. (IH/OL-03)
Sumber: Media Indonesia Online, Rabu, 30 Agustus 2006 15:46 WIB
April 9, 2007
Wisata: Lampung Buat Program Baru Kepariwisataan
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Dinas Promosi, Investasi, Kebudayaan, dan Pariwisata (DIKP) Provinsi Lampung mengembangkan pola pariwisata berpihak kepada masyarakat untuk pengentasan permasalahan kemiskinan. Kasubdin Pariwisata DIKP Provinsi Lampung, Reni Untari, mengemukakan hal tersebut saat ditemui Minggu (8-4). Dia mengatakan pendekatan ini dilakukan guna meningkatkan taraf kehidupan masyarakat.
"Daerah-daerah, terutama desa-desa yang memiliki objek wisata diharapkan bisa meningkat taraf kesejahteraannya dengan membantu penyiapan berbagai fasilitas penunjang kepariwisataan di desa setempat," kata Reni.
Pada tahun 2007, menurut dia, ada dua tempat yang akan dijadikan lokasi pengembangan pola keberpihakan kepada masyarakat. "Di Way Jambu, Lampung Barat, yang memiliki potensi pantai yang sangat baik dan di desa Pulau Sebesai."
Nantinya, kata Reni, di dua desa tersebut akan dibangun homestay bagi wisatawan yang berkunjung ke tempat tersebut. "Dengan keberadaan homestay paling tidak berdampak secara ekonomi kepada masyarakat dengan mendapatkan penghasilan. Selain juga bia mengentaskan persoalan minimnya lapangan pekerjaan," ujarnya.
Pembangunan homestay bukan dengan melakukan pembangunan bangunan baru, melainkan dengan melibatkan rumah-rumah milik warga setempat. "Jadi rumah warga diperbaiki dengan tidak mengurangi kekhasan masyarakat setempat. Sehingga, rumah tersebut bisa nyaman dijadikan homestay bagi turis yang berkunjung ke sana."
Selain itu juga, di dua desa tersebut, Dinas PIKP juga mengembangkan masyarakat pencinta pariwisata. "Nantinya diharapkan masyarakat akan peduli terhadap pariwisata yang ada di daerahnya serta bisa menjaganya. Sebab diharapkan mereka akan bisa mendapatkan kemanfaatan dari bidang kepariwisataan," katanya.
Apalagi, kata dia, faktor keamanan menjadi faktor yang penting untuk perkembangan dunia kepariwisataan. "Dan untuk saat ini Lampung masih mendapatkan predikat aman, tapi belum nyaman bagi wisatawan karena sarana dan prasarana yang ada belum begitu menunjang."
Sehingga, angka wisatawan asing yang berkunjung ke Lampung terus meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. "Untuk tahun 2005, angka wisatawan asing yang berkunjung ke Lampung adalah berjumlah 4.948 orang dan tahun 2006 meningkat menjadi 6.893 orang," kata Reni lagi. n TYO/K-1
Sumber: Lampung Post, Senin, 9 April 2007
"Daerah-daerah, terutama desa-desa yang memiliki objek wisata diharapkan bisa meningkat taraf kesejahteraannya dengan membantu penyiapan berbagai fasilitas penunjang kepariwisataan di desa setempat," kata Reni.
Pada tahun 2007, menurut dia, ada dua tempat yang akan dijadikan lokasi pengembangan pola keberpihakan kepada masyarakat. "Di Way Jambu, Lampung Barat, yang memiliki potensi pantai yang sangat baik dan di desa Pulau Sebesai."
Nantinya, kata Reni, di dua desa tersebut akan dibangun homestay bagi wisatawan yang berkunjung ke tempat tersebut. "Dengan keberadaan homestay paling tidak berdampak secara ekonomi kepada masyarakat dengan mendapatkan penghasilan. Selain juga bia mengentaskan persoalan minimnya lapangan pekerjaan," ujarnya.
Pembangunan homestay bukan dengan melakukan pembangunan bangunan baru, melainkan dengan melibatkan rumah-rumah milik warga setempat. "Jadi rumah warga diperbaiki dengan tidak mengurangi kekhasan masyarakat setempat. Sehingga, rumah tersebut bisa nyaman dijadikan homestay bagi turis yang berkunjung ke sana."
Selain itu juga, di dua desa tersebut, Dinas PIKP juga mengembangkan masyarakat pencinta pariwisata. "Nantinya diharapkan masyarakat akan peduli terhadap pariwisata yang ada di daerahnya serta bisa menjaganya. Sebab diharapkan mereka akan bisa mendapatkan kemanfaatan dari bidang kepariwisataan," katanya.
Apalagi, kata dia, faktor keamanan menjadi faktor yang penting untuk perkembangan dunia kepariwisataan. "Dan untuk saat ini Lampung masih mendapatkan predikat aman, tapi belum nyaman bagi wisatawan karena sarana dan prasarana yang ada belum begitu menunjang."
Sehingga, angka wisatawan asing yang berkunjung ke Lampung terus meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. "Untuk tahun 2005, angka wisatawan asing yang berkunjung ke Lampung adalah berjumlah 4.948 orang dan tahun 2006 meningkat menjadi 6.893 orang," kata Reni lagi. n TYO/K-1
Sumber: Lampung Post, Senin, 9 April 2007
Pameran: Menengok Lampung Tempo "Doeloe" Lewat Foto
-- Helena F Nababan
PERKEMBANGAN Lampung dari masa ke masa tidak dapat dipisahkan dari sejarah berdirinya Lampung. Tepatnya ketika Lampung masih berstatus bagian dari keresidenan Palembang kemudian dikembangkan sebagai daerah kolonisasi oleh Pemerintah Belanda pada 1905-1942, dan akhirnya menjadi provinsi Lampung pada 18 Maret 1964.
Rentetan cerita mengenai perkembangan Lampung itu terekam apik melalui 72 karya foto yang dipamerkan pada Pameran Fotografi bertajuk "Lampoeng Tempo Doeloe" di Gedung Olahraga Saburai, Bandar Lampung, pada 30 Maret hingga 1 April 2007. Pameran merupakan bagian dari peringatan hari jadi Ke-43 Lampung pada 18 Maret 2007.
Selain menampilkan karya-karya hasil dokumentasi Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung dan Pemerintah Kota (Pemkot) Metro, pameran fotografi itu juga menampilkan foto- foto yang merupakan koleksi pribadi dari keluarga pelaku sejarah berdirinya Lampung. Foto- foto yang ditampilkan koleksi milik Bastari Sinungan, AD Sutjipto, Solfian Akhmad, A Bachtiar, Markoem, Zaini, Kamaroedin Sampoernadjaya, Amin JP, dan Arifin Nitipradjo Tegamo’an.
Pameran diawali dengan foto pendirian kolonisasi di kota Metro pada 1937. Foto yang menampilkan para pendiri kota Metro itu disusul dengan foto kedatangan transmigran dari Jawa Tengah ke lokasi transmigrasi, permukiman para transmigran di Metro, pembangunan bendung pada saluran irigasi Way Sekampung di Trimurjo, hingga cacah jiwa di Metro.
Seusai menampilkan sejarah transmigrasi di Lampung, urutan perkembangan Lampung sedikit membuka dengan ditampilkannya foto aktivitas warga Tanjung Karang dan Teluk Betung pada era 1930-1960. Kedua kota ini akhirnya bersatu menjadi Bandar Lampung pada 1983.
Ada juga foto Presiden Soekarno yang tengah berpidato di lapangan besar di Tanjung Karang dengan gagahnya. Ada juga tampilan mengenai berbagai pembangunan infrastruktur kota, seperti jembatan dan jalan, sarana transportasi warga mulai dari bus dan kapal laut, hingga bangunan-bangunan fasilitas umum, seperti rumah sakit umum yang sekarang berkembang menjadi RSUD Abdul Moeloek dan bangunan stasiun Tanjung Karang yang tetap kokoh hingga sekarang.
Joko Irianta, kurator pada pameran fotografi itu, Jumat (30/3), mengatakan, terlepas dari ketidaksiapan panitia mempersiapkan pameran yang ditandai dengan tak adanya deskripsi mengenai foto dan terbatasnya jumlah foto yang ditampilkan, setidaknya penggalan-penggalan cerita mengenai masa lalu Lampung bisa terungkap melalui foto-foto yang dipamerkan.
Sementara Arifin Nitipradjo Tegamo’an (72), salah satu penggagas berdirinya Provinsi Lampung, pada kesempatan yang sama mengatakan, dengan melihat foto-foto itu, ia bisa dengan jelas mencermati, Lampung yang dulu sudah berbeda dengan Lampung yang sekarang.
Sekarang ini, Lampung belum menjadi provinsi maju seperti keinginan para penggagas dan pendiri provinsi. Pemprov Lampung memiliki banyak pekerjaan rumah, di antaranya upaya untuk mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pembangunan tanpa meremehkan aspek konservasi lingkungan hidup.
"Tantangannya makin banyak di berbagai bidang," katanya.
Sumber: Kompas, Senin, 09 April 2007
PERKEMBANGAN Lampung dari masa ke masa tidak dapat dipisahkan dari sejarah berdirinya Lampung. Tepatnya ketika Lampung masih berstatus bagian dari keresidenan Palembang kemudian dikembangkan sebagai daerah kolonisasi oleh Pemerintah Belanda pada 1905-1942, dan akhirnya menjadi provinsi Lampung pada 18 Maret 1964.
Rentetan cerita mengenai perkembangan Lampung itu terekam apik melalui 72 karya foto yang dipamerkan pada Pameran Fotografi bertajuk "Lampoeng Tempo Doeloe" di Gedung Olahraga Saburai, Bandar Lampung, pada 30 Maret hingga 1 April 2007. Pameran merupakan bagian dari peringatan hari jadi Ke-43 Lampung pada 18 Maret 2007.
Selain menampilkan karya-karya hasil dokumentasi Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung dan Pemerintah Kota (Pemkot) Metro, pameran fotografi itu juga menampilkan foto- foto yang merupakan koleksi pribadi dari keluarga pelaku sejarah berdirinya Lampung. Foto- foto yang ditampilkan koleksi milik Bastari Sinungan, AD Sutjipto, Solfian Akhmad, A Bachtiar, Markoem, Zaini, Kamaroedin Sampoernadjaya, Amin JP, dan Arifin Nitipradjo Tegamo’an.
Pameran diawali dengan foto pendirian kolonisasi di kota Metro pada 1937. Foto yang menampilkan para pendiri kota Metro itu disusul dengan foto kedatangan transmigran dari Jawa Tengah ke lokasi transmigrasi, permukiman para transmigran di Metro, pembangunan bendung pada saluran irigasi Way Sekampung di Trimurjo, hingga cacah jiwa di Metro.
Seusai menampilkan sejarah transmigrasi di Lampung, urutan perkembangan Lampung sedikit membuka dengan ditampilkannya foto aktivitas warga Tanjung Karang dan Teluk Betung pada era 1930-1960. Kedua kota ini akhirnya bersatu menjadi Bandar Lampung pada 1983.
Ada juga foto Presiden Soekarno yang tengah berpidato di lapangan besar di Tanjung Karang dengan gagahnya. Ada juga tampilan mengenai berbagai pembangunan infrastruktur kota, seperti jembatan dan jalan, sarana transportasi warga mulai dari bus dan kapal laut, hingga bangunan-bangunan fasilitas umum, seperti rumah sakit umum yang sekarang berkembang menjadi RSUD Abdul Moeloek dan bangunan stasiun Tanjung Karang yang tetap kokoh hingga sekarang.
Joko Irianta, kurator pada pameran fotografi itu, Jumat (30/3), mengatakan, terlepas dari ketidaksiapan panitia mempersiapkan pameran yang ditandai dengan tak adanya deskripsi mengenai foto dan terbatasnya jumlah foto yang ditampilkan, setidaknya penggalan-penggalan cerita mengenai masa lalu Lampung bisa terungkap melalui foto-foto yang dipamerkan.
Sementara Arifin Nitipradjo Tegamo’an (72), salah satu penggagas berdirinya Provinsi Lampung, pada kesempatan yang sama mengatakan, dengan melihat foto-foto itu, ia bisa dengan jelas mencermati, Lampung yang dulu sudah berbeda dengan Lampung yang sekarang.
Sekarang ini, Lampung belum menjadi provinsi maju seperti keinginan para penggagas dan pendiri provinsi. Pemprov Lampung memiliki banyak pekerjaan rumah, di antaranya upaya untuk mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pembangunan tanpa meremehkan aspek konservasi lingkungan hidup.
"Tantangannya makin banyak di berbagai bidang," katanya.
Sumber: Kompas, Senin, 09 April 2007
April 8, 2007
Esai: Mitos Ulun Lampung*
-- Udo Z. Karzi**
NUANSA Budi Hutasuhut tentang "Mitos" (Lampung Post, 7 Maret 2007) dan "Klaim" (Lampung Post, 12 Maret 2007) menggelitik saya menulis esai ini. Sebelumnya, saya ingin mengambil benang merah dari kedua nuansa tersebut.
Intinya, Budi meragukan "kebenaran" yang diyakini ulun Lampung tentang Kerajaan Sekalabrak yang kedudukannya diperkirakan di kaki Gunung Pesagi, Lampung Barat. Tersebutlah nama-nama Belunguh, Lapah di Way, Nyerupa, Pernong, Anak Mentuha, dan Buay Bulan.
Entah dari mana asalnya, Budi menyebut mereka ini sebagai "mitos". Padahal, kata Budi, mitos sering menyesatkan, mengelabui, dan membohongi. Mitos Ratu Pantai Selatan dibuat untuk menakut-nakuti Belanda agar tak masuk ke Pulau Jawa. Tapi, ternyata, Belanda memorak-porandakan Pulau Jawa.
Sebenarnya, tidak ada masalah ketika Budi menyebutkan Kerajaan Sekalabrak sebagai sebuah mitos. Persoalannya muncul ketika ulun Lampung "sangat meyakini" Kerajaan Sekalabrak sebagai cikal-bakal berkembangnya Lampung sebagai suku bangsa (society) yang inhern di dalamnya kebudayaan (culture).
Dalam kasus ini, saya tidak ingin melihat kebudayaan Lampung sebagai pengaruh (dipengaruhi) oleh Pagaruyung, Banten, Batak, Jawa, dan berbagai kebudayaan lain yang kini menjadi bagian tidak terpisahkan dari Lampung. Sebab, proses pengaruh-mempengaruhi (apa pun istilah antropologi, entah itu asimilasi, akulturasi, dan sebagainya) jelas terjadi.
Kerajaan Sekalabrak
Kerajaan Sekalabrak sebagai mitos? Ya, saya sudah lama mendengar itu. Dan, saya pun tidak mengerti mangapa ulun Lampung sangat meyakini kebenaran ini. Saya pikir perlu diluruskan bahwa yang meyakini nama-nama Sekalabrak, Belunguh, Lapah di Way, Nyerupa, Pernong, Anak Mentuha, dan Buay Bulan itu bukan hanya masyarakat adat yang mengklaim diri sebagai keturunan "Paksi Pak" Lampung Barat.
Saya menulis ini dari Pangkalan Bun, sehingga tidak sempat lagi memeriksa literatur. Saya hanya mengingat sebuah teori Hilman Hadikusuma tentang asal usul ulun Lampung. Intinya, Lampung itu berasal dari satu (catatan: saya tidak memakai istilah Lampung Sai karena pada akhirnya "gerakan" ini dalam kenyataan menjadi sangat politis). Asalnya dari Sekalabrak, yang pemimpin-pemimpinnya bernama Belunguh, Lapah di Way, Nyerupa, dan Pernong dengan Anak Mentuha yang dihormati dan nakbai (bahasa Lampung: saudara perempuan) bernama Buay Bulan.
Sejarah "asal-usul" ulun Lampung ini paling tidak termuat dalam kitab "Kuntara Raja Niti" (kitabnya orang Lampung Pubian yang beradat Pepadun dan berbahasa subdialek api). Selain "Kuntara Raja Niti", sebenarnya ada tiga kitab lagi yang disebut almarhum Prof Hilman Hadikusuma yang dipegang subetnik Lampung masing-masing.
Namun yang jelas, dari kitab "Kuntara Raja Niti", tersebutlah orang Lampung Pubian -- pernah juga disampaikan Riagusria -- mengaku sebagai keturunan Buay Pernong. Lalu, kalau menilik nama-nama marga di Lampung terdapat marga Nyerupa di Kecamatan Gunungugih. Artinya, sesuai teori Hilman itu, Lampung Abung adalah keturunan Buay Nyerupa, selain ada nama Buay Nyerupa di Kecamatan Sukau, Lampung Barat. Buay Bulan menurunkan Menggala (Tulangbawang). Marga Belunguh di Kotaagung bisa ditelusuri sebagai keturunan Buay Belunguh di Kenali, Kecamatan Belalau. Dan seterusnya, Lampung Way Kanan, Ranau (yang berbatasan dengan Sumatera Selatan), dan sebagainya dapat ditelesuri sebagai keturunan nama-nama buay itu.
Bahasa Lampung
Yang jelas pula, ulun Lampung memiliki bahasa (dan seharusnya bisa berbahasa!) yang bernama bahasa Lampung.
Bahasa Lampung memiliki dua subdilek. Pertama, subdialek A (api) yang dipakai oleh ulun Melinting-Maringgai, Pesisir Rajabasa, Pesisir Teluk, Pesisir Semaka, Pesisir Krui, Belalau dan Ranau, Komering, dan Kayu Agung (yang beradat Lampung Peminggir), serta Way Kanan, Sungkai, dan Pubian (yang beradat Lampung Pepadun). Kedua, subdialek o (nyo) yang dipakai oleh ulun Abung dan Menggala/Tulangbawang (yang beradat Lampung Pepadun). (lihat: Hilman Hadikusuma dkk. 1983. Adat Istiadat Lampung).
Mengenai bahasa Lampung ini, saya pikir bukan mitos karena memang riil ada penutur masing-masing subdialek. Pertanyaan saya, adakah yang masih mau menyangkal bahwa orang Ranau (yang berada di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan) bukan orang Lampung? Tentang hal ini, ada "mitos"-nya juga:
Nama Danau Ranau itu aneh. Aneh kenapa namanya danau itu Ranau? Soalnya, "ranau" dalam bahasa Lampung berarti danau. Danau Ranau ya artinya Danau Danau. La, ini danau tak bernama.
Suatu hari, -- sebenarnya sering kali -- saya bertemu dengan orang Ranau. Biasanya, orang dari daerah ini selalu ngotot mengatakan, "Saya orang Palembang" dan biasanya dia berupaya "nyerocos ngomong" Palembang. Tapi, anehnya teman yang satu ini malah ngotot mau dibilang ulun Lampung. "Desa saya memang masuk Sumatera Selatan. Tapi saya orang Lampung. Sehari-hari saya berbahasa Lampung," kata Eka Yulius Bachtiar, teman saya itu.
Saya tertawa saja. La, iya di Banding Agung, Sumatera Selatan itu saya punya kakek-nenek dan sanak-famili. Semuanya berbahasa Lampung.
"Sejarah"-nya, orang Ranau sebenarnya berasal dari Lampung Barat. Mereka pindah dari daerah asalnya, kemudian menetap di tepian danau di Banding Agung, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan, sejak abad ke-15. Suku asli yang sebelumnya tinggal di kawasan danau justru hijrah ke Lampung Tengah.
Setidaknya cerita itulah yang banyak beredar di tengah masyarakat. Tidak ada bukti tertulis, seperti prasasti atau manuskrip, yang mendukung kisah asal-usul suku tersebut. Kebenaran sejarah itu lebih banyak bertumpu pada penuturan nenek moyang, ditambah adanya sejumlah makam tetua suku yang masih bisa dijumpai sampai sekarang. (Kompas, 11 Desember 2006).
Mitos yang Diyakini
Saya mengikuti perdebatan seputar pelarangan Buku Pelajaran Sejarah oleh Kejaksaan Agung. Buku itu dilarang karena, "sejarah" mengenai PKI (Partai Komunis Indonesia) tidak banyak disinggung dalam bab-babnya. Dalam pikiran saya yang muncul kemudian adalah pemerintah seperti tengah mempertahankan "mitos" (orang pelitik bilang "stigma") tentang PKI. Soalnya, setelah ini orang boleh dong mengatakan pemberontakan G.30.S/PKI itu sebuah mitos yang diciptakan pemerintah Orde Baru.
Saya jadi berpikir pula: PKI itu sebagai mitos yang dipercaya atau pinjam istilah Asvi Warman Adam (2006), sejarah yang bikin bingung? Kalau begitu, perbedaan antara mitos dan sejarah itu sangat tipis.
Suatu hari, Roland Barthes pernah berkata: "Apa yang tidak kita katakan dengan lisan, sebenarnya tubuh kita sudah mengatakannya'. Pernyataan itu mengindikasikan signifikansi bahasa simbolik manusia. Dalam kehidupan ini, manusia selain dibekali kemampuan berbahasa juga dibekali kemampuan interpretasi terhadap bahasa itu sendiri. Bahasa, dalam hal ini, tidak hanya terfokus pada bahasa verbal atau bahasa nonverbal manusia, tetapi juga pada bahasa-bahasa simbolik suatu benda (seperti gambar) atau gerakan-gerakan tertentu.
Roland Barthes, pakar semiotika asal Prancis ini, telah mengabdikan lebih dari separuh hidupnya untuk mempelajari semiologi. Secara teoritik, menurutnya, semiologi merupakan ilmu yang mempelajari tanda. Semiologi sebagai cabang ilmu bahasa terbagi dua, yakni semiologi tingkat pertama yang disebutnya dengan linguistik dan semiologi tingkat kedua yang ia sebut 'mitos'.
Pembagian semiologi dalam dua tingkatan bahasa itu merupakan mahakaryanya selama mengarungi dunia semiologi. 'Mitos' bukanlah mitos seperti apa yang kita pahami selama ini. 'Mitos' bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal, transenden, ahistoris, dan irasional. Anggapan seperti itu, mulai sekarang hendaknya kita kubur.
Pasalnya, 'mitos' yang dimaksud Roland Barthes adalah sebuah ilmu tentang tanda.
Menurut Barthes, 'mitos' adalah type of speech (tipe wicara atau gaya bicara) seseorang. Mitos digunakan orang untuk mengungkapkan sesuatu yang tersimpan dalam dirinya. Orang mungkin tidak sadar ketika segala kebiasaan dan tindakannya ternyata dapat dibaca orang lain. Dengan menggunakan analisis mitos itu, kita dapat mengetahui makna-makna yang tersimpan dalam sebuah bahasa atau benda (gambar).
Dalam semiologi terdapat tiga tahapan penting pembentuk makna, yaitu penanda, pertanda, dan tanda. Penanda merupakan subyek, pertanda ialah obyek, dan tanda merupakan hasil perpaduan keduanya. Dalam semiotika tingkat pertama (linguistik), penanda diganti dengan sebutan makna, pertanda sebagai konsep, dan tanda tetap disebut tanda. Sedangkan dalam 'mitos' (semiotika tingkat kedua), penanda dianggap bentuk, pertanda tetap sebagai konsep, dan tanda diganti dengan penandaan. Proses simbolisasi seperti itu bertujuan mempermudah kita dalam membedakan antara linguistik dan mitos dalam semiologi.
Selama ini, banyak orang yang tidak menyadari signifikansi semiotika dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, dalam interaksi sosial banyak sekali makna-makna yang belum terungkap. Mulai dari bahasa manusia (verbal dan nonverbal), benda (gambar), hingga gerakan-gerakan alam. Mitos dalam hal ini menjadi medium untuk membedah makna-makna tersebut. Selain sebagai ilmu, mitos juga dapat digunakan sebagai cara pandang atau paradigma dalam menganalisa suatu peristiwa. Inilah kelebihan dari teori 'mitos' Barthesian.
Mempelajari makna-makna simbolik, baik pada manusia maupun benda, merupakan hal yang sangat menarik. Karena banyak orang yang belum bisa menguraikan makna dengan sempurna dalam simbol-simbol kehidupan.
Sejarah yang Bikin Bingung
Akan halnya sejarah? Beberapa saat setelah Orde Baru berakhir bermunculan gugatan masyarakat terhadap sejarah (versi pemerintah). Buku-buku baru diluncurkan. Sejarah pun jadi polemik. Asvi Warman Adam (2006) menawarkan beberapa tipologi kontroversi sejarah Indonesia yang disebabkan oleh fakta (dan interpretasi) yang tidak tepat, tidak lengkap, dan tidak jelas.
Contoh kategori pertama, benarkah Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun? Prof. Mr. Gertrudes Johan Resink (1911-1997) membantah pernyataan tersebut. Termasuk dalam kategori pertama adalah sejarah yang berhubungan dengan mantan Presiden Soeharto.
Selama ini PKI ditulis menyatu dengan Gerakan 30 September (G30S), seakan partai tersebut dalang tunggal dari percobaan kudeta 1965. Padahal versi lain tentang adanya keterlibatan militer, Sukarno, Soeharto, bahkan unsur asing (CIA dan lain-lain). Malah belakangan muncul versi baru yang melihat peristiwa dari 30 September 1965 sampai 11 Maret 1966 sebagai suatu kesatuan dan disebut "kudeta merangkak".
Kategori kedua antara lain menyangkut Budi Utomo yang kelahirannya 20 Mei 1908 diperingati Hari Kebangkitan Nasional. Terdapat kritik terhadap organisasi ini yang dinilai bersifat kedaerahan (Jawa). Kategori ketiga adalah hal-hal yang tidak jelas dalam sejarah Indonesia. Contohnya mengenai naskah asli surat Supersemar, Peristiwa Malari (11 Januari) 1974.
Jadi, sejarah hari ini adalah "mitos" buatan Orde Baru (?)
Catatan Penutup
Kalau begitu, mengapa kita tidak membuat sejarah (asal-usul) orang Lampung dari mitos-mitos yang bertebaran di berbagai tempat di Lampung? Tidakkah bisa kita menganyam cerita tentang mitos ulun Lampung? Masalahnya kan tinggal mencari bukti otentik "mitos" untuk bisa disebut sebagai sejarah. Jelas, tidak mudah. Tentu perlu keseriusan untuk menyusun sejarah (kebudayaan) ulun Lampung (bukan sejarah: Provinsi Lampung!). Yang jelas, mana bisa menemukan sejarah secara "sambil lalu" sebagaimana (mungkin) esai ini dengan penuh keisengan. Ya, geh?
--------------
* Esai ini yang seutuhnya. Pertama saya kirim ke Lampung Post dan dimuat Minggu, 15 April 2007 dengan judul "Mitos Sekalabrak dan Eksistensi Ulun Lampung". Hanya sebagian awalnya saja yang dimuat. Padahal, fokus saya justru pada bagian akhir. Tidak puas esai saya dipenggal di tengah-tengah, dengan sedikit perubahan pada lead, saya kirim bagian "kedua" esai ini ke Radar Lampung dan baru dimuat, Rabu, 9 Mei 2007 dengan judul "Meluruskan Mitos Ulun Lampung".
** Udo Z. Karzi, orang Lampung yang tinggal di Borneo
NUANSA Budi Hutasuhut tentang "Mitos" (Lampung Post, 7 Maret 2007) dan "Klaim" (Lampung Post, 12 Maret 2007) menggelitik saya menulis esai ini. Sebelumnya, saya ingin mengambil benang merah dari kedua nuansa tersebut.
Intinya, Budi meragukan "kebenaran" yang diyakini ulun Lampung tentang Kerajaan Sekalabrak yang kedudukannya diperkirakan di kaki Gunung Pesagi, Lampung Barat. Tersebutlah nama-nama Belunguh, Lapah di Way, Nyerupa, Pernong, Anak Mentuha, dan Buay Bulan.
Entah dari mana asalnya, Budi menyebut mereka ini sebagai "mitos". Padahal, kata Budi, mitos sering menyesatkan, mengelabui, dan membohongi. Mitos Ratu Pantai Selatan dibuat untuk menakut-nakuti Belanda agar tak masuk ke Pulau Jawa. Tapi, ternyata, Belanda memorak-porandakan Pulau Jawa.
Sebenarnya, tidak ada masalah ketika Budi menyebutkan Kerajaan Sekalabrak sebagai sebuah mitos. Persoalannya muncul ketika ulun Lampung "sangat meyakini" Kerajaan Sekalabrak sebagai cikal-bakal berkembangnya Lampung sebagai suku bangsa (society) yang inhern di dalamnya kebudayaan (culture).
Dalam kasus ini, saya tidak ingin melihat kebudayaan Lampung sebagai pengaruh (dipengaruhi) oleh Pagaruyung, Banten, Batak, Jawa, dan berbagai kebudayaan lain yang kini menjadi bagian tidak terpisahkan dari Lampung. Sebab, proses pengaruh-mempengaruhi (apa pun istilah antropologi, entah itu asimilasi, akulturasi, dan sebagainya) jelas terjadi.
Kerajaan Sekalabrak
Kerajaan Sekalabrak sebagai mitos? Ya, saya sudah lama mendengar itu. Dan, saya pun tidak mengerti mangapa ulun Lampung sangat meyakini kebenaran ini. Saya pikir perlu diluruskan bahwa yang meyakini nama-nama Sekalabrak, Belunguh, Lapah di Way, Nyerupa, Pernong, Anak Mentuha, dan Buay Bulan itu bukan hanya masyarakat adat yang mengklaim diri sebagai keturunan "Paksi Pak" Lampung Barat.
Saya menulis ini dari Pangkalan Bun, sehingga tidak sempat lagi memeriksa literatur. Saya hanya mengingat sebuah teori Hilman Hadikusuma tentang asal usul ulun Lampung. Intinya, Lampung itu berasal dari satu (catatan: saya tidak memakai istilah Lampung Sai karena pada akhirnya "gerakan" ini dalam kenyataan menjadi sangat politis). Asalnya dari Sekalabrak, yang pemimpin-pemimpinnya bernama Belunguh, Lapah di Way, Nyerupa, dan Pernong dengan Anak Mentuha yang dihormati dan nakbai (bahasa Lampung: saudara perempuan) bernama Buay Bulan.
Sejarah "asal-usul" ulun Lampung ini paling tidak termuat dalam kitab "Kuntara Raja Niti" (kitabnya orang Lampung Pubian yang beradat Pepadun dan berbahasa subdialek api). Selain "Kuntara Raja Niti", sebenarnya ada tiga kitab lagi yang disebut almarhum Prof Hilman Hadikusuma yang dipegang subetnik Lampung masing-masing.
Namun yang jelas, dari kitab "Kuntara Raja Niti", tersebutlah orang Lampung Pubian -- pernah juga disampaikan Riagusria -- mengaku sebagai keturunan Buay Pernong. Lalu, kalau menilik nama-nama marga di Lampung terdapat marga Nyerupa di Kecamatan Gunungugih. Artinya, sesuai teori Hilman itu, Lampung Abung adalah keturunan Buay Nyerupa, selain ada nama Buay Nyerupa di Kecamatan Sukau, Lampung Barat. Buay Bulan menurunkan Menggala (Tulangbawang). Marga Belunguh di Kotaagung bisa ditelusuri sebagai keturunan Buay Belunguh di Kenali, Kecamatan Belalau. Dan seterusnya, Lampung Way Kanan, Ranau (yang berbatasan dengan Sumatera Selatan), dan sebagainya dapat ditelesuri sebagai keturunan nama-nama buay itu.
Bahasa Lampung
Yang jelas pula, ulun Lampung memiliki bahasa (dan seharusnya bisa berbahasa!) yang bernama bahasa Lampung.
Bahasa Lampung memiliki dua subdilek. Pertama, subdialek A (api) yang dipakai oleh ulun Melinting-Maringgai, Pesisir Rajabasa, Pesisir Teluk, Pesisir Semaka, Pesisir Krui, Belalau dan Ranau, Komering, dan Kayu Agung (yang beradat Lampung Peminggir), serta Way Kanan, Sungkai, dan Pubian (yang beradat Lampung Pepadun). Kedua, subdialek o (nyo) yang dipakai oleh ulun Abung dan Menggala/Tulangbawang (yang beradat Lampung Pepadun). (lihat: Hilman Hadikusuma dkk. 1983. Adat Istiadat Lampung).
Mengenai bahasa Lampung ini, saya pikir bukan mitos karena memang riil ada penutur masing-masing subdialek. Pertanyaan saya, adakah yang masih mau menyangkal bahwa orang Ranau (yang berada di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan) bukan orang Lampung? Tentang hal ini, ada "mitos"-nya juga:
Nama Danau Ranau itu aneh. Aneh kenapa namanya danau itu Ranau? Soalnya, "ranau" dalam bahasa Lampung berarti danau. Danau Ranau ya artinya Danau Danau. La, ini danau tak bernama.
Suatu hari, -- sebenarnya sering kali -- saya bertemu dengan orang Ranau. Biasanya, orang dari daerah ini selalu ngotot mengatakan, "Saya orang Palembang" dan biasanya dia berupaya "nyerocos ngomong" Palembang. Tapi, anehnya teman yang satu ini malah ngotot mau dibilang ulun Lampung. "Desa saya memang masuk Sumatera Selatan. Tapi saya orang Lampung. Sehari-hari saya berbahasa Lampung," kata Eka Yulius Bachtiar, teman saya itu.
Saya tertawa saja. La, iya di Banding Agung, Sumatera Selatan itu saya punya kakek-nenek dan sanak-famili. Semuanya berbahasa Lampung.
"Sejarah"-nya, orang Ranau sebenarnya berasal dari Lampung Barat. Mereka pindah dari daerah asalnya, kemudian menetap di tepian danau di Banding Agung, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan, sejak abad ke-15. Suku asli yang sebelumnya tinggal di kawasan danau justru hijrah ke Lampung Tengah.
Setidaknya cerita itulah yang banyak beredar di tengah masyarakat. Tidak ada bukti tertulis, seperti prasasti atau manuskrip, yang mendukung kisah asal-usul suku tersebut. Kebenaran sejarah itu lebih banyak bertumpu pada penuturan nenek moyang, ditambah adanya sejumlah makam tetua suku yang masih bisa dijumpai sampai sekarang. (Kompas, 11 Desember 2006).
Mitos yang Diyakini
Saya mengikuti perdebatan seputar pelarangan Buku Pelajaran Sejarah oleh Kejaksaan Agung. Buku itu dilarang karena, "sejarah" mengenai PKI (Partai Komunis Indonesia) tidak banyak disinggung dalam bab-babnya. Dalam pikiran saya yang muncul kemudian adalah pemerintah seperti tengah mempertahankan "mitos" (orang pelitik bilang "stigma") tentang PKI. Soalnya, setelah ini orang boleh dong mengatakan pemberontakan G.30.S/PKI itu sebuah mitos yang diciptakan pemerintah Orde Baru.
Saya jadi berpikir pula: PKI itu sebagai mitos yang dipercaya atau pinjam istilah Asvi Warman Adam (2006), sejarah yang bikin bingung? Kalau begitu, perbedaan antara mitos dan sejarah itu sangat tipis.
Suatu hari, Roland Barthes pernah berkata: "Apa yang tidak kita katakan dengan lisan, sebenarnya tubuh kita sudah mengatakannya'. Pernyataan itu mengindikasikan signifikansi bahasa simbolik manusia. Dalam kehidupan ini, manusia selain dibekali kemampuan berbahasa juga dibekali kemampuan interpretasi terhadap bahasa itu sendiri. Bahasa, dalam hal ini, tidak hanya terfokus pada bahasa verbal atau bahasa nonverbal manusia, tetapi juga pada bahasa-bahasa simbolik suatu benda (seperti gambar) atau gerakan-gerakan tertentu.
Roland Barthes, pakar semiotika asal Prancis ini, telah mengabdikan lebih dari separuh hidupnya untuk mempelajari semiologi. Secara teoritik, menurutnya, semiologi merupakan ilmu yang mempelajari tanda. Semiologi sebagai cabang ilmu bahasa terbagi dua, yakni semiologi tingkat pertama yang disebutnya dengan linguistik dan semiologi tingkat kedua yang ia sebut 'mitos'.
Pembagian semiologi dalam dua tingkatan bahasa itu merupakan mahakaryanya selama mengarungi dunia semiologi. 'Mitos' bukanlah mitos seperti apa yang kita pahami selama ini. 'Mitos' bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal, transenden, ahistoris, dan irasional. Anggapan seperti itu, mulai sekarang hendaknya kita kubur.
Pasalnya, 'mitos' yang dimaksud Roland Barthes adalah sebuah ilmu tentang tanda.
Menurut Barthes, 'mitos' adalah type of speech (tipe wicara atau gaya bicara) seseorang. Mitos digunakan orang untuk mengungkapkan sesuatu yang tersimpan dalam dirinya. Orang mungkin tidak sadar ketika segala kebiasaan dan tindakannya ternyata dapat dibaca orang lain. Dengan menggunakan analisis mitos itu, kita dapat mengetahui makna-makna yang tersimpan dalam sebuah bahasa atau benda (gambar).
Dalam semiologi terdapat tiga tahapan penting pembentuk makna, yaitu penanda, pertanda, dan tanda. Penanda merupakan subyek, pertanda ialah obyek, dan tanda merupakan hasil perpaduan keduanya. Dalam semiotika tingkat pertama (linguistik), penanda diganti dengan sebutan makna, pertanda sebagai konsep, dan tanda tetap disebut tanda. Sedangkan dalam 'mitos' (semiotika tingkat kedua), penanda dianggap bentuk, pertanda tetap sebagai konsep, dan tanda diganti dengan penandaan. Proses simbolisasi seperti itu bertujuan mempermudah kita dalam membedakan antara linguistik dan mitos dalam semiologi.
Selama ini, banyak orang yang tidak menyadari signifikansi semiotika dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, dalam interaksi sosial banyak sekali makna-makna yang belum terungkap. Mulai dari bahasa manusia (verbal dan nonverbal), benda (gambar), hingga gerakan-gerakan alam. Mitos dalam hal ini menjadi medium untuk membedah makna-makna tersebut. Selain sebagai ilmu, mitos juga dapat digunakan sebagai cara pandang atau paradigma dalam menganalisa suatu peristiwa. Inilah kelebihan dari teori 'mitos' Barthesian.
Mempelajari makna-makna simbolik, baik pada manusia maupun benda, merupakan hal yang sangat menarik. Karena banyak orang yang belum bisa menguraikan makna dengan sempurna dalam simbol-simbol kehidupan.
Sejarah yang Bikin Bingung
Akan halnya sejarah? Beberapa saat setelah Orde Baru berakhir bermunculan gugatan masyarakat terhadap sejarah (versi pemerintah). Buku-buku baru diluncurkan. Sejarah pun jadi polemik. Asvi Warman Adam (2006) menawarkan beberapa tipologi kontroversi sejarah Indonesia yang disebabkan oleh fakta (dan interpretasi) yang tidak tepat, tidak lengkap, dan tidak jelas.
Contoh kategori pertama, benarkah Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun? Prof. Mr. Gertrudes Johan Resink (1911-1997) membantah pernyataan tersebut. Termasuk dalam kategori pertama adalah sejarah yang berhubungan dengan mantan Presiden Soeharto.
Selama ini PKI ditulis menyatu dengan Gerakan 30 September (G30S), seakan partai tersebut dalang tunggal dari percobaan kudeta 1965. Padahal versi lain tentang adanya keterlibatan militer, Sukarno, Soeharto, bahkan unsur asing (CIA dan lain-lain). Malah belakangan muncul versi baru yang melihat peristiwa dari 30 September 1965 sampai 11 Maret 1966 sebagai suatu kesatuan dan disebut "kudeta merangkak".
Kategori kedua antara lain menyangkut Budi Utomo yang kelahirannya 20 Mei 1908 diperingati Hari Kebangkitan Nasional. Terdapat kritik terhadap organisasi ini yang dinilai bersifat kedaerahan (Jawa). Kategori ketiga adalah hal-hal yang tidak jelas dalam sejarah Indonesia. Contohnya mengenai naskah asli surat Supersemar, Peristiwa Malari (11 Januari) 1974.
Jadi, sejarah hari ini adalah "mitos" buatan Orde Baru (?)
Catatan Penutup
Kalau begitu, mengapa kita tidak membuat sejarah (asal-usul) orang Lampung dari mitos-mitos yang bertebaran di berbagai tempat di Lampung? Tidakkah bisa kita menganyam cerita tentang mitos ulun Lampung? Masalahnya kan tinggal mencari bukti otentik "mitos" untuk bisa disebut sebagai sejarah. Jelas, tidak mudah. Tentu perlu keseriusan untuk menyusun sejarah (kebudayaan) ulun Lampung (bukan sejarah: Provinsi Lampung!). Yang jelas, mana bisa menemukan sejarah secara "sambil lalu" sebagaimana (mungkin) esai ini dengan penuh keisengan. Ya, geh?
--------------
* Esai ini yang seutuhnya. Pertama saya kirim ke Lampung Post dan dimuat Minggu, 15 April 2007 dengan judul "Mitos Sekalabrak dan Eksistensi Ulun Lampung". Hanya sebagian awalnya saja yang dimuat. Padahal, fokus saya justru pada bagian akhir. Tidak puas esai saya dipenggal di tengah-tengah, dengan sedikit perubahan pada lead, saya kirim bagian "kedua" esai ini ke Radar Lampung dan baru dimuat, Rabu, 9 Mei 2007 dengan judul "Meluruskan Mitos Ulun Lampung".
** Udo Z. Karzi, orang Lampung yang tinggal di Borneo
April 7, 2007
28.386 Perempuan di Lampung Buta Aksara
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Mayoritas warga buta aksara di Lampung adalah perempuan. Dari 41.742 penyandang buta aksara, 28.386 adalah perempuan, sisanya 13.257 laki-laki.
Usia mereka berkisar antara 15-44 tahun. Beberapa di antaranya putus sekolah di tingkat sekolah dasar (SD). Bahkan, ada yang tidak pernah sekolah.
Koordinator Humas Dinas Pendidikan Lampung A. Hamid, mengatakan data tersebut adalah data sementara rekapitulasi program pemberantasan buta aksara Provinsi Lampung pada 2007.
Menurut Hamid, data dari Badan Pusat Statistik Jakarta mencatat dari total penduduk Lampung 7 juta jiwa, 7% warga tidak bisa menulis dan membaca.
"Jadi, sekitar 490 ribu warga Lampung masih buta huruf," kata dia.
Pengentasan buta aksara dilakukan secara bertahap, sesuai nota sepahaman bersama/memorandum of understanding (MoU) dengan Menteri Pendidikan Nasional dalam tiga tahun ini, 2007-2009 salah satu program prioritas pendidikan Lampung adalah pemberantasan buta aksara. Ditargetkan, pada 2009, jumlah warga buta aksara di Lampung di bawah 5% dari jumlah total penduduk.
"Hari Rabu (11-4) mendatang akan diadakan rapat koordinasi dengan Dinas Pendidikan tingkat dua. Masing-masing kasi Pendidikan Luar Sekolah (PLS) akan memberikan data terbaru dan data hari ini (Kamis, 5-4, red) mungkin saja berubah," ujar Hamid.
Menurut dia, rapat koordinasi itu juga akan membahas tentang alokasi dana pendidikan 50% dari APBN, 30% APBD tingkat satu dan 20% APBD tingkat dua. Seperti yang ditulis dalam susunan Rencana Program Terpadu Dinas Pendidikan Lampung 2007-2009, untuk membina satu orang buta aksara dibutuhkan dana sebesar Rp380 ribu. Sehingga untuk membina 41.742 warga buta aksara tahun ini membutuhkan dana sekitar Rp15,861 miliar.
Sementara itu, Kasi Perencanaan Program Dinas Pendidikan Lampung Sitorus, mengatakan verifikasi data warga buta aksara di tingkat kabupaten/kota dilakukan penilik PLS dengan pendataan by name by addres (mencatat nama dan alamat jelas). "Tahun lalu, pemberantasan buta aksara hanya dianggarkan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Tetapi tahun ini, semua pemerintah tingkat dua juga ikut menganggarkan," kata Sitorus. RIN/S-2
Rekapitulasi Program Perberantasan Buta Aksara Provinsi Lampung tahun 2007 (hasil pendataan by name by addres)
------------------------------------
Kabupaten/kota Jumlah
------------------------------------
Kota Bandar Lampung 1.538
Lampung Selatan 2.926
Lampung Barat 4.969
Lampung Utara 3.810
Way Kanan 2.339
Tulangbawang 1.400
Tanggamus 5.249
Metro 470
Lampung Timur 11.442
Lampung Tengah 7.599
------------------------------------
Total 41.724
------------------------------------
Sumber: Dinas Pendidikan Lampung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 7 April 2007
Usia mereka berkisar antara 15-44 tahun. Beberapa di antaranya putus sekolah di tingkat sekolah dasar (SD). Bahkan, ada yang tidak pernah sekolah.
Koordinator Humas Dinas Pendidikan Lampung A. Hamid, mengatakan data tersebut adalah data sementara rekapitulasi program pemberantasan buta aksara Provinsi Lampung pada 2007.
Menurut Hamid, data dari Badan Pusat Statistik Jakarta mencatat dari total penduduk Lampung 7 juta jiwa, 7% warga tidak bisa menulis dan membaca.
"Jadi, sekitar 490 ribu warga Lampung masih buta huruf," kata dia.
Pengentasan buta aksara dilakukan secara bertahap, sesuai nota sepahaman bersama/memorandum of understanding (MoU) dengan Menteri Pendidikan Nasional dalam tiga tahun ini, 2007-2009 salah satu program prioritas pendidikan Lampung adalah pemberantasan buta aksara. Ditargetkan, pada 2009, jumlah warga buta aksara di Lampung di bawah 5% dari jumlah total penduduk.
"Hari Rabu (11-4) mendatang akan diadakan rapat koordinasi dengan Dinas Pendidikan tingkat dua. Masing-masing kasi Pendidikan Luar Sekolah (PLS) akan memberikan data terbaru dan data hari ini (Kamis, 5-4, red) mungkin saja berubah," ujar Hamid.
Menurut dia, rapat koordinasi itu juga akan membahas tentang alokasi dana pendidikan 50% dari APBN, 30% APBD tingkat satu dan 20% APBD tingkat dua. Seperti yang ditulis dalam susunan Rencana Program Terpadu Dinas Pendidikan Lampung 2007-2009, untuk membina satu orang buta aksara dibutuhkan dana sebesar Rp380 ribu. Sehingga untuk membina 41.742 warga buta aksara tahun ini membutuhkan dana sekitar Rp15,861 miliar.
Sementara itu, Kasi Perencanaan Program Dinas Pendidikan Lampung Sitorus, mengatakan verifikasi data warga buta aksara di tingkat kabupaten/kota dilakukan penilik PLS dengan pendataan by name by addres (mencatat nama dan alamat jelas). "Tahun lalu, pemberantasan buta aksara hanya dianggarkan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Tetapi tahun ini, semua pemerintah tingkat dua juga ikut menganggarkan," kata Sitorus. RIN/S-2
Rekapitulasi Program Perberantasan Buta Aksara Provinsi Lampung tahun 2007 (hasil pendataan by name by addres)
------------------------------------
Kabupaten/kota Jumlah
------------------------------------
Kota Bandar Lampung 1.538
Lampung Selatan 2.926
Lampung Barat 4.969
Lampung Utara 3.810
Way Kanan 2.339
Tulangbawang 1.400
Tanggamus 5.249
Metro 470
Lampung Timur 11.442
Lampung Tengah 7.599
------------------------------------
Total 41.724
------------------------------------
Sumber: Dinas Pendidikan Lampung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 7 April 2007
April 5, 2007
Surat Pembaca: Peninggalan Sejarah Dibuang
Menanggapi pemberitaan Lampung Post, Senin, 2 April 2007, halaman 2 berjudul: "Peninggalan Sejarah Banyak Tak Terurus" (di Lampung), yaitu tentang nuansa masa kini yang kebanyakan orang tidak menghargai "peninggalan sejarah". Seperti yang dikeluhkan Dr. Arifin Nitiprajo Tegamoan yang diberitakan Lampung Post tersebut, saya kira ratapan beliau tersebut adalah benar dan perlu menjadi perhatian pemerintah yang menangani kesejarahan.
Malah pada hemat saya, peninggalan sejarah di Lampung bukan hanya banyak tak terurus, bahkan ada yang menyayat perasaan kami, pelaku sejarah, yaitu ada peninggalan sejarah yang dibuang (dihilangkan) dengan persetujuan pihak resmi.
Seperti monumen permanen, bukti sikap responsif (dukungan penuh) bangsa Indonesia di daerah transmigrasi dan di seluruh Lampung Tengah, sikap antusias menyambut proklamasi 17 Agustus 1945. Monumen berbentuk "kapal", yaitu yang dulu ada di pinggir utara Lapangan Merdeka Kota Metro, yang kini telah dijadikan "Taman Hiburan Kota".
Monumen tersebut mengandung arti dan simbolik penting bagi para anak cucu ke depan. Monumen itu dibuat atas partisipasi spontanitas daya dan semua dana dari lapisan masyarakat (milik masyarakat), berfungsi kesejarahan, penggeloraan semangat bangsa di Lampung Tengah (bentuk lama), buat bersatu-padu membela dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Di monumen tersebut pernah berpidato Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Ketua Dewan Pertimbangan Agung pertama R.M. Suryo, Sri Sultan Hamengku Buwono ke-IX. Juga, Sub Gubernur Sumatera Selatan drg. A.K. Gani, Residen Lampung RI pertama Mr. A. Abbas, Kepala Daerah Lampung Tengah pertama Boerhanoeddin.
Salah besar dan berdosa bagi mereka yang menyetujui pembuangan monumen tersebut.
H.M. Arief Mahya
Jalan Flamboyan III No. 1
Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Kamis, 5 April 2007
Malah pada hemat saya, peninggalan sejarah di Lampung bukan hanya banyak tak terurus, bahkan ada yang menyayat perasaan kami, pelaku sejarah, yaitu ada peninggalan sejarah yang dibuang (dihilangkan) dengan persetujuan pihak resmi.
Seperti monumen permanen, bukti sikap responsif (dukungan penuh) bangsa Indonesia di daerah transmigrasi dan di seluruh Lampung Tengah, sikap antusias menyambut proklamasi 17 Agustus 1945. Monumen berbentuk "kapal", yaitu yang dulu ada di pinggir utara Lapangan Merdeka Kota Metro, yang kini telah dijadikan "Taman Hiburan Kota".
Monumen tersebut mengandung arti dan simbolik penting bagi para anak cucu ke depan. Monumen itu dibuat atas partisipasi spontanitas daya dan semua dana dari lapisan masyarakat (milik masyarakat), berfungsi kesejarahan, penggeloraan semangat bangsa di Lampung Tengah (bentuk lama), buat bersatu-padu membela dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Di monumen tersebut pernah berpidato Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Ketua Dewan Pertimbangan Agung pertama R.M. Suryo, Sri Sultan Hamengku Buwono ke-IX. Juga, Sub Gubernur Sumatera Selatan drg. A.K. Gani, Residen Lampung RI pertama Mr. A. Abbas, Kepala Daerah Lampung Tengah pertama Boerhanoeddin.
Salah besar dan berdosa bagi mereka yang menyetujui pembuangan monumen tersebut.
H.M. Arief Mahya
Jalan Flamboyan III No. 1
Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Kamis, 5 April 2007
April 3, 2007
Kesenian: Tim Tari DKL 'Mentas' di Tokyo
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Penampilan tim kesenian Dewan Kesenian Lampung (DKL) dalam Pameran Tapis Lampung di Graha Budaya Indonesia (GBI) di Sinjukku, Tokyo, Jepang, pada 3 Februari hingga 30 Maret lalu, mendapat sambutan masyarakat di Negeri Sakura ini.
Pementasan hasil kerja sama Pemerintah Provinsi Lampung yang bertujuan mempromosikan karya cipta seni budaya Lampung kepada masyarakat internasional tersebut menampilkan tari Sigeh Penguten, tari Melinting, tari Bedana, tari Mapag, tari Minjak Anjak Kubang, dan tari Muli Betapis.
Tim kesenian yang dipimpin Ketua Umum DKL Syafariah Widianti yang akrab disapa Atu Ayi ini, selain menggelar pentas musik dan tari Lampung juga menggusung peragaan busana sulam usus karya desainer kondang Aan Ibrahim. Adapun materi tari dibawakan Sanggar Radin Intan pimpinan Maysari Berty Moegni.
Atu Ayi mengatakan misi kesenian yang dibawanya ke Tokyo ini, sebagai suatu hal yang tidak terlepas dari pembangunan di bidang budaya. Menurut dia, pemerintah daerah harus merencanakan program ini setiap tahun, bukan hanya ke Jepang, tapi juga negara lain. Keberhasilan misi kesenian, yang dibawanya ke Tokyo bukti kesenian Lampung mempunyai karakter khas, bermutu tinggi dan berdaya saing dibanding dengan seni budaya lainnya.
Penampilan tim kesenian ini mengundang decak kagum masyarakat Jepang. Masuko Sadayuki, seorang staf Badan Meteorologi dan Geofisika Jepang kepada Syaiful Irba Tanpaka yang juga turut serta mengatakan; "Sungguh suatu pertunjukan yang menarik. Saya pikir seni budaya Lampung begitu mengagumkan. Kaya dengan desain artistik, selain akar budaya yang spesifik."
Pimpinan GBI di Jepang Okawa mengatakan pentas karya seni budaya Lampung harus terus diupayakan secara berkala dan terencana. "Pergelaran seni budaya serupa ini, mempunyai manfaat bagus ke depan. Ini merupakan investasi yang luar biasa. Masyarakat internasional jadi lebih mengerti dan memahami Indonesia khususnya Lampung secara lebih baik. Kegiatan itu harus diadakan secara berkala dan terencana," kata dia.
GBI juga menyelenggarakan kursus bahasa Lampung. Meskipun baru diikuti enam orang, mereka tetap semangat dan antusias. Kursus itu dipandu Yulia, warga Lampung, yang sedang melanjutkan studi di Tokyo. n DWI/S-2
Sumber: Lampung Post, Selasa, 3 April 2007
Pementasan hasil kerja sama Pemerintah Provinsi Lampung yang bertujuan mempromosikan karya cipta seni budaya Lampung kepada masyarakat internasional tersebut menampilkan tari Sigeh Penguten, tari Melinting, tari Bedana, tari Mapag, tari Minjak Anjak Kubang, dan tari Muli Betapis.
Tim kesenian yang dipimpin Ketua Umum DKL Syafariah Widianti yang akrab disapa Atu Ayi ini, selain menggelar pentas musik dan tari Lampung juga menggusung peragaan busana sulam usus karya desainer kondang Aan Ibrahim. Adapun materi tari dibawakan Sanggar Radin Intan pimpinan Maysari Berty Moegni.
Atu Ayi mengatakan misi kesenian yang dibawanya ke Tokyo ini, sebagai suatu hal yang tidak terlepas dari pembangunan di bidang budaya. Menurut dia, pemerintah daerah harus merencanakan program ini setiap tahun, bukan hanya ke Jepang, tapi juga negara lain. Keberhasilan misi kesenian, yang dibawanya ke Tokyo bukti kesenian Lampung mempunyai karakter khas, bermutu tinggi dan berdaya saing dibanding dengan seni budaya lainnya.
Penampilan tim kesenian ini mengundang decak kagum masyarakat Jepang. Masuko Sadayuki, seorang staf Badan Meteorologi dan Geofisika Jepang kepada Syaiful Irba Tanpaka yang juga turut serta mengatakan; "Sungguh suatu pertunjukan yang menarik. Saya pikir seni budaya Lampung begitu mengagumkan. Kaya dengan desain artistik, selain akar budaya yang spesifik."
Pimpinan GBI di Jepang Okawa mengatakan pentas karya seni budaya Lampung harus terus diupayakan secara berkala dan terencana. "Pergelaran seni budaya serupa ini, mempunyai manfaat bagus ke depan. Ini merupakan investasi yang luar biasa. Masyarakat internasional jadi lebih mengerti dan memahami Indonesia khususnya Lampung secara lebih baik. Kegiatan itu harus diadakan secara berkala dan terencana," kata dia.
GBI juga menyelenggarakan kursus bahasa Lampung. Meskipun baru diikuti enam orang, mereka tetap semangat dan antusias. Kursus itu dipandu Yulia, warga Lampung, yang sedang melanjutkan studi di Tokyo. n DWI/S-2
Sumber: Lampung Post, Selasa, 3 April 2007
April 2, 2007
Situs: Peninggalan Sejarah Banyak tak Terurus
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Salah satu pelaku sejarah di Lampung, Dr. Arifin Nitipradjo Tegamo'an menyayangkan banyak bangunan peninggalan sejarah di Lampung tidak terurus.
Hal itu ia ungkapkan pada pembukaan pameran Photo Lampoeng Tempo Doeloe, yang digelar Dinas Promosi, Investasi, Kebudayaan, dan Pariwisata Provinsi Lampung bersama Dewan Kesenian Lampung (DKL) di GOR Saburai sejak 30 Maret hingga 1 April. Bukti-bukti sejarah perjalanan Provinsi Lampung terekam dalam foto-foto lawas hitam putih terpajang dalam pameran yang dibuka PLT Sekdaprov MS Djoko Umar Said.
"Saya, sampai saat ini, belum puas dengan pembangunan yang terjadi di Lampung dan Kota Bandar Lampung pada khususnya, yang masih banyak mengabaikan bukti-bukti sejarah yang ada," kata Arifin.
Selain itu, ia menambahkan, banyak sebutan yang digunakan saat ini tidak memperlihatkan kepedulian dengan sejarah. Seperti, sebutan lapangan merah untuk Lapangan Enggal. Padahal, sejak tahun 1948, saat Bung Karno berkunjung ke Lampung usai meresmikan Makam Pahlawan langsung menuju Lapangan Enggal.
Bahkan, beberapa bukti sejarah yang ada di Makam Pahlawan Tanjungkarang pun banyak tidak dijumpai lagi. "Makam Pahlawan Tanjungkarang ini adalah satu-satunya makam pahlawan di luar Pulau Jawa yang diresmikan oleh Soekarno pada tanggal 29 Juni 1948. Malahan, beliau menuliskan pesan Badan Bisa Binasa, Jiwa Besar Tetap yang Dituliskan di Punggung Saya," ujar Arifin, membacakan pesan Bung Karno tersebut.
Kegalauan yang sama juga diutarakan Iin Mutmainah, salah satu panitia pameran. Iin menyayangkan banyak bukti sejarah, yang terdiri dari gedung-gedung tua di Lampung sama sekali tidak terurus, bahkan tidak jelas keberadaannya. "Contohnya, rumah bekas Kantor Daswati (Daerah Swatantra Tingkat, red) I Lampung yang memperjuangkan berdirinya Provinsi Lampung, terletak di Jalan Tulangbawang. Bukannya dipelihara Pemda Provinsi, malahan sekarang dimiliki pengusaha asal Bandung."
Padahal, kata Iin, keberadaan gedung tua tersebut sangat penting untuk mencoba menapaki sejarah berdirinya Provinsi Lampung. "Saat ini gedung tersebut sudah dipagari seng dan rencananya akan dirubuhkan untuk dijadikan ruko. Ini sangat disayangkan sekali, kalau aset berharga ini tidak bisa dipertahankan oleh pemerintah," kata dia.
Sementara itu, kurator pameran Joko Irianta mengatakan pihaknya mengalami kesulitan dalam mempersiapkan pameran ini. "Selain waktunya mepet, data yang ada kurang lengkap. Selain itu, foto yang merupakan hasil repro mengalami pengurangan kualitas. tapi, sebagai dokumen sejarah, sudah sangat representatif untuk bercerita banyak."
Walaupun, diakui Joko, cerita yang dihasilkan dari foto-foto yang dipamerkan masih terbatas pada penggalan saja. "Sebagian sudah bisa bercerita, meskipun hanya penggalan. Ke depan, persiapan bisa lebih lama, sehingga hunting foto bisa dilakukan ke seluruh Lampung," ujarnya. n TYO/K-1
Sumber: Lampung Post, Senin, 2 April 2007
Hal itu ia ungkapkan pada pembukaan pameran Photo Lampoeng Tempo Doeloe, yang digelar Dinas Promosi, Investasi, Kebudayaan, dan Pariwisata Provinsi Lampung bersama Dewan Kesenian Lampung (DKL) di GOR Saburai sejak 30 Maret hingga 1 April. Bukti-bukti sejarah perjalanan Provinsi Lampung terekam dalam foto-foto lawas hitam putih terpajang dalam pameran yang dibuka PLT Sekdaprov MS Djoko Umar Said.
"Saya, sampai saat ini, belum puas dengan pembangunan yang terjadi di Lampung dan Kota Bandar Lampung pada khususnya, yang masih banyak mengabaikan bukti-bukti sejarah yang ada," kata Arifin.
Selain itu, ia menambahkan, banyak sebutan yang digunakan saat ini tidak memperlihatkan kepedulian dengan sejarah. Seperti, sebutan lapangan merah untuk Lapangan Enggal. Padahal, sejak tahun 1948, saat Bung Karno berkunjung ke Lampung usai meresmikan Makam Pahlawan langsung menuju Lapangan Enggal.
Bahkan, beberapa bukti sejarah yang ada di Makam Pahlawan Tanjungkarang pun banyak tidak dijumpai lagi. "Makam Pahlawan Tanjungkarang ini adalah satu-satunya makam pahlawan di luar Pulau Jawa yang diresmikan oleh Soekarno pada tanggal 29 Juni 1948. Malahan, beliau menuliskan pesan Badan Bisa Binasa, Jiwa Besar Tetap yang Dituliskan di Punggung Saya," ujar Arifin, membacakan pesan Bung Karno tersebut.
Kegalauan yang sama juga diutarakan Iin Mutmainah, salah satu panitia pameran. Iin menyayangkan banyak bukti sejarah, yang terdiri dari gedung-gedung tua di Lampung sama sekali tidak terurus, bahkan tidak jelas keberadaannya. "Contohnya, rumah bekas Kantor Daswati (Daerah Swatantra Tingkat, red) I Lampung yang memperjuangkan berdirinya Provinsi Lampung, terletak di Jalan Tulangbawang. Bukannya dipelihara Pemda Provinsi, malahan sekarang dimiliki pengusaha asal Bandung."
Padahal, kata Iin, keberadaan gedung tua tersebut sangat penting untuk mencoba menapaki sejarah berdirinya Provinsi Lampung. "Saat ini gedung tersebut sudah dipagari seng dan rencananya akan dirubuhkan untuk dijadikan ruko. Ini sangat disayangkan sekali, kalau aset berharga ini tidak bisa dipertahankan oleh pemerintah," kata dia.
Sementara itu, kurator pameran Joko Irianta mengatakan pihaknya mengalami kesulitan dalam mempersiapkan pameran ini. "Selain waktunya mepet, data yang ada kurang lengkap. Selain itu, foto yang merupakan hasil repro mengalami pengurangan kualitas. tapi, sebagai dokumen sejarah, sudah sangat representatif untuk bercerita banyak."
Walaupun, diakui Joko, cerita yang dihasilkan dari foto-foto yang dipamerkan masih terbatas pada penggalan saja. "Sebagian sudah bisa bercerita, meskipun hanya penggalan. Ke depan, persiapan bisa lebih lama, sehingga hunting foto bisa dilakukan ke seluruh Lampung," ujarnya. n TYO/K-1
Sumber: Lampung Post, Senin, 2 April 2007